Di tengah rasa penasarannya, Inara hanya bisa diam, sepanjang perjalanan yang ada di dalam pikirannya hanya satu pertanyaan. 'Siapa dia?' Dan hal itu membuat Inara terdiam, tidak sepatah katapun terucap dari bibirnya yang manis. Ia hanya diam dalam kebisuan.
Kiev juga tidak ingin terlalu memaksakan keinginannya untuk berbincang lebih lama dengan Inara, karena ia tidak ingin memaksa rangsangan otak wanitanya yang bisa saja berakibat fatal. Kiev yakin meskipun hanya terlihat diam dalam kebisuan, Inara terus saja memutar otaknya untuk mengingat sesuatu atau memikirkan apa yang akan dilakukannya nanti.Tidak lama kemudian, mobil pun memasuki area resto 'THE S'QUAD', sebuah restoran mewah tempat Kiev melepas lapar dan dahaga bersama Agam ketika telah jenuh bekerja. Sesuai dengan perjanjiannya dengan Agam, mobilnya pun diparkir di sana. Seperti sebelumnya, Kiev kembali membukakan pintu mobil untuk Inara, dan menggandeng tangannya dengan mesra memasuki area resto. Mereka tampak serasi, tampan dan cantik berjalan beriringan membuat setiap mata yang memandang merasa iri melihatnya."Kenapa kita kesini?" tanya Inara tanpa mempedulikan tatapan orang-orang disekitarnya yang memandang dirinya dengan penuh kekaguman."Aku seperti manusia setengah alien yang baru saja bertransmigrasi ke dunia ini, lihatlah! Semua orang memandangku dengan aneh," lanjutnya seraya memutar bola matanya dengan malas. ia merasa risih ketika untuk pertama kalinya mendapatkan tatapan mata yang tersorot padanya.Mendengar ucapan calon istrinya, membuat Kiev tersenyum geli. Ingin rasanya ia mencium pipi Inara yang menggemaskan. Namun, apa daya, dirinya sedang berada ditengah khalayak ramai dan tidak mungkin berbuat semacam itu.Seraya menarik kursi untuk Inara ia berkata, "Bukan aneh, tapi mereka mengagumi kecantikanmu yang sungguh luar biasa, alien beautifull!" Kiev mengerlingkan sebelah matanya, menggoda Inara.Inara tersenyum dan tiba-tiba saja senyum itu memudar ketika pandangannya menangkap sosok pria yang sangat familiar baginya, tetapi ia sama sekali tidak mengenalnya.'Siapa dia? Mengapa sepertinya aku pernah mengenalnya? Tapi, dimana?' Monolog Inara.Kiev pun merasakan perubahan pada raut wajah Inara dan segera mengikuti arah pandangan calon istrinya itu. Maka pada saat itulah ia melihat Agam pemilik perusahaan 'Galaxy world' tempatnya bekerja, sedang berjalan menuju ke arahnya dengan gaya santai."Hai, Kiev! Sudah sejak tadi?" sapa Agam ramah dan langsung disambut hangat oleh sahabatnya itu."Baru saja, Tuan." Seperti biasa mereka berpelukan setiap kali bertemu dan ini telah menjadi kebiasaan mereka sejak dulu.Sebuah hubungan yang begitu akrab, bahkan seperti hubungan antar saudara. Persahabatan yang terjalin erat saat mereka masih duduk di bangku SMA, hingga kini masih terasa begitu hangat. Agam pula yang telah mempekerjakan Kiev di kantornya sebagai asisten pribadi. Usai berpelukan Kiev mempersilahkan Agam duduk dan mulai memperkenalkan calon istrinya."Perkenalkan ini calon istriku!" Kiev menunjuk ke arah kursi Inara, tetapi tanpa sepengetahuannya, wanita itu telah menghilang dari tempatnya, meninggalkan sebuah tas kecil di atas meja."Mana calon istrimu, Sobat?" Agam bertanya dengan mengernyitkan dahi."Tadi disini, kemana dia? Mengapa menghilang?" Kiev bertanya-tanya dalam kebingungan dengan dahi mengkerut.Sebelum memutuskan untuk mencari Inara, pria bermata elang itu meminta supaya Agam menunggu hingga ia berhasil menemukan calon istrinya. Lama Kiev mencari, tetapi tidak dapat mengetahui dimana Inara berada. Ia telah memeriksa setiap sudut ruangan resto itu, bahkan menggeledah toilet wanita demi mencari calon istrinya.Agam terlihat gelisah karena terlalu lama menunggu, akhirnya memutuskan untuk pergi dengan alasan ada meeting hari itu juga. Ia harus selalu siaga dalam dunia bisnisnya karena orang yang selama ini menjadi kaki tangannya telah mengambil cuti selama satu bulan. Agam meraih ponselnya kemudian mengetik sesuatu dan mengirimkannya kepada Kiev lalu pergi dari tempat itu."Baiklah, Tuan," balas Kiev dengan merasa bersalah.Kiev meletakkan kembali ponselnya setelah membaca pesan singkat dari sahabatnya, Pria itu menggelengkan kepala ketika kedua matanya menangkap sosok wanita yang baru saja keluar dari toilet pria. Kiev tidak pernah menyangka jika kekasihnya itu salah masuk toilet, pantas saja ia tidak dapat menemukannya. Kaki mulus Inara tampak begitu santai berjalan ke arah calon suaminya seakan tanpa beban, tangannya yang putih menggelayut manja ditangan Kiev. Setelah menegur dan menasihatinya bahwa tindakannya itu salah, Kiev pun mengajak Inara kembali ke mejanya dan menikmati makanan yang telah mereka pesan sebelumnya.~~~~~~~~~~~~~~~Tiba-tiba Inara menginginkan foto prewedding, ia ingin mengabadikan momen indah mereka sebelum hari pernikahan tiba. Awalnya Kiev sempat menolak karena khawatir akan kondisi Inara yang baru saja sembuh dari sakitnya. Namun, pada detik berikutnya ia pun menyetujui saat Inara berhasil meyakinkan dirinya.Setelah pulang dari resto sontak mereka menghubungi Vendor photographer, dan mulai melakukan foto prewedding. Inara tidak hanya ingin menjadikan foto itu sebagai kenangan, tetapi juga akan dipajang pada saat hari pernikahan mereka nanti. Tepat pada saat pengambilan foto, saat keduanya terlihat bagai bulan dan bintang yang bersanding dengan mesra. Pada saat itulah Agam datang, dengan kedua mata yang membulat sempurna. Darahnya seakan panas membara, membawa dirinya dalam emosional tinggi. Kali ini ia datang bersama dengan istri keempatnya."Lepaskan!" teriak Inara ketika dirinya telah dipikul bagaikan karung beras."Agam! Apa yang kau lakukan?" Suara lantang Kiev membahana memenuhi ruangan itu. Kiev Terkejut.Kini hilang sudah panggilan kehormatan atas diri Agam sebagai bosnya. Dengan wajah dipenuhi otot-otot yang menonjol serta rahang yang mengeras, Kiev mengepalkan kedua tangannya lalu melangkahkan kakinya. Ia mengejar Agam yang telah berlalu membawa Inara, tanpa perduli wanita itu yang sedang meronta. Ameena Fatin juga ikut berlari mengejar suaminya."Kiev …,tolong aku …!" Inara kembali berteriak dengan tangannya yang menjulur ke belakang, seakan ingin menggapai tangan Kiev.Airmata Inara berderai membasahi kedua pipinya, suaranya yang memilukan menyayat hati Kiev yang kini sedang mengejarnya. Agam mempercepat langkahnya dan membawa Inara menjauh, hingga akhirnya menghilang dibalik mobilnya.Ameena Fatin yang saat itu juga berada disana, merasa kebingungan dengan apa yang telah dilihatnya. Ia tidak pernah menyangka suaminya akan berbuat seperti itu didepan matanya sendiri, melihat insiden itu membuat Amee tidak bisa berkata-kata bahkan untuk memanggil nama suaminya saja tidak mampu. Suaranya seolah menghilang ditelan keresahan."Kiev, ada apa? S–siapa wanita itu, dan Mengapa dibawa pergi oleh Agam?" tanya Amee dengan suara yang tersendat-sendat, akhirnya ia memberanikan diri, berharap mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan yang sangat mengganggu pikirannya. Setitik airmata menetes dari kelopaknya."Dia calon istriku." Kiev menjawab dengan geram, seraya bergegas ke arah mobilnya hendak mengejar mobil Agam yang telah membawa pergi pujaan hatinya.Inara menggerak-gerakkan kedua kaki dan tangannya bersamaan, ketika tubuhnya kembali di gendong oleh Agam. Ia meronta. Suara jeritannya menghiasi derap langkah pria itu, tetapi seakan tidak pernah terdengar sama sekali di telinganya. Sepuluh pasang mata menatap mereka dengan penuh tanda tanya, dengan berbagai pikiran di dalam kepalanya masing-masing. "Turunkan aku …!" pekik Inara dengan suara yang melengking tinggi. Bersamaan dengan tubuhnya yang melayang, kemudian terjatuh tepat diatas sebuah ranjang. Senyum tipis terpancar dari wajah pria itu, dengan tatapan mata yang penuh nafsu. Inara membalas dengan sorot mata penuh kebencian, ia merasa tidak terima atas perlakuan pria itu terhadap dirinya. "Mengapa kau membawaku kemari? Asal kau tahu, besok aku akan menikah!" Suara penuh emosi Inara disertai tangisannya, dengan kedua mata yang digenangi airmata menatap Agam dengan penuh kebencian. Inara mengumpulkan seluruh kekuatannya yang melemah, karena meronta-ronta sejak tadi. Perlahan
"Terimakasih, tuan Agam yang terhormat," gumam Kiev menahan amarah dengan mengatupkan rahangnya, "tetapi harga diriku tidak akan pernah bisa kau beli dengan hartamu!"Bersamaan dengan ucapan Kiev, kertas cek itu melayang kembali dan mengenai tepat di wajah Agam. Hingga mati pun Kiev akan tetap memperjuangkan kehormatannya agar tidak diinjak-injak oleh Agam. Inara, merupakan sebuah kehormatan terbesar yang harus diperjuangkan. Meskipun harus kehilangan nyawa sekalipun ia akan tetap mempertahankannya. Kiev maju satu langkah lalu kedua tangannya mencekal krah jas pengantin pria itu. Kini jarak keduanya sangat dekat dengan sorot mata yang saling menatap tajam. Agam tidak tinggal diam, tangannya menyentuh dada Kiev dan mendorongnya kebelakang hingga pria itu sedikit terpental. Maka aksi saling mendorong pun di mulai, tanpa ada yang mau mengalah. Hingga pada akhirnya mereka mulai memukul dan beradu tinju, sepak terjang mereka sama kuat hingga tidak satu pun serangan yang berhasil mendarat
Roda-roda kecil itu terus berputar membawa mobil itu hingga terseret beberapa meter. membawa gerbongnya pergi menjauh, meninggalkan goresan-goresan hitam di permukaan rel. Suara bisingnya yang memekakkan telinga semakin lama semakin melemah, hingga tidak terdengar sama sekali. Suasana kembali sunyi mengheningkan sang malam. Membiarkan suara angin menyapa gendang telinga dengan syahdu. Dibawah cahaya sang rembulan, tampak dua sosok manusia sedang terbaring tak berdaya diatas hamparan rumput disekitar rel kereta api. Baru saja mereka jatuh berguling-guling, demi menyelamatkan nyawa salah satu dari mereka. Sontak Kiev segera bangkit dengan menahan segala rasa sakit yang mendera tubuhnya, ia tidak perduli lagi dengan keadaan dirinya. Dengan susah payah ia berhasil menjangkau Inara yang terlempar agak jauh darinya, dengan segera Kiev meraih kepala wanita itu dan diletakkan dipangkuannya dengan penuh kasih sayang. Wajah ayu itu terlihat tenang seakan tanpa dosa dalam pingsannya. "Inara …
Sejenak Agam tertegun dengan senyum tipis penuh harap, ia sangat yakin jika Inara pasti akan lebih memilih dirinya daripada Kiev yang hanyalah seorang karyawan biasa. Cinta masa lalu mereka yang pernah terjalin begitu indah, Sedikit membuatnya lupa akan kemarahan yang telah melanda hatinya. Pria itu berdiri dengan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, bersiap mendekap mesra tubuh wanita yang kini sedang berlari ke arahnya. Namun, semua itu ternyata hanyalah harapan belaka, karena pada detik berikutnya Inara berlari melewati Agam dan menembus kerumunan anak buahnya. Dengan segenap jiwa serta kebesaran kekuatan cinta, ia memeluk tubuh Kiev yang telah bersimbah darah. Inara menyatakan bahwa cintanya terhadap pria itu jauh lebih besar daripada terhadap Agam yang merupakan cinta pertamanya. "B-benarkah, yang aku dengar ini? K-kau tidak akan meninggalkanku?" Kiev bertanya dengan suara sedikit mengerang menahan rasa sakit. Senyum kebahagiaan terulas di bibirnya yang dipenuhi darah, ra
Kebencian telah menyelimuti hati inara, wanita yang dulunya sangat lembut dan penuh perhatian terhadap sesama, kini telah membaja akibat dari semua peristiwa yang dialaminya. Inara yang dulu sangatlah lugu, kini menjadi pribadi yang selalu curiga dan tidak mudah percaya terhadap siapapun. Alasan satu-satunya mengapa ia bertahan dalam permainan ini, hanyalah satu, yaitu mengungkap kebenaran dan membalaskan dendamnya pada seorang wanita yang telah menyebabkan kehancuran dalam hidupnya. Akan tetapi, dengan semua peristiwa itu ia bersyukur, berkat kecelakaan yang menimpanya tiga tahun lalu, ia dipertemukan dengan seorang pria yang benar-benar mencintai dirinya tanpa syarat. Kiev yang selalu ada untuknya, Kiev yang selalu menjaganya, dan Kiev yang rela berkorban demi keselamatan dirinya. Sedangkan Agam, belum tentu pria itu mampu melakukan semua yang dilakukan Kiev untuknya. Sang jagad merah mulai menampakkan wajahnya dengan sinar hangat menerangi bumi. Daun-daun
"Lihatlah, asap yang mengepul itu!" Agam mengangkat sebelah tangannya kedepan. Tampak kepulan asap dengan bau yang menyengat berasal dari aroma daging panggang menusuk tajam ke dalam indera penciuman. Kembali Inara mempercepat langkahnya yang terseret, ketika tangannya ditarik dengan keras oleh Agam. Kakinya yang putih bersih melangkah melewati batu kerikil yang berdebu hingga separuh kakinya diselimuti debu jalanan yang kotor. Seonggok daging yang telah hangus terbakar, menjadi sumber asalnya bau menyengat itu. Inara menatap heran seraya melemparkan pandangannya ke sekeliling. Ia merasa tidak asing lagi dengan tempat itu, tetapi ia juga merasa ada yang berbeda. Namun, saat pandanganya melihat jelas rel kereta api yang hampir membuat nyawanya melayang, ia teringat akan peristiwa penyerangan Kiev yang dilakukan semalam. "Kau tahu daging yang hangus terbakar itu?" Agam bertanya dengan menatap intens ke arah wanita cantik di sampingnya, yang kemudian mendapatkan gelengan kepala sebaga
Entah karena Inara yang terlalu ingin melihat detik-detik kematian suaminya, ataukah Agam yang terlalu terbuai dengan bujuk rayu istrinya, hingga mereka tidak menyadari akan kehadiran seorang OB yang memasuki ruangan itu. Baru mereka tersadar ketika sendok yang hampir memasuki rongga mulut Agam, terjatuh bersamaan dengan jatuhnya rantang makanan dari tangan Inara. Sontak saja keduanya terkejut dan sama-sama memandang OB itu dengan berang. "Sialan! Beraninya kau berbuat kurang ajar padaku!" sentak Agam dengan murka. Wajah pria itu merah padam menatap tajam pada OB tersebut. Pria sederhana itupun menundukkan kepala dengan penuh hormat, berkali-kali meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya. Namun, tidak pernah mereka sadari dendam yang tersembunyi didalam hati pria OB tersebut. Beruntunglah Agam, karena atas perbuatan si OB, ia berhasil lolos dari maut yang tak disadarinya. Nasi dan lauk beracun itu kini telah berserakan di atas lantai, terpisah dari rantangnya. Atas permintaan
"Berhenti bergerak, dan lepaskan dia!" Sebuah suara penuh ketegasan terdengar dari arah belakang Elya, suara yang begitu mengejutkan seorang Elya Farzana hingga mengurungkan niatnya mendorong Inara. Ia memutar bola matanya ke seluruh tempat, berharap menemukan celah agar bisa menghindari beberapa polisi yang sedang berdiri tegap, bersiap meringkus dirinya. Secara tiba-tiba Elya menarik tubuh Inara yang masih berada dalam kukungannya, dengan posisi tubuh Inara berada di depannya, ia membalikkan badan menghadap para polisi itu. Pisau belati membentang tepat di depan leher Inara, cahayanya yang mengkilat di bawah terpaan sinar mentari menyilaukan indera penglihatan. Kedua mata Inara menatap pisau belati itu dengan penuh kepanikan, sedemikian dekatnya sehingga sedikit saja ia bergerak, maka dapat dipastikan pisau itu akan segera menusuk rongga tenggorokannya. Elya Farzana tidak segan-segan menggertak polisi ketika mereka hendak bergerak maju. Sebelah tangannya pun tanpa henti menodongka