"Thanks." Sambil menenteng cup holder berisikan satu mochachino aku berjalan keluar dari outlet starbucks.
Sudah satu jam setelah aku kembali dari praktikum statistika yang membuat rambutku hampir rontok. Entah apa sesungguhnya yang aku pelajari selama ini, yang aku tahu adalah semua soal yang diujikan barusan tidak ada yang aku tahu bagaimana penyelesaiannya.
Untunglah Fayka yang mengambil kelas praktikum sama denganku bersikap baik dan memberikanku sedikit contekan. Yang lebih pentingnya lagi, dia mau meminjami ku uang sehingga saat ini aku bisa berjalan-jalan untuk merefresh otak.
Menghentikan langkah di depan salah satu outlet, aku merogoh totebagku begitu mendengar suara panggilan masuk dari ponsel yang ada di dalamnya. "Ya, Fay?"
Bukannya balas menyapa, malah Fayka langsung mengungkapkan tujuannya menghubungiku. "Lo mau gue jemput nggak? Urusan gue udah kelar nih!" Fayka di seberang sana menawarkanku tebengan untuk pulang.
Dia sudah tau kejadian naas yang menimpaku sebelum praktikum, dan menawarkan untuk menjemput karena tempat tinggal kami yang kebetulan memang sama.
"Urusan di BEM udah kelar emang?" Aku bertanya untuk memastikan.
Meski jadwal kuliah kami sama, Fayka belum pulang ke kontrakan seharian ini karena kelas paginya langsung diikuti dengan kumpul organisasi. Aktivis sejati sepertinya memang benar-benar tidak ada waktu luang untuk menikmati hidup sepertiku.
"Udah." Jawabnya singkat, sebelum terdengar suaranya yang mungkin kini sedang menjawab pertanyaan dari orang lain di dekatnya.
"Nggak usah deh. Nanti gue naik ojol aja." Jawabku setelah menilik jam di layar ponsel yang sudah menunjukkan angka 17.23
"Mau maghriban di sini aja." Lanjutku menjelaskan mengapa menolak ajakannya untuk menjemput.
"Ya udah, Fay. Gue tutup dulu yak. Mau lanjut jalan." Lalu segera ku akhiri sambungan telepon diantara kami.
Masih banyak tempat yang ingin aku kunjungi karena sudah begitu lama tidak keluar untuk berjalan-jalan.
Aku kembali melangkahkan kaki begitu selesai mengobrol singkat dengan Fayka. Masih dengan menenteng cup holder, kuperlambat langkah ketika posisiku sudah tidak jauh dari gramedia.Mengingat-ingat apakah jatah bulananku masih memungkinkan jika digunakan untuk membeli buku atau tidak. Dan saat sampai di kesimpulan bahwa aku masih bisa hidup dengan layak hingga akhir bulan ini, kuputuskan untuk masuk dan melihat beberapa buku yang cukup menarik untuk di bawa pulang ke kontrakan.
***
"Darimana lo?" Tanpa basa-basi Raini langsung mencerca ku dengan pertanyaan, bahkan ketika aku baru saja meletakkan sepatu converse ku di rak belakang pintu.
"Gue abis di tilang, Ra." Alih-alih menjawab pertanyaannya barusan, aku justru mengeluh padanya karena barusaja ditilang.
"Hah? Kok bisa?" Raini mulai heboh setelah mendengar pernyataanku.
Aku mendegkus, lalu berjalan ke arahnya yang sedang duduk dan menikmati satu cup pop mie goreng yang aromanya sangat menganggu indera penciuman. Melepaskan totebag dan menaruhnya di atas meja, lalu menarik kursi ke belakang untuk di duduki.
"Ya bisa lah, ogeb!" Jawabku kesal.
"Dimana emang?" Lanjutnya tanpa menatapku sama sekali.
"Di persimpangan abis lampu merah. Dan nggak beruntungnya, dompet gue ketinggalan dong. Anjir nggak tuh!"
"Mana gue dengan pede-nya tenang-tenang aja karena ngira semuanyaa bakal baik-baik aja! Eh taunya ..." Lanjutku agak emosi karena mengingat kejadian sore tadi yang aku sesali, tapi juga sekaligus kejadian yang aku syukuri pernah terjadi.
"Kok bisa? Terus?" Ucapnya sembari meraih segelas air putih yang ada di depannya.
Pop mie gledeg memang sungguh bisa membuat seorang yang menikmatinya sulit berkonsentrasi terhadap aktivitas lain.
"Si popo di tilang!" Tiba-tiba kesedihan menghampiriku saat mengingat keadaan motor kesayanganku yang harus menginap di kantor polisi.
Oh ya, fyi aja kalo popo adalah nama motor scoopy kesanganku.
"Terus lo baliknya gimana?"
"Pake ojol."
"Loh?"
"Emang ada duit?" Aku mengangguk.
"Ngutang Fayka tadi di kelas. Untung ada dia yang praktikum bareng gue."
Meski ketiga dari kami mengambil jurusan yang sama, jadwal kuliah yang diambil memang tidaklah selalu sama. Ada beberapa mata kuliah yang memang sudah ditentukan oleh departemen, sehingga kami tidak bisa memilih untuk mengambil hari dan jam yang sama.
"Kenapa nggak balik bareng aja?" Raini mengambil ponsel yang tergelatak di depannya, dan mengetikkan beberapa kalimat sebelum akhirnya menoleh - kembali ke arahku.
"Gue jalan dulu tadi," Jawabku sambil melirik ke arah kantong belanja yang ku letakkan di atas meja."
"Beli apa, lo?"
Raini langsung membuka kantong belanjaku tanpa permisi. "Yah, buku."
"Gue kira makanan." Lanjutnya dengan lesu.
Aku hanya menggeleng mendengar penuturannya barusan. "Itu makanan depan lo aja belum habis, Ra. Udah tanya makanan lagi aja."
"Ya siapa tau kan lo beli makanan manis gitu, Run. Makanan gue yang ini pedes!"
"Btw, Fayka belom nyampe loh." Raini berujar yang membuatku mengangkat kedua alis.
"Belum pulang?" Raini mengangguk.
"Lah, padahal tadi dia bilang mau otw balik pas nelfon gue."
Raini disebelah hanya mengendikkan bahu. "Ada urusan kali."
"Dia kan orang paling sibuk yang tinggal disini." Lanjutnya yang juga kusetujui.
***
"Assalamu'alaikum bestie!" Teriak seseorang saat aku sedang asik scroll-scroll beranda twitter di sofa ruang tamu tempat tinggal tercinta kami - Aku, Raini, Fayka, dan teman-teman lainnya.
"Wa'alaikumsalam manusia super lebay ..... " Jawabku sambil menyelonjorkan kedua kakiku di ujung sofa.
Kulirik perempuan so called Fayka sedang mengerucutkan bibirnya pelan. Sebuah indikator yang menunjukkan rasa ketidaksukaan yang dirasakannya dari apa yang aku katakan barusan.
"Kok lo udah balik aja sih, Run?" Tanyanya setelah melihatku sedang bersantai di ruang tamu.
"Ya kali Fai... Udah jam berapa nih." Aku melirik ke arah jam dinding di ruangan ini yang sudah menunjukkan hampir jam delapan malam.
"Oo. Udah malem ya ternyata..." Ucapnya sembari menepuk pelan lengan atasku agar aku duduk dan bergeser untuk membagi tempat duduk dengannya.
"Kemana aja lo?" Tanyaku karena perempuan yang duduk disamping ini baru sampai selarut ini.
"Ngedate!" Aku langsung menegakkan posisiku duduk karena kaget.
"Ha? Bukannya lo nggak punya gebetan?"
Fayka tersenyum. "Punya."
"Siapa?"
"Alif!" Jawabnya singkat.
Mataku melotot saling tidak percayanya. "Alif? Alif yang itu?"
Dia mengangguk yakin. "Iya."
"Kok bisa?" Rasa penasaranku tiba-tiba sudah diujung tanduk karena yang aku tahu selama ini, keduanya tidak pernah terlihat dekat sama sekali.
"Gue nggak bakal ngajuin penawaran ini jika gue sendiri ngerasa lo nggak bakal mampu, Run. Gue tau banget kemampuan lo, dan itu lebih dari cukup buat handle kerjaan ini." Ucap Bang Bima untuk ke beberapa kalinya."Tapi Bang, masalahnya gue nggak yakin sanggup. Lo kan tau gue anak kemaren sore, masa udah di kasih jobdesk berat kaya gini." Ucapku untuk menolak apa yang diperintahkan pimpinan redaksi ku ini.Bergabung dalam komunitas jurnalistik kampus memang tidak selalu semenyenangkan yang diharapkan. Lebih dari berkali-kali aku tidak sanggup untuk menolak apa yang diperintahkan kepadaku. Bahkan sudah lebih dari 2 kali dalam sebulan ini saja, aku kebagian untuk mewawancarai mapres atau aktivis kampus yang kegiatannya seabrek, yang sebetulnya berada di luar tanggung jawabku.Bukannya tidak suka mereka, tapi lebih ke rasa malas akibat harus berkali-kali mengganti jadwal karena ada saja acara mendadak yang katanya tidak bisa ditinggalkannnya. Entahlah, mungkin memang seperti itu kehidupan
Aku menghembuskan napas perlahan. Akhirnya artikel Bang Radit yang direncanakan akan menjadi headline berita bulan ini selesai aku kerjakan. Mungkin setelah mendapatkan sedikit editan, akan segera kuhubungi salah satu junior untuk mengkonfirmasinya kepada pihak yang bersangkutan. Memastikan apakah sudah oke atau harus ada beberapa bagian yang harus di ubah.Sudah kuputuskan untuk menjalani aksi menghindari diri dari manusia most untouchable itu dalam beberapa saat. Aku masih belum sanggup jika harus bertemu dan berinteraksi langsung dengannya dalam waktu dekat ini.Dari wawancara kemaren malam, aku menyadari sesuatu yang terjadi. Semakin lama aku mengobrol dengannya, semakin aku terkagum-kagum dengan pemikirannya yang luas dan open minded. Dan dengan jelas juga, aku harus rehat sejenak untuk mengembalikan perasaanku agar tidak terlalu menggebu-gebu."Run!" teriak Salsa yang membuyarkan segala lamunanku. Saat ini kami sedang berada di perpustakaan sembari menunggu kelas selanjutnya u
To: Bang RaditYou send a documentSiang Bang, punten itu artikel yang kemarenBisa di cek dl, entar kalo kurang oke bisa gue edit lgFrom: Bang RaditOke, KaAbis rapat entar langsung gue cekThanks yaaTo: Bang RaditSippyPesan singkat itu berakhir dengan Bang Radit yang mengirim sticker jempol yang hanya aku biarkan bercentang biru.Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan berkirim pesan dengannya secara nyata. Meski hanya membicarakan soal artikel, aku sudah cukup senang untuk berbalas pesan singkat dengan dirinya.Kuletakkan ponselku di atas meja, lalu menghembuskan napas dan bergumam pelan. Semoga tidak ada revisi sehingga bisa segera di publish tanpa harus berurusan kembali.By the way, niatku untuk meminta tolong yang lain untuk meng-follow-up artikel Bang Radit tidak jadi aku lakukan. Hati kecilku meragukan keprofesionalitasanku jika tetap melakukan hal yang demikian."Fay, jadi ke perpus nggak?" Ku toel-toel lengannya yang masih sibuk menuliskan sesuatu di buku saktinya.
"Yakin nggak mau bareng?" Sosoknya bertanya untuk kedua kalinya saat aku tak kunjung juga mengiyakan ajakannya itu."Nggak usah, Bang. Temen gue bakalan jemput kok. Abang duluan aja gak papa."Jarak antara perpustakaan dan gerbang keluar kampus memang sangatlah jauh. Apalagi jika ditempuh sendiri, tentu saja itu akan berkali-kali lipat lebih melelahkan."Ya udah kalo gitu. Gue tungguin nyampe temen lo dateng deh! Gue juga nggak ada acara apa-apa kok abis ini." Ucapnya santai sembari menyandarkan kembali punggungnya ke kursi yang tersedia di depan gedung perpustakaan."Eh," Aku setengah tidak mengira dengan jawaban yang akan keluar dari mulutnya itu."Nggak usah, Bang."Kulihat Bang Radit mengernyitkan dahinya, "Kenapa?""Hmm.. " Aku sungguhan bingung ingin menjawab apaBang Radit menghembuskan napasnya, "Keberadaan gue bikin lo nggak nyaman ya?" Lagi-lagi kalimat itu yang keluar dari mulutnya.Aku menggeleng. "Eh, enggak kok."''Terus?""E.. emm.. gimana ya ngomongnya? Gue nggak mau a
Self perception adalah persepsi seseorang akan dirinya sendiri dan penilaiannya, serta persepsi seseorang akan pengalamannya di situasi tertentu***Menyandang sebagai kota hujan, Bogor dan hujan adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Seolah sudah menjadi hal yang menjadi satu, Bogor diasosiasikan dengan hujan, dan hujan pun juga diasosiasikan dengan Bogor. Dan tentunya memaksaku yang super mageran ini untuk senantiasa membawa payung kemanapun ketika sudah memasuki musim penghujan.Untungnya, hujan di kamis sore kali ini benar-benar membawa berkah. Kemacetan yang biasa aku rasakan ketika menempuh perjalanan pulang yang bertepatan dengan after office hours, kali ini tidak terlalu terasa karena orang-orang mungkin memilih untuk menghangatkan tubuhnya dahulu dengan secangkir kopi atau teh sebelum beranjak pulang. Dan keadaan seperti ini membuatku banyak bersyukur karena berhasil memangkas perjalanan selama kurang lebih lima menit."Sore Mbak, baru balik ya?" sapa Rania saat melihat
Orang bilang awal umur dua puluhan adalah saat yang tepat untuk coba-coba, waktu yang sempurna untuk out of the comfort zone dan benar-benar menemukan apa yang sebenarnya menjadi passion diri. Bukan berarti main-main dengan setiap yang di kerjakan, tetapi lebih berusaha sebaik mungkin untuk menemukan sebuah kenyamanan di dalamnya.Jika toh nanti tidak sesuai yang diharapkan, masih ada kesempatan lain untuk mencoba hal baru yang tidak pernah kita duga sebelumnya.Dan aku rasa, mengisinya dengan diam-diam menyukai seseorang bukalah hal yang salah juga."Pojok kanan, kemeja biru, lengannya di gulung nyampe siku." Bisik Fayka padaku, Salsa dan Raini yang sedang mengikuti kuliah umum bersama anak-anak dari satu jurusan.Kami yang biasanya hanya kuliah bersama teman sekelas, kini mendapat kesempatan untuk kuliah bersama kakak tingkat dan adik tingkat karena adanya dosen tamu yang datang."Yang mana?" Tanya Raini mencoba memastikan.Entah kenapa aku ikut menoleh mengikuti instruksi yang dibe
Memasuki semester genap kemarin, bagiku jumat menjadi hari yang sangat menyebalkan dalam lima hari weekdays. Bagaimana aku mengatakan demikian? Karena jadwal kuliahku berjarak seperti langit dan bumi. Dengan kelas pagi yang dimulai jam tujuh pagi, dan kelas sore yang baru dimulai jam tiga sore. Sialnya lagi, kelas sore adalah praktikum yang kehadirannya harus seratus persen. It means, tidak ada kesempatan bagiku untuk membolos kelas mau bagaimana pun keadaannya."Ra, gue jalan dulu ya." Aku berteriak kepada Raini yang sedang menikmati makan siangnya di dapur kontrakan.Sembari menenteng helm bogo yang sudah menemaniku setahun ini, aku berjalan keluar untuk mengambil motor scoopyku untuk on the way ke kampus. Sore ini ada kuis pra UTS yang harus aku ikuti. So, aku berangkat lebih cepat dari biasanya untuk menghindari hal-hal tidak terduga yang tidak diinginkanBaru sampai di setengah perjalanan, tiba-tiba motorku diarahkan ke pinggir jalan oleh beberapa pak polisi yang sepertinya sedan
Aku tidak tahu semenjak kapan mulai diam-diam sering memperhatikannya. Mungkin saat dirinya menjadi ketua panitia ospek jurusan yang aku ikuti semester pertama lalu, atau justru ketika sering tidak sengaja berpapasan ketika sama-sama menikmati makan siang di kantin fakultas.Tadinya aku memang hanya penasaran dengan sosoknya. Tapi siapa yang tau, seringnya melihat dan memperhatikan interaksinya justru membuat rasa penasaranku menjadi lebih kompleks dan berkembang dari apa yang aku duga. Yang dengan berat hati harus aku akui jika aku, benar-benar merasa tertarik dengan seorang Raditya.Well, pada intinya sudah lama ketika aku bisa menyebut diriku sebagai seorang secret admirer. Yang secara rutin memperhatikannya dalam diam, dan bahkan melakukan campaign terselubung secara serupa untuk mempengaruhi orang-orang di dalam lingkunganku untuk memilihnya sebagai ketua hima yang baru.Anyway, meski selalu men-stalk kegiatan-kegiatannya, aku masih tidak cukup berani untuk membagikan perasaaanku