"Lihatlah, asap yang mengepul itu!" Agam mengangkat sebelah tangannya kedepan.
Tampak kepulan asap dengan bau yang menyengat berasal dari aroma daging panggang menusuk tajam ke dalam indera penciuman. Kembali Inara mempercepat langkahnya yang terseret, ketika tangannya ditarik dengan keras oleh Agam. Kakinya yang putih bersih melangkah melewati batu kerikil yang berdebu hingga separuh kakinya diselimuti debu jalanan yang kotor.Seonggok daging yang telah hangus terbakar, menjadi sumber asalnya bau menyengat itu. Inara menatap heran seraya melemparkan pandangannya ke sekeliling. Ia merasa tidak asing lagi dengan tempat itu, tetapi ia juga merasa ada yang berbeda. Namun, saat pandanganya melihat jelas rel kereta api yang hampir membuat nyawanya melayang, ia teringat akan peristiwa penyerangan Kiev yang dilakukan semalam."Kau tahu daging yang hangus terbakar itu?" Agam bertanya dengan menatap intens ke arah wanita cantik di sampingnya, yang kemudian mendapatkan gelengan kepala sebagai jawabannya."Dia kekasihmu, dia Kiev!" Suara Agam membahana di tempat itu.Sontak Inara melompat secepat kilat, menghampiri onggokan daging itu. Antara percaya dan tidak, nyata ataukah mimpi, sungguh tidak mudah bagi Inara untuk menerima kenyataan ini. Mantan kekasih di masa lalunya telah menikahinya dengan paksa, bahkan dengan kejamnya telah membakar orang yang dicintainya hidup-hidup. Kini Inara merasa telah benar-benar kehilangan orang yang sangat dicintainya, seorang pria itu rela mati hanya demi untuknya.Ingin rasanya Inara mengumpat dan mencaci maki, serta mencakar mencabik-cabik tubuh Agam dengan kukunya yang runcing. Ia marah, kecewa dan sakit hati dengan perbuatan Agam yang tidak manusiawi. Namun, apa yang bisa dilakukan oleh Inara? Seorang wanita cantik yang tidak berdaya, yang hanya berasal dari masa lalu Agam. Ia juga tidak tahu apakah Agam masih mencintainya seperti dulu, ataukah hanya sekedar obsesi saja?<><><><><><><><><><><><>Beberapa bulan kemudian.Semenjak kenyataan pahit yang diterimanya, sebuah kenyataan yang membuatnya seolah melupakan keindahan dunia dan seluruh isinya. Inara menjalani hari dengan pasrah tanpa adanya cinta, karena ia merasa percuma mencintai ataupun dicintai jika akhirnya harus sama-sama terluka. Dengan segenap asa, Inara bertekad untuk menutup hati.Siang itu, cahaya matahari bersinar lebih panas dari biasanya. Cahayanya yang keemasan siap memanggang apapun yang berada dimuka bumi. Hari itu, adalah hari pertama Inara memberanikan diri untuk keluar dari mansion mewah itu, setelah keterpurukan yang selama ini melanda hatinya.Dengan menenteng sebuah rantang makanan, Inara pergi menemui Agam yang saat itu sedang sibuk mengurus segala sesuatu di kantornya. Terkadang, Agam menyadari jika dirinya membutuhkan orang seperti Kiev, yang mampu menghandle seluruh pekerjaannya. Namun, apalah daya, ego dan kecemburuan telah merasuki hatinya hingga menghancurkan tali persahabatan yang terjalin erat selama ini.Di dalam sebuah lift, Hampir saja tubuh Inara terhuyung dan membentur dinding lift ketika lantai yang dipijaknya bergerak naik.Beruntung, seorang pria berpakaian seragam Office Boy, segera menangkap tubuh Inara dan mendekapnya. Terasa di hati Inara sebuah rasa kedamaian ketika bola mata mereka saling menatap. Inara merasa ada sesuatu yang membuatnya agar tidak berpaling dari mata elang itu."M-maaf," ucap pria itu kemudian melepas tubuh Inara ketika telah kembali berdiri tegak.Baru saja Inara ingin menjawab, bersamaan dengan itu, pintu lift mulai terbuka. Pria itupun mengangkat kakinya kemudian melangkah pergi dengan cepat. Inara berniat mengejarnya, tetapi ia kehilangan jejak pria itu yang tiba-tiba menghilang di kerumunan para karyawan. Inara hanya ingin mengucapkan terima kasihnya kepada pria itu. Berkat pertolongan darinya, ia selamat.Entah mengapa Inara merasa sangat familiar dengan wajah pria itu, sedikit terlintas bayangan wajah Kiev pada wajahnya. Oleh karena itu, ia tidak ingin menyerah untuk mencari keberadaan pria itu. Inara menerobos segerombolan karyawan yang sedang bercakap-cakap dalam suasana pagi yang menenangkan."Tunggu!" panggil Inara dengan suara lantang, seolah menekan suasana sekitar.Sosok seorang pria bertubuh kekar dan tegap, dengan pakaian berwarna putih orange bertuliskan OB di bagian punggung bajunya, menghentikan langkah dengan tetap membelakangi Inara. Sebuah senyum yang tersembunyi terukir indah di bibir pria itu. Inara menatap dari jarak yang begitu dekat, ia menelisik seluruh bentuk tubuh pria itu dari belakang, sontak ia merasakan debaran yang sangat kuat di dalam dadanya.Pria yang berdiri membelakanginya, memang sangat mirip dengan Kiev. Namun, sekali lagi Inara menepis dugaan itu dan segera mengucapkan terimakasih. Ia tidak ingin lagi membuka luka yang belum sepenuhnya mengering, cukup ia tersiksa dalam setiap malamnya ketika ingatan tentang Kiev kembali menggoda pikirannya, membangkitkan kenangan mereka yang telah berlalu dan tak mungkin disemai lagi.Dada bidang pria itu kembang-kempis, begitu mendengar suara lembut yang selama ini dirindukannya. Ingin rasanya ia berbalik arah dan memeluk wanita cantik di belakangnya, tetapi tidak akan pernah bisa. Pria itu telah berjanji pada Tuhan dan pada dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan menunjukkan jati diri yang sebenarnya sebelum rencananya berhasil."Maafkan aku, Inara. Meskipun ingin tapi aku tidak bisa memelukmu, sebelum aku hancurkan Agam dan kekuasaannya!" bisik Pria itu setelah Inara pergi dengan langkah gontai karena tidak mendapatkan respon apapun dari pria itu.Sementara di dalam ruangannya, Agam sedang duduk di meja kerjanya. Ia terlihat begitu sibuk dengan tumpukan berkas-berkas yang menggunung di depannya. Berkali-kali Agam memijat keningnya yang tidak sakit, seluruh isi kepalanya seakan hendak meloncat keluar, berlarian dari tempatnya.Agam melirik dengan ekor matanya ketika mendengar suara daun pintu diketuk dari luar. Wajah yang sebelumnya ditekuk berubah bersinar, serta sudut bibirnya ditarik membuat sebuah senyuman. Baru pertama kalinya, selama beberapa bulan mereka menikah, Inara menyusulnya ke kantor dan membawakan makanan. Kebetulan saat itu, perut Agam telah berbunyi minta diisi.Setelah berbasa-basi sebentar, Inara menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman yang dipaksakan. Jika dilihat dengan seksama, maka terlihatlah air mata yang sengaja disembunyikan olehnya. Kedua tangan mulus wanita itu membuka rantang makanan itu dengan sangat hati-hati. Ia tidak boleh merusak momen yang telah terencana sejak jauh-jauh hari.Inara memasang senyum yang memabukkan, seraya mengangkat sendok yang telah terisi penuh dan hendak menyuapi Agam. Ia terpaksa melakukan itu hanya demi melihat Agam menikmati hidangan yang telah tercampur racun yang mematikan."Biarkan aku menjadi istri yang baik, agar aku dapat menyemai kembali cinta yang pernah pudar diantara kita," rayu Inara dengan nada suara yang meyakinkan.Baru pertama kalinya Inara berbicara dengan sangat ramah terhadap Agam, karena selama ini ia selalu menghindar. Dengan perlahan dan hati yang penuh was-was, Inara segera menyuapkan sesendok nasi beracun itu kepada Agam yang telah siap membuka mulutnya lebar-lebar.Entah karena Inara yang terlalu ingin melihat detik-detik kematian suaminya, ataukah Agam yang terlalu terbuai dengan bujuk rayu istrinya, hingga mereka tidak menyadari akan kehadiran seorang OB yang memasuki ruangan itu. Baru mereka tersadar ketika sendok yang hampir memasuki rongga mulut Agam, terjatuh bersamaan dengan jatuhnya rantang makanan dari tangan Inara. Sontak saja keduanya terkejut dan sama-sama memandang OB itu dengan berang. "Sialan! Beraninya kau berbuat kurang ajar padaku!" sentak Agam dengan murka. Wajah pria itu merah padam menatap tajam pada OB tersebut. Pria sederhana itupun menundukkan kepala dengan penuh hormat, berkali-kali meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya. Namun, tidak pernah mereka sadari dendam yang tersembunyi didalam hati pria OB tersebut. Beruntunglah Agam, karena atas perbuatan si OB, ia berhasil lolos dari maut yang tak disadarinya. Nasi dan lauk beracun itu kini telah berserakan di atas lantai, terpisah dari rantangnya. Atas permintaan
"Berhenti bergerak, dan lepaskan dia!" Sebuah suara penuh ketegasan terdengar dari arah belakang Elya, suara yang begitu mengejutkan seorang Elya Farzana hingga mengurungkan niatnya mendorong Inara. Ia memutar bola matanya ke seluruh tempat, berharap menemukan celah agar bisa menghindari beberapa polisi yang sedang berdiri tegap, bersiap meringkus dirinya. Secara tiba-tiba Elya menarik tubuh Inara yang masih berada dalam kukungannya, dengan posisi tubuh Inara berada di depannya, ia membalikkan badan menghadap para polisi itu. Pisau belati membentang tepat di depan leher Inara, cahayanya yang mengkilat di bawah terpaan sinar mentari menyilaukan indera penglihatan. Kedua mata Inara menatap pisau belati itu dengan penuh kepanikan, sedemikian dekatnya sehingga sedikit saja ia bergerak, maka dapat dipastikan pisau itu akan segera menusuk rongga tenggorokannya. Elya Farzana tidak segan-segan menggertak polisi ketika mereka hendak bergerak maju. Sebelah tangannya pun tanpa henti menodongka
Di dalam ruangan yang gelap, kurang lebih hanya berukuran dua meter persegi. Kiev duduk seorang diri, hanya seberkas cahaya remang dan bau apek bantal yang menemani kesendiriannya. Kerasnya kasur dan kasarnya selimut menyentuh kulitnya dengan akrab. Kiev yang saat ini sedang fokus mengotak-atik ponselnya, tanpa menghiraukan suara jangkrik di sudut kamar itu seolah sedang ingin bercerita padanya. Berkali-kali pria itu menarik napas kemudian membuangnya dengan kasar. Hatinya yang kesepian, seakan-akan tidak bisa menerima kenyataan. Dirinya dan Inara yang harus terpisah, akibat ulah sahabatnya sendiri yang kini telah resmi menjadi musuhnya. Bendera permusuhan telah berkibar dengan gagah di dalam relung jiwanya. "Kau boleh membenciku, Anny! Tapi ingat, harus selalu kau ingat, darahku mengalir pada tubuh putra kita!" Sayup-sayup terdengar suara Mang Ali di kejauhan, pria paruh baya itu sepertinya sedang marah pada lawan bicaranya di seberang. Ponsel yang ia tempelkan di telinganya, men
"Ma …! Mama …!" panggil tuan Zerga.Pria paruh baya itu menuruni anak tangga, dengan pandangan mengelilingi sekitarnya menembus gelapnya suasana. Langkah kakinya terdengar lembut di telinga Inara, berharap dapat mengalihkan perhatian Mang Ali dan Nyonya Anny. Inara yang merasa hidupnya terancam, perlahan mundur dengan posisi merangkak menuju tempat yang lebih gelap. Seketika Mang Ali dan Nyonya Anny panik, melarikan diri dan bersembunyi tidak mungkin mereka lakukan, pintu keluar terlampau jauh dibelakang. Sontak Nyonya Anny meraih sebuah silet yang kebetulan ada dalam sakunya, dengan sekali sayat, ia telah berhasil melukai sebelah pipinya. Kemudian menjatuhkan dirinya di atas lantai dan berpura-pura tak sadarkan diri. Tentu saja Mang Ali pun segera mengambil peran, tanpa kekurangan akal ia meninju wajahnya sendiri hingga babak belur dan pura-pura berteriak meminta tolong. Mang Ali mengguncang-guncang tubuh Nyonya Anny dengan suara penuh iba. Seakan-akan peristiwa mengerikan baru saj
Seketika wajah Amee berubah muram, permintaan Inara serasa membakar indera pendengarannya. Bagaimana mungkin dirinya dapat memenuhi harapan itu, jika selama ini Agam tidak pernah menginginkan anak darinya. Amee hanyalah sebuah pelampiasan semata bagi Agam. Selama ini, selama pernikahan mereka, tidak pernah sekalipun Agam benar-benar mencintai dirinya. Pria itu datang disaat membutuhkannya saja, kemudian pergi tanpa berbasa-basi. Sejak pertama kali mereka berhubungan badan hingga saat ini, tidak pernah sekalipun Agam membiarkan benih-benihnya bersemi dalam rahim Amee, meski sebenarnya wanita ini sangat menginginkannya. Inara berusaha memahami isi hati Amee, jujur, ia merasa sangat prihatin pada wanita yang kini sedang berdiri mematung di depannya. Terbayang dalam benak Inara, betapa letih dan kecewanya bercinta sebelah tangan. Cinta yang tidak pernah berbalas tentu akan sangat menyakitkan. Terbersit sebuah getaran dalam hati Inara, betapa besarnya cinta Agam untuknya sehingga pria i
Di RSU Bandung, seorang wanita cantik tampak duduk bersandar pada Bed pasien, ia baru saja selesai meminum obat yang telah menjadi rutinitas kesehariannya. Tanpa banyak bicara wanita itu memejamkan kedua matanya seraya mengangguk saat perawatnya membisikkan sesuatu sebelum pergi. "Hm," desahnya seraya menghela napas. Inara Alesha, wanita muda berwajah oval, kedua matanya indah bersinar dengan bulu mata lentik. Memiliki alis panjang dan tebal menghiasi wajahnya, serta bibirnya yang merah merekah memberikan kesan anggun pada senyumnya. Inara merasa jenuh dengan kesehariannya, selama bertahun-tahun wanita itu telah menghabiskan waktunya di rumah sakit. Semenjak kecelakaan tiga tahun lalu, membuatnya bergelut dengan suasana bising, berbagai keluhan orang-orang sakit dan aroma obat yang sangat menyengat menusuk hidung. Kecelakaan itu pula yang membuatnya kehilangan seluruh ingatannya. Telah bertahun-tahun wanita itu menempati ruangan rumah sakit itu, dan baru hari ini ia akan merasakan
Di tengah rasa penasarannya, Inara hanya bisa diam, sepanjang perjalanan yang ada di dalam pikirannya hanya satu pertanyaan. 'Siapa dia?' Dan hal itu membuat Inara terdiam, tidak sepatah katapun terucap dari bibirnya yang manis. Ia hanya diam dalam kebisuan. Kiev juga tidak ingin terlalu memaksakan keinginannya untuk berbincang lebih lama dengan Inara, karena ia tidak ingin memaksa rangsangan otak wanitanya yang bisa saja berakibat fatal. Kiev yakin meskipun hanya terlihat diam dalam kebisuan, Inara terus saja memutar otaknya untuk mengingat sesuatu atau memikirkan apa yang akan dilakukannya nanti. Tidak lama kemudian, mobil pun memasuki area resto 'THE S'QUAD', sebuah restoran mewah tempat Kiev melepas lapar dan dahaga bersama Agam ketika telah jenuh bekerja. Sesuai dengan perjanjiannya dengan Agam, mobilnya pun diparkir di sana. Seperti sebelumnya, Kiev kembali membukakan pintu mobil untuk Inara, dan menggandeng tangannya dengan mesra memasuki area resto. Mereka tampak serasi, tam
Inara menggerak-gerakkan kedua kaki dan tangannya bersamaan, ketika tubuhnya kembali di gendong oleh Agam. Ia meronta. Suara jeritannya menghiasi derap langkah pria itu, tetapi seakan tidak pernah terdengar sama sekali di telinganya. Sepuluh pasang mata menatap mereka dengan penuh tanda tanya, dengan berbagai pikiran di dalam kepalanya masing-masing. "Turunkan aku …!" pekik Inara dengan suara yang melengking tinggi. Bersamaan dengan tubuhnya yang melayang, kemudian terjatuh tepat diatas sebuah ranjang. Senyum tipis terpancar dari wajah pria itu, dengan tatapan mata yang penuh nafsu. Inara membalas dengan sorot mata penuh kebencian, ia merasa tidak terima atas perlakuan pria itu terhadap dirinya. "Mengapa kau membawaku kemari? Asal kau tahu, besok aku akan menikah!" Suara penuh emosi Inara disertai tangisannya, dengan kedua mata yang digenangi airmata menatap Agam dengan penuh kebencian. Inara mengumpulkan seluruh kekuatannya yang melemah, karena meronta-ronta sejak tadi. Perlahan