"Yakin nggak mau bareng?" Sosoknya bertanya untuk kedua kalinya saat aku tak kunjung juga mengiyakan ajakannya itu.
"Nggak usah, Bang. Temen gue bakalan jemput kok. Abang duluan aja gak papa."
Jarak antara perpustakaan dan gerbang keluar kampus memang sangatlah jauh. Apalagi jika ditempuh sendiri, tentu saja itu akan berkali-kali lipat lebih melelahkan.
"Ya udah kalo gitu. Gue tungguin nyampe temen lo dateng deh! Gue juga nggak ada acara apa-apa kok abis ini." Ucapnya santai sembari menyandarkan kembali punggungnya ke kursi yang tersedia di depan gedung perpustakaan.
"Eh," Aku setengah tidak mengira dengan jawaban yang akan keluar dari mulutnya itu.
"Nggak usah, Bang."
Kulihat Bang Radit mengernyitkan dahinya, "Kenapa?"
"Hmm.. " Aku sungguhan bingung ingin menjawab apa
Bang Radit menghembuskan napasnya, "Keberadaan gue bikin lo nggak nyaman ya?" Lagi-lagi kalimat itu yang keluar dari mulutnya.
Aku menggeleng. "Eh, enggak kok."
''Terus?"
"E.. emm.. gimana ya ngomongnya? Gue nggak mau aja kalo entar ada salah paham aja gitu."
Aku mencoba memberitahunya secara tidak langsung jika keberadaanya disini rentan menimbulkan kesalahpahaman. Orang yang melihat dia duduk semeja denganku akan berasumsi bahwa ada hubungan tertentu diantara kami berdua.
"Soal apa?" Bang Radit menautkan kedua alisnya.
"Hubungan kita." Jawabku setelah memberanikan diri.
"Eh, maksud gue entar temen gue salah ngira kalo ada hubungan diantara kita gitu, Bang." Aku meringis setelah menjelaskan isi pikiranku kepadanya.
"Loh, kalo kaya gitu ya nggak salah paham, Ka. Emang sejak kapan kita nggak ada hubungan apa-apa?"
Astagfirullah - ini beneran si abang enggak paham maksud aku, atau emang sengaja ngeledek? Aku masih belum membalas pertanyaannya barusan.
Kudengar Bang Radit berdehem pelan. "Sori-sori. Bercandaan gue keterlaluan ya?" Ucapnya lebih lanjut.
Aku hanya meringis, memilih untuk tidak menjawab karena bingung harus menggeleng atau menganggguk. Untungnyapun dia seperti memahamiku dengan tidak menuntut jawaban atas pertanyaannya barusan.
***
"Jadi udah sampe mana?" Tanyanya setelah lima menit terlewat dari kejadian tadi.
Aku menggeleng. "Belum ngabarin lagi Bang anaknya."
"Nggak coba di telfon aja? Siapa tau ada kendala gitu di jalan." Bang Radit mencoba memberi usul yang langsung aku iyakan.
Belum juga aku mengambil ponsel, justru lelaki di depanku inilah yang sudah mendapatkan panggilan. Memilih mengurungkan niat, aku menunggu Bang Radit yang saat ini menjawab telepon yang sepertinya cukup penting itu.
Bukannya bermaksud lancang mendengarkan obrolannya, tapi memang dia tidak beranjak dari tempat duduknya sekarang. Alhasil, aku pun sedikit menangkap pembicaraannya dengan rekan di seberang setelah beberapa kali sosoknya menyebut kata 'rapat' dan 'sekarang banget'.
Dan benar saja, tepat setelah ia menutup telepon itu Bang Radit kelihatan tidak enak saat menatapku.
"Kenapa, Bang?" Aku memilih untuk membuka pembicaraan terlebih dulu.
"Rapat?" Lanjutku kemudian.
Masih dengan wajah tidak enaknya, Bang Radit mengangguk mengiyakan. "Tapi gakpapa kok nunggu temen lo nyampe sini dulu."
Aku mengangguk-angguk. Tidak menyangka jika dirinya justru memilih mengucapkan kalimat itu saat sosoknya sendiri sudah di tunggu oleh teman-temannya.
Memang saat bertelepon tadi, ia sudah menyinggung jika anak-anak sudah kumpul dan tinggal menunggu dirinya. Dan pada akhirnya aku memilih berbohong dengan mengatakan bahwa teman yang aku akui akan menjemputku itu baru saja mengirim pesan jika sudah hampir sampai di tempat ini. And of course alasanku barusan mampu membuatnya beranjak pergi meski harus meminta maaf dulu padaku untuk beberapa kali.
***
"Masih di perpus nggak?" Satu kalimat pertama Fayka saat aku menerima panggilannya.
"Hmm" Balasku sembari mengedarkan pandangan ke sekitar.
"Gue nggak jadi dateng ya...." Ucapnya tidak enak.
Aku hanya tersenyum. "Ya kali Fai.... Ini juga udah hampir ashar. Udah nggak kuat juga gue kalo harus ngerjain tugas sekarang."
Fayka di seberang sana terdengar menghela napas. "Sori ya.... Asli gue nggak expect banget kalo bakal selama itu."
"Nggak papa, Fai. Kaya sama siapa aja!"
"Tapi lo bisa jemput gue kan?" Aku bertanya karena malas untuk berjalan pulang. Jika ingin menggunakan ojek kampus pun aku harus berjalan terlebih dahulu, sehingga best optionnya
adalah meminta sahabatku itu untuk menjemput."Aman sis, gue otw sekarang!"
Self perception adalah persepsi seseorang akan dirinya sendiri dan penilaiannya, serta persepsi seseorang akan pengalamannya di situasi tertentu***Menyandang sebagai kota hujan, Bogor dan hujan adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Seolah sudah menjadi hal yang menjadi satu, Bogor diasosiasikan dengan hujan, dan hujan pun juga diasosiasikan dengan Bogor. Dan tentunya memaksaku yang super mageran ini untuk senantiasa membawa payung kemanapun ketika sudah memasuki musim penghujan.Untungnya, hujan di kamis sore kali ini benar-benar membawa berkah. Kemacetan yang biasa aku rasakan ketika menempuh perjalanan pulang yang bertepatan dengan after office hours, kali ini tidak terlalu terasa karena orang-orang mungkin memilih untuk menghangatkan tubuhnya dahulu dengan secangkir kopi atau teh sebelum beranjak pulang. Dan keadaan seperti ini membuatku banyak bersyukur karena berhasil memangkas perjalanan selama kurang lebih lima menit."Sore Mbak, baru balik ya?" sapa Rania saat melihat
Orang bilang awal umur dua puluhan adalah saat yang tepat untuk coba-coba, waktu yang sempurna untuk out of the comfort zone dan benar-benar menemukan apa yang sebenarnya menjadi passion diri. Bukan berarti main-main dengan setiap yang di kerjakan, tetapi lebih berusaha sebaik mungkin untuk menemukan sebuah kenyamanan di dalamnya.Jika toh nanti tidak sesuai yang diharapkan, masih ada kesempatan lain untuk mencoba hal baru yang tidak pernah kita duga sebelumnya.Dan aku rasa, mengisinya dengan diam-diam menyukai seseorang bukalah hal yang salah juga."Pojok kanan, kemeja biru, lengannya di gulung nyampe siku." Bisik Fayka padaku, Salsa dan Raini yang sedang mengikuti kuliah umum bersama anak-anak dari satu jurusan.Kami yang biasanya hanya kuliah bersama teman sekelas, kini mendapat kesempatan untuk kuliah bersama kakak tingkat dan adik tingkat karena adanya dosen tamu yang datang."Yang mana?" Tanya Raini mencoba memastikan.Entah kenapa aku ikut menoleh mengikuti instruksi yang dibe
Memasuki semester genap kemarin, bagiku jumat menjadi hari yang sangat menyebalkan dalam lima hari weekdays. Bagaimana aku mengatakan demikian? Karena jadwal kuliahku berjarak seperti langit dan bumi. Dengan kelas pagi yang dimulai jam tujuh pagi, dan kelas sore yang baru dimulai jam tiga sore. Sialnya lagi, kelas sore adalah praktikum yang kehadirannya harus seratus persen. It means, tidak ada kesempatan bagiku untuk membolos kelas mau bagaimana pun keadaannya."Ra, gue jalan dulu ya." Aku berteriak kepada Raini yang sedang menikmati makan siangnya di dapur kontrakan.Sembari menenteng helm bogo yang sudah menemaniku setahun ini, aku berjalan keluar untuk mengambil motor scoopyku untuk on the way ke kampus. Sore ini ada kuis pra UTS yang harus aku ikuti. So, aku berangkat lebih cepat dari biasanya untuk menghindari hal-hal tidak terduga yang tidak diinginkanBaru sampai di setengah perjalanan, tiba-tiba motorku diarahkan ke pinggir jalan oleh beberapa pak polisi yang sepertinya sedan
Aku tidak tahu semenjak kapan mulai diam-diam sering memperhatikannya. Mungkin saat dirinya menjadi ketua panitia ospek jurusan yang aku ikuti semester pertama lalu, atau justru ketika sering tidak sengaja berpapasan ketika sama-sama menikmati makan siang di kantin fakultas.Tadinya aku memang hanya penasaran dengan sosoknya. Tapi siapa yang tau, seringnya melihat dan memperhatikan interaksinya justru membuat rasa penasaranku menjadi lebih kompleks dan berkembang dari apa yang aku duga. Yang dengan berat hati harus aku akui jika aku, benar-benar merasa tertarik dengan seorang Raditya.Well, pada intinya sudah lama ketika aku bisa menyebut diriku sebagai seorang secret admirer. Yang secara rutin memperhatikannya dalam diam, dan bahkan melakukan campaign terselubung secara serupa untuk mempengaruhi orang-orang di dalam lingkunganku untuk memilihnya sebagai ketua hima yang baru.Anyway, meski selalu men-stalk kegiatan-kegiatannya, aku masih tidak cukup berani untuk membagikan perasaaanku
"Semester berapa?" Tanyanya setelah obrolan kami sempat terputus."Tiga."Dia manggut-manggut di balik kemudinya. "Angkatan 19 ya berarti?""Iya." Kemudian hening.Bukannya berlagak cuek, tapi aku sungguhan tidak tahu harus mengatakan apa selain mejawab pertanyaannya barusan dengan jawaban seadanya. Otakku masih terlalu kaget mengalami kejadian langka seperti ini."Pendiem banget ya, Ka.""Ha? Gimana, Bang?" Aku memastikan pertanyaannya karena tidak terlalu jelas.Dibalik spionnya, Bang Radit kembali tertawa karena aku yang sedari tadi diajak mengobrol kerap tidak mendengar."Lo, anaknya pendiem banget?" Ulangnya dengan intonasi yang lebih lambat."Enggak kok.""Tapi gue tanyain jawabannya singkat mulu, Ka.""Nggak ada topik obrolan aja, Bang. Jadinya ya diem." Jawabku jujur.Bang Radit hanya mengangguk-angguk. Sayangnya aku tidak bisa melihat ekspresinya seperti apa sekarang.***"Sori ya. Lebih lama dari yang gue kira ternyata.""Gak papa kok, Bang. Emang ngurus apaan aja tadi?"Ast
"Thanks." Sambil menenteng cup holder berisikan satu mochachino aku berjalan keluar dari outlet starbucks.Sudah satu jam setelah aku kembali dari praktikum statistika yang membuat rambutku hampir rontok. Entah apa sesungguhnya yang aku pelajari selama ini, yang aku tahu adalah semua soal yang diujikan barusan tidak ada yang aku tahu bagaimana penyelesaiannya.Untunglah Fayka yang mengambil kelas praktikum sama denganku bersikap baik dan memberikanku sedikit contekan. Yang lebih pentingnya lagi, dia mau meminjami ku uang sehingga saat ini aku bisa berjalan-jalan untuk merefresh otak.Menghentikan langkah di depan salah satu outlet, aku merogoh totebagku begitu mendengar suara panggilan masuk dari ponsel yang ada di dalamnya. "Ya, Fay?"Bukannya balas menyapa, malah Fayka langsung mengungkapkan tujuannya menghubungiku. "Lo mau gue jemput nggak? Urusan gue udah kelar nih!" Fayka di seberang sana menawarkanku tebengan untuk pulang.Dia sudah tau kejadian naas yang menimpaku sebelum prakt
"Gue nggak bakal ngajuin penawaran ini jika gue sendiri ngerasa lo nggak bakal mampu, Run. Gue tau banget kemampuan lo, dan itu lebih dari cukup buat handle kerjaan ini." Ucap Bang Bima untuk ke beberapa kalinya."Tapi Bang, masalahnya gue nggak yakin sanggup. Lo kan tau gue anak kemaren sore, masa udah di kasih jobdesk berat kaya gini." Ucapku untuk menolak apa yang diperintahkan pimpinan redaksi ku ini.Bergabung dalam komunitas jurnalistik kampus memang tidak selalu semenyenangkan yang diharapkan. Lebih dari berkali-kali aku tidak sanggup untuk menolak apa yang diperintahkan kepadaku. Bahkan sudah lebih dari 2 kali dalam sebulan ini saja, aku kebagian untuk mewawancarai mapres atau aktivis kampus yang kegiatannya seabrek, yang sebetulnya berada di luar tanggung jawabku.Bukannya tidak suka mereka, tapi lebih ke rasa malas akibat harus berkali-kali mengganti jadwal karena ada saja acara mendadak yang katanya tidak bisa ditinggalkannnya. Entahlah, mungkin memang seperti itu kehidupan
Aku menghembuskan napas perlahan. Akhirnya artikel Bang Radit yang direncanakan akan menjadi headline berita bulan ini selesai aku kerjakan. Mungkin setelah mendapatkan sedikit editan, akan segera kuhubungi salah satu junior untuk mengkonfirmasinya kepada pihak yang bersangkutan. Memastikan apakah sudah oke atau harus ada beberapa bagian yang harus di ubah.Sudah kuputuskan untuk menjalani aksi menghindari diri dari manusia most untouchable itu dalam beberapa saat. Aku masih belum sanggup jika harus bertemu dan berinteraksi langsung dengannya dalam waktu dekat ini.Dari wawancara kemaren malam, aku menyadari sesuatu yang terjadi. Semakin lama aku mengobrol dengannya, semakin aku terkagum-kagum dengan pemikirannya yang luas dan open minded. Dan dengan jelas juga, aku harus rehat sejenak untuk mengembalikan perasaanku agar tidak terlalu menggebu-gebu."Run!" teriak Salsa yang membuyarkan segala lamunanku. Saat ini kami sedang berada di perpustakaan sembari menunggu kelas selanjutnya u