Kebencian telah menyelimuti hati inara, wanita yang dulunya sangat lembut dan penuh perhatian terhadap sesama, kini telah membaja akibat dari semua peristiwa yang dialaminya. Inara yang dulu sangatlah lugu, kini menjadi pribadi yang selalu curiga dan tidak mudah percaya terhadap siapapun. Alasan satu-satunya mengapa ia bertahan dalam permainan ini, hanyalah satu, yaitu mengungkap kebenaran dan membalaskan dendamnya pada seorang wanita yang telah menyebabkan kehancuran dalam hidupnya.
Akan tetapi, dengan semua peristiwa itu ia bersyukur, berkat kecelakaan yang menimpanya tiga tahun lalu, ia dipertemukan dengan seorang pria yang benar-benar mencintai dirinya tanpa syarat. Kiev yang selalu ada untuknya, Kiev yang selalu menjaganya, dan Kiev yang rela berkorban demi keselamatan dirinya. Sedangkan Agam, belum tentu pria itu mampu melakukan semua yang dilakukan Kiev untuknya. <><><><><><><><><><><><>Sang jagad merah mulai menampakkan wajahnya dengan sinar hangat menerangi bumi. Daun-daun melati menjatuhkan setetes embun yang berdiri tegak di pucuknya, berkilauan diterpa sinar kehidupan. Merdunya desir angin terasa begitu lembut menyapa kalbu. Inara merentangkan kedua tangannya ke samping, menggeliat di atas ranjang yang empuk. Ia menekuk lehernya kekanan dan kekiri bergantian, menghilangkan rasa letih peristiwa semalam. Tiba-tiba terlintas di benaknya, tentang apa yang telah terjadi pada dirinya dan Kiev. Inara diam terpaku dengan mempertajam indera pendengarannya, suara yang membuatnya muak terdengar begitu jelas dibalik pintu. Suara rentetan tawa kepuasan keluar dari mulut seorang buaya darat, terdengar begitu menyeramkan. Darah Inara berdesir, hatinya seakan remuk bagaikan kaca yang telah jatuh dan hancur berkeping-keping. "Kiev …!" teriaknya histeris saat mendengar kabar kekasihnya telah tiada. Dalam sekejap air mata telah bersimbah mengalir deras di kedua pipinya. Kabar duka ini membuat Inara kehilangan separuh jiwanya, hingga bersimpuh di lantai meratapi kepergian Kiev. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, bahwa pertemuannya semalam adalah pertemuan terakhir yang memilukan. Sepasang kaki yang kekar penuh otot menonjol, terlihat mendekat dari balik pintu yang telah terbuka. Sontak Inara menengadahkan kepalanya, menatap tajam penuh kebencian terhadap pria yang berdiri dengan angkuh didepannya. Ingin rasanya ia berdiri dan melenyapkan nyawa pria itu seperti apa yang telah dilakukannya terhadap Kiev. "Semua ini aku lakukan agar kau sadar, bahwa dirimu hanyalah milikku. Hanya aku yang pantas kau cintai di dalam hatimu dan seumur hidupmu!" Agam berkata seraya terus mendekati Inara. Kedua bola mata pria itu bergulir dari atas ke bawah berkali-kali, dengan raut wajah penuh hasrat. Beberapa kali jakunnya turun naik ketika jarak mereka sedemikian dekat. Kecantikan Inara seolah mengandung magnet yang siap menarik apa saja yang berada di dekatnya. Rasa marah, kecewa dan panik berbaur menjadi satu dalam hati Inara. Tangannya yang putih mulus bergerak seakan menarik dirinya kebelakang, berusaha menghindar dari sentuhan Agam. Kini deru napasnya turun naik menggerakkan bongkahan dadanya yang semakin membuat pria itu semakin ingin mendekatinya. Sontak sebelah kaki Inara bergerak cepat dilayangkan dengan kuat ke arah depan. Wajah Agam merah padam ketika merasakan rudalnya seakan patah akibat sentuhan keras yang diberikan oleh Inara. Secepat kilat wanita cantik itu, segera beranjak keluar dari kamar itu, demi menyelamatkan diri dari Agam. Langkahnya terhenti seketika, dengan dada yang sangat bergemuruh. Mulutnya seakan terkunci menatap sosok wanita di depannya. Kembali teringat dalam benak Inara perbuatan wanita itu dimasa lalu. "Selamat datang, Inara. Selamat menjalani harimu dengan indah di mansion ini!" Kata-kata penuh penekanan terucap dari bibir merah Elya Farzana. Tatapan yang sama seperti semalam, kembali didapatkan oleh Inara. Raut wajah yang tidak bersahabat seakan hendak melenyapkannya dari dunia ini. Inara menarik sebelah sudut bibirnya menatap ujung pakaian Elya yang terdapat noda lumpur di bagian bawahnya. Kini ia mulai mengerti, mengapa Kiev melarangnya untuk mengakui kalau ingatannya telah kembali. Jika tidak, mungkin ia akan berada dalam sebuah masalah besar. Seolah kedua orang yang tidak saling kenal, Inara menjawab setiap pertanyaan wanita di depannya. Seorang pria paruh baya melangkahkan kakinya dengan begitu cepat, dimana tatapannya lurus ke arah Inara. Pandangannya menghunus bagaikan sebuah busur, yang siap menancap pada targetnya. Dengan pakaian yang masih terdapat bercak darah di salah satu sisinya, pria itu berdiri tepat di depan Inara. "Dimana, tuan Ag–," Baru saja suara serak pria paruh baya itu hendak bertanya kepada Elya, dari arah belakang terdengar sebuah suara tegas yang menggelegar menyebut nama pria itu. "Mang Ali!" Tanpa diperintah pria yang bernama Mang Ali itupun, segera mendekatinya dengan tatapan penuh kasih sayang. Agam berusaha berdiri tegak, meskipun rudalnya masih sedikit terasa panas dan berdenyut akibat tendangan Inara. Dikarenakan keberadaan mereka yang begitu berjarak, sehingga Inara tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Indera pendengarannya hanya menangkap suara Agam memuji Mang Ali. Tampak sebuah rona kepuasan diwajah kedua pria itu, membuat Inara semakin curiga. Apakah pria itu adalah orang yang sebelumnya menghubungi Agam? Inara mengamati pakaian pria itu, terdapat begitu banyak bercak darah dari baju, celana, hingga sepatunya. Seketika Inara ambruk, tubuhnya lemas tak berdaya. Airmata kembali mengalir bak anak sungai yang melewati kedua pipinya. Rasanya ia tidak sanggup lagi untuk bernapas, rasa sesak didalam dadanya seakan menyumbat saluran pernapasan dalam tubuhnya. Inara yakin darah itu milik Kiev, dalam hati ia bertanya-tanya, apakah Mang Ali pelakunya? "Ikut aku!" Perintah Agam kepada Inara seraya menarik tangan wanita yang dinikahinya secara paksa. Dalam kondisi hati yang remuk redam, Inara tidak banyak berkata, cukup airmata yang menjadi saksi bahwa ia sedang berduka. Kenyataan pahit yang tidak pernah diinginkan terjadi pada hidupnya. Dengan langkah gontai, Inara mengikuti langkah Agam dengan sedikit menyeret langkahnya. Entah kemana pria sangar itu akan membawa dirinya."Lihatlah, asap yang mengepul itu!" Agam mengangkat sebelah tangannya kedepan. Tampak kepulan asap dengan bau yang menyengat berasal dari aroma daging panggang menusuk tajam ke dalam indera penciuman. Kembali Inara mempercepat langkahnya yang terseret, ketika tangannya ditarik dengan keras oleh Agam. Kakinya yang putih bersih melangkah melewati batu kerikil yang berdebu hingga separuh kakinya diselimuti debu jalanan yang kotor. Seonggok daging yang telah hangus terbakar, menjadi sumber asalnya bau menyengat itu. Inara menatap heran seraya melemparkan pandangannya ke sekeliling. Ia merasa tidak asing lagi dengan tempat itu, tetapi ia juga merasa ada yang berbeda. Namun, saat pandanganya melihat jelas rel kereta api yang hampir membuat nyawanya melayang, ia teringat akan peristiwa penyerangan Kiev yang dilakukan semalam. "Kau tahu daging yang hangus terbakar itu?" Agam bertanya dengan menatap intens ke arah wanita cantik di sampingnya, yang kemudian mendapatkan gelengan kepala sebaga
Entah karena Inara yang terlalu ingin melihat detik-detik kematian suaminya, ataukah Agam yang terlalu terbuai dengan bujuk rayu istrinya, hingga mereka tidak menyadari akan kehadiran seorang OB yang memasuki ruangan itu. Baru mereka tersadar ketika sendok yang hampir memasuki rongga mulut Agam, terjatuh bersamaan dengan jatuhnya rantang makanan dari tangan Inara. Sontak saja keduanya terkejut dan sama-sama memandang OB itu dengan berang. "Sialan! Beraninya kau berbuat kurang ajar padaku!" sentak Agam dengan murka. Wajah pria itu merah padam menatap tajam pada OB tersebut. Pria sederhana itupun menundukkan kepala dengan penuh hormat, berkali-kali meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya. Namun, tidak pernah mereka sadari dendam yang tersembunyi didalam hati pria OB tersebut. Beruntunglah Agam, karena atas perbuatan si OB, ia berhasil lolos dari maut yang tak disadarinya. Nasi dan lauk beracun itu kini telah berserakan di atas lantai, terpisah dari rantangnya. Atas permintaan
"Berhenti bergerak, dan lepaskan dia!" Sebuah suara penuh ketegasan terdengar dari arah belakang Elya, suara yang begitu mengejutkan seorang Elya Farzana hingga mengurungkan niatnya mendorong Inara. Ia memutar bola matanya ke seluruh tempat, berharap menemukan celah agar bisa menghindari beberapa polisi yang sedang berdiri tegap, bersiap meringkus dirinya. Secara tiba-tiba Elya menarik tubuh Inara yang masih berada dalam kukungannya, dengan posisi tubuh Inara berada di depannya, ia membalikkan badan menghadap para polisi itu. Pisau belati membentang tepat di depan leher Inara, cahayanya yang mengkilat di bawah terpaan sinar mentari menyilaukan indera penglihatan. Kedua mata Inara menatap pisau belati itu dengan penuh kepanikan, sedemikian dekatnya sehingga sedikit saja ia bergerak, maka dapat dipastikan pisau itu akan segera menusuk rongga tenggorokannya. Elya Farzana tidak segan-segan menggertak polisi ketika mereka hendak bergerak maju. Sebelah tangannya pun tanpa henti menodongka
Di dalam ruangan yang gelap, kurang lebih hanya berukuran dua meter persegi. Kiev duduk seorang diri, hanya seberkas cahaya remang dan bau apek bantal yang menemani kesendiriannya. Kerasnya kasur dan kasarnya selimut menyentuh kulitnya dengan akrab. Kiev yang saat ini sedang fokus mengotak-atik ponselnya, tanpa menghiraukan suara jangkrik di sudut kamar itu seolah sedang ingin bercerita padanya. Berkali-kali pria itu menarik napas kemudian membuangnya dengan kasar. Hatinya yang kesepian, seakan-akan tidak bisa menerima kenyataan. Dirinya dan Inara yang harus terpisah, akibat ulah sahabatnya sendiri yang kini telah resmi menjadi musuhnya. Bendera permusuhan telah berkibar dengan gagah di dalam relung jiwanya. "Kau boleh membenciku, Anny! Tapi ingat, harus selalu kau ingat, darahku mengalir pada tubuh putra kita!" Sayup-sayup terdengar suara Mang Ali di kejauhan, pria paruh baya itu sepertinya sedang marah pada lawan bicaranya di seberang. Ponsel yang ia tempelkan di telinganya, men
"Ma …! Mama …!" panggil tuan Zerga.Pria paruh baya itu menuruni anak tangga, dengan pandangan mengelilingi sekitarnya menembus gelapnya suasana. Langkah kakinya terdengar lembut di telinga Inara, berharap dapat mengalihkan perhatian Mang Ali dan Nyonya Anny. Inara yang merasa hidupnya terancam, perlahan mundur dengan posisi merangkak menuju tempat yang lebih gelap. Seketika Mang Ali dan Nyonya Anny panik, melarikan diri dan bersembunyi tidak mungkin mereka lakukan, pintu keluar terlampau jauh dibelakang. Sontak Nyonya Anny meraih sebuah silet yang kebetulan ada dalam sakunya, dengan sekali sayat, ia telah berhasil melukai sebelah pipinya. Kemudian menjatuhkan dirinya di atas lantai dan berpura-pura tak sadarkan diri. Tentu saja Mang Ali pun segera mengambil peran, tanpa kekurangan akal ia meninju wajahnya sendiri hingga babak belur dan pura-pura berteriak meminta tolong. Mang Ali mengguncang-guncang tubuh Nyonya Anny dengan suara penuh iba. Seakan-akan peristiwa mengerikan baru saj
Seketika wajah Amee berubah muram, permintaan Inara serasa membakar indera pendengarannya. Bagaimana mungkin dirinya dapat memenuhi harapan itu, jika selama ini Agam tidak pernah menginginkan anak darinya. Amee hanyalah sebuah pelampiasan semata bagi Agam. Selama ini, selama pernikahan mereka, tidak pernah sekalipun Agam benar-benar mencintai dirinya. Pria itu datang disaat membutuhkannya saja, kemudian pergi tanpa berbasa-basi. Sejak pertama kali mereka berhubungan badan hingga saat ini, tidak pernah sekalipun Agam membiarkan benih-benihnya bersemi dalam rahim Amee, meski sebenarnya wanita ini sangat menginginkannya. Inara berusaha memahami isi hati Amee, jujur, ia merasa sangat prihatin pada wanita yang kini sedang berdiri mematung di depannya. Terbayang dalam benak Inara, betapa letih dan kecewanya bercinta sebelah tangan. Cinta yang tidak pernah berbalas tentu akan sangat menyakitkan. Terbersit sebuah getaran dalam hati Inara, betapa besarnya cinta Agam untuknya sehingga pria i
Di RSU Bandung, seorang wanita cantik tampak duduk bersandar pada Bed pasien, ia baru saja selesai meminum obat yang telah menjadi rutinitas kesehariannya. Tanpa banyak bicara wanita itu memejamkan kedua matanya seraya mengangguk saat perawatnya membisikkan sesuatu sebelum pergi. "Hm," desahnya seraya menghela napas. Inara Alesha, wanita muda berwajah oval, kedua matanya indah bersinar dengan bulu mata lentik. Memiliki alis panjang dan tebal menghiasi wajahnya, serta bibirnya yang merah merekah memberikan kesan anggun pada senyumnya. Inara merasa jenuh dengan kesehariannya, selama bertahun-tahun wanita itu telah menghabiskan waktunya di rumah sakit. Semenjak kecelakaan tiga tahun lalu, membuatnya bergelut dengan suasana bising, berbagai keluhan orang-orang sakit dan aroma obat yang sangat menyengat menusuk hidung. Kecelakaan itu pula yang membuatnya kehilangan seluruh ingatannya. Telah bertahun-tahun wanita itu menempati ruangan rumah sakit itu, dan baru hari ini ia akan merasakan
Di tengah rasa penasarannya, Inara hanya bisa diam, sepanjang perjalanan yang ada di dalam pikirannya hanya satu pertanyaan. 'Siapa dia?' Dan hal itu membuat Inara terdiam, tidak sepatah katapun terucap dari bibirnya yang manis. Ia hanya diam dalam kebisuan. Kiev juga tidak ingin terlalu memaksakan keinginannya untuk berbincang lebih lama dengan Inara, karena ia tidak ingin memaksa rangsangan otak wanitanya yang bisa saja berakibat fatal. Kiev yakin meskipun hanya terlihat diam dalam kebisuan, Inara terus saja memutar otaknya untuk mengingat sesuatu atau memikirkan apa yang akan dilakukannya nanti. Tidak lama kemudian, mobil pun memasuki area resto 'THE S'QUAD', sebuah restoran mewah tempat Kiev melepas lapar dan dahaga bersama Agam ketika telah jenuh bekerja. Sesuai dengan perjanjiannya dengan Agam, mobilnya pun diparkir di sana. Seperti sebelumnya, Kiev kembali membukakan pintu mobil untuk Inara, dan menggandeng tangannya dengan mesra memasuki area resto. Mereka tampak serasi, tam