"Terimakasih, tuan Agam yang terhormat," gumam Kiev menahan amarah dengan mengatupkan rahangnya, "tetapi harga diriku tidak akan pernah bisa kau beli dengan hartamu!"
Bersamaan dengan ucapan Kiev, kertas cek itu melayang kembali dan mengenai tepat di wajah Agam. Hingga mati pun Kiev akan tetap memperjuangkan kehormatannya agar tidak diinjak-injak oleh Agam. Inara, merupakan sebuah kehormatan terbesar yang harus diperjuangkan. Meskipun harus kehilangan nyawa sekalipun ia akan tetap mempertahankannya.Kiev maju satu langkah lalu kedua tangannya mencekal krah jas pengantin pria itu. Kini jarak keduanya sangat dekat dengan sorot mata yang saling menatap tajam. Agam tidak tinggal diam, tangannya menyentuh dada Kiev dan mendorongnya kebelakang hingga pria itu sedikit terpental.Maka aksi saling mendorong pun di mulai, tanpa ada yang mau mengalah. Hingga pada akhirnya mereka mulai memukul dan beradu tinju, sepak terjang mereka sama kuat hingga tidak satu pun serangan yang berhasil mendarat ditubuh masing-masing. Namun, pada detik berikutnya kedua pengawal Agam berhasil meringkus kedua tangan Kiev dan menahannya, dengan begitu, Agam lebih leluasa mendaratkan beberapa pukulan di tubuh Kiev hingga membuatnya babak belur. Agam berhasil mengalahkan Kiev dengan kecurangan."Kau menolak satu pemberianku, maka aku aku berikan hadiah yang lainnya!" geram Agam seraya kembali mendaratkan beberapa pukulan di wajah Kiev, dan satu tendangan yang sangat keras mengenai perutnya.Wajah tampan itu pun kini telah dipenuhi darah, seluruh tubuhnya mengalami luka-luka. Kiev membuka sedikit mulutnya dan keluarlah sebuah suara erangan kesakitan. Wajahnya meringis menahan rasa panas dan perih yang menjalari seluruh tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang melanda hatinya.Semua itu terekam dengan jelas dalam memori ingatan si pengantin wanita. Hal itu, membuatnya memutuskan untuk selalu membenci Agam dan tidak akan pernah memaafkannya. Airmata yang mengalir seakan menjadi saksi tragedi cintanya dan Kiev. Sebuah tragedi yang membuat hati pilu melihatnya."Tidak …! Hentikan …!" Suara Inara melengking keras kemudian hendak berlari mendekati Kiev, rasanya ia tidak dapat membiarkan orang terkasihnya tersakiti begitu saja.Inara mengumpulkan seluruh keberanian dalam dirinya dengan sisa-sisa airmata yang masih terus bergulir. Ia mengayunkan kakinya dengan hati penuh nestapa, ke arah pria yang sangat ia cintai. Tatapannya yang syahdu, membuat Inara ingin segera memeluknya, memberikan seluruh cinta yang seharusnya ia miliki. Namun, seketika tubuhnya di cekal oleh salah satu istri Agam dan membawanya pergi dari tempat itu. Suara erangan Kiev serta bunyi pukulan yang bertubi-tubi memenuhi ballroom. Suasana yang sebelumnya penuh dengan suka-cita kini telah menegang.Satu persatu dari orang-orang yang menghadiri pernikahan mendadak itu kini telah pergi, dan hanya tinggallah Kiev dan Agam serta beberapa anak buahnya yang siap menyeret Kiev keluar mansion. Dengan tubuh lunglai di penuhi luka yang terus mengucur darah, Kiev terpental hingga di luar mansion ketika tendangan keras dari Agam mendarat di tubuhnya. Kini ia terkapar tidak berdaya, dengan cinta yang terus membara didalam hatinya. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~Sang jagad merah telah kembali keperaduannnya, membawa siang bersamanya dan meninggalkan malam sebagai jejak. Desir angin malam ini berhembus lebih kencang, dari malam-malam biasanya. Memberikan sensasi dingin menusuk tulang, mengajak semua insan dimuka bumi supaya terlena dalam rayuannya.Suasana didalam mansion telah sepi, hanya terlihat beberapa istri Agam sedang berdiri dengan kepala yang tertunduk. Sedangkan di luar mansion tampak seorang pria sedang menyeret langkahnya, meskipun rasa sakit sangat menyiksa tubuhnya, ia tetap berjalan dengan satu tujuan yang pasti. Sebuah nyawa harus diselamatkan saat itu juga."Dimana, Inara?" tanya Agam dengan tatapan Nanar ketika tidak menemukan apa yang ia cari dikamar pengantinnya.Keenam istrinya terdiam dengan kepala yang tertunduk, tidak satupun yang berani berbicara. Napas keenam wanita itu naik-turun seirama dengan detak jantung mereka yang berdegup kencang. Keenam istrinya lebih memilih diam ketika pria itu dalam keadaan marah."Bedebah! Siapa yang berani bermain-main denganku?" Agam membanting segala sesuatu yang berada didekatnya, "tidak akan aku ampuni siapa pun orangnya, aku pastikan akan lenyap ditanganku!"Jauh di luar sana tampak seorang wanita cantik bergaun putih sedang meronta-ronta, air matanya terus saja mengalir menemani pandangannya yang tertuju ke arah ujung rel kereta api. Harap-harap cemas sedang melanda hatinya, tetapi ia berusaha agar tetap tenang. Inara berusaha mencari benda tajam untuk memotong tali yang mengikat erat kedua tangan dan kakinya. Ia menggeser duduknya mendekati jendela mobil, dengan menggunakan siku lengannya Inara memecahkan kaca jendela mobil yang sedang terkunci. Setelah bersusah payah mengangkat kedua tangannya, ia pun menggesek-gesekkan tali yang mengikat erat pergelangan tangannya pada pecahan kaca jendela mobil, berharap akan segera terlepas.'Ya Tuhan, bantulah aku,' batinnya.Deru napasnya terengah-engah dan tidak mungkin baginya berteriak meminta pertolongan, dalam keadaan mulut yang tersumpal, tetapi Inara tidak putus asa ia terus berusaha membebaskan diri. Perlahan mulai terdengar bunyi gemuruh kereta api dari kejauhan, Inara melebarkan kelopak matanya antara rasa takut dan panik mulai merasuki jiwanya. Namun, ia tetap berusaha melepaskan tali itu meskipun kini nyawanya bagaikan sebutir telur diujung tanduk.Semakin lama bunyi gemuruh kereta api semakin mendekat, getarannya di permukaan rel semakin terasa menggetarkan badan mobil. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh wanita itu, seolah ingin mengatakan kalimat perpisahan pada raganya, sebelum nyawanya melayang di bawah lindasan roda kereta api. Inara memejamkan kedua matanya, ketika sinar menyilaukan tepat mengenai wajahnya.'Maafkan aku, Kiev! Mungkin harus berakhir sampai disini kisah cinta kita,' batinnya.Inara terlihat pasrah setelah ia tahu usahanya akan berakhir sia-sia, dengan kedua mata yang masih terpejam ia mulai duduk dengan tenang menantikan maut memisahkan jiwa dan raganya. Ia mencoba mengingat semua kenangan manis bersama Kiev, saat mereka bersama di rumah sakit hingga acara foto prewedding, mengingat semua itu senyum kepasrahan tergores diwajah cantiknya. Setidaknya ia akan pergi dengan membawa seluruh kenangan manisnya bersama pria itu.'Terimakasih Kiev, terimakasih atas semua cinta yang kau berikan padaku, maafkan aku yang tak mungkin membalasnya,' Inara bermonolog ketika kereta kian semakin mendekat. Suara bisingnya seakan memekakkan telinga, bentuknya yang besar dan panjang bagaikan seekor monster yang siap melahap apapun yang berada didepannya.Roda-roda kecil itu terus berputar membawa mobil itu hingga terseret beberapa meter. membawa gerbongnya pergi menjauh, meninggalkan goresan-goresan hitam di permukaan rel. Suara bisingnya yang memekakkan telinga semakin lama semakin melemah, hingga tidak terdengar sama sekali. Suasana kembali sunyi mengheningkan sang malam. Membiarkan suara angin menyapa gendang telinga dengan syahdu. Dibawah cahaya sang rembulan, tampak dua sosok manusia sedang terbaring tak berdaya diatas hamparan rumput disekitar rel kereta api. Baru saja mereka jatuh berguling-guling, demi menyelamatkan nyawa salah satu dari mereka. Sontak Kiev segera bangkit dengan menahan segala rasa sakit yang mendera tubuhnya, ia tidak perduli lagi dengan keadaan dirinya. Dengan susah payah ia berhasil menjangkau Inara yang terlempar agak jauh darinya, dengan segera Kiev meraih kepala wanita itu dan diletakkan dipangkuannya dengan penuh kasih sayang. Wajah ayu itu terlihat tenang seakan tanpa dosa dalam pingsannya. "Inara …
Sejenak Agam tertegun dengan senyum tipis penuh harap, ia sangat yakin jika Inara pasti akan lebih memilih dirinya daripada Kiev yang hanyalah seorang karyawan biasa. Cinta masa lalu mereka yang pernah terjalin begitu indah, Sedikit membuatnya lupa akan kemarahan yang telah melanda hatinya. Pria itu berdiri dengan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, bersiap mendekap mesra tubuh wanita yang kini sedang berlari ke arahnya. Namun, semua itu ternyata hanyalah harapan belaka, karena pada detik berikutnya Inara berlari melewati Agam dan menembus kerumunan anak buahnya. Dengan segenap jiwa serta kebesaran kekuatan cinta, ia memeluk tubuh Kiev yang telah bersimbah darah. Inara menyatakan bahwa cintanya terhadap pria itu jauh lebih besar daripada terhadap Agam yang merupakan cinta pertamanya. "B-benarkah, yang aku dengar ini? K-kau tidak akan meninggalkanku?" Kiev bertanya dengan suara sedikit mengerang menahan rasa sakit. Senyum kebahagiaan terulas di bibirnya yang dipenuhi darah, ra
Kebencian telah menyelimuti hati inara, wanita yang dulunya sangat lembut dan penuh perhatian terhadap sesama, kini telah membaja akibat dari semua peristiwa yang dialaminya. Inara yang dulu sangatlah lugu, kini menjadi pribadi yang selalu curiga dan tidak mudah percaya terhadap siapapun. Alasan satu-satunya mengapa ia bertahan dalam permainan ini, hanyalah satu, yaitu mengungkap kebenaran dan membalaskan dendamnya pada seorang wanita yang telah menyebabkan kehancuran dalam hidupnya. Akan tetapi, dengan semua peristiwa itu ia bersyukur, berkat kecelakaan yang menimpanya tiga tahun lalu, ia dipertemukan dengan seorang pria yang benar-benar mencintai dirinya tanpa syarat. Kiev yang selalu ada untuknya, Kiev yang selalu menjaganya, dan Kiev yang rela berkorban demi keselamatan dirinya. Sedangkan Agam, belum tentu pria itu mampu melakukan semua yang dilakukan Kiev untuknya. Sang jagad merah mulai menampakkan wajahnya dengan sinar hangat menerangi bumi. Daun-daun
"Lihatlah, asap yang mengepul itu!" Agam mengangkat sebelah tangannya kedepan. Tampak kepulan asap dengan bau yang menyengat berasal dari aroma daging panggang menusuk tajam ke dalam indera penciuman. Kembali Inara mempercepat langkahnya yang terseret, ketika tangannya ditarik dengan keras oleh Agam. Kakinya yang putih bersih melangkah melewati batu kerikil yang berdebu hingga separuh kakinya diselimuti debu jalanan yang kotor. Seonggok daging yang telah hangus terbakar, menjadi sumber asalnya bau menyengat itu. Inara menatap heran seraya melemparkan pandangannya ke sekeliling. Ia merasa tidak asing lagi dengan tempat itu, tetapi ia juga merasa ada yang berbeda. Namun, saat pandanganya melihat jelas rel kereta api yang hampir membuat nyawanya melayang, ia teringat akan peristiwa penyerangan Kiev yang dilakukan semalam. "Kau tahu daging yang hangus terbakar itu?" Agam bertanya dengan menatap intens ke arah wanita cantik di sampingnya, yang kemudian mendapatkan gelengan kepala sebaga
Entah karena Inara yang terlalu ingin melihat detik-detik kematian suaminya, ataukah Agam yang terlalu terbuai dengan bujuk rayu istrinya, hingga mereka tidak menyadari akan kehadiran seorang OB yang memasuki ruangan itu. Baru mereka tersadar ketika sendok yang hampir memasuki rongga mulut Agam, terjatuh bersamaan dengan jatuhnya rantang makanan dari tangan Inara. Sontak saja keduanya terkejut dan sama-sama memandang OB itu dengan berang. "Sialan! Beraninya kau berbuat kurang ajar padaku!" sentak Agam dengan murka. Wajah pria itu merah padam menatap tajam pada OB tersebut. Pria sederhana itupun menundukkan kepala dengan penuh hormat, berkali-kali meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya. Namun, tidak pernah mereka sadari dendam yang tersembunyi didalam hati pria OB tersebut. Beruntunglah Agam, karena atas perbuatan si OB, ia berhasil lolos dari maut yang tak disadarinya. Nasi dan lauk beracun itu kini telah berserakan di atas lantai, terpisah dari rantangnya. Atas permintaan
"Berhenti bergerak, dan lepaskan dia!" Sebuah suara penuh ketegasan terdengar dari arah belakang Elya, suara yang begitu mengejutkan seorang Elya Farzana hingga mengurungkan niatnya mendorong Inara. Ia memutar bola matanya ke seluruh tempat, berharap menemukan celah agar bisa menghindari beberapa polisi yang sedang berdiri tegap, bersiap meringkus dirinya. Secara tiba-tiba Elya menarik tubuh Inara yang masih berada dalam kukungannya, dengan posisi tubuh Inara berada di depannya, ia membalikkan badan menghadap para polisi itu. Pisau belati membentang tepat di depan leher Inara, cahayanya yang mengkilat di bawah terpaan sinar mentari menyilaukan indera penglihatan. Kedua mata Inara menatap pisau belati itu dengan penuh kepanikan, sedemikian dekatnya sehingga sedikit saja ia bergerak, maka dapat dipastikan pisau itu akan segera menusuk rongga tenggorokannya. Elya Farzana tidak segan-segan menggertak polisi ketika mereka hendak bergerak maju. Sebelah tangannya pun tanpa henti menodongka
Di dalam ruangan yang gelap, kurang lebih hanya berukuran dua meter persegi. Kiev duduk seorang diri, hanya seberkas cahaya remang dan bau apek bantal yang menemani kesendiriannya. Kerasnya kasur dan kasarnya selimut menyentuh kulitnya dengan akrab. Kiev yang saat ini sedang fokus mengotak-atik ponselnya, tanpa menghiraukan suara jangkrik di sudut kamar itu seolah sedang ingin bercerita padanya. Berkali-kali pria itu menarik napas kemudian membuangnya dengan kasar. Hatinya yang kesepian, seakan-akan tidak bisa menerima kenyataan. Dirinya dan Inara yang harus terpisah, akibat ulah sahabatnya sendiri yang kini telah resmi menjadi musuhnya. Bendera permusuhan telah berkibar dengan gagah di dalam relung jiwanya. "Kau boleh membenciku, Anny! Tapi ingat, harus selalu kau ingat, darahku mengalir pada tubuh putra kita!" Sayup-sayup terdengar suara Mang Ali di kejauhan, pria paruh baya itu sepertinya sedang marah pada lawan bicaranya di seberang. Ponsel yang ia tempelkan di telinganya, men
"Ma …! Mama …!" panggil tuan Zerga.Pria paruh baya itu menuruni anak tangga, dengan pandangan mengelilingi sekitarnya menembus gelapnya suasana. Langkah kakinya terdengar lembut di telinga Inara, berharap dapat mengalihkan perhatian Mang Ali dan Nyonya Anny. Inara yang merasa hidupnya terancam, perlahan mundur dengan posisi merangkak menuju tempat yang lebih gelap. Seketika Mang Ali dan Nyonya Anny panik, melarikan diri dan bersembunyi tidak mungkin mereka lakukan, pintu keluar terlampau jauh dibelakang. Sontak Nyonya Anny meraih sebuah silet yang kebetulan ada dalam sakunya, dengan sekali sayat, ia telah berhasil melukai sebelah pipinya. Kemudian menjatuhkan dirinya di atas lantai dan berpura-pura tak sadarkan diri. Tentu saja Mang Ali pun segera mengambil peran, tanpa kekurangan akal ia meninju wajahnya sendiri hingga babak belur dan pura-pura berteriak meminta tolong. Mang Ali mengguncang-guncang tubuh Nyonya Anny dengan suara penuh iba. Seakan-akan peristiwa mengerikan baru saj