[Leyna POV]
Aku segera melambaikan tanganku dari jendela mobil yang terbuka ke arah seorang gadis berpakaian kasual berdiri di depan gerbang sekolah. Outfit yang berbeda dengan saat pagi hari. Tidak lain dan tidak bukan adalah Quinza. Anak perempuan itu langsung mengambil posisi di sampingku.
"Daddy dan Mommy ke mana?" tanyanya setelah meletakkan tas di bawah bersamaan dengan bawaannya yang lain.
Aku memberikan botol air minum kepada adik satu-satunya, "Mereka sedang kencan kilat berkedok melihat museum kota sebelah."
"Leyna tidak ikut?"
Aku mengembangkan senyum, "Dan menjadi tanaman hias dianggurkan? Tidak terima kasih. Mau berhenti untuk membeli matcha?"
Quinza langsung mengangguk singkat. Tentu saja, dia menerima tawaranku, secara tidak langsung, akulah yang akan membayar minuman tersebut.
"Tolong berhenti di cafe biasa," ujarku ke arah sang supir.
"Baik, Nona Muda."
Aku kembali melihat ke arah Quinza yang sudah tidak kehausan lagi, anak itu tengah melihat pemandangan luar dari kaca gelap. Dia memang tidak banyak bicara dan hanya seperlunya kalau ada orang asing di sekitar.
"Bagaimana harimu?" tanyaku basa-basi.
Quinza mengubah posisi menjadi menyandar pada sandaran mobil dengan pandangan yang mengarah ke depan, "Berjalan dengan baik seperti kemarin. Latihan menariku juga baik, pelatihnya sedang memilih anggota untuk mengikuti perlombaan."
"Kapan pengumuman pemilihannya?"
"Dua hari dari sekarang. Freestyle dance."
Aku langsung tercengang mendengarnya, "Kau pasti masuk."
Kulihat lagi dia menghembuskan napasnya perlahan, "Tidak semudah itu. Banyak yang lebih hebat dariku. Aku juga tidak berharap banyak. Anggota yang dipilih kudengar hanya lima orang."
"Optimis, Quinza. Kau bisa melakukannya. Kau sudah tertarik dengan jenis itu sejak berusia tujuh tahun. Kau bahkan sudah sering memenangkan lomba. Kali ini, kau pasti masuk."
Si bungsu hanya mengangguk lalu berbisik pelan yang masih bisa kudengar. Dia memang lebih menyukai freestyle dan hip-hop daripada ballet dan contemporary dance. Daddy juga tidak masalah dengan kesukaan kami berdua. Malah, di beberapa kesempatan, mereka mendukung penuh.
Seperti mereka akan datang di pergelaran opera klasik yang kubintangi. Aku cukup percaya diri kalau mereka juga akan datang di perlombaan Quinza kalau anak itu terpilih.
"Semoga saja."
_The Stranger's Lust_
Apakah aku tadi mengatakan Quinza adalah anak yang pendiam? Tetapi, kalau dia bersamaku hanya berdua, dia akan menjadi pribadi yang lebih hangat dan manja.
Maksudku. berdua yang sesungguhnya.
Seperti, dia yang datang ke kamarku ataupun sebaliknya.
Seperti sekarang ini.
Anak itu sedang merebahkan dirinya di ranjangku, begitu juga dengan aku sendiri. Tidak mau aku lari darinya, dia mengunci seluruh anggota tubuhku dengan sebuah pelukan.
Sudah biasa bagiku melihat sisi manjanya yang hanya datang sesekali. Untuk ukuran anak bungsu, dia termasuk mandiri.
"Dia datang lagi." Bisikannya membuatku berhenti mengusap anak rambutnya. Mataku turun ke bawah berusaha melihat raut wajahnya, sebagai seorang kakak yang satu-satunya tinggal di dekatnya tentu saja khawatir.
"Lanjutkan usapannya, Leyna."
Aku hanya berdehem lalu kembali mengusap surai rambutnya, "You can count on me like always."
"Kali ini sungguh membuatku takut datang ke sekolah. Dulunya itu, dia hanya menyapaku di depan gerbang sekolah. Lalu, perlahan menemaniku makan di kantin dengan teman-temanku. Kemudian, sekarang ini dia berani mengikutiku kemana saja aku pergi. Dia bahkan terang-terangan menemaniku menunggu jemputan."
"Dia tidak akan lama lagi mengganggumu. Percaya denganku, sekarang istirahatlah. Aku akan membangunkanmu saat jam makan malam nanti."
Aku mengubah posisi tanganku menjadi menepuk punggung anak gadis itu dengan pelan. Masih ada lima belas menit sebelum memulai jam makan malam, Quinza bisa beristirahat sejenak selagi aku memikirkan jalan keluar.
_The Stranger's Lust_
To Be Continue
Leyna menyusuri koridor gedung dengan piyama berlengan panjang dari satin berwarna biru muda. Matanya berusaha mencari seseorang, "Melihat Tuan Besar?: "Tuan Besar sedang menikmati pemandangan malam di belakang gedung, Nona Muda Olivia." Jawab salah satu asisten rumah tangga yang lewat dengan membawa pot bunga baru. "Thank you." Wanita muda itu kembali berjalan menuruni tangga dan melangkah dengan langkah lebar untuk segera menemui ayahnya, meninggalkan Quinza sendirian di kamarnya. Anak itu sedang ingin tidur berdua dengannya dan Leyna tidak punya alasan untuk menolak. Seorang pria berdiri sendirian di balkon belakang gedung dengan pakaian yang sama dikenakannya seharian ini. Leyna mengambil kesimpulan, sang pemimpin Burk's Falls belumlah membersihkan dirinya. "Daddy, we need to talk," ucapnya dengan dada yang kembang kempis. Perlu usaha untuk menemui ayahnya di sini. "Daddy juga ada yang perlu dikatakan kep
[Dion POV] Leyna Olivia [Meet me in the garden now. I'm at school.] Satu pesan dari layar ponsel membuatku langsung membawa sepasang tungkai kakiku berjalan keluar dari ruang guru. Tidak peduli dengan tatapan kebingungan dari tiga rekanku yang lain melekat melihatku. Aku paham sekali kalau mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Koridor sekolah masih sepi, belum memasuki jam istirahat untuk anak-anak yang mengemban kewajibannya di dalam ruang petak bersama yang lainnya. Lapangan sekolah yang terasa panas karena Burk's Falls hari ini terasa begitu terik untuk dilewati. Namun, hanya itu jalur untuk sampai ke taman. Taman belakang sekolah. Dalam lintasan benakku saat itu terus-menerus memikirkan penyebab keturunan pemimpin itu ingin menemuiku di pagi hari ini. Masih terlalu pagi untuk saling menukar cerita keseharian seperti biasa yang kami lakukan. Jelasnya, bukanlah merupakan sesu
Suara ketukan pintu terdengar tiga kali sebelum kembali senyap dan digantikan oleh suara dari dalam kamar yang merupakan sang pemilik ruang, "Masuk." "Leyna, can I sleep here?" Seorang wanita yang sudah setengah berbaring di tempatnya tersenyum, memindahkan tubuhnya ke sisi kanan, "Of course. Have a bad sleep?" "Kinda," jawab seorang gadis yang baru remaja dengan sebelah tangan yang membawa plushie ubur-ubur dan botol minum di sebelah tangannya yang lain. Dia langsung mengambil tempat di atas kasur Leyna dan memposisikan posisi ternyaman. Kamar yang terang samar karena sudah memasuki jam tidur. Leyna ikut menyamankan posisinya dan menghadap sang pengganggu kesendiriannya. “Leyna,” bisik Quinza selaku orang yang telah berada di sampingnya dengan mata yang setengah terpejam memeluk plushie ubur-uburnya. Terdengar dehaman dari pemilik kamar untuk memintanya melanjutkan kalimat. “Apa kau belakangan ini mendapatka
[Leyna POV] "All is eighty dollars, sir." Tidak perlu susah menebak, jelas aku sedang berada di kasir. Jam istirahat telah dimulai dua menit yang lalu memberikan aku dan para pekerja lainnya untuk bersiap-siap mengumpulkan tenaga ekstra untuk melewati jam sibuk. Hari ini bisa aku simpulkan kalau lebih ramai dari biasanya. Semua anggota masuk kerja namun masih tidak cukup untuk melayani seluruh pelanggan yang datang. Bahkan, saat aku sempat melirik antrian, masih ada sebelas orang yang berbaris menunggu untuk dilayani. Tidak bisa berpikir apa-apa lagi selain memfokuskan diri untuk segera menyelesaikan pekerjaan di sini. Daddy sudah ke sekolah Quinza satu jam yang lalu setelah mengurus rapat penting dengan investor restoran tadi pagi. Mommy tentu saja ke butiknya. Katanya mereka kedatangan tamu VIP untuk mengurus busana pernikahan. Aku tidak tahu spesifiknya bagaimana. Karena, aku lebih sering
[Dion POV] Aku merenggangkan leherku ke kiri dan kanan, lalu memutar pergelangan kakiku bergantian setelah memastikan tali sepatu telah diikat apik aku keluar dari rumah. Lalu, menguncinya kembali dari luar, menyisakan Granny seorang diri dalam. Saatnya memulai olahraga pagi. Burk's Falls masih sepi saat ini, hanya sebuah lampu jalan yang menyala sebagai temanku. Aku hanya berencana memutari Burk's Falls sampai ke minimarket yang kemarin menjadi tempat persinggahan Leyna untuk membeli beberapa sayuran. Mataku mendelik saat melihat sebuah bayangan dari ujung jalan yang lain terlihat tidak asing. Aku mempercepat kecepatan jogging-ku dan mengulas senyum ketika semakin lama bayangan tersebut semakin jelas. Bonusnya, aku mengenali bayangan tersebut. “Leyna!” Teriakku dan menyengir ketika melihat dengan jelas bagaimana sepasang bahu tersebut terjengit karena suaraku. Aku langsung berjalan sampai di depann
[Leyna POV] Swear God, I dunno how to speak out of sudden. Aku bahkan tidak bisa melihat orang yang duduk di depanku dengan mata yang menyorot tajam kepadaku. Pandanganku memang ke depan tetapi, sepasang netraku lebih memilih melihat tembok yang dicat dengan warna kalem. “Ehem.” Aku langsung mematung di tempatku. Tanpa sadar, tanganku bergerak untuk memegang apapun yang berada di sekitarku. Sepasang netra bulat memicing ketika melihatku, aku langsung gelagapan dan melepaskan tangan yang kupegang dengan refleks tadi. Dalam hatiku, aku meminta maaf pada Dion yang terbawa ke sini. Yang bisa kulakukan hanyalah menatap lesu oknum yang memergoki keberadaan kami berdua. Matahari belum meninggi dan masih bersembunyi malu-malu di balik awan tersebut. “Aku tidak mau b**a-basi, Leyna. Jelaskan semuanya, sejelas-jelasnya,” katanya dengan perintah mutlak yang membuatku meringis dalam hati. Akan s
Leyna memasuki sebuah butik yang menampilkan beberapa manekin di depan kaca bening untuk menarik perhatian pengunjung. Saat membuka pintu masuk toko, wanita itu diberikan sebuah kesejukan dari pendingin yang dipasang di dalam serta sebuah sapaan hangat dari seorang wanita yang berdiri di belakang meja resepsionis. “Selamat datang, Nona Muda.” Wanita itu tersenyum sebagai tanggapan sapaan dari resepsionis, “Nyonya ada di dalam?” “Nyonya berada di lantai atas, dia sedang menyortir bahan yang baru masuk, Nona. Mari saya antar,” kata wanita dengan tag name Anastacia Marie menjabat sebagai resepsionis di Sky Blue Boutique. “Tidak perlu. Saya akan ke sana sendirian. Anda bisa kembali sibuk dengan pekerjaan Anda. Kalau begitu, saya duluan,” balas Leyna yang duluan menjauhi meja dan melewati koridor cukup muat tiga orang dalam sekali jalan di samping bagian customer service. Sebelah kiri dan kanannya terpajang beberapa foto pasangan
[Dion Addison POV] Aku berjalan di koridor dengan tumpukan buku hasil kerja para siswaku di tangan, tidak lupa untuk menyapa balik anak-anak berseragam bebas itu menyapaku. Berjalan ke arah ruang guru untuk beristirahat lima belas menit disaat para pelajar memilih bermain di lapangan, membuka pintu ruang dan meletakkan tumpukan buku di area meja yang kosong. “Eum, Dion?” Aku hanya berdehem sebagai balasan. Lalu, menegak air minum yang menganggur selama satu jam lebih dengan mata yang melirik ke suara yang memanggilku tadi. Setelah memastikan aku tetap hidrasi, aku menjawab, “Ada apa, Miss. Jesslyn?” “Astaga, tidak perlu sungkan begitu. Kita sudah menjadi rekan lebih dari tiga tahun, Dion,” ujarnya yang sebenarnya masuk akal. Aku hanya berdehem sebagai jawaban rancu. Untuk beberapa hal, aku tidak bisa memanggilnya dengan nama seperti guru lain memanggilnya. Bukan, bukan, bukan karena dia pendiam dan m