Sejenak Agam tertegun dengan senyum tipis penuh harap, ia sangat yakin jika Inara pasti akan lebih memilih dirinya daripada Kiev yang hanyalah seorang karyawan biasa. Cinta masa lalu mereka yang pernah terjalin begitu indah, Sedikit membuatnya lupa akan kemarahan yang telah melanda hatinya. Pria itu berdiri dengan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, bersiap mendekap mesra tubuh wanita yang kini sedang berlari ke arahnya.
Namun, semua itu ternyata hanyalah harapan belaka, karena pada detik berikutnya Inara berlari melewati Agam dan menembus kerumunan anak buahnya. Dengan segenap jiwa serta kebesaran kekuatan cinta, ia memeluk tubuh Kiev yang telah bersimbah darah. Inara menyatakan bahwa cintanya terhadap pria itu jauh lebih besar daripada terhadap Agam yang merupakan cinta pertamanya."B-benarkah, yang aku dengar ini? K-kau tidak akan meninggalkanku?" Kiev bertanya dengan suara sedikit mengerang menahan rasa sakit.Senyum kebahagiaan terulas di bibirnya yang dipenuhi darah, rasa takut akan kehilangan Inara yang selama ini melanda hatinya tiba-tiba sirna dalam sekejap. Dengan suara parau Kiev berbisik di telinga kekasihnya, sejenak membuat Inara tertegun kemudian mengangguk menyetujui. Meskipun ia tidak mengerti, mengapa Kiev melarangnya untuk tidak mengakui ingatannya yang kini telah kembali.Di tengah sepasang kekasih itu sedang berpeluk mesra, Agam yang saat ini berada pada titik kemurkaan paling tinggi segera menarik tubuh Inara dan membawanya pergi menjauh dari Kiev. Pria itu tidak terima dirinya diabaikan. Di tengah cengkraman Agam, Inara masih berusaha menggapai tubuh Kiev, meskipun pada akhirnya ia harus rela meninggalkan pria itu ditengah kerumunan anak buah Agam yang terus menghajarnya. Tak tega melihat kekasihnya diperlakukan sekeji itu, perlahan Inara merasakan segerombolan kunang-kunang terbang seraya berputar mengelilingi kepalanya kemudian tubuhnya lunglai di samping Agam."Sampai matipun aku tidak akan pernah melupakan semua perbuatanmu, Agam! Sungguh kau makhluk yang tidak berperikemanusiaan! Suatu saat nanti kau akan menuai hasilnya!" Inara bersumpah dalam keadaan setengah sadar, ia memaki Agam dengan emosi yang menyesakkan dadanya.Namun, pria itu sama sekali tidak menghiraukannya, rasa puas dalam hatinya seolah mengubah kalimat makian Inara menjadi sebuah pujian baginya. Sebelah tangannya mulai memutar kunci mobil, menimbulkan deru mobil yang siap melaju. Inara membuang pandangannya ke arah luar jendela mobil, memandangi dahan-dahan pohon yang kering dalam kegelapan, suara kerikil yang terlindas ban mobil seakan mematahkan hati Inara.Angin malam berhembus semakin kencang, membelai tubuh yang telah berlumuran darah. Terkapar begitu saja di atas tanah yang telah basah oleh darah yang terus mengalir dari tubuh Kiev. Tubuh itu tampak begitu lemas ketika sepasang tangan mengangkat dan membawanya9 pergi."Aku harus menyelamatkannya, walau bagaimana pun dia akan berguna untukku suatu saat nanti." Senyum penuh kelicikan terbit di bibir pria setengah baya itu.Garis-garis keriput di wajahnya seakan mewakili usianya, yang tak lagi muda. Dalam gelapnya malam, pria itu membaringkan tubuh Kiev dalam sebuah mobil yang terparkir di kegelapan. Sesaat kemudian ia kembali lagi dengan menjinjing sebuah drum berukuran besar dan mulai menuangkan minyak tanah membentuk sebuah lingkaran besar. Di tengah lingkaran itu diletakkan seekor anjing yang telah mati, pria itu membakarnya hingga habis tak bersisa.Pada saat yang sama, tetapi dalam tempat yang berbeda. Seorang pria berkaca mata sedang berjalan mondar-mandir di ruang tamu, sesekali ia melihat ke arah luar jendela berharap putranya akan segera datang. Raut kecemasan tersirat diwajahnya, akan bayangan peristiwa (dua puluho{ lima tahun yang lalu."Minumlah dulu, Tuan. Nyonya!" Bi Yum meletakkan dua cangkir kopi susu di atas meja dengan sangat hati-hati dan kepala tertunduk. Ia begitu menghormati majikannya."Sejak kapan putraku pergi, Bi? Ada urusan apa hingga selarut ini belum pulang," sahut Tuan Zerga seraya menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Berkali-kali ia menghela napas seakan sesak tidak berkesudahan sebelum memastikan keadaan putranya.Tuan Zerga sangat memanjakan Agam sejak kecil, apapun yang diinginkannya selalu di penuhi. Kasih sayangnya begitu besar, hingga membuat Agam tumbuh sebagai seseorang yang arogan. Tuan Zerga tidak memperdulikan tanggapan orang lain, yang terpenting baginya adalah membahagiakan putra satu-satunya, meskipun pada hakekatnya ia bukanlah putra semata wayangnya.Seorang wanita yang masih terlihat cantik dalam usianya yang tak lagi muda, begitu setia mendampinginya. Nyonya Anny, istri keduanya tersenyum seraya meletakkan kepalanya di pundak Tuan Zerga, berharap suaminya itu akan segera tenang. Dulu, mereka menikah atas permintaan dari Nyonya Wilona, istri pertama tuan Zerga sebelum meninggal, karena pendarahan pasca melahirkan. Wanita itu tidak segan-segan bermanja-manja di depan asistennya, hingga membuat Bi Yum merasa malu sendiri."Pa, putra kita telah dewasa, istrinya pun sudah banyak, jadi janganlah terlalu khawatir." Suara lembut nyonya Anny berusaha membujuk suaminya, "mari kita istirahat."Tuan Zerga menatap secangkir kopi di depannya, dengan sebelah tangannya ia meraih cangkir kopi itu kemudian menyesapnya. Rasa hangat dari kopi itu sedikit meredakan penatnya setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Baru saja ia tiba dari Jepang setelah tujuh tahun lamanya meninggalkan kota bandung.Atas bujuk rayu dari nyonya Anny, Tuan Zerga akhirnya terpaksa meninggalkan ruangan itu, walau dengan berat hati. Ia melangkah dengan langkah gontai seraya pandangannya yang selalu mengarah pada jendela, berharap putranya akan segera datang. Beberapa langkah ia berjalan, suara deru mobil berhenti dihalaman mansion."Pa … Ma …!" Agam berjalan ke arah kedua orangtuanya. Sontak mendapat tatapan tajam karena ia datang dengan seorang wanita dan mereka masih dalam keadaan memakai baju pengantin.Tuan Zerga yang sebelumnya tersenyum lega, kini mendadak heran menatap pada Inara yang berjalan dengan kedua mata yang telah membengkak, serta gaun pengantin yang kotor penuh lumpur. Tak hanya dirinya, nyonya Anny pun merasakan hal yang sama. Ia tidak habis pikir dengan kehidupan putranya sendiri yang sangat berminat mengoleksi wanita.Inara meringis menahan sakit pada keningnya, sebelah tangannya menutupi dahinya berusaha menyembunyikannya dari pandangan kedua mertuanya. Dengan sangat sopan Inara menyalami kedua orang tua itu, setelah sebelumnya mendapatkan peringatan dari Agam ketika mereka baru saja sampai dan melihat mobil kedua orang tuanya. Saat itu Inara yang masih dalam keadaan pingsan, dipercikkan segenggam air agar cepat tersadar. Kecantikan dan kesopanan Inara sontak memenangkan hati kedua orang tua Agam, mereka terlihat begitu senang mendapatkan menantu ketujuh yang baik.Derap langkah seseorang terdengar semakin mendekat ke arah mereka, tak lama kemudian menampilkan sosok wanita cantik, tetapi terkesan sombong dan penuh dendam.Sontak pandangan Inara tertuju pada wanita itu yang saat ini sedang menuruni anak tangga, dengan pandangan penuh kebencian wanita itu membalas tatapan matanya pula. Manik mata wanita itu menyipit memandang intens pada Inara, seolah mengintimidasi.Inara menggenggam erat tangannya, urat-urat halus mulai menonjol dari kedua tangan mulusnya. Kepalan tangan yang sangat kuat, siap melayang ke arah kepala wanita itu. Namun, Inara berusaha agar tetap terlihat tenang dan elegan. Ia tidak ingin kemarahan menghancurkan tujuannya.Dengan menahan rasa marah sekaligus kecewa Inara membatin, 'Cukup! selama ini aku menderita karenamu, mulai sekarang, secara perlahan aku akan membuka kedokmu!'Kebencian telah menyelimuti hati inara, wanita yang dulunya sangat lembut dan penuh perhatian terhadap sesama, kini telah membaja akibat dari semua peristiwa yang dialaminya. Inara yang dulu sangatlah lugu, kini menjadi pribadi yang selalu curiga dan tidak mudah percaya terhadap siapapun. Alasan satu-satunya mengapa ia bertahan dalam permainan ini, hanyalah satu, yaitu mengungkap kebenaran dan membalaskan dendamnya pada seorang wanita yang telah menyebabkan kehancuran dalam hidupnya. Akan tetapi, dengan semua peristiwa itu ia bersyukur, berkat kecelakaan yang menimpanya tiga tahun lalu, ia dipertemukan dengan seorang pria yang benar-benar mencintai dirinya tanpa syarat. Kiev yang selalu ada untuknya, Kiev yang selalu menjaganya, dan Kiev yang rela berkorban demi keselamatan dirinya. Sedangkan Agam, belum tentu pria itu mampu melakukan semua yang dilakukan Kiev untuknya. Sang jagad merah mulai menampakkan wajahnya dengan sinar hangat menerangi bumi. Daun-daun
"Lihatlah, asap yang mengepul itu!" Agam mengangkat sebelah tangannya kedepan. Tampak kepulan asap dengan bau yang menyengat berasal dari aroma daging panggang menusuk tajam ke dalam indera penciuman. Kembali Inara mempercepat langkahnya yang terseret, ketika tangannya ditarik dengan keras oleh Agam. Kakinya yang putih bersih melangkah melewati batu kerikil yang berdebu hingga separuh kakinya diselimuti debu jalanan yang kotor. Seonggok daging yang telah hangus terbakar, menjadi sumber asalnya bau menyengat itu. Inara menatap heran seraya melemparkan pandangannya ke sekeliling. Ia merasa tidak asing lagi dengan tempat itu, tetapi ia juga merasa ada yang berbeda. Namun, saat pandanganya melihat jelas rel kereta api yang hampir membuat nyawanya melayang, ia teringat akan peristiwa penyerangan Kiev yang dilakukan semalam. "Kau tahu daging yang hangus terbakar itu?" Agam bertanya dengan menatap intens ke arah wanita cantik di sampingnya, yang kemudian mendapatkan gelengan kepala sebaga
Entah karena Inara yang terlalu ingin melihat detik-detik kematian suaminya, ataukah Agam yang terlalu terbuai dengan bujuk rayu istrinya, hingga mereka tidak menyadari akan kehadiran seorang OB yang memasuki ruangan itu. Baru mereka tersadar ketika sendok yang hampir memasuki rongga mulut Agam, terjatuh bersamaan dengan jatuhnya rantang makanan dari tangan Inara. Sontak saja keduanya terkejut dan sama-sama memandang OB itu dengan berang. "Sialan! Beraninya kau berbuat kurang ajar padaku!" sentak Agam dengan murka. Wajah pria itu merah padam menatap tajam pada OB tersebut. Pria sederhana itupun menundukkan kepala dengan penuh hormat, berkali-kali meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya. Namun, tidak pernah mereka sadari dendam yang tersembunyi didalam hati pria OB tersebut. Beruntunglah Agam, karena atas perbuatan si OB, ia berhasil lolos dari maut yang tak disadarinya. Nasi dan lauk beracun itu kini telah berserakan di atas lantai, terpisah dari rantangnya. Atas permintaan
"Berhenti bergerak, dan lepaskan dia!" Sebuah suara penuh ketegasan terdengar dari arah belakang Elya, suara yang begitu mengejutkan seorang Elya Farzana hingga mengurungkan niatnya mendorong Inara. Ia memutar bola matanya ke seluruh tempat, berharap menemukan celah agar bisa menghindari beberapa polisi yang sedang berdiri tegap, bersiap meringkus dirinya. Secara tiba-tiba Elya menarik tubuh Inara yang masih berada dalam kukungannya, dengan posisi tubuh Inara berada di depannya, ia membalikkan badan menghadap para polisi itu. Pisau belati membentang tepat di depan leher Inara, cahayanya yang mengkilat di bawah terpaan sinar mentari menyilaukan indera penglihatan. Kedua mata Inara menatap pisau belati itu dengan penuh kepanikan, sedemikian dekatnya sehingga sedikit saja ia bergerak, maka dapat dipastikan pisau itu akan segera menusuk rongga tenggorokannya. Elya Farzana tidak segan-segan menggertak polisi ketika mereka hendak bergerak maju. Sebelah tangannya pun tanpa henti menodongka
Di dalam ruangan yang gelap, kurang lebih hanya berukuran dua meter persegi. Kiev duduk seorang diri, hanya seberkas cahaya remang dan bau apek bantal yang menemani kesendiriannya. Kerasnya kasur dan kasarnya selimut menyentuh kulitnya dengan akrab. Kiev yang saat ini sedang fokus mengotak-atik ponselnya, tanpa menghiraukan suara jangkrik di sudut kamar itu seolah sedang ingin bercerita padanya. Berkali-kali pria itu menarik napas kemudian membuangnya dengan kasar. Hatinya yang kesepian, seakan-akan tidak bisa menerima kenyataan. Dirinya dan Inara yang harus terpisah, akibat ulah sahabatnya sendiri yang kini telah resmi menjadi musuhnya. Bendera permusuhan telah berkibar dengan gagah di dalam relung jiwanya. "Kau boleh membenciku, Anny! Tapi ingat, harus selalu kau ingat, darahku mengalir pada tubuh putra kita!" Sayup-sayup terdengar suara Mang Ali di kejauhan, pria paruh baya itu sepertinya sedang marah pada lawan bicaranya di seberang. Ponsel yang ia tempelkan di telinganya, men
"Ma …! Mama …!" panggil tuan Zerga.Pria paruh baya itu menuruni anak tangga, dengan pandangan mengelilingi sekitarnya menembus gelapnya suasana. Langkah kakinya terdengar lembut di telinga Inara, berharap dapat mengalihkan perhatian Mang Ali dan Nyonya Anny. Inara yang merasa hidupnya terancam, perlahan mundur dengan posisi merangkak menuju tempat yang lebih gelap. Seketika Mang Ali dan Nyonya Anny panik, melarikan diri dan bersembunyi tidak mungkin mereka lakukan, pintu keluar terlampau jauh dibelakang. Sontak Nyonya Anny meraih sebuah silet yang kebetulan ada dalam sakunya, dengan sekali sayat, ia telah berhasil melukai sebelah pipinya. Kemudian menjatuhkan dirinya di atas lantai dan berpura-pura tak sadarkan diri. Tentu saja Mang Ali pun segera mengambil peran, tanpa kekurangan akal ia meninju wajahnya sendiri hingga babak belur dan pura-pura berteriak meminta tolong. Mang Ali mengguncang-guncang tubuh Nyonya Anny dengan suara penuh iba. Seakan-akan peristiwa mengerikan baru saj
Seketika wajah Amee berubah muram, permintaan Inara serasa membakar indera pendengarannya. Bagaimana mungkin dirinya dapat memenuhi harapan itu, jika selama ini Agam tidak pernah menginginkan anak darinya. Amee hanyalah sebuah pelampiasan semata bagi Agam. Selama ini, selama pernikahan mereka, tidak pernah sekalipun Agam benar-benar mencintai dirinya. Pria itu datang disaat membutuhkannya saja, kemudian pergi tanpa berbasa-basi. Sejak pertama kali mereka berhubungan badan hingga saat ini, tidak pernah sekalipun Agam membiarkan benih-benihnya bersemi dalam rahim Amee, meski sebenarnya wanita ini sangat menginginkannya. Inara berusaha memahami isi hati Amee, jujur, ia merasa sangat prihatin pada wanita yang kini sedang berdiri mematung di depannya. Terbayang dalam benak Inara, betapa letih dan kecewanya bercinta sebelah tangan. Cinta yang tidak pernah berbalas tentu akan sangat menyakitkan. Terbersit sebuah getaran dalam hati Inara, betapa besarnya cinta Agam untuknya sehingga pria i
Di RSU Bandung, seorang wanita cantik tampak duduk bersandar pada Bed pasien, ia baru saja selesai meminum obat yang telah menjadi rutinitas kesehariannya. Tanpa banyak bicara wanita itu memejamkan kedua matanya seraya mengangguk saat perawatnya membisikkan sesuatu sebelum pergi. "Hm," desahnya seraya menghela napas. Inara Alesha, wanita muda berwajah oval, kedua matanya indah bersinar dengan bulu mata lentik. Memiliki alis panjang dan tebal menghiasi wajahnya, serta bibirnya yang merah merekah memberikan kesan anggun pada senyumnya. Inara merasa jenuh dengan kesehariannya, selama bertahun-tahun wanita itu telah menghabiskan waktunya di rumah sakit. Semenjak kecelakaan tiga tahun lalu, membuatnya bergelut dengan suasana bising, berbagai keluhan orang-orang sakit dan aroma obat yang sangat menyengat menusuk hidung. Kecelakaan itu pula yang membuatnya kehilangan seluruh ingatannya. Telah bertahun-tahun wanita itu menempati ruangan rumah sakit itu, dan baru hari ini ia akan merasakan