Leyna memasuki sebuah butik yang menampilkan beberapa manekin di depan kaca bening untuk menarik perhatian pengunjung. Saat membuka pintu masuk toko, wanita itu diberikan sebuah kesejukan dari pendingin yang dipasang di dalam serta sebuah sapaan hangat dari seorang wanita yang berdiri di belakang meja resepsionis.
“Selamat datang, Nona Muda.”
Wanita itu tersenyum sebagai tanggapan sapaan dari resepsionis, “Nyonya ada di dalam?”
“Nyonya berada di lantai atas, dia sedang menyortir bahan yang baru masuk, Nona. Mari saya antar,” kata wanita dengan tag name Anastacia Marie menjabat sebagai resepsionis di Sky Blue Boutique.
“Tidak perlu. Saya akan ke sana sendirian. Anda bisa kembali sibuk dengan pekerjaan Anda. Kalau begitu, saya duluan,” balas Leyna yang duluan menjauhi meja dan melewati koridor cukup muat tiga orang dalam sekali jalan di samping bagian customer service.
Sebelah kiri dan kanannya terpajang beberapa foto pasangan maupun sendirian dalam model pakaian yang dirancang oleh butik ini sendiri, selain itu sebagai pemanis memberikan pajangan di sana. Tidak tinggal diam, diberikan juga sebuah tangga di sudut untuk naik ke lantai dua, dimana Aubrey berada di sana.
Di sekitar tangga yang menyatu dengan dinding, diberikan aksesoris berupa bunga. Leyna tahu itu adalah bunga asli dan jelas bisa layu cepat ataupun lambat serta diganti dengan yang baru. Wanita itu tidak tahu banyak, tetapi mendengar penuturan ibunya, mereka adalah Baby Breath, White Rose, Yellow Rose. Ibunya adalah pecinta bunga omong-omong.
Kemudian, di ujung atas tangga ada arah untuk ke kiri dan ke kanan, kiri sebagai jalan untuk pelanggan mencobai beragam jenis pakaian yang telah jadi. Sedangkan, pintu di sebelah kanan adalah tempat dimana ibunya berada sekarang.
“Bahan yang ini bisa digunakan untuk model yang dirancang Bella. Sepertinya, menjadi layer yang kedua cocok. Coba kamu lihat.”
“Baik, Nyonya.”
Senyumnya kembali mengembang saat mendengar suara ibunya setelah membuka kecil pintu bercat pink pastel tersebut dengan pelan. Tidak salah memang menjadikan Aubrey sebagai role modelnya selama ini. Pasalnya, wanita itu berperan sebagai banyak bidang dan tetap bersikap professional. Saat menjadi pasangan Chayton, wanita itu bisa bersikap layaknya wanita yang berwawasan luas dan tidak sembarang bicara. Sedangkan, saat menjadi pemilik dari butik yang ternama, dia mampu bersikap tegas dan disegani oleh bawahannya. Belum lagi, saat dia menjadi ibu dari tiga anak dan seorang suami.
Satu hal yang Leyna ketahui dan itu adalah fakta, tidak mudah bersikap dengan sempurna saat menjalani satu profesi.
“Mommy,” panggilku saat melihatnya sedang menarik sebuah gulungan kain yang terkapar di sebuah kardus besar.
“Ya, honey?”
Leyna menutup rapat pintu dan melihat ruangan itu sangat berantakan, dengan kain perca yang tersebar di mana-mana, banyak gulungan kain yang diletakkan di beberapa sudut. Dia menghadap Aubrey dan ikut menelusuri kain yang digenggam oleh ibunya.
“Daddy sudah mengatakan aku akan ke Sundgridge?” tanyanya langsung. Tidak ingin menarik ulur lebih lama.
“Heum, sudah. Dia mengatakan untuk membawamu ke sana dua hari lagi,” jawab Aubrey yang membuat sepasang bahu gadis itu melorot ke bawah. Sang wanita yang lebih tua menyerahkan gulungan kain ini kepada bawahannya, “Letakkan ini di gudang rak kedua baris DC. Lalu, kembalilah sibuk dengan sibuk pada pekerjaanmu. Kalau Vanessa Gyna telah datang, tolong hubungi aku.”
“Baik, Nyonya.”
Leyna tersenyum sejenak untuk membalas senyuman bawahan ibunya.
Aubrey meletakkan tangannya di bahu anak keduanya, “Tidak perlu lemas seperti itu, sayang. Daddy hanya berencana membawamu ke sana selama dua hari untuk menyortir tempat. Lalu, kamu akan kembali ke sini. Setelah itu-“
“After that, I will go to Burk’s Falls and Sudgridge back and forth.” Selanya yang tanpa sadar melemah. Tidak menyangka kalau akan secepat ini.
“Kamu benar, sayang. Ada kendala, Leyna?” tanya Aubrey kepada anaknya.
“Tidak ada selain dari persiapan mental untuk ke sana. Mungkin, aku juga perlu belajar beberapa hal kecil lainnya,” kata wanita muda itu yang mencium pelipis wanita yang telah melahirkannya susah payah.
Wanita itu tersenyum dan menyambungkan perkataannya, “Aku akan membantu mereka di bawah. Mommy boleh istirahat sebentar, ini sudah sampai di akhir jam makan siang.”
Istri dari pemimpin Burk’s Falls itu mengangguk, “Baiklah. Jangan nakal dengan mereka, ya.”
“Tentu, aku sudah besar, Mom.”
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
[Dion Addison POV] Aku berjalan di koridor dengan tumpukan buku hasil kerja para siswaku di tangan, tidak lupa untuk menyapa balik anak-anak berseragam bebas itu menyapaku. Berjalan ke arah ruang guru untuk beristirahat lima belas menit disaat para pelajar memilih bermain di lapangan, membuka pintu ruang dan meletakkan tumpukan buku di area meja yang kosong. “Eum, Dion?” Aku hanya berdehem sebagai balasan. Lalu, menegak air minum yang menganggur selama satu jam lebih dengan mata yang melirik ke suara yang memanggilku tadi. Setelah memastikan aku tetap hidrasi, aku menjawab, “Ada apa, Miss. Jesslyn?” “Astaga, tidak perlu sungkan begitu. Kita sudah menjadi rekan lebih dari tiga tahun, Dion,” ujarnya yang sebenarnya masuk akal. Aku hanya berdehem sebagai jawaban rancu. Untuk beberapa hal, aku tidak bisa memanggilnya dengan nama seperti guru lain memanggilnya. Bukan, bukan, bukan karena dia pendiam dan m
Dion merasa bahwa ada yang memaku kakinya di atas pijakan tanah beraspal supaya tidak membiarkannya kabur di saat situasi seperti ini. Ya, begitu sulit untuk bergerak walaupun hanya seinchi. Di depannya, wanita tersebut yang berhasil mengacau-balaukan system motoriknya tengah menahan senyumnya yang mengembang tak berdosa. Memangnya apa yang salah dengan ajakan makan diantara anak Adam dan Hawa? Menurut Dion, itu adalah kesalahan. Ketika mata yang memancarkan sorot penuh harap itu memiliki setetes rasa aneh yang tidak pernah ia jumpai sebelumnya. Sorot keharapan itu berbeda ketika Leyna memintanya untuk melakukannya sesuatu. “Bagaimana, Dion?” tanya wanita tersebut lagi membuyarkan lamunannya dalam sekejap. “Aku …,” ucapnya semakin memelan, matanya melirik melihat Jesslyn yang masih setia menatapnya dengan binar yang sama. Itu membuatnya meringis dalam hati. Maaf. “Aku tidak bisa makan denganmu, Miss. Aku ada urusan di rumah,”
[Leyna POV] Aku mengambil pesananku saat namaku dipanggil dari bagian ‘take order’ oleh seorang pegawai di café tersebut. Sebuah iced caramel machiatto untuk menemani jam bebas selepas jam kegiatan ballet. Duduk di sebuah meja untuk dua orang yang berdampingan dengan sebuah kaca yang menampilkan pemandangan kota sore hari. Me [Aku di café. Kau mau kupesankan sesuatu?] Quinza [Kau di dekat studiomu? Kalau begitu red velvet cheese cake, please] Aku mengirimkan pesan kepada adikku satu-satunya untuk membunuh waktu yang berjalan. Aku langsung kembali ke arah kasir dan memesan pesanan Quinza serta brownies rasa mocca untukku. Entahlah aku tidak ingin pulang sekarang juga. Selepas dari butik, aku langsung ke studio dan kembali melatih kemampuan tarianku sekaligus melenturkan kakiku. Aku sud
Leyna melangkah keluar dari kamar orang tuanya yang tidak berada jauh dari kamarnya sendiri. Setelah membahas hal yang penting dan sedikit basa-basi dengan mereka berdua, sembari menyantap hidangan pendingin berupa es krim tiga rasa, perasaannya menjadi mendung. Sudah mendung semenjak sore di café dan semakin mendung setelah bertemu dengan kepala Burk’s Falls. Bicara tentang café, mengingatkannya dengan panggilan yang terputus dengan tidak baik. Dengan bergegas, dia langsung masuk ke dalam kamarnya sendiri, menggapai ponselnya yang terletak di atas ranjang. Tadi, tidak disengaja dilempar saat Quinza memintanya untuk makan malam. Dia melihat ke atas layar ponsel, sudah jam sembilan lewat lima belas menit. Cukup lama dia berbincang dengan orangtuanya, sedikit besar dia senang karena, sudah lama sekali mereka tidak berbicara selama ini karena waktu mereka yang tidak cukup untuk berbicara lebih dalam dari sekedar bertanya kabar.
07.00 a.m Sundridge, Canada Leyna meletakkan kopernya di lantai flat yang akan ditinggalinya selama tiga hari. Tidak terlalu sempit untuk seorang diri dan wanita muda itu bersyukur karena telah terisi fasilitas di dalamnya. Walaupun, hanya sebuah sofa minimalis dengan satu set televisi lengkap menyapa dari ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang keluarga. Tungkai kakinya kembali berjalan masuk ke dalam satu tingkat itu dan melihat satu pintu di sebelah televisi dan satu pintu lagi di sebelahnya. Tepat diseberang pintu itu ada dapur yang duluan menyita perhatiannya. Dengan penuh ekspetasi, dia membuka kabinet atas dan tersenyum sumringah. Hanya terdapat bungkusan mi instant serta beberapa botol bumbu masakan. Alat masak yang tidak banyak dan hanya pentingnya saja terdapat di sebelah mi instant. Kulkas yang berdiri tegak dua pintu menunjukkan keberadaannya di samping wastafel. Sesuai dugaan
Malam hari Burk’s Falls, Canada Quinza duduk gelisah di tempatnya, makan malam berupa pizza dihadapannya tidak menggugah selera. Mungkin hanya dirinya yang memberikan ekspresi tidak minat dikiri kanan orang tuanya. Dia tidak seperti Leyna yang penurut, dia telah memberontak untuk duduk di kursi paling ujung. Nyatanya, Chayton tidak menyetujui dan memaksanya. “Mereka sudah datang, tunjukkan senyumanmu, sayang,” timpal Aubrey yang berbisik pelan kepada putri bungsunya. Gadis tersebut mendengus kecut karena ucapan Ibunya. Namun, tidak berniat membantah dan berusaha tersenyum sapa normal. Perasaannya semakin tidak membaik saat melihat dua orang sekitaran usia orang tuanya dan seorang laki-laki berkemeja hitam polos dengan dasi putih mengilat duduk di depannya dengan senyuman lebar. Saat ini, Quinza mengakui kalau dia sungguh ingin kabur ke toilet dengan beragam alasan sampai acara membosankan i
Leyna POV “Calon dokter?” Nada pertanyaan dari seberang penelepon membuatku semakin bernafsu untuk membenarkan kalimat keraguannya tersebut, “Quinza mengatakan kalau dia akan menjadi dokter spesialis beberapa tahun lagi, Dion.” Teman berbicara setelah Quinza pamit undur diri kembali ke acara supaya tidak menimbulkan keraguan hanyalah Dion. “Dan … kalian akan dijodohkan?” Aku mengangkat bahuku cuek, sadar bahwa bukan fitur video call yang aku gunakan kali ini, membuatku kembali bersuara untuk membalas, “Belum tahu. After all, itu hanya spekulasi, bukan fakta. Benar tidaknya, juga tidak ada yang tahu.” Setelah itu, aku mengernyitkan dahi. Tidak ada suara apapun lagi dari pria tersebut membuatku memastikan kalau jaringan yang digunakan masih berjalan lancar atau Dion tidak memutuskan teleponnya sepihak. Aku baru saja akan menyahut memanggil sebelum suara anak Adam itu terdengar dan menghentikan niatku. “
“Nona Muda, Nona Muda, apakah Anda di dalam?” “Nona Muda …,” Suara lenguhan terdengar ketika indera pendengarannya sayup-sayup mendengar suara yang berada di balik daun pintu. Dengan malas beranjak bangun dari kasur dan mencari lokasi sumber suara tersebut. Tangannya mengucek ujung matanya, gadis tersebut bersuara pelan, “Ya, seben-“ Gadis tersebut langsung tertegun mendengar suaranya, dengan cepat melihat tubuhnya sendiri dan semakin terkejut melihatnya. Piyama biru dongker berubah menjadi piyama pink pastel, celana pakaian tidur yang seharusnya diatas mata kakinya berubah menutupi separuh punggung kakinya sekarang. “Tertukar lagi?” tanyanya yang sadar dengan situasi yang terasa familiar. Dia hendak mencari letak ponsel. Namun, suara yang daritadi mengganggunya kembali terdengar. “Nona Muda Olivia, apakah Anda di dalam? Kita harus segera ke lokasi, Nona Muda.” Sempat kebingungan dengan dua prioritas utama paginya itu, Dion—den