Share

Gelap Mata

Devan menghidupkan mesin mobil dan meninggalkan rumah Damian, dalam mobil  mereka berdua sama-sama diam, menyimpan kemarahan di hati mereka masing-masing. Setelah berkendara  beberapa lama Vanesa mulai  membuka mulut.

“Turun saja aku di depan.”

Devan tidak menjawab, masih bertahan dengan sikap diamnya.

Vanesa mengulang kalimatnya untuk kedua kali, ia menghembuskan napas panjang sebelum bicara, “Devan turunkan aku di depan, aku ingin ke toko.”

Pria berwajah tegas itu meminggirkan mobil milik lalu menatap Vanesa dengan tegas.

“Apa hanya itu yang ingin kamu katakan?”

Vanesa sangat lelah untuk berdebat,   merasa tenaganya terkuras menghadapi empat orang sekaligus tadi.

“Tidak ada yang ingin aku katakan?”

Devan tertawa miring, wajahnya seakan meledek Vanesa,” kamu masih saja tidak berubah, bodoh dan lemah!” ucapnya menoyor kepala Vanesa dengan kasar.

Vanesa sudah tau karakter Devan, kalau dia melawan laki-laki itu akan semakin murka, ia tidak mengatakan apa-apa walau sebenarnya dalam hati ia ingin berteriak, karena kedua laki-laki bajingan itu sama-sama menyakiti hatinya.

“Apa yang sudah diberikan laki-laki itu padamu sampai-sampai kamu  harus bertekuk lutut padanya?”

“Itu tidak ada hubungannya denganmu, Devan.”

“Oh, jadi itu balasanmu setelah aku menyelamatkanmu dari para penjahat itu?”.”

Vanesa sangat lelah, ia menutup mata dan berkata dengan pelan, “kalau kamu  hanya ingin ucapan terimakasih, maka aku akan mengatakan, terima kasih Pak Devan sudah menyelamatkanku, aku akan turun.” Vanesa membuka pintu, tapi pintunya dikunci Devan.

Ia menginjak pedal mobil lagi dan melaju pergi.

“Kita mau kemana?” tanya Vanesa dengan putus asa.

“Kamu diam dan ikuti saja permainanku.”

Devan  berkendara seperti orang gila, tiba di depan sebuah rumah di tepi pantai di Ancol, menyeret tangan Vanesa masuk, lalu mendorongnya  ke atas sofa. Ia melepaskan pakaiannya dengan cara buru-buru lalu meraih bibir Vanesa dengan kasar. Melihat perbuatan kasar dari Devan tentu saja Vanesa menolak.

“Kenapa? Bukanya kamu menginginkan uang yang  banyak?” tanya pria itu dengan marah.

“Aku tahu aku bisa mengatasinya.” Vanesa mencoba berdiri  menolak apa yang dilakukan Devan padanya.

“Tidak ada yang bisa membantumu Vanesa selain aku, hanya aku yang bisa menolongmu.”

Vanesa mengepal tangan dengan kuat. “Aku bisa mengatasi masalahku, minggirlah.”

Karena emosi ditolak terus menerus, Devan membanting  tubuh Vanesa ke sofa ,ternyata pinggangnya mengenai  pegangan sofa, wanita malang itu meringis kesakitan.

“Aahh,” tangannya  memegang pinggang bahkan ia sempat tidak bisa berdiri.

Devan terdiam dengan wajah yang masih  menghitam dan urat-urat lehernya masih saling bertarikan.

“Aku sudah katakan padamu Danita! Aku sangat membenci namanya penolakkan. Kamu sama bodohnya sama Ayahmu,” ucap pria itu dengan marah.

Vanesa tidak menjawab, ia berdiri dengan wajah kesakitan berdiri dengan tangan memegang pinggang yang terbentur tadi, berjalan dengan tertatih sebelum sampai pintu wanita itu  terjatuh dan pingsan, untung Gavin menangkap dengan cepat sebelum ia terjatuh ke lantai.

                      **

“Vanesa! Sayang bangunlah putri cantikku!” panggil seorang pria dalam mimpinya.

“Papi kita mau kemana?”

“Papi akan mewujudkan semua keinginanmu, katakan apa saja.”

“Apa saja?” tanya Vanesa kecil.

“Iya apa saja, liburan ke luar negeri, baju baru, mobil baru semua yang kamu inginkan princessku,” ucap ayahnya dengan penuh kasih sayang.

Vanesa memeluk ayahnya dengan erat, di masa kecilnya dia hidup layaknya seorang putri.

Saat Vanesa membuka mata semua dalam mimpi indahnya tampak berbeda dengan kehidupan di dunia nyata. Ia melirik ke sisi ranjang ,seorang pria berwajah killer masih menatapnya dengan tajam.

‘Aku berharap pria di depanku hanya semua mimpi buruk ucapnya dalam hati, ia mencoba melakukan ritual buka tutup mata sebanyak tiga kali berharap sosok pria killer di depannya menghilang. Setelah melakukan beberapa kali pria itu masih menatapnya dengan tatapan yang sama.

‘Siap bukan mimpi’ Vanesa membatin.

Saat ia bangun rasa sakit di punggungnya semakin menyiksa, ia sampai meringis beberapa kali saat ingin duduk,

“Jangan bangun, kalau kamu ingin punggung sembuh. Kalau kamu ingin mati lakukan saja.”

Vanesa bukan ingin mati seperti yang dikatakan pria tersebut, hanya saja ia ingin cepat pergi dari sana, sebab ada urusan yang ingin ia bereskan, nyawa ayahnya dalam bahaya, waktu yang disebutkan pria jahat yang mengancam ayahnya hanya tersisa dua jam lagi.

Vanesa duduk benar saja rasa sakit di pinggangnya sangat menyiksa, ia sampai berkeringat dingin  dibuatnya, tapi ia tidak peduli ada nyawa yang lebih berharga yang akan ia selamatkan.

“Kamu selalu membantahku Danita, kamu tidak pernah percaya padaku,” ucap Gavin dengan geram.

“Ada urusan yang harus aku selesaikan.”

Ia berdiri dengan bungkuk, saat ia meraba punggung belakang ternyata  Bengkak.

“Tinggallah di sini dan aku akan membantumu,” ucap Gavin  lagi.

Bagaimana mungkin dia percaya pada orang terus-menerus menyakitinya. Kalau bukan karena ayahnya Vanesa tidak akan sudi bertemu pria arogan seperti Gavin.

“Tidak perlu membantu, aku bisa,” tolak  Vanesa.

“Kamu bisa apa? Apa kamu akan melakukan seperti yang dilakukan ibumu, menjual tubuhmu untuk mendapatkan uang?”

Vanesa merasakan dadanya mendidih dengan semua hinaan yang dilakukan Gavin padanya, ia merasa lebih  merasakan rasa sakit fisik daripada dihina terus menerus, tapi ia tidak punya kekuatan lagi menjawab semua hinaan Gavin. Vanesa tutup mulut ia tidak menjawab.

“Tawaranku  tidak berlaku dua kali, jika kamu keluar dari pintu, jangan berharap kamu meminta bantuanku lagi,” tegasnya lagi.

Vanesa sudah pasrah, ia  tidak menggubris permintaan Gavin ia berjalan tertatih-tatih keluar dari rumah Gavin, rasa sakit di pinggangnya tidak dihiraukan . Tiba di depan rumah ia menghentikan taxi, meminta supir  membawanya ke rumah ayahnya, berharap menemukan sesuatu yang  bisa dijual untuk melunasi hutang. Dalam taxi sebuah pesan datang.

[Waktu yang kamu punya hanya tersisa 1 jam lagi, kalau kamu tidak mendapatkan uangnya, maka pria ini mati]

Pria itu mengirim foto adik laki-lakinya terikat di kursi, jantung Vanesa berdetak kuat, tangannya gemetar.

[Adikmu yang pertama saya habisi, jika uangnya belum masuk sampai besok waktumu habis, maka ayahmu  mendapat giliran kedua]

Penjahat itu juga  mengirim foto sang ayah yang terbaring di rumah sakit. Vanesa hanya bisa diam, rasa sakit di pinggangnya sangat menyiksa, ia  beberapa kali meringis kesakitan, lalu menangis tersedu-sedu.

“Mbak tidak apa-apa?” tanya supir taxi dengan prihatin.

“Pinggangku sangat sakit Pak, saya terjatuh tadi.”

Supir taxi menawarkan membawa Vanesa ke rumah sakit, tapi menolak, sebagai gantinya  memintanya membawa ke rumah ayahnya. Turun dari taxi sudah malam. Saat tiba di depan rumah ayahnya ternyata kuncinya ketinggalan ia tidak punya akses masuk. Lengkap sudah penderitaanku.  Wanita malang itu duduk di depan pintu rumah ayahnya dengan putus asa. Ia duduk melipat tangan di atas kedua lutut menenggelamkan kepalanya di sana.

‘Aku akan kehilangan ayah dan adikku, sebelum mereka tiada. Lebih baik aku yang  menghilang duluan’

Di depan rumah ayah Vanesa ada lintasan rel kereta api. Pikirannya  begitu buntu, pikiran gelap menyelimuti seluruh pikirannya.

 Begitu banyak masalah yang dipikul sendiri, merasa tidak mampu dan menyerah.

Vanesa berdiri di pinggir rel kereta api, “Jika aku kehilangan Papi dan Adikku, apalagi yang aku miliki?”

Saat kereta ingin melintas

“Awas! Minggir!” teriak orang-orang.

Buaam! Pruaak!

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status