Memasuki semester genap kemarin, bagiku jumat menjadi hari yang sangat menyebalkan dalam lima hari weekdays. Bagaimana aku mengatakan demikian? Karena jadwal kuliahku berjarak seperti langit dan bumi. Dengan kelas pagi yang dimulai jam tujuh pagi, dan kelas sore yang baru dimulai jam tiga sore. Sialnya lagi, kelas sore adalah praktikum yang kehadirannya harus seratus persen. It means, tidak ada kesempatan bagiku untuk membolos kelas mau bagaimana pun keadaannya.
"Ra, gue jalan dulu ya." Aku berteriak kepada Raini yang sedang menikmati makan siangnya di dapur kontrakan.
Sembari menenteng helm bogo yang sudah menemaniku setahun ini, aku berjalan keluar untuk mengambil motor scoopyku untuk on the way ke kampus. Sore ini ada kuis pra UTS yang harus aku ikuti. So, aku berangkat lebih cepat dari biasanya untuk menghindari hal-hal tidak terduga yang tidak diinginkan
Baru sampai di setengah perjalanan, tiba-tiba motorku diarahkan ke pinggir jalan oleh beberapa pak polisi yang sepertinya sedang melaksanakan operasi lalu lintas.
Aku mengikuti instruksi tersebut dengan tenang. Merasa tidak melanggar dan memiliki surat-surat dengan lengkap, tidak ada hal apapun yang perlu aku khawatirkan.
"Selamat siang, Mbak!" Ucap pak polisi sembari memberi hormat ke arahku.
Aku membuka kaca helm ku, lalu tersenyum dan berucap. "Siang, Pak."
"Mohon maaf mengganggu perjalanannya. Bisa tolong lihat surat-suratnya?"
"Bisa, Pak. Sebentar!" Aku menurunkan totebag dari lengan kananku, lalu segera mengobrak-abrik isinya untuk menemukan dompet penyelamat.
"Ada, Mbak?" Ucap si Bapak setelah aku tak kunjung juga memberikannya apa yang diinginkan.
"Sebentar, Pak." Aku sudah mulai merasa panik karena apa yang sedang kucari sedari tadi belum juga aku temukan.
"Bapak ke mas yang di sebelah dulu aja, Pak. Sambil nunggu saya cari dompet saya." Aku mencoba untuk mengalihkan fokus si bapak karena cukup terganggu, sekaligus merasa terintimidasi dengan tatapan tajamnya. Dan untungnya, si bapak menuruti permintaanku barusan
Aku menyetandarkan motorku, lalu turun dan mencoba menghubungi Raini untuk membantu. Barang kali dia tau keberadaan dompetku, karena sedari tadi belum juga berhasil kutemukan.
Nomor yang Anda hubungi sedang tidak dapat menerima panggilan.
Silahkan tinggalkan pesan atau hubungi beberapa saat lagi.Sial!
Aku mengumpat pelan saat panggilan ketiga ku belum juga diangkat oleh Raini."Gimana, Mbak? Ini motornya ditinggal aja ya. Nanti saya kasih jadwal sidangnya." Ucap bapak-bapak perut buncit berseragam ini.
Aku menggeleng sembari menggigit bibir dalamku.
"Jangan, Pak. Kampus saya masih jauh, belum lagi saya ada praktikum seperempat jam lagi. Janji deh besok nggak bakal ketinggalan lagi, biarin saya kali ini aja ya Pak?" Mohon ku dengan wajah memelas.
"Nggak bisa, Mbak. Yang namanya hukum tetap hukum."
"Kalo Mbak nggak bawa STNK dan SIM nya, motornya kami sita terlebih dulu. Nanti saya kasih jadwal sidangnya buat besok."
Aku menghembuskan napas pelan. Bagaimana bisa aku tidak ingat jika dompetku tertinggal diatas meja kontrakan gara-gara tadi membeli makan siang di warteg depan . Astaga cerobohnya!
"Terus saya ke kampusnya gimana, Pak?"
"Ya terserah Mbaknya saja. Naik angkot atau ojol." Pak Polisi yang aku taksir berumur hampir setengah abad ini memberikan saran yang sesungguhnya tidak aku butuhkan.
Aku mendengkus, "Kan dompet saya ketinggalan, Pak. Mana bisa saya naik kendaraan umum. Gimana entar coba bayarnya. Maafin saya kali ini deh ya, Pak?" Aku masih belum patah semangat untuk merayu bapak polisi yang satu ini.
Kulihat pak polisi di depanku justru tersenyum sembari memandang lurus ke arah belakangku. Dan entah kenapa tiba-tiba saja perasaanku menjadi tidak enak dengan sendirinya.
"Hey kamu yang pake baju warna marun! Sini sebentar." Teriak sang bapak sembari melambaikan tangannya kepada seseorang yang sepertinya berada dibelakang posisiku berdiri.
"Itu di belakang ada yang bajunya sama kaya kamu. Saya bilangin dulu biar kasih tumpangan ke kampus!" Seketika kedua mataku membola kaget mendengar penuturan bapaknya. Ku beranikan diri untuk menengok ke belakang dan damn, cobaan apalagi ini, Tuhan?
Aku tidak tahu semenjak kapan mulai diam-diam sering memperhatikannya. Mungkin saat dirinya menjadi ketua panitia ospek jurusan yang aku ikuti semester pertama lalu, atau justru ketika sering tidak sengaja berpapasan ketika sama-sama menikmati makan siang di kantin fakultas.Tadinya aku memang hanya penasaran dengan sosoknya. Tapi siapa yang tau, seringnya melihat dan memperhatikan interaksinya justru membuat rasa penasaranku menjadi lebih kompleks dan berkembang dari apa yang aku duga. Yang dengan berat hati harus aku akui jika aku, benar-benar merasa tertarik dengan seorang Raditya.Well, pada intinya sudah lama ketika aku bisa menyebut diriku sebagai seorang secret admirer. Yang secara rutin memperhatikannya dalam diam, dan bahkan melakukan campaign terselubung secara serupa untuk mempengaruhi orang-orang di dalam lingkunganku untuk memilihnya sebagai ketua hima yang baru.Anyway, meski selalu men-stalk kegiatan-kegiatannya, aku masih tidak cukup berani untuk membagikan perasaaanku
"Semester berapa?" Tanyanya setelah obrolan kami sempat terputus."Tiga."Dia manggut-manggut di balik kemudinya. "Angkatan 19 ya berarti?""Iya." Kemudian hening.Bukannya berlagak cuek, tapi aku sungguhan tidak tahu harus mengatakan apa selain mejawab pertanyaannya barusan dengan jawaban seadanya. Otakku masih terlalu kaget mengalami kejadian langka seperti ini."Pendiem banget ya, Ka.""Ha? Gimana, Bang?" Aku memastikan pertanyaannya karena tidak terlalu jelas.Dibalik spionnya, Bang Radit kembali tertawa karena aku yang sedari tadi diajak mengobrol kerap tidak mendengar."Lo, anaknya pendiem banget?" Ulangnya dengan intonasi yang lebih lambat."Enggak kok.""Tapi gue tanyain jawabannya singkat mulu, Ka.""Nggak ada topik obrolan aja, Bang. Jadinya ya diem." Jawabku jujur.Bang Radit hanya mengangguk-angguk. Sayangnya aku tidak bisa melihat ekspresinya seperti apa sekarang.***"Sori ya. Lebih lama dari yang gue kira ternyata.""Gak papa kok, Bang. Emang ngurus apaan aja tadi?"Ast
"Thanks." Sambil menenteng cup holder berisikan satu mochachino aku berjalan keluar dari outlet starbucks.Sudah satu jam setelah aku kembali dari praktikum statistika yang membuat rambutku hampir rontok. Entah apa sesungguhnya yang aku pelajari selama ini, yang aku tahu adalah semua soal yang diujikan barusan tidak ada yang aku tahu bagaimana penyelesaiannya.Untunglah Fayka yang mengambil kelas praktikum sama denganku bersikap baik dan memberikanku sedikit contekan. Yang lebih pentingnya lagi, dia mau meminjami ku uang sehingga saat ini aku bisa berjalan-jalan untuk merefresh otak.Menghentikan langkah di depan salah satu outlet, aku merogoh totebagku begitu mendengar suara panggilan masuk dari ponsel yang ada di dalamnya. "Ya, Fay?"Bukannya balas menyapa, malah Fayka langsung mengungkapkan tujuannya menghubungiku. "Lo mau gue jemput nggak? Urusan gue udah kelar nih!" Fayka di seberang sana menawarkanku tebengan untuk pulang.Dia sudah tau kejadian naas yang menimpaku sebelum prakt
"Gue nggak bakal ngajuin penawaran ini jika gue sendiri ngerasa lo nggak bakal mampu, Run. Gue tau banget kemampuan lo, dan itu lebih dari cukup buat handle kerjaan ini." Ucap Bang Bima untuk ke beberapa kalinya."Tapi Bang, masalahnya gue nggak yakin sanggup. Lo kan tau gue anak kemaren sore, masa udah di kasih jobdesk berat kaya gini." Ucapku untuk menolak apa yang diperintahkan pimpinan redaksi ku ini.Bergabung dalam komunitas jurnalistik kampus memang tidak selalu semenyenangkan yang diharapkan. Lebih dari berkali-kali aku tidak sanggup untuk menolak apa yang diperintahkan kepadaku. Bahkan sudah lebih dari 2 kali dalam sebulan ini saja, aku kebagian untuk mewawancarai mapres atau aktivis kampus yang kegiatannya seabrek, yang sebetulnya berada di luar tanggung jawabku.Bukannya tidak suka mereka, tapi lebih ke rasa malas akibat harus berkali-kali mengganti jadwal karena ada saja acara mendadak yang katanya tidak bisa ditinggalkannnya. Entahlah, mungkin memang seperti itu kehidupan
Aku menghembuskan napas perlahan. Akhirnya artikel Bang Radit yang direncanakan akan menjadi headline berita bulan ini selesai aku kerjakan. Mungkin setelah mendapatkan sedikit editan, akan segera kuhubungi salah satu junior untuk mengkonfirmasinya kepada pihak yang bersangkutan. Memastikan apakah sudah oke atau harus ada beberapa bagian yang harus di ubah.Sudah kuputuskan untuk menjalani aksi menghindari diri dari manusia most untouchable itu dalam beberapa saat. Aku masih belum sanggup jika harus bertemu dan berinteraksi langsung dengannya dalam waktu dekat ini.Dari wawancara kemaren malam, aku menyadari sesuatu yang terjadi. Semakin lama aku mengobrol dengannya, semakin aku terkagum-kagum dengan pemikirannya yang luas dan open minded. Dan dengan jelas juga, aku harus rehat sejenak untuk mengembalikan perasaanku agar tidak terlalu menggebu-gebu."Run!" teriak Salsa yang membuyarkan segala lamunanku. Saat ini kami sedang berada di perpustakaan sembari menunggu kelas selanjutnya u
To: Bang RaditYou send a documentSiang Bang, punten itu artikel yang kemarenBisa di cek dl, entar kalo kurang oke bisa gue edit lgFrom: Bang RaditOke, KaAbis rapat entar langsung gue cekThanks yaaTo: Bang RaditSippyPesan singkat itu berakhir dengan Bang Radit yang mengirim sticker jempol yang hanya aku biarkan bercentang biru.Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan berkirim pesan dengannya secara nyata. Meski hanya membicarakan soal artikel, aku sudah cukup senang untuk berbalas pesan singkat dengan dirinya.Kuletakkan ponselku di atas meja, lalu menghembuskan napas dan bergumam pelan. Semoga tidak ada revisi sehingga bisa segera di publish tanpa harus berurusan kembali.By the way, niatku untuk meminta tolong yang lain untuk meng-follow-up artikel Bang Radit tidak jadi aku lakukan. Hati kecilku meragukan keprofesionalitasanku jika tetap melakukan hal yang demikian."Fay, jadi ke perpus nggak?" Ku toel-toel lengannya yang masih sibuk menuliskan sesuatu di buku saktinya.
"Yakin nggak mau bareng?" Sosoknya bertanya untuk kedua kalinya saat aku tak kunjung juga mengiyakan ajakannya itu."Nggak usah, Bang. Temen gue bakalan jemput kok. Abang duluan aja gak papa."Jarak antara perpustakaan dan gerbang keluar kampus memang sangatlah jauh. Apalagi jika ditempuh sendiri, tentu saja itu akan berkali-kali lipat lebih melelahkan."Ya udah kalo gitu. Gue tungguin nyampe temen lo dateng deh! Gue juga nggak ada acara apa-apa kok abis ini." Ucapnya santai sembari menyandarkan kembali punggungnya ke kursi yang tersedia di depan gedung perpustakaan."Eh," Aku setengah tidak mengira dengan jawaban yang akan keluar dari mulutnya itu."Nggak usah, Bang."Kulihat Bang Radit mengernyitkan dahinya, "Kenapa?""Hmm.. " Aku sungguhan bingung ingin menjawab apaBang Radit menghembuskan napasnya, "Keberadaan gue bikin lo nggak nyaman ya?" Lagi-lagi kalimat itu yang keluar dari mulutnya.Aku menggeleng. "Eh, enggak kok."''Terus?""E.. emm.. gimana ya ngomongnya? Gue nggak mau a
Self perception adalah persepsi seseorang akan dirinya sendiri dan penilaiannya, serta persepsi seseorang akan pengalamannya di situasi tertentu***Menyandang sebagai kota hujan, Bogor dan hujan adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Seolah sudah menjadi hal yang menjadi satu, Bogor diasosiasikan dengan hujan, dan hujan pun juga diasosiasikan dengan Bogor. Dan tentunya memaksaku yang super mageran ini untuk senantiasa membawa payung kemanapun ketika sudah memasuki musim penghujan.Untungnya, hujan di kamis sore kali ini benar-benar membawa berkah. Kemacetan yang biasa aku rasakan ketika menempuh perjalanan pulang yang bertepatan dengan after office hours, kali ini tidak terlalu terasa karena orang-orang mungkin memilih untuk menghangatkan tubuhnya dahulu dengan secangkir kopi atau teh sebelum beranjak pulang. Dan keadaan seperti ini membuatku banyak bersyukur karena berhasil memangkas perjalanan selama kurang lebih lima menit."Sore Mbak, baru balik ya?" sapa Rania saat melihat
Tidak ada yang tahu bagaimana seseorang akan menjalani kehidupannya. Hal-hal yang sebelumnya terasa begitu mustahil untuk dialami, bisa saja dalam sekejap terjadi seperti apa yang ada dalam bayangan. Ada saja kejadian tidak terduga yang digariskan takdir, yang tiba-tiba membuat dua orang yang tidak mungkin memiliki kesempatan untuk berinteraksi bisa bersatu dalam sebuah ikatan dalam waktu yang terhitung cepat.Dalam dua puluh satu tahun hidupku di dunia, dam-diam menyukai seseorang tanpa ada keinginan untuk menyatakan adalah hal paling sulit yang pernah aku lakukan. Mengamati dalam diam dan melihat bagaimana dia menjalani kehidupannya adalah hal sederhana yang selalu bisa membuatku tersenyum bahagia.Ayolah... Jatuh cinta memang tidak sebercanda itu."Bang ..." Aku memanggil Bang Radit yang belum juga mengatakan satu patah kata pun sedari tadi.Saat ini kami berdiri di samping kolam renang di halaman belakang."Bang ..." Sekali lagi aku memanggil namanya. Bedanya, suaraku semakin liri
Flashback onKesan pertama adalah hal paling krusial antara pertemuan dua orang. Pepatah yang mengatakan bahwa hanya perlu empat detik untuk memutuskan kita senang atau tidak dengan orang baru, nyatanya masih cukup relevan bagi sebagian besar orang. Baik itu untuk menyukai, membenci, atau bahkan sekedar respect or enggaknya.Bagiku sendiri yang cenderung sulit dekat dengan orang lain, gestur dan bagaimana orang itu bertutur kata padaku saat pertama kali kami berinteraksi adalah hal yang sepenuhnya membentuk perspektif ku akan orang tersebut. Jika aku merasa nyaman or anything like that maka aku akan memberikan respon positif dan menjadi lebih mudah untuk membaur di masa depan. Sementara jika penilaian ku terhadapnya sudah terlanjur buruk, even di masa depan dia ternyata tidak seperti yang aku duga pun tetap saja begitu sulit bagi ku untuk merasa dekat dengan orang tersebut. Dan itu berarti aku dapat mengatakan bahwa untuk kasusku kesan pertama adalah segalanya, termasuk membuatku mera
"Kaya gembel banget sih!" Bang Saka menghinaku yang hari ini menggunakan daster lusuh berwarna kuning yang bergambar Spongebob.Jika aku tidak salah ingat, daster ini aku beli ketika study tour ke pulau Dewata saat kelas 2 SMP. Jadi apakah selama enam tahun terakhir ini aku tidak tumbuh?"Ini bagus tau, Bang. Lucu banget gini!" Balasku tak mau kalah.Bang Saka masih saja mencibir. "Lo bukan anak-anak lagi, Ka.... Nggak cocok udah itu bajunya. Buang aja!"Aku tidak habis pikir dengan pikiran seorang Arsaka. Kenapa semua barang menurutnya pantas untuk dibuang? jelas-jelas baju yang sedang aku pakai ini masih sangat nyaman untuk di pakai."Parah lo, Bang! Masih bagus gini!" Ucapku sembari meninju lengannya pelan."Ya udah yuk! Katanya mau bikin ayam geprek...." Ucapku sembari menarik tangannya menuju ke dapur."Jangan di bolak-balik terus ayamnya, Bang...." "Apinya jangan kegedean, Bang!""Itu minyaknya di tirisin dulu, ih!"Memasak bersama Bang Saka pasti berakhir dengan aku yang haru
"Hati-hati ya .. Jangan lupa kabarin abang kalo udah nyampe rumah." Aku mengelus pelan rambutnya, dan menyelipkannya di belakang telinga.Naina masih saja cemberut. "Ini kan baru minggu pagi, Bang. Kenapa sih aku udah disuruh pulang?"Saat ini aku sedang berada di stasiun Bogor untuk mengantarkan Naina. Sedari tadi dia bersikeras untuk tidak mau pulang dan ingin tetap tinggal di sini hingga Senin besok. "Abang abis ini mau pergi, Na. Jadi nggak bisa nemenin kamu jalan-jalan.""Aku bisa jalan-jalan sendiri, Bang. Sumpah nggak bakal ngerepotin Abang," Naina mengangkat telunjuk dan jari tengahnya untuk menyakinkan ku jika dia bisa pergi jalan-jalan sendiri.Aku menggeleng.Sampai dia sebesar ini, aku masih saja sering khawatir jika dia harus bepergian sendiri di tempat-tempat yang baru. Memang selama ini dia pernah beberapa kali berkeliaran di sekitaran kota Bogor, tapi itu denganku kan?"Nggak bisa, Na. Abang nggak bisa ngebiarin kamu pergi jalan-jalan sendiri....""Tapi Naina udah gede
Seringkali kita merasa sudah berusaha untuk menciptakan pikiran-pikiran positif dalam rangka mencari kebahagiaan. Namun, tetap saja ada masanya kita seolah tidak berdaya untuk mengendalikan suasana hati. Sebentar-sebentar merasa bahagia, sebentar-sebentar lagi sedih dan ingin menangis."Kangen..." Pipiku langsung bersemu karena malu.Bisa-bisanya ada orang seperti dia di dunia ini. Baru saja menampakkan diri dan langsung membuat jantungku jumpalitan."Ini beneran loh, Ka.... Bukan main-main." Lanjutnya sembari mengeringkan rambutnya yang masih basah.Damage-nya astaga ....."Abang baru mandi?" "Iya, baru dari luar soalnya. Panas!""Dari mana?" sepertinya ada kesempatan bagiku untuk menggali lebih dalam tentang foto yang dikirimkan oleh Fayka."Dari Botas..." Aku merasa lega karena Bang Radit menjawab jujur tanpa keraguan."Sama siapa?'Oke. Semoga dia tidak menyadari jika aku sedang mencoba mengintrogasinya.Bang Radit tersenyum penuh makna kepadaku. "Ika nggak cemburu ya, Bang. Cum
"FAY URGENT! Ini gue Arun." Aku mengirim direct message pada Fayka menggunakan akun Instagram Bang Saka. Akun centang biru yang telah ter-verify hampir setahun lalu. Semoga anak itu tidak berjingkrak-jingkrak dan membuat keributan karena mendapat pesan dari seorang selebritas, pikirku sembari tertawa cekikikan.Aku harus menyelesaikan ini dengan sangat cepat karena Bang Saka mungkin saja bisa kembali sewaktu-waktu. Aku menggunakan ponselnya secara diam-diam, dan tidak boleh sampai ketahuan jika ingin uang sakuku bulan ini tidak dipotongnya."Tolong kirimin no nya Bang Radit yang gue tulis di halaman paling belakang buku warna coklat yang ada di meja belajar gue. Kunci kamar gue titipin ke Bela kemaren! Thanks ❤️" Lanjutku sebelum menekan pesan tersebut dan menghapusnya untuk menghilangkan jejak.Fayka biasanya akan membuka akun instagramnya pada sore hari, sehingga nanti aku juga harus menemukan waktu yang tepat untuk mengeceknya secara diam-diam tanpa ketahuan."Dek, lo liat hp gue n
The time you feel lonely is the time you most need to be by yourself-Douglas Coupland-***Kesendirian adalah momok yang menakutkan bagi sebagian besar orang. Sebagai manusia, kita cenderung selalu membutuhkan orang lain karena ada beberapa hal yang memang hanya dapat diisi oleh orang lain, yaitu salah satunya adalah PENGAKUAN.Sampai kapanpun, orang akan berusaha untuk menemukan lingkungan yang dapat mengakui eksistensinya. Rasa diterima dan diakui, menjadi hal yang membuat seseorang akhirnya menyadari bahwa hidupnya cukup berharga.Sayangnya, ketika tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, perasaan tersisih dan terkucilkan akan menghantui di dalam perasaan. Lalu secepat kilat berubah menjadi perasaan sedih, tidak percaya diri, dan bahkan merasa kecewa dengan diri sendiri.Lantas apa yang salah sesungguhnya?TIDAK ADATidak ada yang salah jika yang terjadi adalah demikian.Ketika seseorang tidak mendapatkan pengakuan yang baik dari orang lain, bukan berarti bahwa dirinyalah
"Beneran, Dek?" aku mengangguk yakin.Bunda hanya menghela napas dan tidak mengatakan apa-apa lagi. "Kayaknya ini masih bisa di perbaiki sih Bun, sayang kalo harus beli yang baru." Lanjutku untuk meyakinkan Bunda.Siapa yang tidak mau ponsel baru jika ditawari? tentu saja tidak ada! Masalahnya, ponselku ini baru ku beli saat masuk kuliah. Dan jika dihitung dengan benar, sepertinya belum berumur dua tahun hingga sekarang.Sebenarnya, aku belum mau membeli ponsel baru bukan karena masalah biaya. Aku sangat yakin jika Bunda memiliki uang yang lebih dari cukup jika hanya membelikan ku ponsel baru. Meskipun demikian, sebagai orang yang sedang menuju tahap dewasa aku harus mulai mempertimbangkan banyak hal dan dan juga bertanggung jawab atas segala perbuatan yang aku lakukan sendiri.Ingatanku kembali melayang ke beberapa saat yang lalu. Tepat dimana terjadi insiden kecil yang berhasil menggelincirkan ponselku dari genggaman tangan. Sialnya, itu terjadi saat aku baru saja mulai menuruni t
To: Pacar ❤️Ka, kamu dimana?To: Pacar ❤️Kamu baik-baik aja kan?To: Pacar ❤️Maafin Abang ya ....Itu adalah isi tiga pesan teks ku terakhir yang belum juga mendapatkan balasan darinya. Aku tidak tahu apa alasannya tiba-tiba pulang, dan tanpa memberi kabar sama sekali.Sebagai anak yang belajar ilmu-ilmu komunikasi, kami tahu betul bagaimana pentingnya komunikasi dalam sebuah hubungan. Jika diibaratkan, komunikasi ini sama pentingnya dengan sebuah kepercayaan. Tanpa komunikasi yang baik, kepercayaan akan mudah terkikis dan pondasi sebuah hubungan akan mudah rusak.Lalu sebenarnya apa yang terjadi dengannya?Kenapa tiba-tiba Ika seolah memutuskan komunikasi denganku?Tentu aku harus mencoba memikirkan dari perspektifnya. Meski aku merasa tindakannya ini salah, aku tidak lantas bisa mengatakan bahwa apa yang dia lakukan seratus persen salah. Aku menyadari betul bahwa aku juga mengambil bagian dari kekacauan yang terjadi diantara kami.Hubungan kami yang baru saja di mulai, langsung m