Vanesa menepis tangannya dengan kesal, “jaga sikapmu Gavin.”
“Kenapa kamu marah, bukanya aku sudah membayarmu mahal? Apa kamu ingin melayani Damian?”
Vanesa sangat kesal mendengar kata ‘bayar, bayar’ berulang-ulang dari Gavin.
“Aku akan membayar semua uang yang pernah aku terima dari kamu Gavin, berhentilah mengucapkan kata bayar, bayar aku muak mendengarnya.”
“Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu? Atau kamu menjual diri juga? Aku melihat kamu sangat mesra dengan laki-laki sampah itu. Apa dia juga membayarmu?”
“Tidak Gavin.”
“Apa kamu meminta uang dari Mamimu?”
Vanesa merasa kalah berdebat dengan Gavin, ia tidak ingin Ibunya di bawa-bawa dalam masalahnya. Vanesa duduk di kembali di kursinya membuka laptop, ia mendiamkan Gavin yang terus menyudutkan dan menghinanya.
“Kenapa kamu diam? Mana keberania
Vanesa merasa bersalah karena ia membuat Damian dalam masalah, ia ingin membantu.“Aku ingin memberikannya.” Vanesa menyodorkan cek yang nominalnya membuat mata Damian melotot kaget.“Kamu dapat uang dari mana sebanyak itu, Nesa?”“Mas, itu tidak penting, aku ingin menebus kesalahanku padamu, pakailah uang ini dan bukalah café.”“Kenapa tiba-tiba?”“Aku tidak ingin kamu dapat masalah yang lebih besar di kantor, aku tidak ingin kamu terlibat dalam masalah yang aku buat.”“Tidak apa- apa Vanesa, hal seperti sudah biasa aku alami.”&ldqu
“Bayar hutangmu atau kepala ini akan saya tebas,” ancam sekelompok preman mengobrak-abrik seisi rumah.Vanesa berlari menghampiri seorang pria paruh baya, “Papi, siapa mereka?”Pria paru baya itu hanya menjawab dengan kata-kata tidak jelas, ia mabuk.“Ayahmu kalah berjudi dan dia punya banyak hutang pada Bos kami.”“Sekarang kamu bayar atau kepala laki-laki ini kami penggal.”Wajah wanita itu tampak lelah melihat perbuatan ayahnya lagi, dia sudah bekerja keras demi bisa melepaskan ayahnya dari ketergantungan alkohol dan judi, ternyata semua yang dilakukan masih kurang.“Jangan sentuh Papiku! Aku akan membayar semua utangnya, lepaskan dia.”Para preman itu menertawakan Vanesa, “kamu bayar pakai apa nona cantik? Tubuhmu?”“Aku akan membayarnya nanti, jangan meledek putri kesayanganku,” ucap pria tua itu berjalan sempoyongan, ia masih sangat mabuk, bau alkohol masih menyeruak keluar dari mulutnya. Dengan sisa tenaga berusaha melindungi Vanesa, lalu, mendorong seorang preman yang menc
Hari itu, suasana dalam kamar tiba-tiba hening, seorang wanita duduk di sisi ranjang, tatapan matanya memelas, mencoba memberikan pengertian pada suaminya.“Ayahmu selalu menyusahkan hidupku.”“Mas, selama ini Papiku yang mendukungmu hingga bisa sampai seperti ini, dia tidak pernah meminta apa-apa darimu, justru dia yang selalu memberikan uang padamu,” ucap Vanesa memelas.“Vanesa, ayo kita berpisah saja.”Bagai petir disiang bolong mendengar perkataan sang suami Vanesa hanya bisa melonggo.“Ke-kenapa tiba-tiba?” tanya wanita berpenampilan sederhana itu dengan ekpresi kaget.“Ini bukan tiba-tiba Vanesa, Aku sudah lama ingin menceraikanmu. Lihat penampilanmu, udah lusuh, dekil bau lagi!”“Mas, selama ini aku melakukan ini demi keluarga kita. Agar kamu bisa kuliah.”Laki-laki itu mengeleng dengan malas ,” sekarang aku tidak kuliah lagi. Sekarang aku sudah manager pemasaran di kantor.”“Itu semua karena aku Mas. Aku yang selama ini kerja pontang panting agar kamu bisa kuliah.”“Jadi kamu
Vanesa tidak mau mengalah begitu saja, walau diusir paksa oleh ibu mertuanya ia masih mencoba mempertahankannya. Vanesa tidak ingin berpisah.“Kalau aku berpisah apa bedanya hidupku dengan kedua orang tuaku,’ ucapnya pelan.Saat ibu mertuanya membuang pakaiannya, ia memungutnya kembali membawanya ke dalam rumah.“Ibu tidak berhak megusirku,” ucap Vanesa.“Kenapa tidak! Ini rumah anakku.”“Ini hasil kerja kerasku, kalau ibu ingin aku pergi dari sini panggil polisi, biar rame sekalian. Biar semua orang tahu kalau ibu mertuaku terlalu ikut campur dalam rumah tangga anaknya.”“Kamu mengancamku?” wanita paru baya itu bahkan jauh lebih galak saat Vanesa menantangnya.Damian melerai keduanya, “sudah Bu malu sama tetangga.”Vanesa masuk ke dalam kamar, membawa pakiannya kembali, ia duduk di sisi sofa. Ibu mertuanya masih mengoceh membawa-bawa nama ayahnya ke dalam persoalan mereka.“Begini jadinya kalau punya ayah penjudi dan pemabuk, putrinya pasti akan jadi anak pembangkang.”Wanita itu s
Sebelum pulang dari toko Vanesa sengaja berganti pakaian, mengenakan satu pakaian terbaik miliknya. Ia juga berdandan cantik seperti yang diinginkan Damian. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia tidak ingin berpisahb“Aku berharap dia sudah pulang,” ucap Vanesa menyapu lipstik berwarna merah ke bibirnya.Vanesa pulang ke rumah berharap suami tidak marah lagi padanya. Melihat ada mobil Damian di depan, Vanesa merapikan pakaian dan riasan di wajahnya. Ia sengaja berpenampilan cantik dari toko saat pulang ke rumah ingin menunjukkan pada suami kalau dia bisa tampil cantik.Kakinya melangkah dengan ragu saat mendengar tawa riang dari ibu mertuanya dan adik iparnya. Ia berpikir ada tamu besar yang datang ke rumah membawa hadiah yang banyak untuk ibu mertua.Kakinya semakin gemetar saat melihat sepasang sepatu hill tinggi ada didepan pintu. Saat ia masuk tubuhnya terdiam dengan bigung. Iren ada di sana duduk mesra dengan suaminya.‘Apa yang mereka lakukan?’ tanya Iren dalam hati.N
Vanesa masih di ruangan Gavin, pria yang ia minta tolong untuk membantunya membayar hutang ayahnya.“Kamu tidak punya pilihan lain Vanesa, terima tawaranku dan kamu bisa mengatasi semua masalahmu,” ujar Gavin.Memikirkan perbuatan jahat suami dan keluarganya, Vanesa tidak punya pilihan lain.“Baiklah aku akan bersedia melahirkan anak untukmu, tapi sebagai gantinya berikan aku uang yang banyak.”“Aku sudah katakan padamu dari awal, uang tidak ada apa-apanya bagiku Danita.”Gavin menarik pinggang Vanesa membawanya ke pangkuannya, dalam hati yang paling dalam sebenarnya ia merasa sangat risih, sebab ia masih istri dari Damian. Selama ini demi menjaga pernikahanya tetap utuh ia rela melakukan segalanya, tapi Damian mencampakkanya dan berselingkuh dengan sepupuhnya sendiri. Vanesa Danita merasakan rasa yang amat sakit di dalam dadanya. Vanesa beberapa kali membuang napas –napas pendek dari mulut.“Kamu sepertinya keberatan. Saya tidak akan memaksa jika kamu belum siap melakukannya. Aku
Vanesa berjalan tergesa-gesa meninggalkan gedung bertingkat tersebut, ada amarah yang tersimpan dalam hati, namun tidak bisa ia lepaskan. Ia hanya ingin segera pergi dan menghilang dari hadapan pria yang merendahkan. Vanesa berjalan menjauh tanpa tujuan, setelah sadar ia berada di depan sebuah sekolah.Setelah berhenti ia baru merasakan capek dan haus, duduk sebentar untuk memulihkan tenaganya. Ditengah keramaian kota dan hiruk pikuk orang yang melintas di depannya Vanesa merasa sendirian, tidak ada tempat mengadu.Ada banyak kemunafikan dan pengkhianatan hingga ia sulit membedakan mana yang tulus dan mana hanya pura-pura.Berjuang dan berjalan sendiri tanpa ada orang yang dipercaya itu berat.Ia duduk termenung di bangku panjang di depan sekolah, Vanesa duduk, menatap jalanan dengan tatapan kosong. Ia merasa seluruh hidupnya tidak berharga.Diusir suami dan selingkuhan, ayahnya terbaring di rumah sakit, Gavin menghina dan merendahkannya. Tidak ada yang tersisa dalam hidupnya, han
Devan menghidupkan mesin mobil dan meninggalkan rumah Damian, dalam mobil mereka berdua sama-sama diam, menyimpan kemarahan di hati mereka masing-masing. Setelah berkendara beberapa lama Vanesa mulai membuka mulut.“Turun saja aku di depan.”Devan tidak menjawab, masih bertahan dengan sikap diamnya.Vanesa mengulang kalimatnya untuk kedua kali, ia menghembuskan napas panjang sebelum bicara, “Devan turunkan aku di depan, aku ingin ke toko.”Pria berwajah tegas itu meminggirkan mobil milik lalu menatap Vanesa dengan tegas.“Apa hanya itu yang ingin kamu katakan?”Vanesa sangat lelah untuk berdebat, merasa tenaganya terkuras menghadapi empat orang sekaligus tadi.“Tidak ada yang ingin aku katakan?”Devan tertawa miring, wajahnya seakan meledek Vanesa,” kamu masih saja tidak berubah, bodoh dan lemah!” ucapnya menoyor kepala Vanesa dengan kasar.Vanesa sudah tau karakter Devan, kalau dia melawan laki-laki itu akan semakin murka, ia tidak mengatakan apa-apa walau sebenarnya dalam hati