[Leyna POV]
Swear God, I dunno how to speak out of sudden.
Aku bahkan tidak bisa melihat orang yang duduk di depanku dengan mata yang menyorot tajam kepadaku. Pandanganku memang ke depan tetapi, sepasang netraku lebih memilih melihat tembok yang dicat dengan warna kalem.
“Ehem.”
Aku langsung mematung di tempatku. Tanpa sadar, tanganku bergerak untuk memegang apapun yang berada di sekitarku. Sepasang netra bulat memicing ketika melihatku, aku langsung gelagapan dan melepaskan tangan yang kupegang dengan refleks tadi. Dalam hatiku, aku meminta maaf pada Dion yang terbawa ke sini.
Yang bisa kulakukan hanyalah menatap lesu oknum yang memergoki keberadaan kami berdua.
Matahari belum meninggi dan masih bersembunyi malu-malu di balik awan tersebut.
“Aku tidak mau b**a-basi, Leyna. Jelaskan semuanya, sejelas-jelasnya,” katanya dengan perintah mutlak yang membuatku meringis dalam hati. Akan sangat sulit untuk melepaskan diri darinya sekarang. Selagi aku menunduk melihat sepasang telapak tanganku yang mengepal erat di bawah sana, aku mendengar suaranya lagi.
“Kalau begitu, kau dulu. Siapa namamu?”
Hentikan, Alexandra. Kau cukup membuatnya merasa risih.
Sayangnya, kalimat tersebut kembali bisa kutelan bulat-bulat ke tenggorokanku. Sungguh tidak mungkin membalas wanita tersebut yang sedang berkepala batu sekarang ini. Dia akan tetap seperti itu sampai dia mendapatkan jawaban yang dia rasa adalah sebuah kejujuran.
Dan, harus kalian tahu.
Kalau dia bukanlah orang yang mudah untuk ditipu.
“Dion Addison,” kata pria yang duduk di sebelahku dan dia hanya diam sedaritadi dengan mata yang berbolak-balik melihatku dan kearah sahabatku itu. Walaupun aku melihat ke depan, bukan berarti aku tidak bisa melihat sekitar, bukan?
“Warga sini?”
Kupastikan Dion mengangguk saat kudengar sebuah dengungan. Di sinilah masalahnya, aku baru teringat kalau dia tidak mau berbohong untuk hal sekecil apapun. Kepalaku terus diisi dengan serentetan komat-kamit bagaimana bisa keluar tanpa sebuah kebohongan.
Walaupun, aku rasa terdengar mustahil.
“Setahu aku, Leyna tidak ada teman cowo. Kau pacarnya?” tanyanya lagi.
Sepertinya, dia telah memutuskan urat malunya sejak melihat kami berdua tiga puluh menit yang lalu. Aku langsung mengangkat kepalaku dan bersuara, “Tidak. Kami hanya berteman.”
Kulihat Alexandra menukik alisnya seolah tidak percaya dengan jawabanku.
“Itu benar. Aku mengenalnya saat turun ke masyarakat. Kau tahu Granny Greisy? Dia adalah cucunya,” kataku yang seolah kehabisan napas saat melihat wanita satu anak bayi itu masih mempertahankan ekspresinya.
“Kalian yakin, kalian hanya berteman?”
Aku mengangguk sekali dengan tegas. Menjadi sahabatnya sejak masih belajar merangkak tentu saja membuatku tahu tahapan menghadapinya.
“Iya. Kami hanya berteman,” jawab Dion yang memperkuat gesturku.
Alexandra masih mempertahankan gurat intimidasinya, “Kau yakin tidak ada yang mau dibicarakan? Kau tidak akan seramah itu dengan seorang laki-laki walaupun dia adalah warga biasa yang berkenalan denganmu.”
Skakmat!
“Ayolah, aku tahu kalian menyembunyikan sesuatu. Kalau aku menemukannya dengan sendirinya, aku tidak akan tinggal diam.”
Sesuai dengan perkiraanku. Aku menghembuskan napas, melihat Dion sejenak sekaligus berteleportasi dengannya dengan sinyal kontak mata. Setelah aku mendapatkan anggukan kepala darinya, baru aku kembali melihat kearah wanita yang telah melipat tangannya di depan dada.
“Aku … aku dengannya bertukar raga,” ucapku dengan cepat. Tanpa sadar, aku memejamkan mataku dengan rapat setelah mengatakan kalimat tersebut. Kurasakan sebuah usapan halus dari bawah meja, membuatku perlahan membuka mata untuk melihat sang pelaku.
Tangan yang tentu menjadi tanganku selama seminggu itu terlihat familiar sekaligus membuatku tenang. Satu sisi, itu juga membuatku percaya dengan langkah yang kupilih.
“Bagaimana bisa?”
Aku mengangkat bahuku, “Begitulah yang terjadi. Tidak ada alasan apapun, aku juga tidak membocorkan ini kepada keluarga, kau adalah satu-satunya orang yang mengetahui hal ini.”
“Dari kapan?” tanyanya lagi.
“Saat aku datang ke cafemu dengan rok itu, aku sudah menjadi Leyna,” timpal Dion yang menyelaku. Tapi, itu terdengar lebih logika dari jawaban yang kusediakan.
“Berarti sudah nyaris dua minggu?” tanyanya lagi yang diangguki oleh kami berdua. Terdengar decakan dari bibirnya, “Wah, kau tega sekali tidak mengatakan apapun kepadaku. Setidaknya, aku bisa membantu kalian untuk mencari jalan keluar.”
“Semuanya selesai begitu saja. Aku sudah kembali ke tubuhku, begitu juga dengan dia. Hanya bertahan seminggu dan kemudian, kau tahu, saat itu kami sibuk untuk memecahkan kasusnya sendiri. Aku ditahan di penjara bawah tanah. Saat itu, bagaimana aku bisa bertemu denganmu langsung?” belaku panjang lebar.
“Jadi, sejenis kutukan yang hanya bertahan selama seminggu?” tanyanya lagi.
“Bisa dikatakan seperti itu.”
Alexandra menghembuskan napasnya perlahan, “Kau yakin tidak bertemu dengan orang aneh, kan? Mungkin saja kau terkontaminasi dengan sesuatu yang tidak baik seperti mantra sihir yang ditonton Kelly. Lebih parahnya, kau sedang bermimpi?”
“Yang pertama, Nyonya Alexandra, aku tidak bertemu dengan orang aneh. Yang kedua, aku tidak terkontaminasi dengan yang tidak baik selain itu mantra sihir itu hanya ada di cerita fiksi dan aku hidup di dunia nyata. Yang ketiga, aku tidak bermimpi. Dan, tidak terdengar logis kalau aku bermimpi dengan hal yang sama dan berurutan bersama-sama dengan Dion.”
Kulihat dia memijat pelipis dengan jari kirinya, aku tahu kalimatku terdengar sangat aneh sampai aku sendiri juga tidak mau mempercayai hal tersebut kalau tidak mengalaminya langsung.
“Jujur denganku, kalau aku tidak memergoki kalian tadi itu, kalian tidak berniat menceritakannya padaku, kan?” tanyanya dengan pelan.
Tanpa sadar aku menyengir yang telah menjadi jawaban untuknya. Namun, aku kembali menambahkannya sebagai kalimat penutup untuk topik aneh tersebut dan berpindah ke topik yang lain.
“Disaat yang tepat, aku berniat menceritakannya. Tapi, memang tidak dalam waktu dekat ini.”
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
Hello, Sky is back. Sudah lama banget, ya, akunya nggak tulis di sini. Aku mau ucapin terimakasih, ya, sudah baca cerita yang masih banyak kekurangannya ini. Terima kasih sudah dukung kisah perjalanan Leyna dan Dion. Belum sampai ke konfliknya, masih banyak sebenarnya. Jadi, Sky harap kalian akan tetap menyukai cerita ini. See ya
Leyna memasuki sebuah butik yang menampilkan beberapa manekin di depan kaca bening untuk menarik perhatian pengunjung. Saat membuka pintu masuk toko, wanita itu diberikan sebuah kesejukan dari pendingin yang dipasang di dalam serta sebuah sapaan hangat dari seorang wanita yang berdiri di belakang meja resepsionis. “Selamat datang, Nona Muda.” Wanita itu tersenyum sebagai tanggapan sapaan dari resepsionis, “Nyonya ada di dalam?” “Nyonya berada di lantai atas, dia sedang menyortir bahan yang baru masuk, Nona. Mari saya antar,” kata wanita dengan tag name Anastacia Marie menjabat sebagai resepsionis di Sky Blue Boutique. “Tidak perlu. Saya akan ke sana sendirian. Anda bisa kembali sibuk dengan pekerjaan Anda. Kalau begitu, saya duluan,” balas Leyna yang duluan menjauhi meja dan melewati koridor cukup muat tiga orang dalam sekali jalan di samping bagian customer service. Sebelah kiri dan kanannya terpajang beberapa foto pasangan
[Dion Addison POV] Aku berjalan di koridor dengan tumpukan buku hasil kerja para siswaku di tangan, tidak lupa untuk menyapa balik anak-anak berseragam bebas itu menyapaku. Berjalan ke arah ruang guru untuk beristirahat lima belas menit disaat para pelajar memilih bermain di lapangan, membuka pintu ruang dan meletakkan tumpukan buku di area meja yang kosong. “Eum, Dion?” Aku hanya berdehem sebagai balasan. Lalu, menegak air minum yang menganggur selama satu jam lebih dengan mata yang melirik ke suara yang memanggilku tadi. Setelah memastikan aku tetap hidrasi, aku menjawab, “Ada apa, Miss. Jesslyn?” “Astaga, tidak perlu sungkan begitu. Kita sudah menjadi rekan lebih dari tiga tahun, Dion,” ujarnya yang sebenarnya masuk akal. Aku hanya berdehem sebagai jawaban rancu. Untuk beberapa hal, aku tidak bisa memanggilnya dengan nama seperti guru lain memanggilnya. Bukan, bukan, bukan karena dia pendiam dan m
Dion merasa bahwa ada yang memaku kakinya di atas pijakan tanah beraspal supaya tidak membiarkannya kabur di saat situasi seperti ini. Ya, begitu sulit untuk bergerak walaupun hanya seinchi. Di depannya, wanita tersebut yang berhasil mengacau-balaukan system motoriknya tengah menahan senyumnya yang mengembang tak berdosa. Memangnya apa yang salah dengan ajakan makan diantara anak Adam dan Hawa? Menurut Dion, itu adalah kesalahan. Ketika mata yang memancarkan sorot penuh harap itu memiliki setetes rasa aneh yang tidak pernah ia jumpai sebelumnya. Sorot keharapan itu berbeda ketika Leyna memintanya untuk melakukannya sesuatu. “Bagaimana, Dion?” tanya wanita tersebut lagi membuyarkan lamunannya dalam sekejap. “Aku …,” ucapnya semakin memelan, matanya melirik melihat Jesslyn yang masih setia menatapnya dengan binar yang sama. Itu membuatnya meringis dalam hati. Maaf. “Aku tidak bisa makan denganmu, Miss. Aku ada urusan di rumah,”
[Leyna POV] Aku mengambil pesananku saat namaku dipanggil dari bagian ‘take order’ oleh seorang pegawai di café tersebut. Sebuah iced caramel machiatto untuk menemani jam bebas selepas jam kegiatan ballet. Duduk di sebuah meja untuk dua orang yang berdampingan dengan sebuah kaca yang menampilkan pemandangan kota sore hari. Me [Aku di café. Kau mau kupesankan sesuatu?] Quinza [Kau di dekat studiomu? Kalau begitu red velvet cheese cake, please] Aku mengirimkan pesan kepada adikku satu-satunya untuk membunuh waktu yang berjalan. Aku langsung kembali ke arah kasir dan memesan pesanan Quinza serta brownies rasa mocca untukku. Entahlah aku tidak ingin pulang sekarang juga. Selepas dari butik, aku langsung ke studio dan kembali melatih kemampuan tarianku sekaligus melenturkan kakiku. Aku sud
Leyna melangkah keluar dari kamar orang tuanya yang tidak berada jauh dari kamarnya sendiri. Setelah membahas hal yang penting dan sedikit basa-basi dengan mereka berdua, sembari menyantap hidangan pendingin berupa es krim tiga rasa, perasaannya menjadi mendung. Sudah mendung semenjak sore di café dan semakin mendung setelah bertemu dengan kepala Burk’s Falls. Bicara tentang café, mengingatkannya dengan panggilan yang terputus dengan tidak baik. Dengan bergegas, dia langsung masuk ke dalam kamarnya sendiri, menggapai ponselnya yang terletak di atas ranjang. Tadi, tidak disengaja dilempar saat Quinza memintanya untuk makan malam. Dia melihat ke atas layar ponsel, sudah jam sembilan lewat lima belas menit. Cukup lama dia berbincang dengan orangtuanya, sedikit besar dia senang karena, sudah lama sekali mereka tidak berbicara selama ini karena waktu mereka yang tidak cukup untuk berbicara lebih dalam dari sekedar bertanya kabar.
07.00 a.m Sundridge, Canada Leyna meletakkan kopernya di lantai flat yang akan ditinggalinya selama tiga hari. Tidak terlalu sempit untuk seorang diri dan wanita muda itu bersyukur karena telah terisi fasilitas di dalamnya. Walaupun, hanya sebuah sofa minimalis dengan satu set televisi lengkap menyapa dari ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang keluarga. Tungkai kakinya kembali berjalan masuk ke dalam satu tingkat itu dan melihat satu pintu di sebelah televisi dan satu pintu lagi di sebelahnya. Tepat diseberang pintu itu ada dapur yang duluan menyita perhatiannya. Dengan penuh ekspetasi, dia membuka kabinet atas dan tersenyum sumringah. Hanya terdapat bungkusan mi instant serta beberapa botol bumbu masakan. Alat masak yang tidak banyak dan hanya pentingnya saja terdapat di sebelah mi instant. Kulkas yang berdiri tegak dua pintu menunjukkan keberadaannya di samping wastafel. Sesuai dugaan
Malam hari Burk’s Falls, Canada Quinza duduk gelisah di tempatnya, makan malam berupa pizza dihadapannya tidak menggugah selera. Mungkin hanya dirinya yang memberikan ekspresi tidak minat dikiri kanan orang tuanya. Dia tidak seperti Leyna yang penurut, dia telah memberontak untuk duduk di kursi paling ujung. Nyatanya, Chayton tidak menyetujui dan memaksanya. “Mereka sudah datang, tunjukkan senyumanmu, sayang,” timpal Aubrey yang berbisik pelan kepada putri bungsunya. Gadis tersebut mendengus kecut karena ucapan Ibunya. Namun, tidak berniat membantah dan berusaha tersenyum sapa normal. Perasaannya semakin tidak membaik saat melihat dua orang sekitaran usia orang tuanya dan seorang laki-laki berkemeja hitam polos dengan dasi putih mengilat duduk di depannya dengan senyuman lebar. Saat ini, Quinza mengakui kalau dia sungguh ingin kabur ke toilet dengan beragam alasan sampai acara membosankan i
Leyna POV “Calon dokter?” Nada pertanyaan dari seberang penelepon membuatku semakin bernafsu untuk membenarkan kalimat keraguannya tersebut, “Quinza mengatakan kalau dia akan menjadi dokter spesialis beberapa tahun lagi, Dion.” Teman berbicara setelah Quinza pamit undur diri kembali ke acara supaya tidak menimbulkan keraguan hanyalah Dion. “Dan … kalian akan dijodohkan?” Aku mengangkat bahuku cuek, sadar bahwa bukan fitur video call yang aku gunakan kali ini, membuatku kembali bersuara untuk membalas, “Belum tahu. After all, itu hanya spekulasi, bukan fakta. Benar tidaknya, juga tidak ada yang tahu.” Setelah itu, aku mengernyitkan dahi. Tidak ada suara apapun lagi dari pria tersebut membuatku memastikan kalau jaringan yang digunakan masih berjalan lancar atau Dion tidak memutuskan teleponnya sepihak. Aku baru saja akan menyahut memanggil sebelum suara anak Adam itu terdengar dan menghentikan niatku. “