Aku tidak tahu semenjak kapan mulai diam-diam sering memperhatikannya. Mungkin saat dirinya menjadi ketua panitia ospek jurusan yang aku ikuti semester pertama lalu, atau justru ketika sering tidak sengaja berpapasan ketika sama-sama menikmati makan siang di kantin fakultas.
Tadinya aku memang hanya penasaran dengan sosoknya. Tapi siapa yang tau, seringnya melihat dan memperhatikan interaksinya justru membuat rasa penasaranku menjadi lebih kompleks dan berkembang dari apa yang aku duga. Yang dengan berat hati harus aku akui jika aku, benar-benar merasa tertarik dengan seorang Raditya.
Well, pada intinya sudah lama ketika aku bisa menyebut diriku sebagai seorang secret admirer. Yang secara rutin memperhatikannya dalam diam, dan bahkan melakukan campaign
terselubung secaraserupa untuk mempengaruhi orang-orang di dalam lingkunganku untuk memilihnya sebagai ketua hima yang baru.Anyway, meski selalu men-stalk
kegiatan-kegiatannya, aku masih tidak cukup berani untuk membagikan perasaaanku secara gamblang kepada sahabat-sahabatku. Mengatakan jika aku menyukainya adalah hal yang sangat sulit dan tidak pernah terpikirkan untuk ku jadikan sebagai pilihan.Apalagi di dalam pemikiranku sendiri, adalah sebuah kemustahilan untuk menjadikan asumsi-asumsi di dalam otakku sebagai sesuatu yang nyata dan bukan hanya sebatas fatamorgana semata.***
Dari jutaan kemungkinanq yang ada di dunia, aku merasa jika probabilitas sebuah takdir akan membuat kami berinteraksi dalam satu frame yang sama agaknya tidak pernah terjadi. Tapi siapa sangka, dari banyaknya kemungkinan yang biasanya terjadi dalam cerita fiktif yang sering ku baca itu, sebuah kecerobohan justru berujung membuat kami berinteraksi secara langsung seperti ini.
Oke. Sekarang aku percaya jika kehidupan tidak sama dengan apa yang kita lihat di cerita dan film-film romansa.
"Ada apa ya, Pak?" Tanya pemuda jangkung yang tadi dipanggil Pak Wijaya, which is bapak polisi yang sedari tadi tidak mau melepaskan kesalahanku.
Aku meremas-remas ujung sisi bajuku. Sebuah tanda yang menunjukkan bahwa diriku merasa tidak baik-baik saja dan sedang dilanda kegugupan yang luar biasa.
Bagaimana bisa dari ratusan anak dijurusanku yang memiliki kaos lapang, justru laki-laki inilah yang kebetulan memakai atribut prodi tersebut di situasi genting ini. Dan kenapa pula, harus dia yang sama-sama lewat jalan ini di jam-jam seperti ini. God, please help me!
"Masnya satu kampus sama Mbak ini?"
Seketika laki-laki tadi menoleh ke arahku yang masih menunduk, lalu kembali menghadap ke pak polisi yang bertanya tadi. "Iya, Pak."
Mendadak tanganku berkeringat karena tidak tahu harus melakukan apa. Ku lirik si bapak penyebab kejadian ini mengangguk-angguk paham. Lalu tersenyum lebar dan menggumam, "Bagus-bagus."
"Bisa tolong anterin Mbaknya ini sekalian? Soalnya dia katanya tidak punya ongkos buat naik kendaraan umum. Nah kebetulan saya lihat baju kalian samaan, jadi sekalian saja ya? Urusan kamu sudah beres kan?" Sial. Jantungku langsung bertalu-talu tidak karuan karena sederet perkataan yang diucapkannya.
"Hmmm... Gimana ya?" Aku memberanikan diri melirik ke arah samping, dan menemukan sosoknya yang sedang menggaruk tengkuknya karena mungkin merasa bingung dengan permintaan tiba-tiba yang merepotkan dirinya.
"Nggak usah, Pak. Biar saya telepon temen saya aja suruh jemput." Aku memfokuskan pandangan ke Pak Jaya dan menampilkan ekspresi yang seolah-olah mengatakan jika aku tidak membutuhkan tumpangan dari Bang Radit. Meski pada kenyataannya, sudut hatiku yang lain menginginkan sebaliknya.
"Lah, katanya tadi lima belas menit lagi ada ujian. Temennya ada disekitaran sini?"
Dengan berat hati aku menggeleng. "Masih di kontrakkan, Pak."
"Gimana? Siapa kamu namanya? Mau nggak nganterin Mbaknya sekalian? Lagian tujuan kalian sama toh. Sekalian biar enggak ribet." Ucap Pak Jaya sembari mengalihkan fokusnya ke Bang Radit.
"Radit, Pak. Raditya."
"Gimana, Mbak Ika?"Jujur aku tidak tahu harus merespon pertanyaan barusan seperti apa. Mau menerima tapi takut merepotkan, tetapi mau menolak aku sungguhan membutuhkan tebengannya sekarang.
Selama sekolah aku belum pernah sekalipun terlambat. Jadi jika karena hal ini aku terlambat mengikuti praktikum, maka ini adalah pertama kalinya aku terlambat dalam menghadiri suatu kelas.
Aku menghembuskan napas, "Boleh, kalo ngggak ngerepotin." Akhirnya hanya kata itu yang berhasil lolos dari mulutku.
"Oke. Clear ya ini. Saya buatkan surat tilangnya dulu. Tunggu sebentar!" Dan tanpa repot-repot menunggu jawaban dariku, Pak Jaya langsung berbalik badan dan menuju salah satu rekannya entah untuk meminta apa.
"Sori ya, Bang. Jadi ngerepotin." Aku memecah keheningan diantara kami.
Kulihat Bang Radit yang sedang melihat ponselnya menoleh ke arahku dan tersenyum. Sial! Jantungku.
"Nggak papa, santai."
"Radit."Tiba-tiba tanpa terduga Bang Radit memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, dan mengulurkan tangannya padaku.
"Arunika." Semoga suaraku tidak terdengar aneh.
"Dingin banget. Deg-degan banget ya ditilang?" Tanyanya setelah melepaskan tautan tangan kami.
"Eh." Aku merasa kaget.
"Iya," Akhirnya hanya satu kata itu yang aku berikan. Padahal sesungguhnya, tanganku berubah dingin karena diajak berkenalan dengannya. Bukan karena ditilang oleh pak polisi tadi.
"Ini, Mbak. Jadwalnya selasa minggu depan ya." Aku menerima kertas dari si bapak, dan mengucapkan terima kasih.
"Ya udah, Pak. Kami permisi dulu." Bukan, bukan aku yang mengatakannya. Tetapi laki-laki di sampingku ini, lalu menoleh ke arahku dan memberi kode untuk segera mengikutinya.
***
"Sori, kalo mampir bentar ujian lo keburu nggak?"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari depan. Membuat aku yangs sedang melamun tiba-tiba kaget dan tidak dapat menangkap jelas apa yang dikatakannya barusan. "Ha?"
"Kalo mampir dulu, ujian lo keburu nggak? Tadi katanya lo mau ada ujian." Bang Radit mengulang pertanyaannya kembali.
"Jangan ngalamun mulu, Ka!" Lanjutnya lagi.
"Ooo, enggak kok." Aku berusaha menyunggingkan senyum untuk menanggapi sindirannya barusan. Lalu melirik ke arah pergelangan tangan kiriku untuk memantau jam yang sudah menunjukkan pukul 14.25. Which is berarti masih ada tiga puluh lima menit sebelum praktikum soreku di mulai.
Aku memang tadi sedikit melakukan kebohongan kepada Pas Polisi yang menilangku. Kebohongan yang aku lakukan ini bermaksud agar beliau melepaskan kesalahanku, yang ternyata tidak ada hasilnya sama sekali.
"Yakin? Lo mulai jam berapa emang?" Tanyanya setelah mendengarku mengatakan ketidakberatanku barusan.
"Masih lama kok, jam tiga."
"Eh, tadi katanya seperempat jam lagi. Boongin polisi?"
Aku meringis. Lalu tertawa canggung dan mengatakan, "Iya."
Tidak kusangka Bang Radit tertawa mendengar pernyataanku. Suara tawanya bahkan terdengar jelas di telingaku, meski kami sama-sama menggunakan helm dan sedang berada di tengah jalan raya.
"Gokil deh. Belum pernah di tilang ya?"
"Udah sekali. Cuma dulu nggak diapa-apain, soalnya surat-suratnya lengkap."
"Lah emang tadi diapain?" Tanyanya yang membuatku tergelak seketika.
"Ya... ya nggak di apa-apain juga sih. Cuman kan motornya di tahan." Jelasku setelah berhasil mengendalikan diri.
"Lo lucu deh!"
Dan semoga, pipiku yang berubah kemerahan tidak terlihat dari kaca spionnya.
"Semester berapa?" Tanyanya setelah obrolan kami sempat terputus."Tiga."Dia manggut-manggut di balik kemudinya. "Angkatan 19 ya berarti?""Iya." Kemudian hening.Bukannya berlagak cuek, tapi aku sungguhan tidak tahu harus mengatakan apa selain mejawab pertanyaannya barusan dengan jawaban seadanya. Otakku masih terlalu kaget mengalami kejadian langka seperti ini."Pendiem banget ya, Ka.""Ha? Gimana, Bang?" Aku memastikan pertanyaannya karena tidak terlalu jelas.Dibalik spionnya, Bang Radit kembali tertawa karena aku yang sedari tadi diajak mengobrol kerap tidak mendengar."Lo, anaknya pendiem banget?" Ulangnya dengan intonasi yang lebih lambat."Enggak kok.""Tapi gue tanyain jawabannya singkat mulu, Ka.""Nggak ada topik obrolan aja, Bang. Jadinya ya diem." Jawabku jujur.Bang Radit hanya mengangguk-angguk. Sayangnya aku tidak bisa melihat ekspresinya seperti apa sekarang.***"Sori ya. Lebih lama dari yang gue kira ternyata.""Gak papa kok, Bang. Emang ngurus apaan aja tadi?"Ast
"Thanks." Sambil menenteng cup holder berisikan satu mochachino aku berjalan keluar dari outlet starbucks.Sudah satu jam setelah aku kembali dari praktikum statistika yang membuat rambutku hampir rontok. Entah apa sesungguhnya yang aku pelajari selama ini, yang aku tahu adalah semua soal yang diujikan barusan tidak ada yang aku tahu bagaimana penyelesaiannya.Untunglah Fayka yang mengambil kelas praktikum sama denganku bersikap baik dan memberikanku sedikit contekan. Yang lebih pentingnya lagi, dia mau meminjami ku uang sehingga saat ini aku bisa berjalan-jalan untuk merefresh otak.Menghentikan langkah di depan salah satu outlet, aku merogoh totebagku begitu mendengar suara panggilan masuk dari ponsel yang ada di dalamnya. "Ya, Fay?"Bukannya balas menyapa, malah Fayka langsung mengungkapkan tujuannya menghubungiku. "Lo mau gue jemput nggak? Urusan gue udah kelar nih!" Fayka di seberang sana menawarkanku tebengan untuk pulang.Dia sudah tau kejadian naas yang menimpaku sebelum prakt
"Gue nggak bakal ngajuin penawaran ini jika gue sendiri ngerasa lo nggak bakal mampu, Run. Gue tau banget kemampuan lo, dan itu lebih dari cukup buat handle kerjaan ini." Ucap Bang Bima untuk ke beberapa kalinya."Tapi Bang, masalahnya gue nggak yakin sanggup. Lo kan tau gue anak kemaren sore, masa udah di kasih jobdesk berat kaya gini." Ucapku untuk menolak apa yang diperintahkan pimpinan redaksi ku ini.Bergabung dalam komunitas jurnalistik kampus memang tidak selalu semenyenangkan yang diharapkan. Lebih dari berkali-kali aku tidak sanggup untuk menolak apa yang diperintahkan kepadaku. Bahkan sudah lebih dari 2 kali dalam sebulan ini saja, aku kebagian untuk mewawancarai mapres atau aktivis kampus yang kegiatannya seabrek, yang sebetulnya berada di luar tanggung jawabku.Bukannya tidak suka mereka, tapi lebih ke rasa malas akibat harus berkali-kali mengganti jadwal karena ada saja acara mendadak yang katanya tidak bisa ditinggalkannnya. Entahlah, mungkin memang seperti itu kehidupan
Aku menghembuskan napas perlahan. Akhirnya artikel Bang Radit yang direncanakan akan menjadi headline berita bulan ini selesai aku kerjakan. Mungkin setelah mendapatkan sedikit editan, akan segera kuhubungi salah satu junior untuk mengkonfirmasinya kepada pihak yang bersangkutan. Memastikan apakah sudah oke atau harus ada beberapa bagian yang harus di ubah.Sudah kuputuskan untuk menjalani aksi menghindari diri dari manusia most untouchable itu dalam beberapa saat. Aku masih belum sanggup jika harus bertemu dan berinteraksi langsung dengannya dalam waktu dekat ini.Dari wawancara kemaren malam, aku menyadari sesuatu yang terjadi. Semakin lama aku mengobrol dengannya, semakin aku terkagum-kagum dengan pemikirannya yang luas dan open minded. Dan dengan jelas juga, aku harus rehat sejenak untuk mengembalikan perasaanku agar tidak terlalu menggebu-gebu."Run!" teriak Salsa yang membuyarkan segala lamunanku. Saat ini kami sedang berada di perpustakaan sembari menunggu kelas selanjutnya u
To: Bang RaditYou send a documentSiang Bang, punten itu artikel yang kemarenBisa di cek dl, entar kalo kurang oke bisa gue edit lgFrom: Bang RaditOke, KaAbis rapat entar langsung gue cekThanks yaaTo: Bang RaditSippyPesan singkat itu berakhir dengan Bang Radit yang mengirim sticker jempol yang hanya aku biarkan bercentang biru.Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan berkirim pesan dengannya secara nyata. Meski hanya membicarakan soal artikel, aku sudah cukup senang untuk berbalas pesan singkat dengan dirinya.Kuletakkan ponselku di atas meja, lalu menghembuskan napas dan bergumam pelan. Semoga tidak ada revisi sehingga bisa segera di publish tanpa harus berurusan kembali.By the way, niatku untuk meminta tolong yang lain untuk meng-follow-up artikel Bang Radit tidak jadi aku lakukan. Hati kecilku meragukan keprofesionalitasanku jika tetap melakukan hal yang demikian."Fay, jadi ke perpus nggak?" Ku toel-toel lengannya yang masih sibuk menuliskan sesuatu di buku saktinya.
"Yakin nggak mau bareng?" Sosoknya bertanya untuk kedua kalinya saat aku tak kunjung juga mengiyakan ajakannya itu."Nggak usah, Bang. Temen gue bakalan jemput kok. Abang duluan aja gak papa."Jarak antara perpustakaan dan gerbang keluar kampus memang sangatlah jauh. Apalagi jika ditempuh sendiri, tentu saja itu akan berkali-kali lipat lebih melelahkan."Ya udah kalo gitu. Gue tungguin nyampe temen lo dateng deh! Gue juga nggak ada acara apa-apa kok abis ini." Ucapnya santai sembari menyandarkan kembali punggungnya ke kursi yang tersedia di depan gedung perpustakaan."Eh," Aku setengah tidak mengira dengan jawaban yang akan keluar dari mulutnya itu."Nggak usah, Bang."Kulihat Bang Radit mengernyitkan dahinya, "Kenapa?""Hmm.. " Aku sungguhan bingung ingin menjawab apaBang Radit menghembuskan napasnya, "Keberadaan gue bikin lo nggak nyaman ya?" Lagi-lagi kalimat itu yang keluar dari mulutnya.Aku menggeleng. "Eh, enggak kok."''Terus?""E.. emm.. gimana ya ngomongnya? Gue nggak mau a
Self perception adalah persepsi seseorang akan dirinya sendiri dan penilaiannya, serta persepsi seseorang akan pengalamannya di situasi tertentu***Menyandang sebagai kota hujan, Bogor dan hujan adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Seolah sudah menjadi hal yang menjadi satu, Bogor diasosiasikan dengan hujan, dan hujan pun juga diasosiasikan dengan Bogor. Dan tentunya memaksaku yang super mageran ini untuk senantiasa membawa payung kemanapun ketika sudah memasuki musim penghujan.Untungnya, hujan di kamis sore kali ini benar-benar membawa berkah. Kemacetan yang biasa aku rasakan ketika menempuh perjalanan pulang yang bertepatan dengan after office hours, kali ini tidak terlalu terasa karena orang-orang mungkin memilih untuk menghangatkan tubuhnya dahulu dengan secangkir kopi atau teh sebelum beranjak pulang. Dan keadaan seperti ini membuatku banyak bersyukur karena berhasil memangkas perjalanan selama kurang lebih lima menit."Sore Mbak, baru balik ya?" sapa Rania saat melihat
Everyone is special for their own liveBelieve that you can find a way***"Kenapa hm?" Tanyaku pada perempuan dua puluh tahun ini.Rania menghembuskan napas lelah. Sembari mengelap sisa-sisa air mata di pipinya, sosoknya berusaha tenang dengan kembali menarik napas secara perlahan. "Gue bakal cerita, tapi ini kayaknya bakal jadi deep talk Mbak." Jelasnya setelah berhasil meredam tangisnya.Aku mengangguk mengerti. Lalu menarik kedua tangannya untuk aku satukan dengan tanganku, dengan tujuan mengalirkan rasa tenang pada jiwanya yang sedang terguncang."Dimas selingkuh, Mbak!" Bohong jika aku tidak merasa kaget. Bola mataku mungkin sudah hampir keluar hanya dengan satu kalimat pembuka darinya barusan.Meski dirundung rasa penasaran, aku mencoba tenang dan tak memotong penjelasan Rania yang bahkan belum dimulai ini."Gue nggak tau semenjak kapan Dimas berubah jadi lebih cuek ketimbang dari biasanya. Mulai jarang kasih kabar, chat nggak dibales, dan bahkan belakangan ini story-nya di kec