Devan menghidupkan mesin mobil dan meninggalkan rumah Damian, dalam mobil mereka berdua sama-sama diam, menyimpan kemarahan di hati mereka masing-masing. Setelah berkendara beberapa lama Vanesa mulai membuka mulut.
“Turun saja aku di depan.”
Devan tidak menjawab, masih bertahan dengan sikap diamnya.
Vanesa mengulang kalimatnya untuk kedua kali, ia menghembuskan napas panjang sebelum bicara, “Devan turunkan aku di depan, aku ingin ke toko.”
Pria berwajah tegas itu meminggirkan mobil milik lalu menatap Vanesa dengan tegas.
“Apa hanya itu yang ingin kamu katakan?”
Vanesa sangat lelah untuk berdebat, merasa tenaganya terkuras menghadapi empat orang sekaligus tadi.
“Tidak ada yang ingin aku katakan?”
Devan tertawa miring, wajahnya seakan meledek Vanesa,” kamu masih saja tidak berubah, bodoh dan lemah!” ucapnya menoyor kepala Vanesa dengan kasar.
Vanesa sudah tau karakter Devan, kalau dia melawan laki-laki itu akan semakin murka, ia tidak mengatakan apa-apa walau sebenarnya dalam hati ia ingin berteriak, karena kedua laki-laki bajingan itu sama-sama menyakiti hatinya.
“Apa yang sudah diberikan laki-laki itu padamu sampai-sampai kamu harus bertekuk lutut padanya?”
“Itu tidak ada hubungannya denganmu, Devan.”
“Oh, jadi itu balasanmu setelah aku menyelamatkanmu dari para penjahat itu?”.”
Vanesa sangat lelah, ia menutup mata dan berkata dengan pelan, “kalau kamu hanya ingin ucapan terimakasih, maka aku akan mengatakan, terima kasih Pak Devan sudah menyelamatkanku, aku akan turun.” Vanesa membuka pintu, tapi pintunya dikunci Devan.
Ia menginjak pedal mobil lagi dan melaju pergi.
“Kita mau kemana?” tanya Vanesa dengan putus asa.
“Kamu diam dan ikuti saja permainanku.”
Devan berkendara seperti orang gila, tiba di depan sebuah rumah di tepi pantai di Ancol, menyeret tangan Vanesa masuk, lalu mendorongnya ke atas sofa. Ia melepaskan pakaiannya dengan cara buru-buru lalu meraih bibir Vanesa dengan kasar. Melihat perbuatan kasar dari Devan tentu saja Vanesa menolak.
“Kenapa? Bukanya kamu menginginkan uang yang banyak?” tanya pria itu dengan marah.
“Aku tahu aku bisa mengatasinya.” Vanesa mencoba berdiri menolak apa yang dilakukan Devan padanya.
“Tidak ada yang bisa membantumu Vanesa selain aku, hanya aku yang bisa menolongmu.”
Vanesa mengepal tangan dengan kuat. “Aku bisa mengatasi masalahku, minggirlah.”
Karena emosi ditolak terus menerus, Devan membanting tubuh Vanesa ke sofa ,ternyata pinggangnya mengenai pegangan sofa, wanita malang itu meringis kesakitan.
“Aahh,” tangannya memegang pinggang bahkan ia sempat tidak bisa berdiri.
Devan terdiam dengan wajah yang masih menghitam dan urat-urat lehernya masih saling bertarikan.
“Aku sudah katakan padamu Danita! Aku sangat membenci namanya penolakkan. Kamu sama bodohnya sama Ayahmu,” ucap pria itu dengan marah.
Vanesa tidak menjawab, ia berdiri dengan wajah kesakitan berdiri dengan tangan memegang pinggang yang terbentur tadi, berjalan dengan tertatih sebelum sampai pintu wanita itu terjatuh dan pingsan, untung Gavin menangkap dengan cepat sebelum ia terjatuh ke lantai.
**
“Vanesa! Sayang bangunlah putri cantikku!” panggil seorang pria dalam mimpinya.
“Papi kita mau kemana?”
“Papi akan mewujudkan semua keinginanmu, katakan apa saja.”
“Apa saja?” tanya Vanesa kecil.
“Iya apa saja, liburan ke luar negeri, baju baru, mobil baru semua yang kamu inginkan princessku,” ucap ayahnya dengan penuh kasih sayang.
Vanesa memeluk ayahnya dengan erat, di masa kecilnya dia hidup layaknya seorang putri.
Saat Vanesa membuka mata semua dalam mimpi indahnya tampak berbeda dengan kehidupan di dunia nyata. Ia melirik ke sisi ranjang ,seorang pria berwajah killer masih menatapnya dengan tajam.
‘Aku berharap pria di depanku hanya semua mimpi buruk ucapnya dalam hati, ia mencoba melakukan ritual buka tutup mata sebanyak tiga kali berharap sosok pria killer di depannya menghilang. Setelah melakukan beberapa kali pria itu masih menatapnya dengan tatapan yang sama.
‘Siap bukan mimpi’ Vanesa membatin.
Saat ia bangun rasa sakit di punggungnya semakin menyiksa, ia sampai meringis beberapa kali saat ingin duduk,
“Jangan bangun, kalau kamu ingin punggung sembuh. Kalau kamu ingin mati lakukan saja.”
Vanesa bukan ingin mati seperti yang dikatakan pria tersebut, hanya saja ia ingin cepat pergi dari sana, sebab ada urusan yang ingin ia bereskan, nyawa ayahnya dalam bahaya, waktu yang disebutkan pria jahat yang mengancam ayahnya hanya tersisa dua jam lagi.
Vanesa duduk benar saja rasa sakit di pinggangnya sangat menyiksa, ia sampai berkeringat dingin dibuatnya, tapi ia tidak peduli ada nyawa yang lebih berharga yang akan ia selamatkan.
“Kamu selalu membantahku Danita, kamu tidak pernah percaya padaku,” ucap Gavin dengan geram.
“Ada urusan yang harus aku selesaikan.”
Ia berdiri dengan bungkuk, saat ia meraba punggung belakang ternyata Bengkak.
“Tinggallah di sini dan aku akan membantumu,” ucap Gavin lagi.
Bagaimana mungkin dia percaya pada orang terus-menerus menyakitinya. Kalau bukan karena ayahnya Vanesa tidak akan sudi bertemu pria arogan seperti Gavin.
“Tidak perlu membantu, aku bisa,” tolak Vanesa.
“Kamu bisa apa? Apa kamu akan melakukan seperti yang dilakukan ibumu, menjual tubuhmu untuk mendapatkan uang?”
Vanesa merasakan dadanya mendidih dengan semua hinaan yang dilakukan Gavin padanya, ia merasa lebih merasakan rasa sakit fisik daripada dihina terus menerus, tapi ia tidak punya kekuatan lagi menjawab semua hinaan Gavin. Vanesa tutup mulut ia tidak menjawab.
“Tawaranku tidak berlaku dua kali, jika kamu keluar dari pintu, jangan berharap kamu meminta bantuanku lagi,” tegasnya lagi.
Vanesa sudah pasrah, ia tidak menggubris permintaan Gavin ia berjalan tertatih-tatih keluar dari rumah Gavin, rasa sakit di pinggangnya tidak dihiraukan . Tiba di depan rumah ia menghentikan taxi, meminta supir membawanya ke rumah ayahnya, berharap menemukan sesuatu yang bisa dijual untuk melunasi hutang. Dalam taxi sebuah pesan datang.
[Waktu yang kamu punya hanya tersisa 1 jam lagi, kalau kamu tidak mendapatkan uangnya, maka pria ini mati]
Pria itu mengirim foto adik laki-lakinya terikat di kursi, jantung Vanesa berdetak kuat, tangannya gemetar.
[Adikmu yang pertama saya habisi, jika uangnya belum masuk sampai besok waktumu habis, maka ayahmu mendapat giliran kedua]
Penjahat itu juga mengirim foto sang ayah yang terbaring di rumah sakit. Vanesa hanya bisa diam, rasa sakit di pinggangnya sangat menyiksa, ia beberapa kali meringis kesakitan, lalu menangis tersedu-sedu.
“Mbak tidak apa-apa?” tanya supir taxi dengan prihatin.
“Pinggangku sangat sakit Pak, saya terjatuh tadi.”
Supir taxi menawarkan membawa Vanesa ke rumah sakit, tapi menolak, sebagai gantinya memintanya membawa ke rumah ayahnya. Turun dari taxi sudah malam. Saat tiba di depan rumah ayahnya ternyata kuncinya ketinggalan ia tidak punya akses masuk. Lengkap sudah penderitaanku. Wanita malang itu duduk di depan pintu rumah ayahnya dengan putus asa. Ia duduk melipat tangan di atas kedua lutut menenggelamkan kepalanya di sana.
‘Aku akan kehilangan ayah dan adikku, sebelum mereka tiada. Lebih baik aku yang menghilang duluan’
Di depan rumah ayah Vanesa ada lintasan rel kereta api. Pikirannya begitu buntu, pikiran gelap menyelimuti seluruh pikirannya.
Begitu banyak masalah yang dipikul sendiri, merasa tidak mampu dan menyerah.
Vanesa berdiri di pinggir rel kereta api, “Jika aku kehilangan Papi dan Adikku, apalagi yang aku miliki?”
Saat kereta ingin melintas
“Awas! Minggir!” teriak orang-orang.
Buaam! Pruaak!
Bersambung
Darah segar berceceran di tepat di atas rel bersamaan dengan lengan dan kaki . Bagian yang lain terlempar bagian-bagian yang lainya, sungguh pemandangan yang mengerikan ada beberapa daging yang berserakan di sana.“Kasihan sekali padahal dia cantik.”“Mungkin dia banyak putus cinta makanya menabrak dirinya ke rel kereta.”“Kenapa dia harus memilih jalan seperti itu sih,” ucap yang lain.Semakin banyak orang yang berkerumun di pinggir rel melihat sosok wanita yang memilih mengakhiri hidupnya di rel kereta api.Vanesa masih berdiri seperti patung melihat pemandangan yang mengerikan tersebut, ia bahkan merasa perutnya mual melihat potongan berserakan di samping rel.Ternyata saat ia ingin melakukan bundir ternyata ada seorang wanita yang terlebih dulu melakukan hal yang sama. Wanita muda berambut panjang berdiri di tengah rel sebelum kereta tiba. Teriakan semua orang tidak menghentikan aksinya , justru Vanesa yang berhenti lalu melihat wanita itu berdiri tidak jauh darinya, hanya
Vanesa pulang setelah membayar sebagian hutang-hutang ayahnya, keluar dari ruangan Vanesa diantar sampai keluar dari ruangan, wanita itu tidak diperbolehkan hanya sekedar melihat-lihat kesekitar gedung.“Sebaiknya segera tinggalkan tempat ini Nona sebelum kamu dapat masalah,” usir pria berramput gondrong itu dengan tatapan tegas.“Saya ingin pesan mobil online dulu. Boleh aku duduk sebentar di sini?”“Tidak bisa, jika ingin menunggu lakukan saja di sana.” Pria itu menunjuk pitu keluar dari komplek.‘Siapa sebenarnya orang yang memberi Papi hutang, aku hanya ingin tahu’Melihat tatapan tajam para pengawal itu Vanesa menurut, wanita itu berjalan menuju gerbang , hatinya masih penasaran, saat laki-laki itu lengang Vanesa berbelok masuk ke sebuah café tidak jauh dari sana. Sembari menunggu pesanan datang Vanesa mengarahkan camera ponselnya ke arah kaca, mengambil gambar pengawal tersebut.“Aku pasti bisa menemukan siapa kalian?”Setelah mengambil beberapa gambar, Vanesa sibuk dengan po
Wanita paruh baya itu duduk dengan dada naik turun menahan amarah karena Vanesa.“Apa Ibu sudah mencari di rumah ayahnya?” tanya Dila antusias.“Sudah, di sana tidak apa-apa. Hanya ada barang rongsokan yang tidak berguna, keluarga ini benar-benar miskin tidak memiliki apa-apa yang bisa dimanfaatkan.” Ibu Damian mendengus jengkel memikirkan keluarga menantunya.“Bagaimana Ibu bisa masuk ke rumah orang tua Vanesa, apa Papi Vanesa tidak ada?” Dila penasaran.“Saya tidak masuk sendiri saya meminta Om kamu yang masuk dengan anak buahnya. Laki-laki tua itu masuk rumah sakit, tidaka ada orang disana. Tidak sia-sia juga Ibu punya bos preman, semua yang kita ingin kita lakukan minta bantuan saja. Tapi sayang keluarga Vanesa sangat miskin tidak ada yang bisa dirampok di sana,” tuturnya lagi.Dila mencebikkan bibirnya kedepan,” aku pikir hidup kita akan berubah setelah wanita kampung ini diusir dari rumah.”Ibunya memintanya untuk bersabar, “ Ibu juga ingin punya menantu kaya yang bisa kita ma
Damian meminta Ibunya untuk membereskan semua barang- barang. Damian menjauh dari Vanesa.“Ibu, bereskan semua barang-barang kita, tidak usah bawa barang Vanesa, tinggalkan saja di sana semua, karena dia tidak akan ikut di sana.”Setelah bicara dengan ibunya Damian mendekati Vanesa, “sayang aku ada urusan sebentar, kamu tinggal di sini dulu nanti aku datang lagi.”“Baiklah. Oh, katakan sama Ibu, mobil pindahan sudah menuju ke rumah.”Damian menunjukkan ekpresi kaget, “Ah, kenapa buru-buru bangat? Apa kita tidak bisa melakukannya besok?”“Tidak, pembeli rumahnya ingin kita segera pindah. Bahkan pembeli sudah ada di sana sekarang.”Damian belum sempat berpikir ia melajukan kendaraannya ke rumah, bahkan menunda permintaan Iren yang memintanya datang. Laki-laki itu tidak tahu kejutan apa yang sudah dipersiapkan Vanesa untuknya.Tiba di rumah, ternyata sudah ada box pindahan serta orang-orang yang membantu mereka pindahan.“Mas kenapa sangat buru-buru?” tanya Dila.“Pembeli rumah ini ya
Vanesa keluar dari rumah dan Damian mengejar.“Kamu mau kemana Vanesa?”“Ini rumah kamu, aku akan pergi seperti yang kalian inginkan, lalu ia masuk ke dalam mobil yang biasa dipakai Damian.“Mobil itu bukannya kamu jual?”“Ini mobilku Mas, Aku membelinya dulu dengan susah payah, aku tidak akan menjualnya.”Wajah Damian menegang, “Lalu mobilku?”“Kamu sudah membeli mobil mewah atas namamu, kamu hanya perlu membayar cicilannya setiap bulan.”“Apa …? Kamu mempermainkanku?”Vanesa masuk ke dalam mobilnya, lalu membuka kaca jendela, “rumah jatoh tempoh tanggal lima dan mobil tanggal sembilan, aku yakin kamu bisa membayarnya.”“Vanesa apa rumah ini juga kredit?” bola mata Damian melotot.“Iya, kamu membeli rumah dengan uangmu, uang mukanya aku menjual perhiasan.. Pemilik rumah setuju DP pakai perhiasan, uang muka sudah masuk tiga ratus juta sisanya bisa kamu bayar dengan mencicil selama satu tahun, uang tiga ratus juta itu uang milikmu. Oh, hampir lupa ini kartu kredit mu Mas.”Vanesa
“Kamu terlambat sepuluh menit. Kamu selalu tidak tepat janji,” ucapnya lagi sembari memutar-mutar gelas wine di tangannya.Vanesa meneguk wine miliknya sembari berkata pelan, “Jalanan macet.”Gavin mendengus kesal, “dari jaman Belanda Jakarta sudah macet, itu tidak bisa jadi alasan,” ucap Gavin melipat tangan di dada.Vanesa masih berdiri menunggu perintah dari pria di depannya.” Lain kali saya tidak akan terlambat,”ucap Vanesa.“Saya ingat janji kamu.”Tidak lama kemudian Gavin berdiri, ia menyodorkan beberapa lembar kertas padanya, “saya sudah melakukan, seperti yang kau minta, sekarang lakukan tugas kamu.”Vanesa membaca dengan teliti kertas di tangannya, kesimpulanya Gavin memintanya melakukan pernikahan kontrak sampai ia melahirkan anak.“Aku akan hamil, tapi tidak perlu ada pernikahan,” tolak Vanesa lagi.Pria bertampang dingin itu berbalik badan menatap Vanesa dengan tajam.“Saya tidak ingin anak saya disebut anak haram.”“Kapan kita akan melakukannya?”Gavin mendekat, “seka
Damian duduk menatap Vanesa yang berjalan meninggalkannya, sebesar apapun ia memohon wanita itu tidak mau bersamanya lagi. Vanesa tidak akan bisa melakukannya sebab ia sudah menikah dengan Gavin.Dari rumah sakit Vanesa menuju rumahnya, rumah yang dulunya ia tempati dengan Damian dan ibu mertuanya sekarang sudah kosong. Rumah itu sekarang sudah jadi milik Gavin. Laki-laki berjanji akan memberikannya padanya jika berhasil melahirkan anak. Tapi ia bisa menempatinya selama dia mau. Gavin bahkan membangun tembok yang lebih tinggi di sekeliling rumah, jadi orang lain dan tetangganya tidak bisa melihat ke dalam rumah. Saat ia membuka gerbang para pekerja sibuk membangun sebuah taman di depan rumah. Padahal Vanesa tidak ingin punya rumah yang terlalu mewah, ia lebih suka dengan desain rumahnya yang pertama. Namun pikirannya dan pikiran Gavin dua hal yang berbeda. Laki-laki es batu itu ingin rumah yang mewah, sementara Vanesa ingin rumah sederhana tapi ada cinta dan kebersamaan di sana.
“ Apa aku memuaskanmu Danita?”“Sakit,” ucap Vanesa menggigit bibir bawahnya.“Nikmati saja sayang, kamu harus ingat, siapa laki-laki yang memberimu kepuasan,” ucap Gavin semakin menghentakkan tubuhnya dengan tempo yang semakin cepat. Untung saja ruangan Gavin kedap suara jadi suara ribut keduanya tidak kedengaran ke ruangan pegawai lain.Dengan bermandikan keringat Gavin melepaskan dirinya dari tubuh Vanesa, Wanita berambut panjang itu masih berbaring dengan napas terengah-engah. Gavin memang pejantan tangguh, Vanesa sampai bermandikan keringat dibuatnya.“Segera pakaianmu dan pergi dari sini. Sebentar lagi istriku akan datang ke sini.”Mendengar kata istri, Vanesa segera beranjak, ia membersihkan diri dengan tisu basah, buru-buru mengenakan pakaian nya. Beberapa menit kemudian ia sudah rapi dengan pakaian penyamarannya.“Aku akan pulang.”“Tunggu! Bersihkan cairan dari atas meja kerjaku, bersihkan sampai bersih jangan sampai Karin melihatnya.”Dengan sikap tergesa-gesa Vanesa mem