Home / Fiksi Remaja / Tingkat Dua / Part 3 • Arunika

Share

Part 3 • Arunika

Aku tidak tahu semenjak kapan mulai diam-diam sering memperhatikannya. Mungkin saat dirinya menjadi ketua panitia ospek jurusan yang aku ikuti semester pertama lalu, atau justru ketika sering tidak sengaja berpapasan ketika sama-sama menikmati makan siang di kantin fakultas.

Tadinya aku memang hanya penasaran dengan sosoknya. Tapi siapa yang tau, seringnya melihat dan memperhatikan interaksinya justru membuat rasa penasaranku menjadi lebih kompleks dan berkembang dari apa yang aku duga. Yang dengan berat hati harus aku akui jika aku, benar-benar merasa tertarik dengan seorang Raditya.

Well, pada intinya sudah lama ketika aku bisa menyebut diriku sebagai seorang secret admirer. Yang secara rutin memperhatikannya dalam diam, dan bahkan melakukan campaign

terselubung secara

serupa untuk mempengaruhi orang-orang di dalam lingkunganku untuk memilihnya sebagai ketua hima yang baru.

Anyway, meski selalu men-stalk

kegiatan-kegiatannya, aku masih tidak cukup berani untuk membagikan perasaaanku secara gamblang kepada sahabat-sahabatku. Mengatakan jika aku menyukainya adalah hal yang sangat sulit dan tidak pernah terpikirkan untuk ku jadikan sebagai pilihan.

Apalagi di dalam pemikiranku sendiri, adalah sebuah kemustahilan untuk menjadikan asumsi-asumsi di dalam otakku sebagai sesuatu yang nyata dan bukan hanya sebatas fatamorgana semata.

***

Dari jutaan kemungkinanq yang ada di dunia, aku merasa jika probabilitas sebuah takdir akan membuat kami berinteraksi dalam satu frame yang sama agaknya tidak pernah terjadi. Tapi siapa sangka, dari banyaknya kemungkinan yang biasanya terjadi dalam cerita fiktif yang sering ku baca itu, sebuah kecerobohan justru berujung membuat kami berinteraksi secara langsung seperti ini.

Oke. Sekarang aku percaya jika kehidupan tidak sama dengan apa yang kita lihat di cerita dan film-film romansa.

"Ada apa ya, Pak?" Tanya pemuda jangkung yang tadi dipanggil Pak Wijaya, which is bapak polisi yang sedari tadi tidak mau melepaskan kesalahanku.

Aku meremas-remas ujung sisi bajuku. Sebuah tanda yang menunjukkan bahwa diriku merasa tidak baik-baik saja dan sedang dilanda kegugupan yang luar biasa.

Bagaimana bisa dari ratusan anak dijurusanku yang memiliki kaos lapang, justru laki-laki inilah yang kebetulan memakai atribut prodi tersebut di situasi genting ini. Dan kenapa pula, harus dia yang sama-sama lewat jalan ini di jam-jam seperti ini. God, please help me!

"Masnya satu kampus sama Mbak ini?"

Seketika laki-laki tadi menoleh ke arahku yang masih menunduk, lalu kembali menghadap ke pak polisi yang bertanya tadi. "Iya, Pak."

Mendadak tanganku berkeringat karena tidak tahu harus melakukan apa. Ku lirik si bapak penyebab kejadian ini mengangguk-angguk paham. Lalu tersenyum lebar dan menggumam, "Bagus-bagus."

"Bisa tolong anterin Mbaknya ini sekalian? Soalnya dia katanya tidak punya ongkos buat naik kendaraan umum. Nah kebetulan saya lihat baju kalian samaan, jadi sekalian saja ya? Urusan kamu sudah beres kan?" Sial. Jantungku langsung bertalu-talu tidak karuan karena sederet perkataan yang diucapkannya.

"Hmmm... Gimana ya?" Aku memberanikan diri melirik ke arah samping, dan menemukan sosoknya yang sedang menggaruk tengkuknya karena mungkin merasa bingung dengan permintaan tiba-tiba yang merepotkan dirinya.

"Nggak usah, Pak. Biar saya telepon temen saya aja suruh jemput." Aku memfokuskan pandangan ke Pak Jaya dan menampilkan ekspresi yang seolah-olah mengatakan jika aku tidak membutuhkan tumpangan dari Bang Radit. Meski pada kenyataannya, sudut hatiku yang lain menginginkan sebaliknya.

"Lah, katanya tadi lima belas menit lagi ada ujian. Temennya ada disekitaran sini?"

Dengan berat hati aku menggeleng. "Masih di kontrakkan, Pak."

"Gimana? Siapa kamu namanya? Mau nggak nganterin Mbaknya sekalian? Lagian tujuan kalian sama toh. Sekalian biar enggak ribet." Ucap Pak Jaya sembari mengalihkan fokusnya ke Bang Radit.

"Radit, Pak. Raditya."

"Gimana, Mbak Ika?"Jujur aku tidak tahu harus merespon pertanyaan barusan seperti apa. Mau menerima tapi takut merepotkan, tetapi mau menolak aku sungguhan membutuhkan tebengannya sekarang.

Selama sekolah aku belum pernah sekalipun terlambat. Jadi jika karena hal ini aku terlambat mengikuti praktikum, maka ini adalah pertama kalinya aku terlambat dalam menghadiri suatu kelas.

Aku menghembuskan napas, "Boleh, kalo ngggak ngerepotin." Akhirnya hanya kata itu yang berhasil lolos dari mulutku.

"OkeClear ya ini. Saya buatkan surat tilangnya dulu. Tunggu sebentar!" Dan tanpa repot-repot menunggu jawaban dariku, Pak Jaya langsung berbalik badan dan menuju salah satu rekannya entah untuk meminta apa.

"Sori ya, Bang. Jadi ngerepotin." Aku memecah keheningan diantara kami.

Kulihat Bang Radit yang sedang melihat ponselnya menoleh ke arahku dan tersenyum. Sial! Jantungku.

"Nggak papa, santai."

"Radit."Tiba-tiba tanpa terduga Bang Radit memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, dan mengulurkan tangannya padaku.

"Arunika." Semoga suaraku tidak terdengar aneh.

"Dingin banget. Deg-degan banget ya ditilang?" Tanyanya setelah melepaskan tautan tangan kami.

"Eh." Aku merasa kaget.

"Iya," Akhirnya hanya satu kata itu yang aku berikan. Padahal sesungguhnya, tanganku berubah dingin karena diajak berkenalan dengannya. Bukan karena ditilang oleh pak polisi tadi.

"Ini, Mbak. Jadwalnya selasa minggu depan ya." Aku menerima kertas dari si bapak, dan mengucapkan terima kasih.

"Ya udah, Pak. Kami permisi dulu." Bukan, bukan aku yang mengatakannya. Tetapi laki-laki di sampingku ini, lalu menoleh ke arahku dan memberi kode untuk segera mengikutinya.

***

"Sori, kalo mampir bentar ujian lo keburu nggak?"

Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari depan. Membuat aku yangs sedang melamun tiba-tiba kaget dan tidak dapat menangkap jelas apa yang dikatakannya barusan. "Ha?"

"Kalo mampir dulu, ujian lo keburu nggak? Tadi katanya lo mau ada ujian." Bang Radit mengulang pertanyaannya kembali.

"Jangan ngalamun mulu, Ka!" Lanjutnya lagi.

"Ooo, enggak kok." Aku berusaha menyunggingkan senyum untuk menanggapi sindirannya barusan. Lalu melirik ke arah pergelangan tangan kiriku untuk memantau jam yang sudah menunjukkan pukul 14.25. Which is berarti masih ada tiga puluh lima menit sebelum praktikum soreku di mulai.

Aku memang tadi sedikit melakukan kebohongan kepada Pas Polisi yang menilangku. Kebohongan yang aku lakukan ini bermaksud agar beliau melepaskan kesalahanku, yang ternyata tidak ada hasilnya sama sekali.

"Yakin? Lo mulai jam berapa emang?" Tanyanya setelah mendengarku mengatakan ketidakberatanku barusan.

"Masih lama kok, jam tiga."

"Eh, tadi katanya seperempat jam lagi. Boongin polisi?"

Aku meringis. Lalu tertawa canggung dan mengatakan, "Iya."

Tidak kusangka Bang Radit tertawa mendengar pernyataanku. Suara tawanya bahkan terdengar jelas di telingaku, meski kami sama-sama menggunakan helm dan sedang berada di tengah jalan raya.

"Gokil deh. Belum pernah di tilang ya?"

"Udah sekali. Cuma dulu nggak diapa-apain, soalnya surat-suratnya lengkap."

"Lah emang tadi diapain?" Tanyanya yang membuatku tergelak seketika.

"Ya... ya nggak di apa-apain juga sih. Cuman kan motornya di tahan." Jelasku setelah berhasil mengendalikan diri.

"Lo lucu deh!"

Dan semoga, pipiku yang berubah kemerahan tidak terlihat dari kaca spionnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status