"Gue nggak bakal ngajuin penawaran ini jika gue sendiri ngerasa lo nggak bakal mampu, Run. Gue tau banget kemampuan lo, dan itu lebih dari cukup buat handle kerjaan ini." Ucap Bang Bima untuk ke beberapa kalinya.
"Tapi Bang, masalahnya gue nggak yakin sanggup. Lo kan tau gue anak kemaren sore, masa udah di kasih jobdesk berat kaya gini." Ucapku untuk menolak apa yang diperintahkan pimpinan redaksi ku ini.
Bergabung dalam komunitas jurnalistik kampus memang tidak selalu semenyenangkan yang diharapkan. Lebih dari berkali-kali aku tidak sanggup untuk menolak apa yang diperintahkan kepadaku. Bahkan sudah lebih dari 2 kali dalam sebulan ini saja, aku kebagian untuk mewawancarai mapres atau aktivis kampus yang kegiatannya seabrek, yang sebetulnya berada di luar tanggung jawabku.
Bukannya tidak suka mereka, tapi lebih ke rasa malas akibat harus berkali-kali mengganti jadwal karena ada saja acara mendadak yang katanya tidak bisa ditinggalkannnya. Entahlah, mungkin memang seperti itu kehidupan mahasiswa luar biasa.
"Gue kedapetan siapa emang, Bang?" Kataku pada akhirnya.
Percuma saja mengeluhkan apapun kepada lelaki di depanku ini. Meski aku mengoceh hingga berbusa pun, keputusan yang telah diambilnya tidak akan berubah.
"Nah, gitu dong Run. Gue jamin deh yang ini nggak seribet yang kemaren."
Aku mendengkus pelan mengingat kejadian dua minggu yang lalu. Waktu itu aku diamanahkan untuk menulis artikel milik mbak-mbak yang baru menenangkan lomba dalam sebuah acara fashion week sebuah brand ternama, dan ribetnya itu benar-benar membuatku sakit kepala.
"Siapa emang, Bang?"
"Terus kenapa ini gue mulu yang lo kasih-kasih kerjaan? Itungannya bulan ini kerjaan gue udah clear ya?" Lanjutku setelah teringat bulan ini sudah menuliskan lebih dari dua artikel.
Jumlah anggota jurnalistik yang terbilang lebih banyak dari sebelumnya membuat beban kerja setiap orang di dalamnya lebih ringan. Aku yang dulu harus membuat 3-4 berita setiap bulannya, bisa sedikit bersantai karena hanya ditugaskan setengahnya.
"Ya lo tau sendiri kan Run anak baru kayak gimana. Masih pada nyesuain sama ritme kerja kita, apalagi yang pada dapet narsum dosen sama pakar. Masih pada belum selese."
Mas Bima tersenyum dan melanjutkan ucapannya, "Terus ini kita dapat kerjaan dadakan di luar yang proker bulanan kan, jadinya gue putuskan buat nambah satu pekerjaan khusus buat elo."
Aku berdecak kesal mendengar pengakuannya, "Jadi lo manfaaatin gue ya? Eksploitasi nih namanya. Gue bisa nolak dong karena ini diluar perjanjian awal?"
Kulirik ekspresi Bang Bima yang berubah keruh. Sebenarnya aku hanya bercanda, tapi sepertinya cukup menyenangkan juga diam-diam meledeknya.
Aku memasang wajah serius agar apa yang baru kuucapkan terasa begitu meyakinkan.
"Jangan gitu dong, Run? Gue beneran minta tolong ke elo deh soal ini. Ini berita penting banget soalnya, mau buat headline bulan ini." Ucapnya sedikit memohon padaku.
Hampir saja aku tertawa jika tidak ingat sedang bersandiwara. Pasalnya pimredku ini benar-benar orang yang memiliki gengsi tinggi, dan bahkan sangat tidak rela jika harus meminta tolong secara terang-terangan.
"Hm, gimana ya?" Aku berpura-pura berfikir memikirkan permintaannnya.
"Tapi apa untungnya buat gue semisal mau ambil job wawancara ini? Lagian, lo belum ngomong kan siapa narsumnya?" Ucapku pada akhirnya.
Wajahnya masih terlihat gusar, khawatir jikalau aku tidak mau untuk membantunya. Jurnalistik baru saja memasuki kepengurusan baru, dan kebanyakan anggotanya adalah mahasiswa tingkat satu yang masih belum berpengalaman. Sedangkan para senior sedang sibuk KKN atau mengurus judul yang masih saja harus direvisi.
Aku jadi teringat akan sebuah tweet yang aku baca, bahwa katanya semakin kita dewasa kita akan menyadari bagaimana sulitnya memilih sebuah judul saja.
"Gimana kalo gue traktir martabak yang di perempatan gang depan kampus?"
"Anjir! Murah bener harga gue, Bang."
"Gue kira lo tadi paling nggak bakal ngomong segelas kopi starbucks selama seminggu, loh!" Ujarku menyuarakan isi pikiran.
"Jangan pelit-pelit dong Bang, kata lo gue adek lo yang paling baik? Lanjutku mencoba menawar traktirannya.
"Ya elah Run, gini aja lo baru mau ngakuin gue abang. Kemaren aja kemana, sis?" Jawabnya menyindir.
"Gue nggak buka nego ya, Bang."
Bang Bima mendengus. "Boleh deh kalo lo maunya gitu. Tapi awal bulan besok ya gue nraktirnya."
Aku tersenyum sebentar, lalu berkata "Nah kalo gitu, gua mah siap membatu 24/7, Bang."
Kulirik Bang Bima mendengkus, lalu berbalik untuk keluar ruangan. Tepat sebelum mencapai pintu, ia berhenti, lalu berbalik dan mengatatakan, "Oh iya, gue tadi lupa bilang. Narsum lo kali ini si Radit."
Spontan saja aku langsung menganga lebar karena tidak siap dengan kejutan yang ia berikan. Belum sempat aku mengkonfirmasi isi pikiranku, Bang Bima lebih dulu melanjutkan "Iya yang itu Run, ketua Hima baru jurusan lo itu." Ucapnya sambil berlalu keluar.
Apa maksudnya coba? Dan belum juga aku mengkonfirmasi pernyataannya, sosoknya sudah hilang entah kemana.
***
"Ika?" ucap pemuda yang sudah kutunggu lebih dari setengah jam yang lalu.
Dia yang menentukan waktu, dan dia juga yang akhirnya tidak datang tepat waktu.
Gilak! Jantung tolong kerjasamanya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum sopan, lalu mempersilakan dia untuk duduk agar segera dapat memulai sesi wawancara.
Mau bagaimanapun sikapnya, disinilah aku yang butuh. Dan dengan wajah tampannya itu, menunggu dua jam pun rasanya aku tak akan bisa marah.
Bang Radit memang setampan itu di mataku. Dia yang terbaik diantara teman-temannya dari segi penampilan dan bentuk wajah. Dan tentunya, dia juga yang paling istimewa diantara yang lainnya.
Kulihat dia segera menarik kursi kebelakang, menimbulkan suara berderit yang memekikkan telinga, lalu mendudukinya dengan tetap keren seperti biasanya. "Sorry banget ya gue telat gini. Tadi ada rapat dadakan yang nggak bisa gue tinggalin, Ka."
"Gue beneran nggak enak nih sama elo. Mana gue yang nentuin waktu ketemunya juga kan?"
"Kalo gitu sebagai permintaan maaf gue yang bakal traktir makan deh!"
Dan sejauh ini dapat kutarik kesimpulan jika lelaki di depanku ini adalah orang yang cukup friendly dan tau diri. Benar-benar menambah poin plus sosoknya di mataku.
Sepertinya aku semakin jatuh akan pesonanya yang berbahaya.
"Nggak usah, Bang. Gue, eh saya maksudnya juga belum lama nyampe kok." Entah kenapa aku mengganti kata gue dengan kata ganti saya dengan sendirinya.
"Eh, formal banget, Ka." Katanya kemudian
"Gue-elo aja gak papa kali, santai. Kaya pas kemaren kita ngobrol." Tambahnya padaku.
Aku tersenyum sungkan, "Apa jangan-jangan lo lupa ya sama gue?" Pertanyaannya buru-buru aku respon dengan gelengan.
"Eh, enggak kok. Tapi kan ini ceritanya lagi menjalankan tugas. Emang nggak papa? Nanti nggak sopan gimana?"
Seketika Bang Radit tertawa, mungkin merasa lucu dengan ucapanku. "Gak papa, gue pribadi kan yang minta. Biar kaya temen aja, nggak canggung juga jadinya nanti." Lanjutnya setelah berhasil meredakan tawa.
Lagi-lagi ada nilai plus yang aku lihat dari si pemuda dua puluh dua tahun ini. Tipe senior yang tidak gila hormat dan selalu bersikap humble, bahkan dengan mereka yang baru sekali di temui.
Dan siapa yang menyangka, impianku untuk duduk satu meja dan mengobrol dengannya benar-benar terealisasikan di dunia nyata. Thanks Bang Bim! Kayaknya gue yang bakal traktir lo abis ini.
Aku menghembuskan napas perlahan. Akhirnya artikel Bang Radit yang direncanakan akan menjadi headline berita bulan ini selesai aku kerjakan. Mungkin setelah mendapatkan sedikit editan, akan segera kuhubungi salah satu junior untuk mengkonfirmasinya kepada pihak yang bersangkutan. Memastikan apakah sudah oke atau harus ada beberapa bagian yang harus di ubah.Sudah kuputuskan untuk menjalani aksi menghindari diri dari manusia most untouchable itu dalam beberapa saat. Aku masih belum sanggup jika harus bertemu dan berinteraksi langsung dengannya dalam waktu dekat ini.Dari wawancara kemaren malam, aku menyadari sesuatu yang terjadi. Semakin lama aku mengobrol dengannya, semakin aku terkagum-kagum dengan pemikirannya yang luas dan open minded. Dan dengan jelas juga, aku harus rehat sejenak untuk mengembalikan perasaanku agar tidak terlalu menggebu-gebu."Run!" teriak Salsa yang membuyarkan segala lamunanku. Saat ini kami sedang berada di perpustakaan sembari menunggu kelas selanjutnya u
To: Bang RaditYou send a documentSiang Bang, punten itu artikel yang kemarenBisa di cek dl, entar kalo kurang oke bisa gue edit lgFrom: Bang RaditOke, KaAbis rapat entar langsung gue cekThanks yaaTo: Bang RaditSippyPesan singkat itu berakhir dengan Bang Radit yang mengirim sticker jempol yang hanya aku biarkan bercentang biru.Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan berkirim pesan dengannya secara nyata. Meski hanya membicarakan soal artikel, aku sudah cukup senang untuk berbalas pesan singkat dengan dirinya.Kuletakkan ponselku di atas meja, lalu menghembuskan napas dan bergumam pelan. Semoga tidak ada revisi sehingga bisa segera di publish tanpa harus berurusan kembali.By the way, niatku untuk meminta tolong yang lain untuk meng-follow-up artikel Bang Radit tidak jadi aku lakukan. Hati kecilku meragukan keprofesionalitasanku jika tetap melakukan hal yang demikian."Fay, jadi ke perpus nggak?" Ku toel-toel lengannya yang masih sibuk menuliskan sesuatu di buku saktinya.
"Yakin nggak mau bareng?" Sosoknya bertanya untuk kedua kalinya saat aku tak kunjung juga mengiyakan ajakannya itu."Nggak usah, Bang. Temen gue bakalan jemput kok. Abang duluan aja gak papa."Jarak antara perpustakaan dan gerbang keluar kampus memang sangatlah jauh. Apalagi jika ditempuh sendiri, tentu saja itu akan berkali-kali lipat lebih melelahkan."Ya udah kalo gitu. Gue tungguin nyampe temen lo dateng deh! Gue juga nggak ada acara apa-apa kok abis ini." Ucapnya santai sembari menyandarkan kembali punggungnya ke kursi yang tersedia di depan gedung perpustakaan."Eh," Aku setengah tidak mengira dengan jawaban yang akan keluar dari mulutnya itu."Nggak usah, Bang."Kulihat Bang Radit mengernyitkan dahinya, "Kenapa?""Hmm.. " Aku sungguhan bingung ingin menjawab apaBang Radit menghembuskan napasnya, "Keberadaan gue bikin lo nggak nyaman ya?" Lagi-lagi kalimat itu yang keluar dari mulutnya.Aku menggeleng. "Eh, enggak kok."''Terus?""E.. emm.. gimana ya ngomongnya? Gue nggak mau a
Self perception adalah persepsi seseorang akan dirinya sendiri dan penilaiannya, serta persepsi seseorang akan pengalamannya di situasi tertentu***Menyandang sebagai kota hujan, Bogor dan hujan adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Seolah sudah menjadi hal yang menjadi satu, Bogor diasosiasikan dengan hujan, dan hujan pun juga diasosiasikan dengan Bogor. Dan tentunya memaksaku yang super mageran ini untuk senantiasa membawa payung kemanapun ketika sudah memasuki musim penghujan.Untungnya, hujan di kamis sore kali ini benar-benar membawa berkah. Kemacetan yang biasa aku rasakan ketika menempuh perjalanan pulang yang bertepatan dengan after office hours, kali ini tidak terlalu terasa karena orang-orang mungkin memilih untuk menghangatkan tubuhnya dahulu dengan secangkir kopi atau teh sebelum beranjak pulang. Dan keadaan seperti ini membuatku banyak bersyukur karena berhasil memangkas perjalanan selama kurang lebih lima menit."Sore Mbak, baru balik ya?" sapa Rania saat melihat
Orang bilang awal umur dua puluhan adalah saat yang tepat untuk coba-coba, waktu yang sempurna untuk out of the comfort zone dan benar-benar menemukan apa yang sebenarnya menjadi passion diri. Bukan berarti main-main dengan setiap yang di kerjakan, tetapi lebih berusaha sebaik mungkin untuk menemukan sebuah kenyamanan di dalamnya.Jika toh nanti tidak sesuai yang diharapkan, masih ada kesempatan lain untuk mencoba hal baru yang tidak pernah kita duga sebelumnya.Dan aku rasa, mengisinya dengan diam-diam menyukai seseorang bukalah hal yang salah juga."Pojok kanan, kemeja biru, lengannya di gulung nyampe siku." Bisik Fayka padaku, Salsa dan Raini yang sedang mengikuti kuliah umum bersama anak-anak dari satu jurusan.Kami yang biasanya hanya kuliah bersama teman sekelas, kini mendapat kesempatan untuk kuliah bersama kakak tingkat dan adik tingkat karena adanya dosen tamu yang datang."Yang mana?" Tanya Raini mencoba memastikan.Entah kenapa aku ikut menoleh mengikuti instruksi yang dibe
Memasuki semester genap kemarin, bagiku jumat menjadi hari yang sangat menyebalkan dalam lima hari weekdays. Bagaimana aku mengatakan demikian? Karena jadwal kuliahku berjarak seperti langit dan bumi. Dengan kelas pagi yang dimulai jam tujuh pagi, dan kelas sore yang baru dimulai jam tiga sore. Sialnya lagi, kelas sore adalah praktikum yang kehadirannya harus seratus persen. It means, tidak ada kesempatan bagiku untuk membolos kelas mau bagaimana pun keadaannya."Ra, gue jalan dulu ya." Aku berteriak kepada Raini yang sedang menikmati makan siangnya di dapur kontrakan.Sembari menenteng helm bogo yang sudah menemaniku setahun ini, aku berjalan keluar untuk mengambil motor scoopyku untuk on the way ke kampus. Sore ini ada kuis pra UTS yang harus aku ikuti. So, aku berangkat lebih cepat dari biasanya untuk menghindari hal-hal tidak terduga yang tidak diinginkanBaru sampai di setengah perjalanan, tiba-tiba motorku diarahkan ke pinggir jalan oleh beberapa pak polisi yang sepertinya sedan
Aku tidak tahu semenjak kapan mulai diam-diam sering memperhatikannya. Mungkin saat dirinya menjadi ketua panitia ospek jurusan yang aku ikuti semester pertama lalu, atau justru ketika sering tidak sengaja berpapasan ketika sama-sama menikmati makan siang di kantin fakultas.Tadinya aku memang hanya penasaran dengan sosoknya. Tapi siapa yang tau, seringnya melihat dan memperhatikan interaksinya justru membuat rasa penasaranku menjadi lebih kompleks dan berkembang dari apa yang aku duga. Yang dengan berat hati harus aku akui jika aku, benar-benar merasa tertarik dengan seorang Raditya.Well, pada intinya sudah lama ketika aku bisa menyebut diriku sebagai seorang secret admirer. Yang secara rutin memperhatikannya dalam diam, dan bahkan melakukan campaign terselubung secara serupa untuk mempengaruhi orang-orang di dalam lingkunganku untuk memilihnya sebagai ketua hima yang baru.Anyway, meski selalu men-stalk kegiatan-kegiatannya, aku masih tidak cukup berani untuk membagikan perasaaanku
"Semester berapa?" Tanyanya setelah obrolan kami sempat terputus."Tiga."Dia manggut-manggut di balik kemudinya. "Angkatan 19 ya berarti?""Iya." Kemudian hening.Bukannya berlagak cuek, tapi aku sungguhan tidak tahu harus mengatakan apa selain mejawab pertanyaannya barusan dengan jawaban seadanya. Otakku masih terlalu kaget mengalami kejadian langka seperti ini."Pendiem banget ya, Ka.""Ha? Gimana, Bang?" Aku memastikan pertanyaannya karena tidak terlalu jelas.Dibalik spionnya, Bang Radit kembali tertawa karena aku yang sedari tadi diajak mengobrol kerap tidak mendengar."Lo, anaknya pendiem banget?" Ulangnya dengan intonasi yang lebih lambat."Enggak kok.""Tapi gue tanyain jawabannya singkat mulu, Ka.""Nggak ada topik obrolan aja, Bang. Jadinya ya diem." Jawabku jujur.Bang Radit hanya mengangguk-angguk. Sayangnya aku tidak bisa melihat ekspresinya seperti apa sekarang.***"Sori ya. Lebih lama dari yang gue kira ternyata.""Gak papa kok, Bang. Emang ngurus apaan aja tadi?"Ast