Self perception adalah persepsi seseorang akan dirinya sendiri dan penilaiannya, serta persepsi seseorang akan pengalamannya di situasi tertentu
***
Menyandang sebagai kota hujan, Bogor dan hujan adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Seolah sudah menjadi hal yang menjadi satu, Bogor diasosiasikan dengan hujan, dan hujan pun juga diasosiasikan dengan Bogor. Dan tentunya memaksaku yang super mageran ini untuk senantiasa membawa payung kemanapun ketika sudah memasuki musim penghujan.
Untungnya, hujan di kamis sore kali ini benar-benar membawa berkah. Kemacetan yang biasa aku rasakan ketika menempuh perjalanan pulang yang bertepatan dengan after office hours, kali ini tidak terlalu terasa karena orang-orang mungkin memilih untuk menghangatkan tubuhnya dahulu dengan secangkir kopi atau teh sebelum beranjak pulang. Dan keadaan seperti ini membuatku banyak bersyukur karena berhasil memangkas perjalanan selama kurang lebih lima menit.
"Sore Mbak, baru balik ya?" sapa Rania saat melihatku baru saja memasuki halaman kontrakan.
Rania adalah penghuni lain selain aku, Fayka dan juga Raini. Dia satu tingkat di bawahku, dan merupakan sepupu Fayka.
Aku tersenyum menanggapi, "Iya nih, Ran. Biasa kamis... Nungguin siapa? Pacar?" Tanyaku sembari menghampiri Raina.
Raina menggeleng. "Bukan mbak. Lagi nungguin abang ojol, biasa lah pengen ngemil ujan-ujan gini," Jelasnya sembari tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi itu.
Aku mengangguk, "Oooo, kalo gitu mbak masuk dulu ya Ran. Basah semua nih, mau langsung ganti." Jelasku sebelum pergi meninggalkannya di teras kontrakan.
***
Apakah sebaiknya kita putus atau terus
Kita sedang mempertahankan hubungan atau hanya sekedar... menunda perpisahan
"Run!" Aku menekan tombol pause di spotify ketika mendengar seseorang memanggil namaku dari sebelah kiri.
"Hm," Aku bergumam sembari menengok ke arah samping dan menemukan Fayka yang sedang sibuk mengeringkan rambutnya menggunakan handuk.
"Gue abis ini mau keluar bentar. Lo ada nitip sesuatu nggak? Biar sekalian." Tanyanya sambil menarik kursi di sebelah untuk didudukinya.
Saat ini kami memang sedang berada di ruang tamu kontrakan. Dengan laptop yang masih menyala di depanku, yang menampilkan sebuah jurnal tata kelola kelautan yang harus dianalisis untuk dikumpulkan besok lusa.
Aku diam sebentar, memikirkan apa yang sekiranya ingin ku beli agar sekalian aku titipkan kepadanya. "Nggak ada sih kayaknya. Tapi entar baliknya mampir Alfamidi deh ya, beliin gue susu UHT low calorie 2 sama lemonia coklat 1."
Kulihat Fayka mengangguk-angguk. "Ada lagi nggak?"
Aku menggeleng. "Udah kayaknya. Tapi pake duit lo dulu ya, besok gue ganti. Lagi nggak ada cash soalnya." Jelasku setelah mengingat bahwa sore tadi belum sempat mengambil uang di ATM karena harus mengantri.
"Sans. Kayak sama siapa aja." Ucapnya sembari berdiri dan berjalan menuju ke kamar.
"Abis ini gue langsung OTW ya." Lanjutnya sambil berlalu dan menghilang dari pandanganku.
***
"Sial," Aku mengumpat saat menyadari bahwa aku sudah ketinggalan angkot yang mati-matian aku kejar.
Pagi ini aku bangun kesiangan, sedangkan di sisi lain popo masih berada di bengkel karena kemaren sore baru saja terserempet ketika berada di parkiran. Alhasil, aku pun harus mengerahkan tenaga untuk berlarian agar tidak telat di mata kuliah pagi ini yang harus aku ikuti tepat pukul delapan nanti. Nafasku masih tersengal-sengal karena berlarian dari depan kontrakan menuju jalan raya untuk mencari angkutan. Dan dengan tidak beruntungnya, aku malah tertinggal angkot incaran di depan mataku sendiri. Benar-benar sia-sia usaha lari-lari ku sedari tadi. Poor you, Ka!
Aku menghembuskan napas lelah, lalu memilih menyingkir untuk mencari sesuatu yang bisa aku duduki. Aku butuh istirahat sebentar sebelum kembali melakukan perjuangan.
Kulirik jam tangan silver yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku. Mataku membola sempurna saat menyadari bahwa jarum jam yang ditunjukkan tidak sesuai dengan waktu yang seharusnya.
Aku memastikannya sekali lagi, lalu mengambil ponsel untuk mencocokkannya dengan jam di layarku.
Sial.
Lagi-lagi aku kembali mengumpat ketika menyadari kejanggalan ini."Awas ya Rain, lo." Gumamku setelah sadar bahwa temanku itulah yang pasti telah mempercepat jam dinding di dalam kamar, yang membuatku kalang kabut sejak bangun tadi.
Perbuatannya benar-benar mengesalkan kali ini. Aku bahkan jadi tidak mandi karena saking khawatirnya akan terlambat. Dan faktanya, aku justru berangkat terlalu cepat karena dia telah mengubah jarum pendek itu setingkat lebih cepat.
Aku menyelonjorkan kakiku, lalu kembali mengambil ponsel di dalam totebag putih yang hari ini aku pakai. Sembari menunggu angkot menghampiri, kusempatkan untuk membuka i*******m dan mengecek beberapa i* story dari beberapa orang yang membuatku penasaran.
***"Gimana tadi?" Tanya Salsa saat kami baru saja keluar kelas statistika.
Aku menautkan kening heran atas pertanyaannya. "Gimana apanya?"
Kulirik Salsa mendengkus. Sambil tetap berjalan meninggalkan kelas, kami melanjutkan obrolan singkat ini.
"Lo selese?"
Aku menggeleng. "Kurang dua."
"Gilak. Beneran? Keren amat lo, Run."
"Bekal nekat itu. Bodo amat yang gue tulis cuman jawaban sejuta umat. Kayaknya anak SMA aja lebih banyak tau dibandingin gue."
"Lo ngarang berapa emang?"
Aku terdiam. Tidak langsung menjawab pertanyaan yang dilontarkan Salsa karena harus mengingat berapa banyak jawaban kuis yang aku karang tadi. "Hmm... sembilan, maybe."
"What??? Beneran??"
Aku mengangguk yakin. "Itu yang beneran ngarang total, yang lainnya yang nggak yakin." Balasku sembari mengambil ponsel yang ada di dalam saku blazerku.
"Lo gimana?" Lanjut ku setelah berhasil menemukan ponsel dan menempelkan telunjuk jari tanganku untuk membukanya.
Kulirik Salsa meringis. "Semuanya gue ngarang." Ucapnya tanpa beban sama sekali.
Aku membuka aplikasi w******p sebelum kembali menimpali ucapannya.
"Tapi selese?"
Salsa menggeleng. "Kurang tujuh kalo nggak salah. Otak gue udah mau meledak mikirnya."
"Sama banget asli. Nggak tau deh itu dosen nemu soal dimana." Aku mengeluh semangat karena menemukan teman seperjuangan untuk matkul ini.
"Iya gila. Kemaren pas latian perasaan soalnya masih bisa di karang. Lah ini? Omaygat Run, gue mau ngarang aja kagak bisa." Salsa berujar sembari memasangkan helm di kepalanya.
Saat ini kami memang sudah berada di parkiran motor. Dan karena Salsa bilang ingin main ke kontrakan, maka aku sekalian saja menebengnya pulang.
"Bener banget. Tapi gue udah nggak berharap banyak sih sama ini matkul." Responku sembari naik di jok belakang motornya.
Salsa mengangguk. "Udah ya, lupain aja. Biar nggak cepet botak pala kita." Sarannya yang aku setujui.
"Ya udah Sa. Gas balik kontrakkan." Timpalku yang dijawabnya dengan menstrarter motornya.
Orang bilang awal umur dua puluhan adalah saat yang tepat untuk coba-coba, waktu yang sempurna untuk out of the comfort zone dan benar-benar menemukan apa yang sebenarnya menjadi passion diri. Bukan berarti main-main dengan setiap yang di kerjakan, tetapi lebih berusaha sebaik mungkin untuk menemukan sebuah kenyamanan di dalamnya.Jika toh nanti tidak sesuai yang diharapkan, masih ada kesempatan lain untuk mencoba hal baru yang tidak pernah kita duga sebelumnya.Dan aku rasa, mengisinya dengan diam-diam menyukai seseorang bukalah hal yang salah juga."Pojok kanan, kemeja biru, lengannya di gulung nyampe siku." Bisik Fayka padaku, Salsa dan Raini yang sedang mengikuti kuliah umum bersama anak-anak dari satu jurusan.Kami yang biasanya hanya kuliah bersama teman sekelas, kini mendapat kesempatan untuk kuliah bersama kakak tingkat dan adik tingkat karena adanya dosen tamu yang datang."Yang mana?" Tanya Raini mencoba memastikan.Entah kenapa aku ikut menoleh mengikuti instruksi yang dibe
Memasuki semester genap kemarin, bagiku jumat menjadi hari yang sangat menyebalkan dalam lima hari weekdays. Bagaimana aku mengatakan demikian? Karena jadwal kuliahku berjarak seperti langit dan bumi. Dengan kelas pagi yang dimulai jam tujuh pagi, dan kelas sore yang baru dimulai jam tiga sore. Sialnya lagi, kelas sore adalah praktikum yang kehadirannya harus seratus persen. It means, tidak ada kesempatan bagiku untuk membolos kelas mau bagaimana pun keadaannya."Ra, gue jalan dulu ya." Aku berteriak kepada Raini yang sedang menikmati makan siangnya di dapur kontrakan.Sembari menenteng helm bogo yang sudah menemaniku setahun ini, aku berjalan keluar untuk mengambil motor scoopyku untuk on the way ke kampus. Sore ini ada kuis pra UTS yang harus aku ikuti. So, aku berangkat lebih cepat dari biasanya untuk menghindari hal-hal tidak terduga yang tidak diinginkanBaru sampai di setengah perjalanan, tiba-tiba motorku diarahkan ke pinggir jalan oleh beberapa pak polisi yang sepertinya sedan
Aku tidak tahu semenjak kapan mulai diam-diam sering memperhatikannya. Mungkin saat dirinya menjadi ketua panitia ospek jurusan yang aku ikuti semester pertama lalu, atau justru ketika sering tidak sengaja berpapasan ketika sama-sama menikmati makan siang di kantin fakultas.Tadinya aku memang hanya penasaran dengan sosoknya. Tapi siapa yang tau, seringnya melihat dan memperhatikan interaksinya justru membuat rasa penasaranku menjadi lebih kompleks dan berkembang dari apa yang aku duga. Yang dengan berat hati harus aku akui jika aku, benar-benar merasa tertarik dengan seorang Raditya.Well, pada intinya sudah lama ketika aku bisa menyebut diriku sebagai seorang secret admirer. Yang secara rutin memperhatikannya dalam diam, dan bahkan melakukan campaign terselubung secara serupa untuk mempengaruhi orang-orang di dalam lingkunganku untuk memilihnya sebagai ketua hima yang baru.Anyway, meski selalu men-stalk kegiatan-kegiatannya, aku masih tidak cukup berani untuk membagikan perasaaanku
"Semester berapa?" Tanyanya setelah obrolan kami sempat terputus."Tiga."Dia manggut-manggut di balik kemudinya. "Angkatan 19 ya berarti?""Iya." Kemudian hening.Bukannya berlagak cuek, tapi aku sungguhan tidak tahu harus mengatakan apa selain mejawab pertanyaannya barusan dengan jawaban seadanya. Otakku masih terlalu kaget mengalami kejadian langka seperti ini."Pendiem banget ya, Ka.""Ha? Gimana, Bang?" Aku memastikan pertanyaannya karena tidak terlalu jelas.Dibalik spionnya, Bang Radit kembali tertawa karena aku yang sedari tadi diajak mengobrol kerap tidak mendengar."Lo, anaknya pendiem banget?" Ulangnya dengan intonasi yang lebih lambat."Enggak kok.""Tapi gue tanyain jawabannya singkat mulu, Ka.""Nggak ada topik obrolan aja, Bang. Jadinya ya diem." Jawabku jujur.Bang Radit hanya mengangguk-angguk. Sayangnya aku tidak bisa melihat ekspresinya seperti apa sekarang.***"Sori ya. Lebih lama dari yang gue kira ternyata.""Gak papa kok, Bang. Emang ngurus apaan aja tadi?"Ast
"Thanks." Sambil menenteng cup holder berisikan satu mochachino aku berjalan keluar dari outlet starbucks.Sudah satu jam setelah aku kembali dari praktikum statistika yang membuat rambutku hampir rontok. Entah apa sesungguhnya yang aku pelajari selama ini, yang aku tahu adalah semua soal yang diujikan barusan tidak ada yang aku tahu bagaimana penyelesaiannya.Untunglah Fayka yang mengambil kelas praktikum sama denganku bersikap baik dan memberikanku sedikit contekan. Yang lebih pentingnya lagi, dia mau meminjami ku uang sehingga saat ini aku bisa berjalan-jalan untuk merefresh otak.Menghentikan langkah di depan salah satu outlet, aku merogoh totebagku begitu mendengar suara panggilan masuk dari ponsel yang ada di dalamnya. "Ya, Fay?"Bukannya balas menyapa, malah Fayka langsung mengungkapkan tujuannya menghubungiku. "Lo mau gue jemput nggak? Urusan gue udah kelar nih!" Fayka di seberang sana menawarkanku tebengan untuk pulang.Dia sudah tau kejadian naas yang menimpaku sebelum prakt
"Gue nggak bakal ngajuin penawaran ini jika gue sendiri ngerasa lo nggak bakal mampu, Run. Gue tau banget kemampuan lo, dan itu lebih dari cukup buat handle kerjaan ini." Ucap Bang Bima untuk ke beberapa kalinya."Tapi Bang, masalahnya gue nggak yakin sanggup. Lo kan tau gue anak kemaren sore, masa udah di kasih jobdesk berat kaya gini." Ucapku untuk menolak apa yang diperintahkan pimpinan redaksi ku ini.Bergabung dalam komunitas jurnalistik kampus memang tidak selalu semenyenangkan yang diharapkan. Lebih dari berkali-kali aku tidak sanggup untuk menolak apa yang diperintahkan kepadaku. Bahkan sudah lebih dari 2 kali dalam sebulan ini saja, aku kebagian untuk mewawancarai mapres atau aktivis kampus yang kegiatannya seabrek, yang sebetulnya berada di luar tanggung jawabku.Bukannya tidak suka mereka, tapi lebih ke rasa malas akibat harus berkali-kali mengganti jadwal karena ada saja acara mendadak yang katanya tidak bisa ditinggalkannnya. Entahlah, mungkin memang seperti itu kehidupan
Aku menghembuskan napas perlahan. Akhirnya artikel Bang Radit yang direncanakan akan menjadi headline berita bulan ini selesai aku kerjakan. Mungkin setelah mendapatkan sedikit editan, akan segera kuhubungi salah satu junior untuk mengkonfirmasinya kepada pihak yang bersangkutan. Memastikan apakah sudah oke atau harus ada beberapa bagian yang harus di ubah.Sudah kuputuskan untuk menjalani aksi menghindari diri dari manusia most untouchable itu dalam beberapa saat. Aku masih belum sanggup jika harus bertemu dan berinteraksi langsung dengannya dalam waktu dekat ini.Dari wawancara kemaren malam, aku menyadari sesuatu yang terjadi. Semakin lama aku mengobrol dengannya, semakin aku terkagum-kagum dengan pemikirannya yang luas dan open minded. Dan dengan jelas juga, aku harus rehat sejenak untuk mengembalikan perasaanku agar tidak terlalu menggebu-gebu."Run!" teriak Salsa yang membuyarkan segala lamunanku. Saat ini kami sedang berada di perpustakaan sembari menunggu kelas selanjutnya u
To: Bang RaditYou send a documentSiang Bang, punten itu artikel yang kemarenBisa di cek dl, entar kalo kurang oke bisa gue edit lgFrom: Bang RaditOke, KaAbis rapat entar langsung gue cekThanks yaaTo: Bang RaditSippyPesan singkat itu berakhir dengan Bang Radit yang mengirim sticker jempol yang hanya aku biarkan bercentang biru.Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan berkirim pesan dengannya secara nyata. Meski hanya membicarakan soal artikel, aku sudah cukup senang untuk berbalas pesan singkat dengan dirinya.Kuletakkan ponselku di atas meja, lalu menghembuskan napas dan bergumam pelan. Semoga tidak ada revisi sehingga bisa segera di publish tanpa harus berurusan kembali.By the way, niatku untuk meminta tolong yang lain untuk meng-follow-up artikel Bang Radit tidak jadi aku lakukan. Hati kecilku meragukan keprofesionalitasanku jika tetap melakukan hal yang demikian."Fay, jadi ke perpus nggak?" Ku toel-toel lengannya yang masih sibuk menuliskan sesuatu di buku saktinya.