Share

Part 6 • Arunika

"Gue nggak bakal ngajuin penawaran ini jika gue sendiri ngerasa lo nggak bakal mampu, Run. Gue tau banget kemampuan lo, dan itu lebih dari cukup buat handle kerjaan ini." Ucap Bang Bima untuk ke beberapa kalinya.

"Tapi Bang, masalahnya gue nggak yakin sanggup. Lo kan tau gue anak kemaren sore, masa udah di kasih jobdesk berat kaya gini." Ucapku untuk menolak apa yang diperintahkan pimpinan redaksi ku ini.

Bergabung dalam komunitas jurnalistik kampus memang tidak selalu semenyenangkan yang diharapkan. Lebih dari berkali-kali aku tidak sanggup untuk menolak apa yang diperintahkan kepadaku. Bahkan sudah lebih dari 2 kali dalam sebulan ini saja, aku kebagian untuk mewawancarai mapres atau aktivis kampus yang kegiatannya seabrek, yang sebetulnya berada di luar tanggung jawabku.

Bukannya tidak suka mereka, tapi lebih ke rasa malas akibat harus berkali-kali mengganti jadwal karena ada saja acara mendadak yang katanya tidak bisa ditinggalkannnya. Entahlah, mungkin memang seperti itu kehidupan mahasiswa luar biasa.

"Gue kedapetan siapa emang, Bang?" Kataku pada akhirnya.

Percuma saja mengeluhkan apapun kepada lelaki di depanku ini. Meski aku mengoceh hingga berbusa pun, keputusan yang telah diambilnya tidak akan berubah.

"Nah, gitu dong Run. Gue jamin deh yang ini nggak seribet yang kemaren."

Aku mendengkus pelan mengingat kejadian dua minggu yang lalu. Waktu itu aku diamanahkan untuk menulis artikel milik mbak-mbak yang baru menenangkan lomba dalam sebuah acara fashion week sebuah brand ternama, dan ribetnya itu benar-benar membuatku sakit kepala.

"Siapa emang, Bang?"

"Terus kenapa ini gue mulu yang lo kasih-kasih kerjaan? Itungannya bulan ini kerjaan gue udah clear ya?" Lanjutku setelah teringat bulan ini sudah menuliskan lebih dari dua artikel.

Jumlah anggota jurnalistik yang terbilang lebih banyak dari sebelumnya membuat beban kerja setiap orang di dalamnya lebih ringan. Aku yang dulu harus membuat 3-4 berita setiap bulannya, bisa sedikit bersantai karena hanya ditugaskan setengahnya.

"Ya lo tau sendiri kan Run anak baru kayak gimana. Masih pada nyesuain sama ritme kerja kita, apalagi yang pada dapet narsum dosen sama pakar. Masih pada belum selese."

Mas Bima tersenyum dan melanjutkan ucapannya, "Terus ini kita dapat kerjaan dadakan di luar yang proker bulanan kan, jadinya gue putuskan buat nambah satu pekerjaan khusus buat elo."

Aku berdecak kesal mendengar pengakuannya, "Jadi lo manfaaatin gue ya? Eksploitasi nih namanya. Gue bisa nolak dong karena ini diluar perjanjian awal?"

Kulirik ekspresi Bang Bima yang berubah keruh. Sebenarnya aku hanya bercanda, tapi sepertinya cukup menyenangkan juga diam-diam meledeknya.

Aku memasang wajah serius agar apa yang baru kuucapkan terasa begitu meyakinkan.

"Jangan gitu dong, Run? Gue beneran minta tolong ke elo deh soal ini. Ini berita penting banget soalnya, mau buat headline bulan ini." Ucapnya sedikit memohon padaku.

Hampir saja aku tertawa jika tidak ingat sedang bersandiwara. Pasalnya pimredku ini benar-benar orang yang memiliki gengsi tinggi, dan bahkan sangat tidak rela jika harus meminta tolong secara terang-terangan.

"Hm, gimana ya?" Aku berpura-pura berfikir memikirkan permintaannnya.

"Tapi apa untungnya buat gue semisal mau ambil job wawancara ini? Lagian, lo belum ngomong kan siapa narsumnya?" Ucapku pada akhirnya.

Wajahnya masih terlihat gusar, khawatir jikalau aku tidak mau untuk membantunya. Jurnalistik baru saja memasuki kepengurusan baru, dan kebanyakan anggotanya adalah mahasiswa tingkat satu yang masih belum berpengalaman. Sedangkan para senior sedang sibuk KKN atau mengurus judul yang masih saja harus direvisi.

Aku jadi teringat akan sebuah tweet yang aku baca, bahwa katanya semakin kita dewasa kita akan menyadari bagaimana sulitnya memilih sebuah judul saja.

"Gimana kalo gue traktir martabak yang di perempatan gang depan kampus?"

"Anjir! Murah bener harga gue, Bang."

"Gue kira lo tadi paling nggak bakal ngomong segelas kopi starbucks selama seminggu, loh!" Ujarku menyuarakan isi pikiran.

"Jangan pelit-pelit dong Bang, kata lo gue adek lo yang paling baik?  Lanjutku mencoba menawar traktirannya.

"Ya elah Run, gini aja lo baru mau ngakuin gue abang. Kemaren aja kemana, sis?" Jawabnya menyindir.

"Gue nggak buka nego ya, Bang."

Bang Bima mendengus. "Boleh deh kalo lo maunya gitu. Tapi awal bulan besok ya gue nraktirnya."

Aku tersenyum sebentar, lalu berkata "Nah kalo gitu, gua mah siap membatu 24/7, Bang."

Kulirik Bang Bima mendengkus, lalu berbalik untuk keluar ruangan. Tepat sebelum mencapai pintu, ia berhenti, lalu berbalik dan mengatatakan, "Oh iya, gue tadi lupa bilang. Narsum lo kali ini si Radit."

Spontan saja aku langsung menganga lebar karena tidak siap dengan kejutan yang ia berikan. Belum sempat aku mengkonfirmasi isi pikiranku, Bang Bima lebih dulu melanjutkan "Iya yang itu Run, ketua Hima baru jurusan lo itu." Ucapnya sambil berlalu keluar.

Apa maksudnya coba? Dan belum juga aku mengkonfirmasi pernyataannya, sosoknya sudah hilang entah kemana.

***

"Ika?" ucap pemuda yang sudah kutunggu lebih dari setengah jam yang lalu.

Dia yang menentukan waktu, dan dia juga yang akhirnya tidak datang tepat waktu.

Gilak! Jantung tolong kerjasamanya.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum sopan, lalu mempersilakan dia untuk duduk agar segera dapat memulai sesi wawancara.

Mau bagaimanapun sikapnya, disinilah aku yang butuh. Dan dengan wajah tampannya itu, menunggu dua jam pun rasanya aku tak akan bisa marah.

Bang Radit memang setampan itu di mataku. Dia yang terbaik diantara teman-temannya dari segi penampilan dan bentuk wajah. Dan tentunya, dia juga yang paling istimewa diantara yang lainnya.

Kulihat dia segera menarik kursi kebelakang, menimbulkan suara berderit yang memekikkan telinga, lalu mendudukinya dengan tetap keren seperti biasanya. "Sorry banget ya gue telat gini. Tadi ada rapat dadakan yang nggak bisa gue tinggalin, Ka."

"Gue beneran nggak enak nih sama elo. Mana gue yang nentuin waktu ketemunya juga kan?"

"Kalo gitu sebagai permintaan maaf gue yang bakal traktir makan deh!"

Dan sejauh ini dapat kutarik kesimpulan jika lelaki di depanku ini adalah orang yang cukup friendly dan tau diri. Benar-benar menambah poin plus sosoknya di mataku.

Sepertinya aku semakin jatuh akan pesonanya yang berbahaya.

"Nggak usah, Bang. Gue, eh saya maksudnya juga belum lama nyampe kok." Entah kenapa aku mengganti kata gue dengan kata ganti saya dengan sendirinya.

"Eh, formal banget, Ka." Katanya kemudian

"Gue-elo aja gak papa kali, santai. Kaya pas kemaren kita ngobrol." Tambahnya padaku.

Aku tersenyum sungkan, "Apa jangan-jangan lo lupa ya sama gue?" Pertanyaannya buru-buru aku respon dengan gelengan.

"Eh, enggak kok. Tapi kan ini ceritanya lagi menjalankan tugas. Emang nggak papa? Nanti nggak sopan gimana?"

Seketika Bang Radit tertawa, mungkin merasa lucu dengan ucapanku. "Gak papa, gue pribadi kan yang minta. Biar kaya temen aja, nggak canggung juga jadinya nanti." Lanjutnya setelah berhasil meredakan tawa.

Lagi-lagi ada nilai plus yang aku lihat dari si pemuda dua puluh dua tahun ini. Tipe senior yang tidak gila hormat dan selalu bersikap humble, bahkan dengan mereka yang baru sekali di temui.

Dan siapa yang menyangka, impianku untuk duduk satu meja dan mengobrol dengannya benar-benar terealisasikan di dunia nyata. Thanks Bang Bim! Kayaknya gue yang bakal traktir lo abis ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status