Di RSU Bandung, seorang wanita cantik tampak duduk bersandar pada Bed pasien, ia baru saja selesai meminum obat yang telah menjadi rutinitas kesehariannya. Tanpa banyak bicara wanita itu memejamkan kedua matanya seraya mengangguk saat perawatnya membisikkan sesuatu sebelum pergi. "Hm," desahnya seraya menghela napas. Inara Alesha, wanita muda berwajah oval, kedua matanya indah bersinar dengan bulu mata lentik. Memiliki alis panjang dan tebal menghiasi wajahnya, serta bibirnya yang merah merekah memberikan kesan anggun pada senyumnya. Inara merasa jenuh dengan kesehariannya, selama bertahun-tahun wanita itu telah menghabiskan waktunya di rumah sakit. Semenjak kecelakaan tiga tahun lalu, membuatnya bergelut dengan suasana bising, berbagai keluhan orang-orang sakit dan aroma obat yang sangat menyengat menusuk hidung. Kecelakaan itu pula yang membuatnya kehilangan seluruh ingatannya. Telah bertahun-tahun wanita itu menempati ruangan rumah sakit itu, dan baru hari ini ia akan merasakan
Di tengah rasa penasarannya, Inara hanya bisa diam, sepanjang perjalanan yang ada di dalam pikirannya hanya satu pertanyaan. 'Siapa dia?' Dan hal itu membuat Inara terdiam, tidak sepatah katapun terucap dari bibirnya yang manis. Ia hanya diam dalam kebisuan. Kiev juga tidak ingin terlalu memaksakan keinginannya untuk berbincang lebih lama dengan Inara, karena ia tidak ingin memaksa rangsangan otak wanitanya yang bisa saja berakibat fatal. Kiev yakin meskipun hanya terlihat diam dalam kebisuan, Inara terus saja memutar otaknya untuk mengingat sesuatu atau memikirkan apa yang akan dilakukannya nanti. Tidak lama kemudian, mobil pun memasuki area resto 'THE S'QUAD', sebuah restoran mewah tempat Kiev melepas lapar dan dahaga bersama Agam ketika telah jenuh bekerja. Sesuai dengan perjanjiannya dengan Agam, mobilnya pun diparkir di sana. Seperti sebelumnya, Kiev kembali membukakan pintu mobil untuk Inara, dan menggandeng tangannya dengan mesra memasuki area resto. Mereka tampak serasi, tam
Inara menggerak-gerakkan kedua kaki dan tangannya bersamaan, ketika tubuhnya kembali di gendong oleh Agam. Ia meronta. Suara jeritannya menghiasi derap langkah pria itu, tetapi seakan tidak pernah terdengar sama sekali di telinganya. Sepuluh pasang mata menatap mereka dengan penuh tanda tanya, dengan berbagai pikiran di dalam kepalanya masing-masing. "Turunkan aku …!" pekik Inara dengan suara yang melengking tinggi. Bersamaan dengan tubuhnya yang melayang, kemudian terjatuh tepat diatas sebuah ranjang. Senyum tipis terpancar dari wajah pria itu, dengan tatapan mata yang penuh nafsu. Inara membalas dengan sorot mata penuh kebencian, ia merasa tidak terima atas perlakuan pria itu terhadap dirinya. "Mengapa kau membawaku kemari? Asal kau tahu, besok aku akan menikah!" Suara penuh emosi Inara disertai tangisannya, dengan kedua mata yang digenangi airmata menatap Agam dengan penuh kebencian. Inara mengumpulkan seluruh kekuatannya yang melemah, karena meronta-ronta sejak tadi. Perlahan
"Terimakasih, tuan Agam yang terhormat," gumam Kiev menahan amarah dengan mengatupkan rahangnya, "tetapi harga diriku tidak akan pernah bisa kau beli dengan hartamu!"Bersamaan dengan ucapan Kiev, kertas cek itu melayang kembali dan mengenai tepat di wajah Agam. Hingga mati pun Kiev akan tetap memperjuangkan kehormatannya agar tidak diinjak-injak oleh Agam. Inara, merupakan sebuah kehormatan terbesar yang harus diperjuangkan. Meskipun harus kehilangan nyawa sekalipun ia akan tetap mempertahankannya. Kiev maju satu langkah lalu kedua tangannya mencekal krah jas pengantin pria itu. Kini jarak keduanya sangat dekat dengan sorot mata yang saling menatap tajam. Agam tidak tinggal diam, tangannya menyentuh dada Kiev dan mendorongnya kebelakang hingga pria itu sedikit terpental. Maka aksi saling mendorong pun di mulai, tanpa ada yang mau mengalah. Hingga pada akhirnya mereka mulai memukul dan beradu tinju, sepak terjang mereka sama kuat hingga tidak satu pun serangan yang berhasil mendarat
Roda-roda kecil itu terus berputar membawa mobil itu hingga terseret beberapa meter. membawa gerbongnya pergi menjauh, meninggalkan goresan-goresan hitam di permukaan rel. Suara bisingnya yang memekakkan telinga semakin lama semakin melemah, hingga tidak terdengar sama sekali. Suasana kembali sunyi mengheningkan sang malam. Membiarkan suara angin menyapa gendang telinga dengan syahdu. Dibawah cahaya sang rembulan, tampak dua sosok manusia sedang terbaring tak berdaya diatas hamparan rumput disekitar rel kereta api. Baru saja mereka jatuh berguling-guling, demi menyelamatkan nyawa salah satu dari mereka. Sontak Kiev segera bangkit dengan menahan segala rasa sakit yang mendera tubuhnya, ia tidak perduli lagi dengan keadaan dirinya. Dengan susah payah ia berhasil menjangkau Inara yang terlempar agak jauh darinya, dengan segera Kiev meraih kepala wanita itu dan diletakkan dipangkuannya dengan penuh kasih sayang. Wajah ayu itu terlihat tenang seakan tanpa dosa dalam pingsannya. "Inara …
Sejenak Agam tertegun dengan senyum tipis penuh harap, ia sangat yakin jika Inara pasti akan lebih memilih dirinya daripada Kiev yang hanyalah seorang karyawan biasa. Cinta masa lalu mereka yang pernah terjalin begitu indah, Sedikit membuatnya lupa akan kemarahan yang telah melanda hatinya. Pria itu berdiri dengan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, bersiap mendekap mesra tubuh wanita yang kini sedang berlari ke arahnya. Namun, semua itu ternyata hanyalah harapan belaka, karena pada detik berikutnya Inara berlari melewati Agam dan menembus kerumunan anak buahnya. Dengan segenap jiwa serta kebesaran kekuatan cinta, ia memeluk tubuh Kiev yang telah bersimbah darah. Inara menyatakan bahwa cintanya terhadap pria itu jauh lebih besar daripada terhadap Agam yang merupakan cinta pertamanya. "B-benarkah, yang aku dengar ini? K-kau tidak akan meninggalkanku?" Kiev bertanya dengan suara sedikit mengerang menahan rasa sakit. Senyum kebahagiaan terulas di bibirnya yang dipenuhi darah, ra
Kebencian telah menyelimuti hati inara, wanita yang dulunya sangat lembut dan penuh perhatian terhadap sesama, kini telah membaja akibat dari semua peristiwa yang dialaminya. Inara yang dulu sangatlah lugu, kini menjadi pribadi yang selalu curiga dan tidak mudah percaya terhadap siapapun. Alasan satu-satunya mengapa ia bertahan dalam permainan ini, hanyalah satu, yaitu mengungkap kebenaran dan membalaskan dendamnya pada seorang wanita yang telah menyebabkan kehancuran dalam hidupnya. Akan tetapi, dengan semua peristiwa itu ia bersyukur, berkat kecelakaan yang menimpanya tiga tahun lalu, ia dipertemukan dengan seorang pria yang benar-benar mencintai dirinya tanpa syarat. Kiev yang selalu ada untuknya, Kiev yang selalu menjaganya, dan Kiev yang rela berkorban demi keselamatan dirinya. Sedangkan Agam, belum tentu pria itu mampu melakukan semua yang dilakukan Kiev untuknya. Sang jagad merah mulai menampakkan wajahnya dengan sinar hangat menerangi bumi. Daun-daun
"Lihatlah, asap yang mengepul itu!" Agam mengangkat sebelah tangannya kedepan. Tampak kepulan asap dengan bau yang menyengat berasal dari aroma daging panggang menusuk tajam ke dalam indera penciuman. Kembali Inara mempercepat langkahnya yang terseret, ketika tangannya ditarik dengan keras oleh Agam. Kakinya yang putih bersih melangkah melewati batu kerikil yang berdebu hingga separuh kakinya diselimuti debu jalanan yang kotor. Seonggok daging yang telah hangus terbakar, menjadi sumber asalnya bau menyengat itu. Inara menatap heran seraya melemparkan pandangannya ke sekeliling. Ia merasa tidak asing lagi dengan tempat itu, tetapi ia juga merasa ada yang berbeda. Namun, saat pandanganya melihat jelas rel kereta api yang hampir membuat nyawanya melayang, ia teringat akan peristiwa penyerangan Kiev yang dilakukan semalam. "Kau tahu daging yang hangus terbakar itu?" Agam bertanya dengan menatap intens ke arah wanita cantik di sampingnya, yang kemudian mendapatkan gelengan kepala sebaga
Seketika wajah Amee berubah muram, permintaan Inara serasa membakar indera pendengarannya. Bagaimana mungkin dirinya dapat memenuhi harapan itu, jika selama ini Agam tidak pernah menginginkan anak darinya. Amee hanyalah sebuah pelampiasan semata bagi Agam. Selama ini, selama pernikahan mereka, tidak pernah sekalipun Agam benar-benar mencintai dirinya. Pria itu datang disaat membutuhkannya saja, kemudian pergi tanpa berbasa-basi. Sejak pertama kali mereka berhubungan badan hingga saat ini, tidak pernah sekalipun Agam membiarkan benih-benihnya bersemi dalam rahim Amee, meski sebenarnya wanita ini sangat menginginkannya. Inara berusaha memahami isi hati Amee, jujur, ia merasa sangat prihatin pada wanita yang kini sedang berdiri mematung di depannya. Terbayang dalam benak Inara, betapa letih dan kecewanya bercinta sebelah tangan. Cinta yang tidak pernah berbalas tentu akan sangat menyakitkan. Terbersit sebuah getaran dalam hati Inara, betapa besarnya cinta Agam untuknya sehingga pria i
"Ma …! Mama …!" panggil tuan Zerga.Pria paruh baya itu menuruni anak tangga, dengan pandangan mengelilingi sekitarnya menembus gelapnya suasana. Langkah kakinya terdengar lembut di telinga Inara, berharap dapat mengalihkan perhatian Mang Ali dan Nyonya Anny. Inara yang merasa hidupnya terancam, perlahan mundur dengan posisi merangkak menuju tempat yang lebih gelap. Seketika Mang Ali dan Nyonya Anny panik, melarikan diri dan bersembunyi tidak mungkin mereka lakukan, pintu keluar terlampau jauh dibelakang. Sontak Nyonya Anny meraih sebuah silet yang kebetulan ada dalam sakunya, dengan sekali sayat, ia telah berhasil melukai sebelah pipinya. Kemudian menjatuhkan dirinya di atas lantai dan berpura-pura tak sadarkan diri. Tentu saja Mang Ali pun segera mengambil peran, tanpa kekurangan akal ia meninju wajahnya sendiri hingga babak belur dan pura-pura berteriak meminta tolong. Mang Ali mengguncang-guncang tubuh Nyonya Anny dengan suara penuh iba. Seakan-akan peristiwa mengerikan baru saj
Di dalam ruangan yang gelap, kurang lebih hanya berukuran dua meter persegi. Kiev duduk seorang diri, hanya seberkas cahaya remang dan bau apek bantal yang menemani kesendiriannya. Kerasnya kasur dan kasarnya selimut menyentuh kulitnya dengan akrab. Kiev yang saat ini sedang fokus mengotak-atik ponselnya, tanpa menghiraukan suara jangkrik di sudut kamar itu seolah sedang ingin bercerita padanya. Berkali-kali pria itu menarik napas kemudian membuangnya dengan kasar. Hatinya yang kesepian, seakan-akan tidak bisa menerima kenyataan. Dirinya dan Inara yang harus terpisah, akibat ulah sahabatnya sendiri yang kini telah resmi menjadi musuhnya. Bendera permusuhan telah berkibar dengan gagah di dalam relung jiwanya. "Kau boleh membenciku, Anny! Tapi ingat, harus selalu kau ingat, darahku mengalir pada tubuh putra kita!" Sayup-sayup terdengar suara Mang Ali di kejauhan, pria paruh baya itu sepertinya sedang marah pada lawan bicaranya di seberang. Ponsel yang ia tempelkan di telinganya, men
"Berhenti bergerak, dan lepaskan dia!" Sebuah suara penuh ketegasan terdengar dari arah belakang Elya, suara yang begitu mengejutkan seorang Elya Farzana hingga mengurungkan niatnya mendorong Inara. Ia memutar bola matanya ke seluruh tempat, berharap menemukan celah agar bisa menghindari beberapa polisi yang sedang berdiri tegap, bersiap meringkus dirinya. Secara tiba-tiba Elya menarik tubuh Inara yang masih berada dalam kukungannya, dengan posisi tubuh Inara berada di depannya, ia membalikkan badan menghadap para polisi itu. Pisau belati membentang tepat di depan leher Inara, cahayanya yang mengkilat di bawah terpaan sinar mentari menyilaukan indera penglihatan. Kedua mata Inara menatap pisau belati itu dengan penuh kepanikan, sedemikian dekatnya sehingga sedikit saja ia bergerak, maka dapat dipastikan pisau itu akan segera menusuk rongga tenggorokannya. Elya Farzana tidak segan-segan menggertak polisi ketika mereka hendak bergerak maju. Sebelah tangannya pun tanpa henti menodongka
Entah karena Inara yang terlalu ingin melihat detik-detik kematian suaminya, ataukah Agam yang terlalu terbuai dengan bujuk rayu istrinya, hingga mereka tidak menyadari akan kehadiran seorang OB yang memasuki ruangan itu. Baru mereka tersadar ketika sendok yang hampir memasuki rongga mulut Agam, terjatuh bersamaan dengan jatuhnya rantang makanan dari tangan Inara. Sontak saja keduanya terkejut dan sama-sama memandang OB itu dengan berang. "Sialan! Beraninya kau berbuat kurang ajar padaku!" sentak Agam dengan murka. Wajah pria itu merah padam menatap tajam pada OB tersebut. Pria sederhana itupun menundukkan kepala dengan penuh hormat, berkali-kali meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya. Namun, tidak pernah mereka sadari dendam yang tersembunyi didalam hati pria OB tersebut. Beruntunglah Agam, karena atas perbuatan si OB, ia berhasil lolos dari maut yang tak disadarinya. Nasi dan lauk beracun itu kini telah berserakan di atas lantai, terpisah dari rantangnya. Atas permintaan
"Lihatlah, asap yang mengepul itu!" Agam mengangkat sebelah tangannya kedepan. Tampak kepulan asap dengan bau yang menyengat berasal dari aroma daging panggang menusuk tajam ke dalam indera penciuman. Kembali Inara mempercepat langkahnya yang terseret, ketika tangannya ditarik dengan keras oleh Agam. Kakinya yang putih bersih melangkah melewati batu kerikil yang berdebu hingga separuh kakinya diselimuti debu jalanan yang kotor. Seonggok daging yang telah hangus terbakar, menjadi sumber asalnya bau menyengat itu. Inara menatap heran seraya melemparkan pandangannya ke sekeliling. Ia merasa tidak asing lagi dengan tempat itu, tetapi ia juga merasa ada yang berbeda. Namun, saat pandanganya melihat jelas rel kereta api yang hampir membuat nyawanya melayang, ia teringat akan peristiwa penyerangan Kiev yang dilakukan semalam. "Kau tahu daging yang hangus terbakar itu?" Agam bertanya dengan menatap intens ke arah wanita cantik di sampingnya, yang kemudian mendapatkan gelengan kepala sebaga
Kebencian telah menyelimuti hati inara, wanita yang dulunya sangat lembut dan penuh perhatian terhadap sesama, kini telah membaja akibat dari semua peristiwa yang dialaminya. Inara yang dulu sangatlah lugu, kini menjadi pribadi yang selalu curiga dan tidak mudah percaya terhadap siapapun. Alasan satu-satunya mengapa ia bertahan dalam permainan ini, hanyalah satu, yaitu mengungkap kebenaran dan membalaskan dendamnya pada seorang wanita yang telah menyebabkan kehancuran dalam hidupnya. Akan tetapi, dengan semua peristiwa itu ia bersyukur, berkat kecelakaan yang menimpanya tiga tahun lalu, ia dipertemukan dengan seorang pria yang benar-benar mencintai dirinya tanpa syarat. Kiev yang selalu ada untuknya, Kiev yang selalu menjaganya, dan Kiev yang rela berkorban demi keselamatan dirinya. Sedangkan Agam, belum tentu pria itu mampu melakukan semua yang dilakukan Kiev untuknya. Sang jagad merah mulai menampakkan wajahnya dengan sinar hangat menerangi bumi. Daun-daun
Sejenak Agam tertegun dengan senyum tipis penuh harap, ia sangat yakin jika Inara pasti akan lebih memilih dirinya daripada Kiev yang hanyalah seorang karyawan biasa. Cinta masa lalu mereka yang pernah terjalin begitu indah, Sedikit membuatnya lupa akan kemarahan yang telah melanda hatinya. Pria itu berdiri dengan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, bersiap mendekap mesra tubuh wanita yang kini sedang berlari ke arahnya. Namun, semua itu ternyata hanyalah harapan belaka, karena pada detik berikutnya Inara berlari melewati Agam dan menembus kerumunan anak buahnya. Dengan segenap jiwa serta kebesaran kekuatan cinta, ia memeluk tubuh Kiev yang telah bersimbah darah. Inara menyatakan bahwa cintanya terhadap pria itu jauh lebih besar daripada terhadap Agam yang merupakan cinta pertamanya. "B-benarkah, yang aku dengar ini? K-kau tidak akan meninggalkanku?" Kiev bertanya dengan suara sedikit mengerang menahan rasa sakit. Senyum kebahagiaan terulas di bibirnya yang dipenuhi darah, ra
Roda-roda kecil itu terus berputar membawa mobil itu hingga terseret beberapa meter. membawa gerbongnya pergi menjauh, meninggalkan goresan-goresan hitam di permukaan rel. Suara bisingnya yang memekakkan telinga semakin lama semakin melemah, hingga tidak terdengar sama sekali. Suasana kembali sunyi mengheningkan sang malam. Membiarkan suara angin menyapa gendang telinga dengan syahdu. Dibawah cahaya sang rembulan, tampak dua sosok manusia sedang terbaring tak berdaya diatas hamparan rumput disekitar rel kereta api. Baru saja mereka jatuh berguling-guling, demi menyelamatkan nyawa salah satu dari mereka. Sontak Kiev segera bangkit dengan menahan segala rasa sakit yang mendera tubuhnya, ia tidak perduli lagi dengan keadaan dirinya. Dengan susah payah ia berhasil menjangkau Inara yang terlempar agak jauh darinya, dengan segera Kiev meraih kepala wanita itu dan diletakkan dipangkuannya dengan penuh kasih sayang. Wajah ayu itu terlihat tenang seakan tanpa dosa dalam pingsannya. "Inara …