"Semester berapa?" Tanyanya setelah obrolan kami sempat terputus.
"Tiga."
Dia manggut-manggut di balik kemudinya. "Angkatan 19 ya berarti?"
"Iya." Kemudian hening.
Bukannya berlagak cuek, tapi aku sungguhan tidak tahu harus mengatakan apa selain mejawab pertanyaannya barusan dengan jawaban seadanya. Otakku masih terlalu kaget mengalami kejadian langka seperti ini.
"Pendiem banget ya, Ka."
"Ha? Gimana, Bang?" Aku memastikan pertanyaannya karena tidak terlalu jelas.
Dibalik spionnya, Bang Radit kembali tertawa karena aku yang sedari tadi diajak mengobrol kerap tidak mendengar.
"Lo, anaknya pendiem banget?" Ulangnya dengan intonasi yang lebih lambat.
"Enggak kok."
"Tapi gue tanyain jawabannya singkat mulu, Ka."
"Nggak ada topik obrolan aja, Bang. Jadinya ya diem." Jawabku jujur.
Bang Radit hanya mengangguk-angguk. Sayangnya aku tidak bisa melihat ekspresinya seperti apa sekarang.
***
"Sori ya. Lebih lama dari yang gue kira ternyata.""Gak papa kok, Bang. Emang ngurus apaan aja tadi?"
Astaga. Jiwa kepoku muncul di saat yang tidak tepat. Bisa-bisanya aku malah bertanya, yang sialnya merupakan pertanyaan yang terkesan ingin tahu saat kami bahkan belum satu jam resmi berkenalan. Arunika and her bubbling mouth memanglah hal yang tidak bisa diharapkan.
"Eh, sori Bang. Nggak usah di jawab nggak papa kok." Aku berusaha menunjukkan padanya bahwa bukan maksudku untuk ingin tau urusan-urusannya itu.
"Santai aja kali sama gue!" Dia menyunggingkan senyum lebar.
"Data gue kemaren nggak sengaja kehapus. Terus kemaren gue bawa kesini buat di pulihin. Eh, taunya abangnya bilang suruh ngambil sekarang. Soalnya besok ampe lusa mau tutup dulu. Jadi gue yang harusnya minta maaf malah karena ngajak lo nemenin gue dulu."
Aku menggeleng tidak sependapat dengannya. "Enggak kok. Lagian ini searah sama kampus juga kan. Jadi sekalian.
"Sip."
"Mau mampir sebelah bentar nggak? Kelas lo masih ada lima belasan menit. Dari sini ke kampus palingan nggak ada lima menit juga nyampe. Gimana?" Tawarnya sembari melirik ke arah pergelangan tangan kirinya, tepatnya ke arah sebuah jam tangan hitam yang bertengger manis disana.
Oke. Sesungguhnya aku ingin langsung mengatakan iya dari tawarannya barusan. Tapi mengingat jika aku tidak membawa uang seper pun, maka sepertinya dengan berat hati aku harus menolak tawaran menggiurkan yang hanya akan aku dapatkan sekali dalam seumur hidup ini.
Belum juga aku mengatakan tidak, Bang Radit sepertinya sudah terlanjur memahami apa yang sedari tadi membuatku banyak berfikir. "Gue yang traktir deh. Sebagai ucapan terimakasih karena udah nemenin ngambil flashdisk." Ucapnya sembari mengangkat sebuah flashdisk hitam untuk ditunjukkannya padaku.
"Yuk!" Lanjutnya sembari melangkah tanpa menunggu jawaban dariku terlebih dulu.
***
"Jadi praktikum apa nanti?""Metode Statistika."
"Masih ada emang matkulnya?" Jawabnya begitu enteng.
Aku tergelak mendengar penuturannya. Memangnya semudah itu menghilangkan sebuah mata kuliah?
"Masih lah, Bang." Jawabku sembari duduk dan menunggu minumanku selesai dibuat.
Sepuluh menit adalah waktu yang sangat sebentar jika ingin duduk dan mengobrol. Jadilah Bang Radit hanya akan membelikanku, dan kami akan segera meneruskan perjalanan menuju kampus.
"Emang bisa di ilangin?" Tanyaku karena penasaran.
Bang Radit hanya mengendikkan bahu. "Harusnya bisa sih... Nggak guna juga." Jawabnya sambil tertawa.
Aku benar-benar tidak menyangka jika dia akan menjawab seperti itu. Dalam bayanganku, orang seperti dia tidak akan mengatakan hal seperti apa yang dikatakannya barusan. Meski seratus persen aku menyetujui pendapatnya soal statistik, tetap saja kalimat 'nggak ada gunanya' masih terlalu tidak terduga akan keluar dari seseorang sepertinya.
Gila! Benar-benar di luar nalar.
"Nggak ada gunanya?" Beoku karena ingin memastikan apakah yang aku dengar barusan memang benar.
Dia mengangguk mantap. "Iya."
"Nggak setuju?" Tanyanya kemudian.
Aku menggeleng, lalu mengangguk. "Eh, setuju apa nggak nih, Ka?" Dia bertanya karena gerakan kepalaku tidak konsisten.
"Setuju, Bang." Akhirnya aku mengatakan setuju untuk pertanyaannya barusan.
"Sama dosen apa senior praktikumnya?"
"Dosen."
"Pak Anhar?"
Aku mengangguk mengiyakan. "Yah, harus rajin-rajin ya." Lanjutnya yang membuatku mengernyitkan dahi tidak paham.
"Maksudnya, Bang?"
"Suka ngadain kuis kan orangnya?"
Lagi-lagi aku mengangguk.
"Dadakan?" Aku mengangguk sekali lagi.
"Sabar-sabarin udah." Jawabnya lagi-lagi sambil tertawa.
Belum juga aku menimpali pertanyaannya, Bang Radit bangkit dari kursi dan berjalan untuk mengambil pesanan kami.
***"Abang aselinya emang gini ya? Beda banget!" Aku menyengir lebar, berusaha bersikap santai seperti apa yang sedari tadi dia lakukan.
Di perjalanan menuju kampus ini, Bang Radit benar-benar banyak bicara padaku. Image nya yang sebelumnya pendiam, secepat kilat berubah menjadi tidak seperti itu. Ekspektasi ku padanya benar-benar terpatahkan hanya dengan berinteraksi dengannya kurang dari satu jam.
Dia tertawa geli. "Beda gimana?"
"Kelihatannya kaya pendiem gitu."
"Sering merhatiin ya?" Ucapnya dengan nada bercanda.
Astaga. Jantungku tiba-tiba seperti berhenti berdetak karena pertanyaan singkatnya barusan.
"Bercanda, Ka..." Lanjutnya yang diikuti dengan tertawa.
Sepertinya Bang Radit adalah tipe orang yang mudah senyum, bahkan kepada seorang stranger sepertiku.
Aku ikut tertawa kecil. Dia benar-benar tahu caranya membuat orang lain kembali merasa nyaman. Tidak heran sosoknya terlihat akrab dengan semua orang, dan baru-baru ini juga dipercaya civitas jurusan kami untuk mengepalai himpunan mahasiswa tahun ini.
Pembawannya santai, dan auranya benar-benar mampu mendominasi.
"Gue orangnya emang sering bercanda gitu kalo udah kenal, Ka. Kalo baru kenal, barulah pendiam kaya kata yang lo omongin barusan. Maklumin aja, ya!" Jelasnya lagi.
Aku terseyum menanggapi. "Lah emang gue bukan orang baru, Bang?" Aku berusaha melemparkan candaan agar obrolan kami tidak terkesan satu arah.
Bang Radit malah tertawa. Lalu secara tiba-tiba raut wajahnya berubah serius. "Sejak kapan kita jadi orang baru, Ka?" Dan entah kenapa satu balasan candaanku olehnya mampu membuat kerja organ jantungku tidak senormal seperti biasanya.
"Thanks." Sambil menenteng cup holder berisikan satu mochachino aku berjalan keluar dari outlet starbucks.Sudah satu jam setelah aku kembali dari praktikum statistika yang membuat rambutku hampir rontok. Entah apa sesungguhnya yang aku pelajari selama ini, yang aku tahu adalah semua soal yang diujikan barusan tidak ada yang aku tahu bagaimana penyelesaiannya.Untunglah Fayka yang mengambil kelas praktikum sama denganku bersikap baik dan memberikanku sedikit contekan. Yang lebih pentingnya lagi, dia mau meminjami ku uang sehingga saat ini aku bisa berjalan-jalan untuk merefresh otak.Menghentikan langkah di depan salah satu outlet, aku merogoh totebagku begitu mendengar suara panggilan masuk dari ponsel yang ada di dalamnya. "Ya, Fay?"Bukannya balas menyapa, malah Fayka langsung mengungkapkan tujuannya menghubungiku. "Lo mau gue jemput nggak? Urusan gue udah kelar nih!" Fayka di seberang sana menawarkanku tebengan untuk pulang.Dia sudah tau kejadian naas yang menimpaku sebelum prakt
"Gue nggak bakal ngajuin penawaran ini jika gue sendiri ngerasa lo nggak bakal mampu, Run. Gue tau banget kemampuan lo, dan itu lebih dari cukup buat handle kerjaan ini." Ucap Bang Bima untuk ke beberapa kalinya."Tapi Bang, masalahnya gue nggak yakin sanggup. Lo kan tau gue anak kemaren sore, masa udah di kasih jobdesk berat kaya gini." Ucapku untuk menolak apa yang diperintahkan pimpinan redaksi ku ini.Bergabung dalam komunitas jurnalistik kampus memang tidak selalu semenyenangkan yang diharapkan. Lebih dari berkali-kali aku tidak sanggup untuk menolak apa yang diperintahkan kepadaku. Bahkan sudah lebih dari 2 kali dalam sebulan ini saja, aku kebagian untuk mewawancarai mapres atau aktivis kampus yang kegiatannya seabrek, yang sebetulnya berada di luar tanggung jawabku.Bukannya tidak suka mereka, tapi lebih ke rasa malas akibat harus berkali-kali mengganti jadwal karena ada saja acara mendadak yang katanya tidak bisa ditinggalkannnya. Entahlah, mungkin memang seperti itu kehidupan
Aku menghembuskan napas perlahan. Akhirnya artikel Bang Radit yang direncanakan akan menjadi headline berita bulan ini selesai aku kerjakan. Mungkin setelah mendapatkan sedikit editan, akan segera kuhubungi salah satu junior untuk mengkonfirmasinya kepada pihak yang bersangkutan. Memastikan apakah sudah oke atau harus ada beberapa bagian yang harus di ubah.Sudah kuputuskan untuk menjalani aksi menghindari diri dari manusia most untouchable itu dalam beberapa saat. Aku masih belum sanggup jika harus bertemu dan berinteraksi langsung dengannya dalam waktu dekat ini.Dari wawancara kemaren malam, aku menyadari sesuatu yang terjadi. Semakin lama aku mengobrol dengannya, semakin aku terkagum-kagum dengan pemikirannya yang luas dan open minded. Dan dengan jelas juga, aku harus rehat sejenak untuk mengembalikan perasaanku agar tidak terlalu menggebu-gebu."Run!" teriak Salsa yang membuyarkan segala lamunanku. Saat ini kami sedang berada di perpustakaan sembari menunggu kelas selanjutnya u
To: Bang RaditYou send a documentSiang Bang, punten itu artikel yang kemarenBisa di cek dl, entar kalo kurang oke bisa gue edit lgFrom: Bang RaditOke, KaAbis rapat entar langsung gue cekThanks yaaTo: Bang RaditSippyPesan singkat itu berakhir dengan Bang Radit yang mengirim sticker jempol yang hanya aku biarkan bercentang biru.Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan berkirim pesan dengannya secara nyata. Meski hanya membicarakan soal artikel, aku sudah cukup senang untuk berbalas pesan singkat dengan dirinya.Kuletakkan ponselku di atas meja, lalu menghembuskan napas dan bergumam pelan. Semoga tidak ada revisi sehingga bisa segera di publish tanpa harus berurusan kembali.By the way, niatku untuk meminta tolong yang lain untuk meng-follow-up artikel Bang Radit tidak jadi aku lakukan. Hati kecilku meragukan keprofesionalitasanku jika tetap melakukan hal yang demikian."Fay, jadi ke perpus nggak?" Ku toel-toel lengannya yang masih sibuk menuliskan sesuatu di buku saktinya.
"Yakin nggak mau bareng?" Sosoknya bertanya untuk kedua kalinya saat aku tak kunjung juga mengiyakan ajakannya itu."Nggak usah, Bang. Temen gue bakalan jemput kok. Abang duluan aja gak papa."Jarak antara perpustakaan dan gerbang keluar kampus memang sangatlah jauh. Apalagi jika ditempuh sendiri, tentu saja itu akan berkali-kali lipat lebih melelahkan."Ya udah kalo gitu. Gue tungguin nyampe temen lo dateng deh! Gue juga nggak ada acara apa-apa kok abis ini." Ucapnya santai sembari menyandarkan kembali punggungnya ke kursi yang tersedia di depan gedung perpustakaan."Eh," Aku setengah tidak mengira dengan jawaban yang akan keluar dari mulutnya itu."Nggak usah, Bang."Kulihat Bang Radit mengernyitkan dahinya, "Kenapa?""Hmm.. " Aku sungguhan bingung ingin menjawab apaBang Radit menghembuskan napasnya, "Keberadaan gue bikin lo nggak nyaman ya?" Lagi-lagi kalimat itu yang keluar dari mulutnya.Aku menggeleng. "Eh, enggak kok."''Terus?""E.. emm.. gimana ya ngomongnya? Gue nggak mau a
Self perception adalah persepsi seseorang akan dirinya sendiri dan penilaiannya, serta persepsi seseorang akan pengalamannya di situasi tertentu***Menyandang sebagai kota hujan, Bogor dan hujan adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Seolah sudah menjadi hal yang menjadi satu, Bogor diasosiasikan dengan hujan, dan hujan pun juga diasosiasikan dengan Bogor. Dan tentunya memaksaku yang super mageran ini untuk senantiasa membawa payung kemanapun ketika sudah memasuki musim penghujan.Untungnya, hujan di kamis sore kali ini benar-benar membawa berkah. Kemacetan yang biasa aku rasakan ketika menempuh perjalanan pulang yang bertepatan dengan after office hours, kali ini tidak terlalu terasa karena orang-orang mungkin memilih untuk menghangatkan tubuhnya dahulu dengan secangkir kopi atau teh sebelum beranjak pulang. Dan keadaan seperti ini membuatku banyak bersyukur karena berhasil memangkas perjalanan selama kurang lebih lima menit."Sore Mbak, baru balik ya?" sapa Rania saat melihat
Everyone is special for their own liveBelieve that you can find a way***"Kenapa hm?" Tanyaku pada perempuan dua puluh tahun ini.Rania menghembuskan napas lelah. Sembari mengelap sisa-sisa air mata di pipinya, sosoknya berusaha tenang dengan kembali menarik napas secara perlahan. "Gue bakal cerita, tapi ini kayaknya bakal jadi deep talk Mbak." Jelasnya setelah berhasil meredam tangisnya.Aku mengangguk mengerti. Lalu menarik kedua tangannya untuk aku satukan dengan tanganku, dengan tujuan mengalirkan rasa tenang pada jiwanya yang sedang terguncang."Dimas selingkuh, Mbak!" Bohong jika aku tidak merasa kaget. Bola mataku mungkin sudah hampir keluar hanya dengan satu kalimat pembuka darinya barusan.Meski dirundung rasa penasaran, aku mencoba tenang dan tak memotong penjelasan Rania yang bahkan belum dimulai ini."Gue nggak tau semenjak kapan Dimas berubah jadi lebih cuek ketimbang dari biasanya. Mulai jarang kasih kabar, chat nggak dibales, dan bahkan belakangan ini story-nya di kec
Jangan biarkan kesalahan masa lalu menentukan kehidupan kita di masa sekarang dan yang akan datang***Entah mengapa aku tiba-tiba teringat akan perkataan guru sejarah di tempatku sekolah dulu. Tentang alasan penggunaan bahasa latin dalam kesejarahan karena bahasa tersebut sudah tidak digunakan lagi secara umum. Sehingga tidak dimungkinkan untuk berkembang dan menghasilkan istilah baru yang mungkin saja dapat memicu kebingungan.Bahasa adalah sesuatu yang dinamis. Berkembang mengikuti zaman, dan terus bertambah sesuai situasi dan kondisi yang sedang terjadi.Salah sa