Share

Part 5 • Arunika

"Thanks." Sambil menenteng cup holder berisikan satu mochachino aku berjalan keluar dari outlet starbucks.

Sudah satu jam setelah aku kembali dari praktikum statistika yang membuat rambutku hampir rontok. Entah apa sesungguhnya yang aku pelajari selama ini, yang aku tahu adalah semua soal yang diujikan barusan tidak ada yang aku tahu bagaimana penyelesaiannya.

Untunglah Fayka yang mengambil kelas praktikum sama denganku bersikap baik dan memberikanku sedikit contekan. Yang lebih pentingnya lagi, dia mau meminjami ku uang sehingga saat ini aku bisa berjalan-jalan untuk merefresh otak.

Menghentikan langkah di depan salah satu outlet, aku merogoh totebagku begitu mendengar suara panggilan masuk dari ponsel yang ada di dalamnya. "Ya, Fay?"

Bukannya balas menyapa, malah Fayka langsung mengungkapkan tujuannya menghubungiku. "Lo mau gue jemput nggak? Urusan gue udah kelar nih!" Fayka di seberang sana menawarkanku tebengan untuk pulang.

Dia sudah tau kejadian naas yang menimpaku sebelum praktikum, dan menawarkan untuk menjemput karena tempat tinggal kami yang kebetulan memang sama.

"Urusan di BEM udah kelar emang?" Aku bertanya untuk memastikan.

Meski jadwal kuliah kami sama, Fayka belum pulang ke kontrakan seharian ini karena kelas paginya langsung diikuti dengan kumpul organisasi. Aktivis sejati sepertinya memang benar-benar tidak ada waktu luang untuk menikmati hidup sepertiku.

"Udah." Jawabnya singkat, sebelum terdengar suaranya yang mungkin kini sedang menjawab pertanyaan dari orang lain di dekatnya.

"Nggak usah deh. Nanti gue naik ojol aja." Jawabku setelah menilik jam di layar ponsel yang sudah menunjukkan angka 17.23

"Mau maghriban di sini aja." Lanjutku menjelaskan mengapa menolak ajakannya untuk menjemput.

"Ya udah, Fay. Gue tutup dulu yak. Mau lanjut jalan." Lalu segera ku akhiri sambungan telepon diantara kami.

Masih banyak tempat yang ingin aku kunjungi karena sudah begitu lama tidak keluar untuk berjalan-jalan.

Aku kembali melangkahkan kaki begitu selesai mengobrol singkat dengan Fayka. Masih dengan menenteng cup holder, kuperlambat langkah ketika posisiku sudah tidak jauh dari gramedia. 

Mengingat-ingat apakah jatah bulananku masih memungkinkan jika digunakan untuk membeli buku atau tidak. Dan saat sampai di kesimpulan bahwa aku masih bisa hidup dengan layak hingga akhir bulan ini, kuputuskan untuk masuk dan melihat beberapa buku yang cukup menarik untuk di bawa pulang ke kontrakan.

***

"Darimana lo?" Tanpa basa-basi Raini langsung mencerca ku dengan pertanyaan, bahkan ketika aku baru saja meletakkan sepatu converse ku di rak belakang pintu.

"Gue abis di tilang, Ra."  Alih-alih menjawab pertanyaannya barusan, aku justru mengeluh padanya karena barusaja ditilang.

"Hah? Kok bisa?" Raini mulai heboh setelah mendengar pernyataanku.

Aku mendegkus, lalu berjalan ke arahnya yang sedang duduk dan menikmati satu cup pop mie goreng yang aromanya sangat menganggu indera penciuman. Melepaskan totebag dan menaruhnya di atas meja, lalu menarik kursi ke belakang untuk di duduki.

"Ya bisa lah, ogeb!" Jawabku kesal.

"Dimana emang?" Lanjutnya tanpa menatapku sama sekali.

"Di persimpangan abis lampu merah. Dan nggak beruntungnya, dompet gue ketinggalan dong. Anjir nggak tuh!"

"Mana gue dengan pede-nya tenang-tenang aja karena ngira semuanyaa bakal baik-baik aja! Eh taunya ..." Lanjutku agak emosi karena mengingat kejadian sore tadi yang aku sesali, tapi juga sekaligus kejadian yang aku syukuri pernah terjadi.

"Kok bisa? Terus?" Ucapnya sembari meraih segelas air putih yang ada di depannya.

Pop mie gledeg memang sungguh bisa membuat seorang yang menikmatinya sulit berkonsentrasi terhadap aktivitas lain.

"Si popo di tilang!" Tiba-tiba kesedihan menghampiriku saat mengingat keadaan motor kesayanganku yang harus menginap di kantor polisi.

Oh ya, fyi aja kalo popo adalah nama motor scoopy kesanganku.

"Terus lo baliknya gimana?"

"Pake ojol."

"Loh?"

"Emang ada duit?" Aku mengangguk.

"Ngutang Fayka tadi di kelas. Untung ada dia yang praktikum bareng gue."

Meski ketiga dari kami mengambil jurusan yang sama, jadwal kuliah yang diambil memang tidaklah selalu sama. Ada beberapa mata kuliah yang memang sudah ditentukan oleh departemen, sehingga kami tidak bisa memilih untuk mengambil hari dan jam yang sama.

"Kenapa nggak balik bareng aja?" Raini mengambil ponsel yang tergelatak di depannya, dan mengetikkan beberapa kalimat sebelum akhirnya menoleh - kembali ke arahku.

"Gue jalan dulu tadi," Jawabku sambil melirik ke arah kantong belanja yang ku letakkan di atas meja."

"Beli apa, lo?"

Raini langsung membuka kantong belanjaku tanpa permisi. "Yah, buku."

"Gue kira makanan." Lanjutnya dengan lesu.

Aku hanya menggeleng mendengar penuturannya barusan. "Itu makanan depan lo aja belum habis, Ra. Udah tanya makanan lagi aja."

"Ya siapa tau kan lo beli makanan manis gitu, Run. Makanan gue yang ini pedes!"

"Btw, Fayka belom nyampe loh." Raini berujar yang membuatku mengangkat kedua alis.

"Belum pulang?" Raini mengangguk.

"Lah, padahal tadi dia bilang mau otw balik pas nelfon gue."

Raini disebelah hanya mengendikkan bahu. "Ada urusan kali."

"Dia kan orang paling sibuk yang tinggal disini." Lanjutnya yang juga kusetujui.

***

"Assalamu'alaikum bestie!" Teriak seseorang saat aku sedang asik scroll-scroll beranda twitter di sofa ruang tamu tempat tinggal tercinta kami - Aku, Raini, Fayka, dan teman-teman lainnya.

"Wa'alaikumsalam manusia super lebay ..... " Jawabku sambil menyelonjorkan kedua kakiku di ujung sofa.

Kulirik perempuan so called Fayka sedang mengerucutkan bibirnya pelan. Sebuah indikator yang menunjukkan rasa ketidaksukaan yang dirasakannya dari apa yang aku katakan barusan.

"Kok lo udah balik aja sih, Run?" Tanyanya setelah melihatku sedang bersantai di ruang tamu.

"Ya kali Fai... Udah jam berapa nih." Aku melirik ke arah jam dinding di ruangan ini yang sudah menunjukkan hampir jam delapan malam.

"Oo. Udah malem ya ternyata..." Ucapnya sembari menepuk pelan lengan atasku agar aku duduk dan bergeser untuk membagi tempat duduk dengannya.

"Kemana aja lo?" Tanyaku karena perempuan yang duduk disamping ini baru sampai selarut ini.

"Ngedate!" Aku langsung menegakkan posisiku duduk karena kaget.

"Ha? Bukannya lo nggak punya gebetan?"

Fayka tersenyum. "Punya."

"Siapa?"

"Alif!" Jawabnya singkat.

Mataku melotot saling tidak percayanya. "Alif? Alif yang itu?"

Dia mengangguk yakin. "Iya."

"Kok bisa?" Rasa penasaranku tiba-tiba sudah diujung tanduk karena yang aku tahu selama ini, keduanya tidak pernah terlihat dekat sama sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status