Inara menggerak-gerakkan kedua kaki dan tangannya bersamaan, ketika tubuhnya kembali di gendong oleh Agam. Ia meronta. Suara jeritannya menghiasi derap langkah pria itu, tetapi seakan tidak pernah terdengar sama sekali di telinganya. Sepuluh pasang mata menatap mereka dengan penuh tanda tanya, dengan berbagai pikiran di dalam kepalanya masing-masing.
"Turunkan aku …!" pekik Inara dengan suara yang melengking tinggi.Bersamaan dengan tubuhnya yang melayang, kemudian terjatuh tepat diatas sebuah ranjang. Senyum tipis terpancar dari wajah pria itu, dengan tatapan mata yang penuh nafsu. Inara membalas dengan sorot mata penuh kebencian, ia merasa tidak terima atas perlakuan pria itu terhadap dirinya."Mengapa kau membawaku kemari? Asal kau tahu, besok aku akan menikah!" Suara penuh emosi Inara disertai tangisannya, dengan kedua mata yang digenangi airmata menatap Agam dengan penuh kebencian.Inara mengumpulkan seluruh kekuatannya yang melemah, karena meronta-ronta sejak tadi. Perlahan ia mengangkat kepala dan dadanya, berusaha bangkit dan pergi dari kamar itu. Sontak ia merasakan sebelah kakinya di cekal dengan kuat, dan tubuhnya kembali terhempas ke atas ranjang untuk yang kedua kalinya.Di tengah rasa terkejutnya ia melihat Agam merendahkan tubuh mendekatkan bibirnya pada telinga Inara kemudian berbisik, "Kau memang akan menikah tapi tidak dengan Kiev, melainkan denganku!"Bagaikan suara petir disiang hari, suara pria itu menggema di telinga Inara. Susah dipercaya dengan apa yang didengarnya, dengan tatapan penuh linangan airmata Inara membalas memandang pria sengit itu. Tanpa rasa takut, meskipun Agam telah menatapnya bagaikan seekor singa yang sedang lapar siap menerkam dirinya."Tidak akan pernah pria brengsek! Lepaskan aku dan biarkan aku pergi dari tempat ini!" teriak Inara dengan suara yang tak kalah geramnya. Memberanikan diri untuk melawan.Ia tidak akan pernah rela, jika sampai dinikahi oleh pria tak berperasaan itu. Dadanya seakan sesak ketika indera pendengarannya menangkap suara pria itu, sedang menghubungi seseorang di luar sana. Suara tawanya membuat Inara muak, ingin rasanya Ia memuntahkan seluruh isi perutnya pada wajah pria itu."A-apa yang akan kau lakukan?" tanya Inara terbata-bata ketika pria itu meletakkan ponselnya dan kembali mendekati dirinya.Inara dapat melihat dengan jelas sebuah seringai menakutkan dari bibir tebal Agam, sebuah senyuman yang mengundang berbagai pertanyaan dihatinya. Perlahan teringat di benak Inara bayangan wajah tampan Kiev, yang selalu meneduhkan hatinya. Pancaran cinta yang memberinya ketenangan."Bersiaplah! Sebentar lagi kita akan menikah!" Pria itu melemparkan sebuah gaun berwarna putih salju tepat pada pangkuan Inara."Tidak! Itu tidak akan pernah terjadi, hanya Kiev yang akan menikahiku. Bukan dirimu pria arogan!" Inara kembali berteriak penuh emosi.Namun, pada detik berikutnya ia terpaksa membungkam mulutnya sendiri, karena beberapa orang tim MUA telah memasuki kamar itu. Seberapa kuat Inara memberontak, tetapi kekuatannya tidak sebanding dengan tenaga dua orang MUA yang kini sedang memegang kedua tangan dan kakinya. Sedangkan yang lainnya memaksanya memakai gaun itu dan mulai meriasnya sebagaimana seorang pengantin.Tidak membutuhkan waktu lama untuk merubah penampilan Inara, wanita muda itu kini telah disulap bak boneka barbie. Rambut panjangnya yang diikat menampilkan leher jenjangnya yang putih mulus, serta sebuah mahkota berkilauan menghiasi rambutnya. Membuat semua orang yang hadir disana takjub melihatnya.Dibalik kecantikannya airmata terus mengalir, membentuk anak sungai di kedua belah pipinya. Pandangannya kosong, seakan tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Sebuah ikrar janji suci, yang tak seharusnya terucap dari bibir pria yang tak dikenalnya."Tidak sah!" Sebuah suara menggelegar dari arah depan ballroom, seolah menggetarkan sekitarnya.Sontak semua mata dari orang-orang yang menghadiri pernikahan paksa itu, tertuju pada seseorang yang baru saja mengucapkan kata 'Tidak sah' tak terkecuali Agam dan Inara. Tatapan nyalang menghunus bagaikan mata pedang yang siap menghujam tubuh pria yang kini sedang berdiri dengan penuh kemarahan. Manik matanya hanya tertuju pada pengantin wanita yang juga menatapnya dengan airmata berderai."Kiev, akhirnya kau datang," lirih Inara dengan napas yang naik-turun.Harapan kebahagiaan mulai terbayang kembali dibenaknya, menikah dengan orang yang begitu mencintainya, mengarungi indahnya bahtera cinta bersama. Namun, seketika raut wajahnya berubah ketika teringat bahwa dirinya kini telah menjadi istri sah dari pria lain.Kiev melangkahkan kakinya menerobos kerumunan orang-orang, dan segera menghampiri Inara tanpa memperdulikan tatapan Agam yang bagaikan kilatan api menyala-nyala."Sayang, kau tidak apa-apa?" tanya Kiev seraya mengusap airmata dipipi kekasihnya, "Mari kita pulang!"Bagaikan setetes embun di siang hari, sedikit menyejukkan dihati Inara. Ungkapan sayang yang keluar dari bibir seksi Kiev seakan menghangatkan relung hatinya yang membeku. Dengan ketulusan cinta dan kasih sayang Kiev merentangkan kedua tangannya, meminta Inara agar masuk dalam dekapannya."Sudahlah, jangan menangis. Sayang." Kiev menenangkan hati kekasihnya, mengusap-usap punggungnya dengan lembut.Kiev memahami apa yang sedang dirasakan oleh Inara, sebisa mungkin mencoba menenangkannya. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada wanita itu, yang akan berakibat fatal. Walau bagaimana pun Inara masih terlalu lemah, untuk menghadapi kenyataan pahit itu."Jangan pernah menyebutnya dengan panggilan sayang, dia hanya milikku!" Agam tidak rela Kiev memanggil Inara dengan sebutan 'Sayang'.Kedua matanya membelalak, rahangnya mengeras dan otot-otot kasar menghiasi wajahnya. Emosi semakin merasuk ke dalam jiwanya, membuat Agam terlihat begitu murka.Akan tetapi, itu semua tidak membuat Kiev gentar, dan tetap bertekat akan membawa Inara."Apa yang kau katakan! Jelas-jelas dia calon istriku dan kau telah merampasnya dariku! Tindakan kriminal ini bisa aku laporkan ke polisi dengan tuduhan penculikan calon istri orang lain!" ancam Kiev tidak kalah sengitnya setelah terlebih dahulu melerai pelukannya.Dengan menarik sebelah sudut bibirnya ke atas Kiev melanjutkan, "Tidak aku sangka, ternyata sahabat yang selama ini aku hormati adalah seorang pecundang."Usai berkata demikian, secarik kertas bertuliskan nominal angka yang sangat tinggi melayang di udara. Beberapa angka yang tidak pernah terpikirkan sama sekali diotak Kiev, terpampang nyata ketika kertas itu mendarat tepat dikakinya. Sebuah cek yang akan merubah kehidupannya, menjadi bergelimang harta."Ambil dan belilah apapun yang kau mau! Anggap saja itu sebagai ucapan terimakasih dariku, karena kau telah merawatnya selama ini!" perintah Agam dengan sombongnya.Kiev tersenyum sinis, ia tidak pernah menyangka jika persahabatan yang selama ini terjalin dengan begitu harmonis, harus hancur begitu saja hanya karena keegoisan. Dadanya terasa sesak karena pengorbanan yang selama ini ia lakukan tidak pernah dianggap oleh Agam. Dengan tatapan tajam Kiev memandangi cek itu yang masih tergeletak di lantai, sementara Inara yang berdiri disampingnya menatapnya dengan penuh harap, seolah ingin berkata 'Jangan ambil' sedangkan Agam tersenyum penuh kesombongan karena yakin Kiev akan mengambilnya."Terimakasih, tuan Agam yang terhormat," gumam Kiev menahan amarah dengan mengatupkan rahangnya, "tetapi harga diriku tidak akan pernah bisa kau beli dengan hartamu!"Bersamaan dengan ucapan Kiev, kertas cek itu melayang kembali dan mengenai tepat di wajah Agam. Hingga mati pun Kiev akan tetap memperjuangkan kehormatannya agar tidak diinjak-injak oleh Agam. Inara, merupakan sebuah kehormatan terbesar yang harus diperjuangkan. Meskipun harus kehilangan nyawa sekalipun ia akan tetap mempertahankannya. Kiev maju satu langkah lalu kedua tangannya mencekal krah jas pengantin pria itu. Kini jarak keduanya sangat dekat dengan sorot mata yang saling menatap tajam. Agam tidak tinggal diam, tangannya menyentuh dada Kiev dan mendorongnya kebelakang hingga pria itu sedikit terpental. Maka aksi saling mendorong pun di mulai, tanpa ada yang mau mengalah. Hingga pada akhirnya mereka mulai memukul dan beradu tinju, sepak terjang mereka sama kuat hingga tidak satu pun serangan yang berhasil mendarat
Roda-roda kecil itu terus berputar membawa mobil itu hingga terseret beberapa meter. membawa gerbongnya pergi menjauh, meninggalkan goresan-goresan hitam di permukaan rel. Suara bisingnya yang memekakkan telinga semakin lama semakin melemah, hingga tidak terdengar sama sekali. Suasana kembali sunyi mengheningkan sang malam. Membiarkan suara angin menyapa gendang telinga dengan syahdu. Dibawah cahaya sang rembulan, tampak dua sosok manusia sedang terbaring tak berdaya diatas hamparan rumput disekitar rel kereta api. Baru saja mereka jatuh berguling-guling, demi menyelamatkan nyawa salah satu dari mereka. Sontak Kiev segera bangkit dengan menahan segala rasa sakit yang mendera tubuhnya, ia tidak perduli lagi dengan keadaan dirinya. Dengan susah payah ia berhasil menjangkau Inara yang terlempar agak jauh darinya, dengan segera Kiev meraih kepala wanita itu dan diletakkan dipangkuannya dengan penuh kasih sayang. Wajah ayu itu terlihat tenang seakan tanpa dosa dalam pingsannya. "Inara …
Sejenak Agam tertegun dengan senyum tipis penuh harap, ia sangat yakin jika Inara pasti akan lebih memilih dirinya daripada Kiev yang hanyalah seorang karyawan biasa. Cinta masa lalu mereka yang pernah terjalin begitu indah, Sedikit membuatnya lupa akan kemarahan yang telah melanda hatinya. Pria itu berdiri dengan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, bersiap mendekap mesra tubuh wanita yang kini sedang berlari ke arahnya. Namun, semua itu ternyata hanyalah harapan belaka, karena pada detik berikutnya Inara berlari melewati Agam dan menembus kerumunan anak buahnya. Dengan segenap jiwa serta kebesaran kekuatan cinta, ia memeluk tubuh Kiev yang telah bersimbah darah. Inara menyatakan bahwa cintanya terhadap pria itu jauh lebih besar daripada terhadap Agam yang merupakan cinta pertamanya. "B-benarkah, yang aku dengar ini? K-kau tidak akan meninggalkanku?" Kiev bertanya dengan suara sedikit mengerang menahan rasa sakit. Senyum kebahagiaan terulas di bibirnya yang dipenuhi darah, ra
Kebencian telah menyelimuti hati inara, wanita yang dulunya sangat lembut dan penuh perhatian terhadap sesama, kini telah membaja akibat dari semua peristiwa yang dialaminya. Inara yang dulu sangatlah lugu, kini menjadi pribadi yang selalu curiga dan tidak mudah percaya terhadap siapapun. Alasan satu-satunya mengapa ia bertahan dalam permainan ini, hanyalah satu, yaitu mengungkap kebenaran dan membalaskan dendamnya pada seorang wanita yang telah menyebabkan kehancuran dalam hidupnya. Akan tetapi, dengan semua peristiwa itu ia bersyukur, berkat kecelakaan yang menimpanya tiga tahun lalu, ia dipertemukan dengan seorang pria yang benar-benar mencintai dirinya tanpa syarat. Kiev yang selalu ada untuknya, Kiev yang selalu menjaganya, dan Kiev yang rela berkorban demi keselamatan dirinya. Sedangkan Agam, belum tentu pria itu mampu melakukan semua yang dilakukan Kiev untuknya. Sang jagad merah mulai menampakkan wajahnya dengan sinar hangat menerangi bumi. Daun-daun
"Lihatlah, asap yang mengepul itu!" Agam mengangkat sebelah tangannya kedepan. Tampak kepulan asap dengan bau yang menyengat berasal dari aroma daging panggang menusuk tajam ke dalam indera penciuman. Kembali Inara mempercepat langkahnya yang terseret, ketika tangannya ditarik dengan keras oleh Agam. Kakinya yang putih bersih melangkah melewati batu kerikil yang berdebu hingga separuh kakinya diselimuti debu jalanan yang kotor. Seonggok daging yang telah hangus terbakar, menjadi sumber asalnya bau menyengat itu. Inara menatap heran seraya melemparkan pandangannya ke sekeliling. Ia merasa tidak asing lagi dengan tempat itu, tetapi ia juga merasa ada yang berbeda. Namun, saat pandanganya melihat jelas rel kereta api yang hampir membuat nyawanya melayang, ia teringat akan peristiwa penyerangan Kiev yang dilakukan semalam. "Kau tahu daging yang hangus terbakar itu?" Agam bertanya dengan menatap intens ke arah wanita cantik di sampingnya, yang kemudian mendapatkan gelengan kepala sebaga
Entah karena Inara yang terlalu ingin melihat detik-detik kematian suaminya, ataukah Agam yang terlalu terbuai dengan bujuk rayu istrinya, hingga mereka tidak menyadari akan kehadiran seorang OB yang memasuki ruangan itu. Baru mereka tersadar ketika sendok yang hampir memasuki rongga mulut Agam, terjatuh bersamaan dengan jatuhnya rantang makanan dari tangan Inara. Sontak saja keduanya terkejut dan sama-sama memandang OB itu dengan berang. "Sialan! Beraninya kau berbuat kurang ajar padaku!" sentak Agam dengan murka. Wajah pria itu merah padam menatap tajam pada OB tersebut. Pria sederhana itupun menundukkan kepala dengan penuh hormat, berkali-kali meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya. Namun, tidak pernah mereka sadari dendam yang tersembunyi didalam hati pria OB tersebut. Beruntunglah Agam, karena atas perbuatan si OB, ia berhasil lolos dari maut yang tak disadarinya. Nasi dan lauk beracun itu kini telah berserakan di atas lantai, terpisah dari rantangnya. Atas permintaan
"Berhenti bergerak, dan lepaskan dia!" Sebuah suara penuh ketegasan terdengar dari arah belakang Elya, suara yang begitu mengejutkan seorang Elya Farzana hingga mengurungkan niatnya mendorong Inara. Ia memutar bola matanya ke seluruh tempat, berharap menemukan celah agar bisa menghindari beberapa polisi yang sedang berdiri tegap, bersiap meringkus dirinya. Secara tiba-tiba Elya menarik tubuh Inara yang masih berada dalam kukungannya, dengan posisi tubuh Inara berada di depannya, ia membalikkan badan menghadap para polisi itu. Pisau belati membentang tepat di depan leher Inara, cahayanya yang mengkilat di bawah terpaan sinar mentari menyilaukan indera penglihatan. Kedua mata Inara menatap pisau belati itu dengan penuh kepanikan, sedemikian dekatnya sehingga sedikit saja ia bergerak, maka dapat dipastikan pisau itu akan segera menusuk rongga tenggorokannya. Elya Farzana tidak segan-segan menggertak polisi ketika mereka hendak bergerak maju. Sebelah tangannya pun tanpa henti menodongka
Di dalam ruangan yang gelap, kurang lebih hanya berukuran dua meter persegi. Kiev duduk seorang diri, hanya seberkas cahaya remang dan bau apek bantal yang menemani kesendiriannya. Kerasnya kasur dan kasarnya selimut menyentuh kulitnya dengan akrab. Kiev yang saat ini sedang fokus mengotak-atik ponselnya, tanpa menghiraukan suara jangkrik di sudut kamar itu seolah sedang ingin bercerita padanya. Berkali-kali pria itu menarik napas kemudian membuangnya dengan kasar. Hatinya yang kesepian, seakan-akan tidak bisa menerima kenyataan. Dirinya dan Inara yang harus terpisah, akibat ulah sahabatnya sendiri yang kini telah resmi menjadi musuhnya. Bendera permusuhan telah berkibar dengan gagah di dalam relung jiwanya. "Kau boleh membenciku, Anny! Tapi ingat, harus selalu kau ingat, darahku mengalir pada tubuh putra kita!" Sayup-sayup terdengar suara Mang Ali di kejauhan, pria paruh baya itu sepertinya sedang marah pada lawan bicaranya di seberang. Ponsel yang ia tempelkan di telinganya, men