To: Bang Radit
You send a document
Siang Bang, punten itu artikel yang kemaren
Bisa di cek dl, entar kalo kurang oke bisa gue edit lgFrom: Bang Radit
Oke, Ka Abis rapat entar langsung gue cekThanks yaaTo: Bang Radit
SippyPesan singkat itu berakhir dengan Bang Radit
yang mengirim sticker jempol yang hanya aku biarkan bercentang biru.Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan berkirim pesan dengannya secara nyata. Meski hanya membicarakan soal artikel, aku sudah cukup senang untuk berbalas pesan singkat dengan dirinya.
Kuletakkan ponselku di atas meja, lalu menghembuskan napas dan bergumam pelan. Semoga tidak ada revisi sehingga bisa segera di publish tanpa harus berurusan kembali.
By the way, niatku untuk meminta tolong yang lain untuk meng-follow-up artikel Bang Radit tidak jadi aku lakukan. Hati kecilku meragukan keprofesionalitasanku jika tetap melakukan hal yang demikian.
"Fay, jadi ke perpus nggak?" Ku toel-toel lengannya yang masih sibuk menuliskan sesuatu di buku saktinya.
Aku tau Fayka mulai terganggu dengah aksi jahilku, tapi entah kenapa dia masih tahan dan belum menghentikan aktivitasnya. "Jadi, cuman gue nanti mau konsultasi dulu. Lo kesana duluan, entar gue susul!"
Aku mengerucutkan bibir kesal, "Tuh kan, tuh! Lo gitu mah sama gue!"
"Ya elah, Run. Kumat dah elo. Atau mau ikut gue konsul aja?"
"Gilak lo ya, ngapain juga gue ngikut lo. Plonga-plongo ntar gue di sono."
Kulirik Fayka menghentikan aktivitas menulisnya, lalu memfokuskan pandangan kepadaku "Lo bener-bener ya..." Ucapnya geregetan dengan tingkahku.
Aku mengulum bibir kedalam, "Ya gimana ya, gue mau ngajak Raini sama yang lainnya juga katanya enggak bisa. Lagi pada sibuk ngapain dah pada."
"UKM, himpro, atau kepanitiaan kali. Mereka kan tipe orang yang memanfaatkan waktu dengan bijak!" Sindirnya yang jelas ditujukan kepada siapa.
Ya benar, aku memang seperti itu. Malas mengikuti kegiatan apapun yang menyita waktu luang berharga yang aku miliki. Terakhir kali ikut pun sudah lebih dari setahun lalu, saat dimana akhirnya aku bisa mendapatkan senyumnya untuk pertama kali.
***
Tempat yang nyaman dan WIFi yang lancar adalah kelebihan tersendiri yang dimiliki oleh sebuah gedung yang bernama perpustakaan. Bukan perihal buku yang tersedia yang begitu banyak, justru kecepatan jaringan internet yang lebih cepat dibandingkan tempat lain adalah yang paling favorit bagi mahasiswa sepertiku.Aku berdiri dan sedikit meregangkan badan karena merasa sedikit pegal. Sudah hampir setengah jam aku duduk di dalam peperpustakaan dua lantai ini, dengan ditemani sebuah tumblr minum yang isinya sudah hampir habis. Sedari tadi yang aku lakukan hanya menghabiskan waktu dengan scrol-scrol i*******m yang berisikan orang pamer liburan atau harta kekayaan, karena tujuan utama untuk mengerjakan tugas tidak bisa aku lakukan jika aku hanya seorang diri di sini.
Fayka baru saja mengabarkan bahwa dia akan telat dari jam yang sebelumnya kita janjikan. Kulirik jam tangan yang melingkar apik di lengan kiriku, jarum pendeknya menunjuk di angka dua. Dia berjanji untuk datang pukul setengah tiga, dan baru saja memberitaku untuk datang lebih lama dari yang dia perkiraan.
Astaga, harus apa aku sekarang untuk membunuh rasa bosan!
Sekilas aku melirik kembali pada layar ponselku. Masih jam 2.05. Ada waktu hampir setengah jam untuk aku harus menemukan cara membunuh rasa bosan dari menunggu.
Aku teringat tugas mata kuliah kependudukan yang belum aku kerjakan. Tadi saat di kelas aku sempat memfoto tugas milik Salsa untuk aku salin di kontrakkan nantinya. Tapi dari pada bingung melakukan apa, aku lebih memilih untuk menyicil menulis tugas yang besok harus sudah dikumpulkan.
Aku tau mencontek adalah suatu bentuk kecurangan dan termasuk kriminalitas, meski jika dipikir-pikir lagi ini adalah hal yang wajar bagi pelajar sepertiku. Mengingat aku memiliki otak yang seringkali diajak berpikir berat tidak bisa, aku selalu kesulitan untuk menyelesaikan tugas yang berhubungan dengan hitung menghitung. Dan mencontek rasanya masih lebih baik, setidaknya aku punya usaha dibandingkan dengan hanya menyerahkannya ke tukang joki tugas saja. Dan supaya bisa bertahan di dunia perkuliahan, sedikit kerjasama dengan teman-teman sepertinya memang harus aku lakukan.
"Sori, kursi ini ada yang nempatin nggak?"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar sangat dekat dari posisiku. Membuat aku mengalihkan pandangan dari HP dan buku catatan yang sedari tadi menjadi fokusku.
Tubuhku langsung membeku, seolah suara barusan adalah pertanda bahaya yang bisa menyerang seluruh syaraf dalam tubuh seseorang. Bunda! Semoga aku tidak bersikap bodoh seperti yang dahulu!
Meski terasa canggung, aku berusaha tersenyum ramah. Lalu menatap kearahnya sembari berkata, "Ng-enggak ada kok."
"Gue numpang duduk sini ya kalo gitu. Tempatnya penuh banget." Tanpa menunggu persetujuanku dia langsung menarik kursi dan mendudukinya.
Ya, dia adalah Bang Radit. Raditya yang sama yang memberi tebengan saat aku ditilang, juga sosok menawan yang baru kemaren aku wawancarai.
Aku langsung kembali menunduk. Menutup buku catatanku agar tidak terlihat sedang menyalin jawaban. Mengembalikan layar handphone ke fitur home, lalu mengambil tumblr dan menyeruput isinya secara perlahan.
Aku tidak bisa lagi melanjutkan aktivitas yang sebenarnya baru aku lakukan itu. Selain karena fokusku sudah menguap entah kemana, aku juga tidak sanggup untuk menanggung malu jika ketahuan sedang menyalin tugas.
Berkali-kali aku mencoba merilekskan tubuh dengan menarik napas panjang. Cara yang biasanya cukup ampuh untuk mengembalikan pikiran buyarku
Jam-jam seperti ini memang perpustakaan sedang padat-padatnya. Cuaca panas di luar sana berhasil mendorong orang-orang untuk mencari tempat yang lebih dingin untuk menghabiskan waktu. Dan tentu saja, perpustakaan menjadi salah satu tempat pilihan diantara itu.
"Gimana Ka kabarnya?" Tiba-tiba Bang Radit melontarkan satu pertanyaan yang membuatku kaget.
Ha? Salah denger nggak sih nih aku!
Susah payah aku berusaha menutupi keterkejutan dengan kembali tersenyum tipis. Aku tidak menyangka jika Bang Radit masih mengingat namaku dengan baik.
"Baik, Bang. Abang gimana?"
Dia tertawa kecil sembari menggaruk kepala belakangnya yang mungkin saja gatal. "Baik."
"Gue ganggu ya? Soalnya lo keliatan canggung banget dari setelah gue dateng."
Ada jeda beberapa saat untuk otakku mencerna semua ini. "Eh. Enggak kok."
"Keliatan banget kali, Ka. Elonya nggak nyaman semenjak gue ada di sini.
Meski sekarang perasaanku tidak dapat didefinsiikan, aku tau dengan pasti bahwa sebenarnya selain gugup, aku tidak terganggu seperti yang dikatakannya. Melainkan merasa begitu senang hingga tidak tau harus berkata apa.
"Yakin nggak mau bareng?" Sosoknya bertanya untuk kedua kalinya saat aku tak kunjung juga mengiyakan ajakannya itu."Nggak usah, Bang. Temen gue bakalan jemput kok. Abang duluan aja gak papa."Jarak antara perpustakaan dan gerbang keluar kampus memang sangatlah jauh. Apalagi jika ditempuh sendiri, tentu saja itu akan berkali-kali lipat lebih melelahkan."Ya udah kalo gitu. Gue tungguin nyampe temen lo dateng deh! Gue juga nggak ada acara apa-apa kok abis ini." Ucapnya santai sembari menyandarkan kembali punggungnya ke kursi yang tersedia di depan gedung perpustakaan."Eh," Aku setengah tidak mengira dengan jawaban yang akan keluar dari mulutnya itu."Nggak usah, Bang."Kulihat Bang Radit mengernyitkan dahinya, "Kenapa?""Hmm.. " Aku sungguhan bingung ingin menjawab apaBang Radit menghembuskan napasnya, "Keberadaan gue bikin lo nggak nyaman ya?" Lagi-lagi kalimat itu yang keluar dari mulutnya.Aku menggeleng. "Eh, enggak kok."''Terus?""E.. emm.. gimana ya ngomongnya? Gue nggak mau a
Self perception adalah persepsi seseorang akan dirinya sendiri dan penilaiannya, serta persepsi seseorang akan pengalamannya di situasi tertentu***Menyandang sebagai kota hujan, Bogor dan hujan adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Seolah sudah menjadi hal yang menjadi satu, Bogor diasosiasikan dengan hujan, dan hujan pun juga diasosiasikan dengan Bogor. Dan tentunya memaksaku yang super mageran ini untuk senantiasa membawa payung kemanapun ketika sudah memasuki musim penghujan.Untungnya, hujan di kamis sore kali ini benar-benar membawa berkah. Kemacetan yang biasa aku rasakan ketika menempuh perjalanan pulang yang bertepatan dengan after office hours, kali ini tidak terlalu terasa karena orang-orang mungkin memilih untuk menghangatkan tubuhnya dahulu dengan secangkir kopi atau teh sebelum beranjak pulang. Dan keadaan seperti ini membuatku banyak bersyukur karena berhasil memangkas perjalanan selama kurang lebih lima menit."Sore Mbak, baru balik ya?" sapa Rania saat melihat
Orang bilang awal umur dua puluhan adalah saat yang tepat untuk coba-coba, waktu yang sempurna untuk out of the comfort zone dan benar-benar menemukan apa yang sebenarnya menjadi passion diri. Bukan berarti main-main dengan setiap yang di kerjakan, tetapi lebih berusaha sebaik mungkin untuk menemukan sebuah kenyamanan di dalamnya.Jika toh nanti tidak sesuai yang diharapkan, masih ada kesempatan lain untuk mencoba hal baru yang tidak pernah kita duga sebelumnya.Dan aku rasa, mengisinya dengan diam-diam menyukai seseorang bukalah hal yang salah juga."Pojok kanan, kemeja biru, lengannya di gulung nyampe siku." Bisik Fayka padaku, Salsa dan Raini yang sedang mengikuti kuliah umum bersama anak-anak dari satu jurusan.Kami yang biasanya hanya kuliah bersama teman sekelas, kini mendapat kesempatan untuk kuliah bersama kakak tingkat dan adik tingkat karena adanya dosen tamu yang datang."Yang mana?" Tanya Raini mencoba memastikan.Entah kenapa aku ikut menoleh mengikuti instruksi yang dibe
Memasuki semester genap kemarin, bagiku jumat menjadi hari yang sangat menyebalkan dalam lima hari weekdays. Bagaimana aku mengatakan demikian? Karena jadwal kuliahku berjarak seperti langit dan bumi. Dengan kelas pagi yang dimulai jam tujuh pagi, dan kelas sore yang baru dimulai jam tiga sore. Sialnya lagi, kelas sore adalah praktikum yang kehadirannya harus seratus persen. It means, tidak ada kesempatan bagiku untuk membolos kelas mau bagaimana pun keadaannya."Ra, gue jalan dulu ya." Aku berteriak kepada Raini yang sedang menikmati makan siangnya di dapur kontrakan.Sembari menenteng helm bogo yang sudah menemaniku setahun ini, aku berjalan keluar untuk mengambil motor scoopyku untuk on the way ke kampus. Sore ini ada kuis pra UTS yang harus aku ikuti. So, aku berangkat lebih cepat dari biasanya untuk menghindari hal-hal tidak terduga yang tidak diinginkanBaru sampai di setengah perjalanan, tiba-tiba motorku diarahkan ke pinggir jalan oleh beberapa pak polisi yang sepertinya sedan
Aku tidak tahu semenjak kapan mulai diam-diam sering memperhatikannya. Mungkin saat dirinya menjadi ketua panitia ospek jurusan yang aku ikuti semester pertama lalu, atau justru ketika sering tidak sengaja berpapasan ketika sama-sama menikmati makan siang di kantin fakultas.Tadinya aku memang hanya penasaran dengan sosoknya. Tapi siapa yang tau, seringnya melihat dan memperhatikan interaksinya justru membuat rasa penasaranku menjadi lebih kompleks dan berkembang dari apa yang aku duga. Yang dengan berat hati harus aku akui jika aku, benar-benar merasa tertarik dengan seorang Raditya.Well, pada intinya sudah lama ketika aku bisa menyebut diriku sebagai seorang secret admirer. Yang secara rutin memperhatikannya dalam diam, dan bahkan melakukan campaign terselubung secara serupa untuk mempengaruhi orang-orang di dalam lingkunganku untuk memilihnya sebagai ketua hima yang baru.Anyway, meski selalu men-stalk kegiatan-kegiatannya, aku masih tidak cukup berani untuk membagikan perasaaanku
"Semester berapa?" Tanyanya setelah obrolan kami sempat terputus."Tiga."Dia manggut-manggut di balik kemudinya. "Angkatan 19 ya berarti?""Iya." Kemudian hening.Bukannya berlagak cuek, tapi aku sungguhan tidak tahu harus mengatakan apa selain mejawab pertanyaannya barusan dengan jawaban seadanya. Otakku masih terlalu kaget mengalami kejadian langka seperti ini."Pendiem banget ya, Ka.""Ha? Gimana, Bang?" Aku memastikan pertanyaannya karena tidak terlalu jelas.Dibalik spionnya, Bang Radit kembali tertawa karena aku yang sedari tadi diajak mengobrol kerap tidak mendengar."Lo, anaknya pendiem banget?" Ulangnya dengan intonasi yang lebih lambat."Enggak kok.""Tapi gue tanyain jawabannya singkat mulu, Ka.""Nggak ada topik obrolan aja, Bang. Jadinya ya diem." Jawabku jujur.Bang Radit hanya mengangguk-angguk. Sayangnya aku tidak bisa melihat ekspresinya seperti apa sekarang.***"Sori ya. Lebih lama dari yang gue kira ternyata.""Gak papa kok, Bang. Emang ngurus apaan aja tadi?"Ast
"Thanks." Sambil menenteng cup holder berisikan satu mochachino aku berjalan keluar dari outlet starbucks.Sudah satu jam setelah aku kembali dari praktikum statistika yang membuat rambutku hampir rontok. Entah apa sesungguhnya yang aku pelajari selama ini, yang aku tahu adalah semua soal yang diujikan barusan tidak ada yang aku tahu bagaimana penyelesaiannya.Untunglah Fayka yang mengambil kelas praktikum sama denganku bersikap baik dan memberikanku sedikit contekan. Yang lebih pentingnya lagi, dia mau meminjami ku uang sehingga saat ini aku bisa berjalan-jalan untuk merefresh otak.Menghentikan langkah di depan salah satu outlet, aku merogoh totebagku begitu mendengar suara panggilan masuk dari ponsel yang ada di dalamnya. "Ya, Fay?"Bukannya balas menyapa, malah Fayka langsung mengungkapkan tujuannya menghubungiku. "Lo mau gue jemput nggak? Urusan gue udah kelar nih!" Fayka di seberang sana menawarkanku tebengan untuk pulang.Dia sudah tau kejadian naas yang menimpaku sebelum prakt
"Gue nggak bakal ngajuin penawaran ini jika gue sendiri ngerasa lo nggak bakal mampu, Run. Gue tau banget kemampuan lo, dan itu lebih dari cukup buat handle kerjaan ini." Ucap Bang Bima untuk ke beberapa kalinya."Tapi Bang, masalahnya gue nggak yakin sanggup. Lo kan tau gue anak kemaren sore, masa udah di kasih jobdesk berat kaya gini." Ucapku untuk menolak apa yang diperintahkan pimpinan redaksi ku ini.Bergabung dalam komunitas jurnalistik kampus memang tidak selalu semenyenangkan yang diharapkan. Lebih dari berkali-kali aku tidak sanggup untuk menolak apa yang diperintahkan kepadaku. Bahkan sudah lebih dari 2 kali dalam sebulan ini saja, aku kebagian untuk mewawancarai mapres atau aktivis kampus yang kegiatannya seabrek, yang sebetulnya berada di luar tanggung jawabku.Bukannya tidak suka mereka, tapi lebih ke rasa malas akibat harus berkali-kali mengganti jadwal karena ada saja acara mendadak yang katanya tidak bisa ditinggalkannnya. Entahlah, mungkin memang seperti itu kehidupan