Aku menghembuskan napas perlahan. Akhirnya artikel Bang Radit yang direncanakan akan menjadi headline berita bulan ini selesai aku kerjakan. Mungkin setelah mendapatkan sedikit editan, akan segera kuhubungi salah satu junior untuk mengkonfirmasinya kepada pihak yang bersangkutan. Memastikan apakah sudah oke atau harus ada beberapa bagian yang harus di ubah.
Sudah kuputuskan untuk menjalani aksi menghindari diri dari manusia most untouchable itu dalam beberapa saat. Aku masih belum sanggup jika harus bertemu dan berinteraksi langsung dengannya dalam waktu dekat ini.
Dari wawancara kemaren malam, aku menyadari sesuatu yang terjadi. Semakin lama aku mengobrol dengannya, semakin aku terkagum-kagum dengan pemikirannya yang luas dan open minded. Dan dengan jelas juga, aku harus rehat sejenak untuk mengembalikan perasaanku agar tidak terlalu menggebu-gebu.
"Run!" teriak Salsa yang membuyarkan segala lamunanku. Saat ini kami sedang berada di perpustakaan sembari menunggu kelas selanjutnya untuk di mulai.
"Lo ngerasa aneh nggak sih sama kelakuan mereka?" Ucapnya sambil menggerakan dagunya ke arah sebelah kiri.
Aku mengikuti arah pandangnya, lalu mulai memicingkan mata untuk dapat menemukan keanehan diantara Vino dan Andin. Mereka adalah teman sekelas kami, dan tidak ada yang aneh dengan mereka berdua jika dilihat dari sudut pandangku.
"Biasa aja kok, Sal. Lagian bagian mananya yang aneh? Orang sama kayak yang lain gitu juga kok."
Salsa berdecak kesal, "Dasar lo ya! Percuma deh gue nggosip sama elo, nggak asik!"
Loh-loh, kenapa nih si bocah, kenapa tiba-tiba marah gini ke gue. Kan udah gue respon sesuai fakta, gimana ceritanya?
"Emang mereka normal-normal aja kali, apa yang mau di komentarin coba?" Bingungku akan responnya.
"Ya elah, Run. Lo kenal mereka udah berapa lama sih? Mereka kan nggak pernah keliatan akur berdua, kenapa sekarang bisa duduk anteng deketan gitu? Mana nempel banget." ucapnya menggebu-gebu.
Aku hanya memutar bola mata jengah, "Ya elah, gitu aja elo gosipin. Ya bagus dong kalo mereka akhirnya akur."
"Bagus-bagus, cuma gue agak penasaran aja sih. Sepertinya ada bau-bau yang mau jadian!" Ucapnya sembari mengetuk-ngetukkan ujung jarinya di atas meja.
Aku memilih tetap diam karena paham jika terus merespon Salsa, maka buntutnya akan sangat panjang.
***
"Aduh, gue baru inget kalo harus kerkom buat matkulnya Pak Saka!"Kalimat Salsa membuatku teringat kalo kelompokku sendiri belum mengerjakan. Tanpa mengatakan apapun, kami langsung berbalik arah menuju kelas.
Setelah dari perpus tadi kami berencana untuk lanjut makan. Tapi tugas kelompok yang sudah hampir deadline membuat aku dan Salsa akhirnya mengurungkan niat.
Kami berjalan menuju ruangan dengan mengobrol santai, dengan aku yang lebih tepat dibilang menjadi pendengar.
Omong-omong menjadi mahasiswa tingkat dua lumayan cukup sibuk. Tugas akhir hampir di setiap mata kuliah, hingga kerja kelompok yang harus kami kerjakan setiap minggu karena tugas rutin presentasi yang harus di lakukan.
Aku mengambil ponsel dari saku untuk menanyakan kabar kelompokku apakah jadi kerja kelompok atau tidak siang ini. Kami janjian untuk menyicil mengerjakannya sebelum kelas menulis ilmiah di mulai, sehingga sekalian aku mengingatkan mereka untuk datang lebih awal dari biasanya.
Kelas terlihat sangat ramai dengan teman-teman yang aku duga akan mengerjakan tugas yang sama. Aku menghampiri anggota kelompokku yang duduk bergerombol di sebelah kiri depan kelas. Aku tebak kelas belum di buka, sehingga anak-anak duduk tidak beraturan memenuhi bagian depan ruang kelas dengan gerombolannya masing-masing.
"Kelasnya belom di buka, Run!" Sabela memberi tahuku ketika aku ikut duduk diantara mereka.
"Tumben," Responku sembari memperhatikan keadaan sekitar.
Deg! Tanpa kusangka aku melihat sosoknya. Sedang berbincang bersama Pak Ahmad, salah satu dosen yang ada di fakultas kami.
Kelas kuliah kami memang tidak menentu, tapi aku juga tidak menyangka jika akan mendapatkan keberuntungan seperti ini. Bertemu dengan orang yang mati-matian aku hindari beberapa hari kebelakang.
Niat hati ingin cuti menghindar, tapi mataku tidak mau di ajak bekerjasama dengan benar.
Bang Radit tampak begitu serius berbincang dengan Pak Ahmad. Alis tebalnya bahkan terlihat beberapa kali menyatu sangking seriusnya. Sebuah gestur yang sering dia lakukan saat terlibat obrolan serius yang tanpa sadar aku ketahui dengan sendirinya.
Aku langsung gelagapan saat tanpa aba-aba sosok yang ku perhantikan itu tiba-tiba menoleh ke arahku.
Kill!
Sepertinya sang obyek menyadari sesuatu.Segera kualihkan pandangan ke arah Bela yang sejak tadi entah bercerita apa.
Double kill!
Please jantung, tolong bekerja normal sekali ini saja. Pintaku karena organ sebesar kepalan tangan orang dewasa itu sudah bekerja diluar batas yang seharusnya.Kulirik kembali ke arahnya dengan ragu. Terlihat Bang Radit dengan wajah yang ragu-ragu, lalu menoleh ke Pak Ahmad dan tersenyum mengangguk sebelum akhirnya berjalan ke arah sini. "What? Something wrong happen?" Ucapku tanpa sadar.
"Ha? Gimana-gimana?" Fayka yang duduk tepat disebelahku menghentikan ceritanya karena mendengar gumamanku.
Aku belum sempat mengelak saat suara bariton seseorang yang sangat kuhafal memecahkan keheningan diantara kami, "Sorry, bisa pinjam tipe-ex nya sebentar?"
To: Bang RaditYou send a documentSiang Bang, punten itu artikel yang kemarenBisa di cek dl, entar kalo kurang oke bisa gue edit lgFrom: Bang RaditOke, KaAbis rapat entar langsung gue cekThanks yaaTo: Bang RaditSippyPesan singkat itu berakhir dengan Bang Radit yang mengirim sticker jempol yang hanya aku biarkan bercentang biru.Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan berkirim pesan dengannya secara nyata. Meski hanya membicarakan soal artikel, aku sudah cukup senang untuk berbalas pesan singkat dengan dirinya.Kuletakkan ponselku di atas meja, lalu menghembuskan napas dan bergumam pelan. Semoga tidak ada revisi sehingga bisa segera di publish tanpa harus berurusan kembali.By the way, niatku untuk meminta tolong yang lain untuk meng-follow-up artikel Bang Radit tidak jadi aku lakukan. Hati kecilku meragukan keprofesionalitasanku jika tetap melakukan hal yang demikian."Fay, jadi ke perpus nggak?" Ku toel-toel lengannya yang masih sibuk menuliskan sesuatu di buku saktinya.
"Yakin nggak mau bareng?" Sosoknya bertanya untuk kedua kalinya saat aku tak kunjung juga mengiyakan ajakannya itu."Nggak usah, Bang. Temen gue bakalan jemput kok. Abang duluan aja gak papa."Jarak antara perpustakaan dan gerbang keluar kampus memang sangatlah jauh. Apalagi jika ditempuh sendiri, tentu saja itu akan berkali-kali lipat lebih melelahkan."Ya udah kalo gitu. Gue tungguin nyampe temen lo dateng deh! Gue juga nggak ada acara apa-apa kok abis ini." Ucapnya santai sembari menyandarkan kembali punggungnya ke kursi yang tersedia di depan gedung perpustakaan."Eh," Aku setengah tidak mengira dengan jawaban yang akan keluar dari mulutnya itu."Nggak usah, Bang."Kulihat Bang Radit mengernyitkan dahinya, "Kenapa?""Hmm.. " Aku sungguhan bingung ingin menjawab apaBang Radit menghembuskan napasnya, "Keberadaan gue bikin lo nggak nyaman ya?" Lagi-lagi kalimat itu yang keluar dari mulutnya.Aku menggeleng. "Eh, enggak kok."''Terus?""E.. emm.. gimana ya ngomongnya? Gue nggak mau a
Self perception adalah persepsi seseorang akan dirinya sendiri dan penilaiannya, serta persepsi seseorang akan pengalamannya di situasi tertentu***Menyandang sebagai kota hujan, Bogor dan hujan adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Seolah sudah menjadi hal yang menjadi satu, Bogor diasosiasikan dengan hujan, dan hujan pun juga diasosiasikan dengan Bogor. Dan tentunya memaksaku yang super mageran ini untuk senantiasa membawa payung kemanapun ketika sudah memasuki musim penghujan.Untungnya, hujan di kamis sore kali ini benar-benar membawa berkah. Kemacetan yang biasa aku rasakan ketika menempuh perjalanan pulang yang bertepatan dengan after office hours, kali ini tidak terlalu terasa karena orang-orang mungkin memilih untuk menghangatkan tubuhnya dahulu dengan secangkir kopi atau teh sebelum beranjak pulang. Dan keadaan seperti ini membuatku banyak bersyukur karena berhasil memangkas perjalanan selama kurang lebih lima menit."Sore Mbak, baru balik ya?" sapa Rania saat melihat
Orang bilang awal umur dua puluhan adalah saat yang tepat untuk coba-coba, waktu yang sempurna untuk out of the comfort zone dan benar-benar menemukan apa yang sebenarnya menjadi passion diri. Bukan berarti main-main dengan setiap yang di kerjakan, tetapi lebih berusaha sebaik mungkin untuk menemukan sebuah kenyamanan di dalamnya.Jika toh nanti tidak sesuai yang diharapkan, masih ada kesempatan lain untuk mencoba hal baru yang tidak pernah kita duga sebelumnya.Dan aku rasa, mengisinya dengan diam-diam menyukai seseorang bukalah hal yang salah juga."Pojok kanan, kemeja biru, lengannya di gulung nyampe siku." Bisik Fayka padaku, Salsa dan Raini yang sedang mengikuti kuliah umum bersama anak-anak dari satu jurusan.Kami yang biasanya hanya kuliah bersama teman sekelas, kini mendapat kesempatan untuk kuliah bersama kakak tingkat dan adik tingkat karena adanya dosen tamu yang datang."Yang mana?" Tanya Raini mencoba memastikan.Entah kenapa aku ikut menoleh mengikuti instruksi yang dibe
Memasuki semester genap kemarin, bagiku jumat menjadi hari yang sangat menyebalkan dalam lima hari weekdays. Bagaimana aku mengatakan demikian? Karena jadwal kuliahku berjarak seperti langit dan bumi. Dengan kelas pagi yang dimulai jam tujuh pagi, dan kelas sore yang baru dimulai jam tiga sore. Sialnya lagi, kelas sore adalah praktikum yang kehadirannya harus seratus persen. It means, tidak ada kesempatan bagiku untuk membolos kelas mau bagaimana pun keadaannya."Ra, gue jalan dulu ya." Aku berteriak kepada Raini yang sedang menikmati makan siangnya di dapur kontrakan.Sembari menenteng helm bogo yang sudah menemaniku setahun ini, aku berjalan keluar untuk mengambil motor scoopyku untuk on the way ke kampus. Sore ini ada kuis pra UTS yang harus aku ikuti. So, aku berangkat lebih cepat dari biasanya untuk menghindari hal-hal tidak terduga yang tidak diinginkanBaru sampai di setengah perjalanan, tiba-tiba motorku diarahkan ke pinggir jalan oleh beberapa pak polisi yang sepertinya sedan
Aku tidak tahu semenjak kapan mulai diam-diam sering memperhatikannya. Mungkin saat dirinya menjadi ketua panitia ospek jurusan yang aku ikuti semester pertama lalu, atau justru ketika sering tidak sengaja berpapasan ketika sama-sama menikmati makan siang di kantin fakultas.Tadinya aku memang hanya penasaran dengan sosoknya. Tapi siapa yang tau, seringnya melihat dan memperhatikan interaksinya justru membuat rasa penasaranku menjadi lebih kompleks dan berkembang dari apa yang aku duga. Yang dengan berat hati harus aku akui jika aku, benar-benar merasa tertarik dengan seorang Raditya.Well, pada intinya sudah lama ketika aku bisa menyebut diriku sebagai seorang secret admirer. Yang secara rutin memperhatikannya dalam diam, dan bahkan melakukan campaign terselubung secara serupa untuk mempengaruhi orang-orang di dalam lingkunganku untuk memilihnya sebagai ketua hima yang baru.Anyway, meski selalu men-stalk kegiatan-kegiatannya, aku masih tidak cukup berani untuk membagikan perasaaanku
"Semester berapa?" Tanyanya setelah obrolan kami sempat terputus."Tiga."Dia manggut-manggut di balik kemudinya. "Angkatan 19 ya berarti?""Iya." Kemudian hening.Bukannya berlagak cuek, tapi aku sungguhan tidak tahu harus mengatakan apa selain mejawab pertanyaannya barusan dengan jawaban seadanya. Otakku masih terlalu kaget mengalami kejadian langka seperti ini."Pendiem banget ya, Ka.""Ha? Gimana, Bang?" Aku memastikan pertanyaannya karena tidak terlalu jelas.Dibalik spionnya, Bang Radit kembali tertawa karena aku yang sedari tadi diajak mengobrol kerap tidak mendengar."Lo, anaknya pendiem banget?" Ulangnya dengan intonasi yang lebih lambat."Enggak kok.""Tapi gue tanyain jawabannya singkat mulu, Ka.""Nggak ada topik obrolan aja, Bang. Jadinya ya diem." Jawabku jujur.Bang Radit hanya mengangguk-angguk. Sayangnya aku tidak bisa melihat ekspresinya seperti apa sekarang.***"Sori ya. Lebih lama dari yang gue kira ternyata.""Gak papa kok, Bang. Emang ngurus apaan aja tadi?"Ast
"Thanks." Sambil menenteng cup holder berisikan satu mochachino aku berjalan keluar dari outlet starbucks.Sudah satu jam setelah aku kembali dari praktikum statistika yang membuat rambutku hampir rontok. Entah apa sesungguhnya yang aku pelajari selama ini, yang aku tahu adalah semua soal yang diujikan barusan tidak ada yang aku tahu bagaimana penyelesaiannya.Untunglah Fayka yang mengambil kelas praktikum sama denganku bersikap baik dan memberikanku sedikit contekan. Yang lebih pentingnya lagi, dia mau meminjami ku uang sehingga saat ini aku bisa berjalan-jalan untuk merefresh otak.Menghentikan langkah di depan salah satu outlet, aku merogoh totebagku begitu mendengar suara panggilan masuk dari ponsel yang ada di dalamnya. "Ya, Fay?"Bukannya balas menyapa, malah Fayka langsung mengungkapkan tujuannya menghubungiku. "Lo mau gue jemput nggak? Urusan gue udah kelar nih!" Fayka di seberang sana menawarkanku tebengan untuk pulang.Dia sudah tau kejadian naas yang menimpaku sebelum prakt