Roda-roda kecil itu terus berputar membawa mobil itu hingga terseret beberapa meter. membawa gerbongnya pergi menjauh, meninggalkan goresan-goresan hitam di permukaan rel. Suara bisingnya yang memekakkan telinga semakin lama semakin melemah, hingga tidak terdengar sama sekali. Suasana kembali sunyi mengheningkan sang malam. Membiarkan suara angin menyapa gendang telinga dengan syahdu.
Dibawah cahaya sang rembulan, tampak dua sosok manusia sedang terbaring tak berdaya diatas hamparan rumput disekitar rel kereta api. Baru saja mereka jatuh berguling-guling, demi menyelamatkan nyawa salah satu dari mereka. Sontak Kiev segera bangkit dengan menahan segala rasa sakit yang mendera tubuhnya, ia tidak perduli lagi dengan keadaan dirinya. Dengan susah payah ia berhasil menjangkau Inara yang terlempar agak jauh darinya, dengan segera Kiev meraih kepala wanita itu dan diletakkan dipangkuannya dengan penuh kasih sayang. Wajah ayu itu terlihat tenang seakan tanpa dosa dalam pingsannya."Inara … Inara, buka matamu, sayang!" panggil Kiev dengan begitu khawatir, sebelah tangannya mengguncang-guncang pipi Inara. namun, wanita itu tetap tak bergeming.Suara lembutnya memanggil nama kekasihnya dengan panik, kecemasan mulai menghantui pikirannya saat melihat mata wanita itu masih terpejam. Ia menggenggam erat jemari kekasihnya, seakan tak akan pernah terlepaskan lagi. Tatapan penuh kekhawatiran seakan tidak pernah bergeming memandangi wajah wanitanya.Ditengah kekhawatiran itu, perlahan Inara membuka kedua matanya dan memanggil nama Kiev dengan lemah. Namun, suara itu terdengar mesra menyapa gendang telinga Kiev, yang saat ini merasa sangat bersyukur kekasihnya telah tersadar dari pingsannya. Senyum kebahagiaan terukir jelas dibibir, mewakili suasana hatinya saat ini. Untuk sesaat mereka saling memandang, seolah ingin mencurahkan segala rasa yang terpendam."Maafkan aku, yang tak mampu menghindari pernikahan ini." Isak tangis Inara pecah seketika, menyesali apa yang telah terjadi. Sekalipun tidak pernah terpikirkan olehnya, menikah dengan pria yang sama sekali tidak dikenalnya.Kini wanita itu menyadari akan statusnya saat ini, dengan menatap gaun pengantin yang telah dikotori lumpur seakan menyayat pilu relung hatinya. Kiev memohon maaf atas semua yang telah terjadi, jika saja ia tidak menyanggupi permintaan Agam, tentu tragedi ini tidak akan pernah terjadi, semua peristiwa nelangsa itu berawal dari dirinya sendiri. Namun, apalah daya, nasi telah menjadi bubur, menyesal kemudian tiada berguna.Dari arah berlawanan tampak dua mobil mewah melaju dengan sangat cepat, merambat menembus gelapnya malam. Rupanya Agam beserta anak buahnya sedang mencari keberadaan Inara, dan berhenti tepat di samping dua insan yang saling mencintai. Seorang pria berwajah sangar turun dari dalam mobil dengan tampang yang sangat menyeramkan dalam kemarahannya. Agam mendapatkan informasi keberadaan Inara dan Kiev dari sebuah sumber rahasia."Tidak kusangka, selain hobimu menyembunyikan hak milik orang lain, kau juga memiliki hobi mencuri, Kiev!" Sentak Agam dalam amarah yang berkobar-kobar, kedua matanya membelalak hampir keluar.Melihat langkah pria itu semakin mendekat, Kiev segera berdiri dengan menyampingkan tubuh Inara kebelakang. Wanita itu tampak gelisah, tidak tahu apa yang harus dilakukan, yang jelas saat ini kedua tangannya tengah memeluk kekasihnya dari belakang. Sebuah pelukan yang seakan membuktikan kepada dunia jika mereka saling mencintai dan tak ingin terpisah.Kiev mengedarkan pandangannya ke sekeliling, saat ini anak buah Agam saat ini telah mengurungnya bersama Inara dalam lingkaran kebuasan. Tampak di tangan masing-masing memegang senjata, siap menyerang apapun yang menjadi sasaran mereka. Akan tetapi, itu semua tidak membuat Kiev takut dan menyerah, ia akan membuktikan janjinya saat ini juga.Pertarungan tak dapat dielakkan lagi, ketika menerima aba-aba dari tuan mereka, sontak anak buah Agam menyerang Kiev dengan pukulan bertubi-tubi. Kiev menghindari serangan-serangan itu seraya berusaha melindungi Inara yang masih setia bersamanya. Sesekali Kiev mengangkat tubuh Inara untuk membalas serangan musuhnya, agar wanita itu terhindar dari pukulan musuh."Akh …!" pekik Kiev ketika sebuah balok berhasil menghantam dadanya, seteguk cairan kental berwarna merah keluar dari dalam mulutnya, membuat pakaiannya bersimbah darah.Sebuah pergulatan yang tak seimbang, satu lawan sepuluh membuat Kiev terdesak dan akhirnya harus tumbang di medan pertempuran. Tubuh yang terkapar itu segera diseret menjauh dari Inara, agar mereka lebih leluasa menghajar bahkan menghabisi Kiev. Agam menikmati tragedi itu, dengan sebuah senyum kepuasan tanpa memperdulikan Inara yang memohon berlutut dikakinya.Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Inara selain melihat kekasihnya tersiksa ditangan para anak buah Agam. Air matanya membanjir seakan ikut mengemis secercah kebaikan dari pria itu, demi keselamatan orang terkasihnya. Hingga sebuah kata yang sama sekali tidak ingin terucap, keluar dari bibirnya yang bergetar ketakutan."Aku bersedia menghabiskan seluruh hidupku bersamamu, asal kau lepaskan kekasihku, hiks … hiks … hiks …," pinta Inara mengiba di sela isak tangisnya.Mendengar Inara menyebut Kiev dengan sebutan kekasih, membuat Agam menatapnya dengan tatapan nyalang. Pria itu menghunuskan sorotan mata tajam, siap menginterogasi. Ia merasa tidak terima Inara dengan cinta yang diberikan Inara terhadap Kiev Arion."Apa? Kau menyebutnya kekasih?" balas Agam bertanya, "lihatlah! Pria lemah yang tidak memiliki sedikit pun kekuasaan kau sebut dia kekasih?""Aku mencintainya, dia adalah jiwa keduaku, aku mohon biarkan dia hidup." Inara menangkupkan kedua tangannya didepan dada, berharap pria didepannya akan segera menyudahi perseteruan itu.Diujung jalan segerombolan anak buah Agam masih belum puas menyiksa Kiev yang semakin melemah. Suara teriakannya seolah hilang dibawa angin, tidak satu pun diantara mereka yang berbelas kasihan terhadap pria malang itu. Mendengar pengakuan Inara membuat Agam semakin murka, ia melangkah ke arah Kiev setelah mendorong Inara dari hadapannya dan membuat kepala Inara membentur pintu mobil.Inara memegangi bagian kepalanya, rasa sakit yang sungguh hebat ia rasakan bagaikan menghancurkan kepalanya. Inara menjerit-jerit, ia melihat seperti sebuah kaset rusak yang bergerak mundur didalam ingatannya. Reflek Inara menggapai spion mobil sebagai tempatnya bertahan agar tidak terjatuh. Tak lama kemudian rasa sakit itu pun mereda, dengan keringat dingin yang membanjiri tubuhnya, Inara menatap dengan kedua mata membulat ke arah Kiev"Aku ingat semuanya, Kiev!" teriaknya dengan suara lantang. Sontak saja kata-kata itu terdengar seperti gemuruh petir tanpa hujan, sebuah kata yang akan memberikan titik terang siapa Inara sebenarnya. Kata-kata yang mampu menggetarkan hati seseorang yang sedang bersembunyi dibalik kegelapan malam.Sejenak Agam tertegun dengan senyum tipis penuh harap, ia sangat yakin jika Inara pasti akan lebih memilih dirinya daripada Kiev yang hanyalah seorang karyawan biasa. Cinta masa lalu mereka yang pernah terjalin begitu indah, Sedikit membuatnya lupa akan kemarahan yang telah melanda hatinya. Pria itu berdiri dengan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, bersiap mendekap mesra tubuh wanita yang kini sedang berlari ke arahnya. Namun, semua itu ternyata hanyalah harapan belaka, karena pada detik berikutnya Inara berlari melewati Agam dan menembus kerumunan anak buahnya. Dengan segenap jiwa serta kebesaran kekuatan cinta, ia memeluk tubuh Kiev yang telah bersimbah darah. Inara menyatakan bahwa cintanya terhadap pria itu jauh lebih besar daripada terhadap Agam yang merupakan cinta pertamanya. "B-benarkah, yang aku dengar ini? K-kau tidak akan meninggalkanku?" Kiev bertanya dengan suara sedikit mengerang menahan rasa sakit. Senyum kebahagiaan terulas di bibirnya yang dipenuhi darah, ra
Kebencian telah menyelimuti hati inara, wanita yang dulunya sangat lembut dan penuh perhatian terhadap sesama, kini telah membaja akibat dari semua peristiwa yang dialaminya. Inara yang dulu sangatlah lugu, kini menjadi pribadi yang selalu curiga dan tidak mudah percaya terhadap siapapun. Alasan satu-satunya mengapa ia bertahan dalam permainan ini, hanyalah satu, yaitu mengungkap kebenaran dan membalaskan dendamnya pada seorang wanita yang telah menyebabkan kehancuran dalam hidupnya. Akan tetapi, dengan semua peristiwa itu ia bersyukur, berkat kecelakaan yang menimpanya tiga tahun lalu, ia dipertemukan dengan seorang pria yang benar-benar mencintai dirinya tanpa syarat. Kiev yang selalu ada untuknya, Kiev yang selalu menjaganya, dan Kiev yang rela berkorban demi keselamatan dirinya. Sedangkan Agam, belum tentu pria itu mampu melakukan semua yang dilakukan Kiev untuknya. Sang jagad merah mulai menampakkan wajahnya dengan sinar hangat menerangi bumi. Daun-daun
"Lihatlah, asap yang mengepul itu!" Agam mengangkat sebelah tangannya kedepan. Tampak kepulan asap dengan bau yang menyengat berasal dari aroma daging panggang menusuk tajam ke dalam indera penciuman. Kembali Inara mempercepat langkahnya yang terseret, ketika tangannya ditarik dengan keras oleh Agam. Kakinya yang putih bersih melangkah melewati batu kerikil yang berdebu hingga separuh kakinya diselimuti debu jalanan yang kotor. Seonggok daging yang telah hangus terbakar, menjadi sumber asalnya bau menyengat itu. Inara menatap heran seraya melemparkan pandangannya ke sekeliling. Ia merasa tidak asing lagi dengan tempat itu, tetapi ia juga merasa ada yang berbeda. Namun, saat pandanganya melihat jelas rel kereta api yang hampir membuat nyawanya melayang, ia teringat akan peristiwa penyerangan Kiev yang dilakukan semalam. "Kau tahu daging yang hangus terbakar itu?" Agam bertanya dengan menatap intens ke arah wanita cantik di sampingnya, yang kemudian mendapatkan gelengan kepala sebaga
Entah karena Inara yang terlalu ingin melihat detik-detik kematian suaminya, ataukah Agam yang terlalu terbuai dengan bujuk rayu istrinya, hingga mereka tidak menyadari akan kehadiran seorang OB yang memasuki ruangan itu. Baru mereka tersadar ketika sendok yang hampir memasuki rongga mulut Agam, terjatuh bersamaan dengan jatuhnya rantang makanan dari tangan Inara. Sontak saja keduanya terkejut dan sama-sama memandang OB itu dengan berang. "Sialan! Beraninya kau berbuat kurang ajar padaku!" sentak Agam dengan murka. Wajah pria itu merah padam menatap tajam pada OB tersebut. Pria sederhana itupun menundukkan kepala dengan penuh hormat, berkali-kali meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya. Namun, tidak pernah mereka sadari dendam yang tersembunyi didalam hati pria OB tersebut. Beruntunglah Agam, karena atas perbuatan si OB, ia berhasil lolos dari maut yang tak disadarinya. Nasi dan lauk beracun itu kini telah berserakan di atas lantai, terpisah dari rantangnya. Atas permintaan
"Berhenti bergerak, dan lepaskan dia!" Sebuah suara penuh ketegasan terdengar dari arah belakang Elya, suara yang begitu mengejutkan seorang Elya Farzana hingga mengurungkan niatnya mendorong Inara. Ia memutar bola matanya ke seluruh tempat, berharap menemukan celah agar bisa menghindari beberapa polisi yang sedang berdiri tegap, bersiap meringkus dirinya. Secara tiba-tiba Elya menarik tubuh Inara yang masih berada dalam kukungannya, dengan posisi tubuh Inara berada di depannya, ia membalikkan badan menghadap para polisi itu. Pisau belati membentang tepat di depan leher Inara, cahayanya yang mengkilat di bawah terpaan sinar mentari menyilaukan indera penglihatan. Kedua mata Inara menatap pisau belati itu dengan penuh kepanikan, sedemikian dekatnya sehingga sedikit saja ia bergerak, maka dapat dipastikan pisau itu akan segera menusuk rongga tenggorokannya. Elya Farzana tidak segan-segan menggertak polisi ketika mereka hendak bergerak maju. Sebelah tangannya pun tanpa henti menodongka
Di dalam ruangan yang gelap, kurang lebih hanya berukuran dua meter persegi. Kiev duduk seorang diri, hanya seberkas cahaya remang dan bau apek bantal yang menemani kesendiriannya. Kerasnya kasur dan kasarnya selimut menyentuh kulitnya dengan akrab. Kiev yang saat ini sedang fokus mengotak-atik ponselnya, tanpa menghiraukan suara jangkrik di sudut kamar itu seolah sedang ingin bercerita padanya. Berkali-kali pria itu menarik napas kemudian membuangnya dengan kasar. Hatinya yang kesepian, seakan-akan tidak bisa menerima kenyataan. Dirinya dan Inara yang harus terpisah, akibat ulah sahabatnya sendiri yang kini telah resmi menjadi musuhnya. Bendera permusuhan telah berkibar dengan gagah di dalam relung jiwanya. "Kau boleh membenciku, Anny! Tapi ingat, harus selalu kau ingat, darahku mengalir pada tubuh putra kita!" Sayup-sayup terdengar suara Mang Ali di kejauhan, pria paruh baya itu sepertinya sedang marah pada lawan bicaranya di seberang. Ponsel yang ia tempelkan di telinganya, men
"Ma …! Mama …!" panggil tuan Zerga.Pria paruh baya itu menuruni anak tangga, dengan pandangan mengelilingi sekitarnya menembus gelapnya suasana. Langkah kakinya terdengar lembut di telinga Inara, berharap dapat mengalihkan perhatian Mang Ali dan Nyonya Anny. Inara yang merasa hidupnya terancam, perlahan mundur dengan posisi merangkak menuju tempat yang lebih gelap. Seketika Mang Ali dan Nyonya Anny panik, melarikan diri dan bersembunyi tidak mungkin mereka lakukan, pintu keluar terlampau jauh dibelakang. Sontak Nyonya Anny meraih sebuah silet yang kebetulan ada dalam sakunya, dengan sekali sayat, ia telah berhasil melukai sebelah pipinya. Kemudian menjatuhkan dirinya di atas lantai dan berpura-pura tak sadarkan diri. Tentu saja Mang Ali pun segera mengambil peran, tanpa kekurangan akal ia meninju wajahnya sendiri hingga babak belur dan pura-pura berteriak meminta tolong. Mang Ali mengguncang-guncang tubuh Nyonya Anny dengan suara penuh iba. Seakan-akan peristiwa mengerikan baru saj
Seketika wajah Amee berubah muram, permintaan Inara serasa membakar indera pendengarannya. Bagaimana mungkin dirinya dapat memenuhi harapan itu, jika selama ini Agam tidak pernah menginginkan anak darinya. Amee hanyalah sebuah pelampiasan semata bagi Agam. Selama ini, selama pernikahan mereka, tidak pernah sekalipun Agam benar-benar mencintai dirinya. Pria itu datang disaat membutuhkannya saja, kemudian pergi tanpa berbasa-basi. Sejak pertama kali mereka berhubungan badan hingga saat ini, tidak pernah sekalipun Agam membiarkan benih-benihnya bersemi dalam rahim Amee, meski sebenarnya wanita ini sangat menginginkannya. Inara berusaha memahami isi hati Amee, jujur, ia merasa sangat prihatin pada wanita yang kini sedang berdiri mematung di depannya. Terbayang dalam benak Inara, betapa letih dan kecewanya bercinta sebelah tangan. Cinta yang tidak pernah berbalas tentu akan sangat menyakitkan. Terbersit sebuah getaran dalam hati Inara, betapa besarnya cinta Agam untuknya sehingga pria i