[Dion Addison POV]
Aku berjalan di koridor dengan tumpukan buku hasil kerja para siswaku di tangan, tidak lupa untuk menyapa balik anak-anak berseragam bebas itu menyapaku. Berjalan ke arah ruang guru untuk beristirahat lima belas menit disaat para pelajar memilih bermain di lapangan, membuka pintu ruang dan meletakkan tumpukan buku di area meja yang kosong.
“Eum, Dion?”
Aku hanya berdehem sebagai balasan. Lalu, menegak air minum yang menganggur selama satu jam lebih dengan mata yang melirik ke suara yang memanggilku tadi. Setelah memastikan aku tetap hidrasi, aku menjawab, “Ada apa, Miss. Jesslyn?”
“Astaga, tidak perlu sungkan begitu. Kita sudah menjadi rekan lebih dari tiga tahun, Dion,” ujarnya yang sebenarnya masuk akal.
Aku hanya berdehem sebagai jawaban rancu. Untuk beberapa hal, aku tidak bisa memanggilnya dengan nama seperti guru lain memanggilnya.
Bukan, bukan, bukan karena dia pendiam dan mengguarkan aura tegas untuk sekelilingnya. Harus kuakui, dia adalah tipikal guru yang ramah kepada seluruh anggota sekolah. Baik dari kepala sekolah sampai kepada pengurus kebersihan, bukan sekali dua kali aku mendapatinya menemani anak-anak yang bukan anak didiknya menunggu jemputan.
Dia adalah guru yang baik.
Jadi, dia bukan termasuk rekan yang sombong. Dia sering membantu sekitarnya, bisa dibilang dia mengenal nyaris seluruh penjuru sekolah.
Dan, aku tidak mau besar kepala.
Sikapnya kepadaku berbeda dengan sikapnya kepada orang lain.
Memang tidak terlihat jelas. Yang lain tidak akan merasakannya kalau tidak melihatnya dengan teliti.
“Bisakah kamu membantuku mengambil alat kerajinan di belakang?” tanyanya dengan lembut. Bahkan, tidak sungkan untuk duduk di sampingku yang seharusnya merupakan meja Fiona. Rekanku satu itu kemungkinan sedang menikmati sarapannya di taman sekolah sembari video call dengan keluarganya.
Statusnya yang telah terikat dengan seorang pria, membuatku rileks berada di sekitarnya.
Bisa dikatakan, aku lebih dekat dengan Fiona daripada wanita di sampingku ini.
“Sekarang?” tanyaku lagi.
Dia mengangguk, “Kalau tidak bisa, tidak apa-apa. Aku akan meminta bantuan orang lain.”
“Bisa. Di gudang belakang?” tanyaku lagi. Satu-satunya kelemahanku hanyalah tidak bisa menolak permintaan orang lain.
Kulihat dia mengembangkan senyum bahagia karena perkataanku. Aku langsung bangkit dan melangkah keluar dari ruangan, diikuti oleh guru wanita itu yang menutupnya, tentu saja perjalanan ke belakang yang harusnya hanya memakan waktu 3 menit dengan jalan kaki menjadi 6 menit karena Jesslyn harus berhenti untuk menyapa orang yang kami lewati.
Tidak ada yang bisa aku lakukan sambil menerbitkan sebuah senyum tipis sesekali.
Bau khas debu yang lengket di dalam gudang tercium dengan baik, begitu juga dengan banyaknya butiran yang mengotori permukaan atas seluruh benda yang disimpan di ruangan petak ini. Lemari terpasang apik bersandar pada dinding dan dua rak yang disusun di tengah.
“Aku menyimpannya di kotak, ada dua kotak. Aku melabelinya dengan namaku sendiri. Bisakah kamu membantuku mencarinya?”
“Aku akan cari di sebelah sini,” kataku yang menunjuk ke bilik kiri, bilik yang paling dekat denganku. Sedangkan, wanita itu mengambil bilik di seberangnya.
Sepasang mataku terbuka dengan lebar dan berusaha untuk tidak berkedip walaupun terdengar mustahil untuk tidak menutup sekejap mata, tanganku sesekali menyentuh beberapa kardus yang tersusun di rak-rak tersebut.
Aku memicing saat melihat sebuah kardus yang diletakkan agak maju, menarik perhatianku untuk mendonga ke atas sekaligus langsung membawa tangga yang memiliki dua anak tangga saja untuk merapikan kardus tersebut. Tetapi, ketika melihat labelnya, aku langsung berucap, “Ketemu!”
“Di mana?”
Aku menunjukkan kardus yang kupegang kepada Jesslyn yang berada di atas permukaan tanah, “Bisa kamu ambil ini sebentar? Sepertinya yang satunya juga di sini.”
“Ternyata dipindahkan ke sana. Seingatku, aku meletakkannya tidak tinggi karena, postur tubuhku,” balasnya setelah menerima kardus dariku, aku ikut mengambil kardus satunya yang juga bersebelahan. Pelan-pelan, aku turun dari tangga dan menyimpan alat tersebut di tempat yang aman.
“Ayo, kita kembali,” ucapnya, dia membuka pintu dan melangkahkan kakinya setelah memastikan aku ikut berjalan di sebelahnya. Gudang yang terletak cukup dekat dengan taman belakang sekolah membuatku tersenyum samar. Tebakanku benar tentang Fiona, tawanya terdengar sampai ke sini membuatku dan Jesslyn ikut terkekeh pelan.
“Dia tampak bahagia,” tuturnya yang melangkah menjauh dari gudang, begitu juga denganku.
“Dia selalu bahagia saat membicarakan keluarganya.”
“Apa Dion juga seperti itu?” tanyanya yang melihatku sejenak lalu kembali menghadap depan.
Aku berdengung, “Ya. Tapi, tidak selalu.”
Aku mengerut dahinya saat wanita yang bersamaku berhenti mendadak. Aku juga ikut berhenti tanpa alasan yang jelas, merapikan posisi kardus digenggamanku sedikit. Lalu, kembali bersuara, “Ada apa, Miss? Apa ada yang tertinggal di gudang? Aku akan mengambilnya.”
“Tidak ada. Hanya saja, ada yang harus aku katakan,” katanya yang berbalik menghadapku sepenuhnya.
Lima detik, aku tenggelam dalam pemikiran yang tidak jelas. Karena, tidak paham dengan maksud dari wanita ini. Namun, sedetiknya lagi, aku paham.
Sekaligus, tidak tahu harus bersikap bagaimana. Karena, jujur ini adalah pengalaman yang baru nan asing untukku.
“Apakah kamu memiliki waktu luang pekan nanti? Aku ingin mentraktirmu makan malam sebagai balas budi.”
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
Selamat malam. Sky is back, all Sorry for disappear like that. I will do my best for now on Love you
Dion merasa bahwa ada yang memaku kakinya di atas pijakan tanah beraspal supaya tidak membiarkannya kabur di saat situasi seperti ini. Ya, begitu sulit untuk bergerak walaupun hanya seinchi. Di depannya, wanita tersebut yang berhasil mengacau-balaukan system motoriknya tengah menahan senyumnya yang mengembang tak berdosa. Memangnya apa yang salah dengan ajakan makan diantara anak Adam dan Hawa? Menurut Dion, itu adalah kesalahan. Ketika mata yang memancarkan sorot penuh harap itu memiliki setetes rasa aneh yang tidak pernah ia jumpai sebelumnya. Sorot keharapan itu berbeda ketika Leyna memintanya untuk melakukannya sesuatu. “Bagaimana, Dion?” tanya wanita tersebut lagi membuyarkan lamunannya dalam sekejap. “Aku …,” ucapnya semakin memelan, matanya melirik melihat Jesslyn yang masih setia menatapnya dengan binar yang sama. Itu membuatnya meringis dalam hati. Maaf. “Aku tidak bisa makan denganmu, Miss. Aku ada urusan di rumah,”
[Leyna POV] Aku mengambil pesananku saat namaku dipanggil dari bagian ‘take order’ oleh seorang pegawai di café tersebut. Sebuah iced caramel machiatto untuk menemani jam bebas selepas jam kegiatan ballet. Duduk di sebuah meja untuk dua orang yang berdampingan dengan sebuah kaca yang menampilkan pemandangan kota sore hari. Me [Aku di café. Kau mau kupesankan sesuatu?] Quinza [Kau di dekat studiomu? Kalau begitu red velvet cheese cake, please] Aku mengirimkan pesan kepada adikku satu-satunya untuk membunuh waktu yang berjalan. Aku langsung kembali ke arah kasir dan memesan pesanan Quinza serta brownies rasa mocca untukku. Entahlah aku tidak ingin pulang sekarang juga. Selepas dari butik, aku langsung ke studio dan kembali melatih kemampuan tarianku sekaligus melenturkan kakiku. Aku sud
Leyna melangkah keluar dari kamar orang tuanya yang tidak berada jauh dari kamarnya sendiri. Setelah membahas hal yang penting dan sedikit basa-basi dengan mereka berdua, sembari menyantap hidangan pendingin berupa es krim tiga rasa, perasaannya menjadi mendung. Sudah mendung semenjak sore di café dan semakin mendung setelah bertemu dengan kepala Burk’s Falls. Bicara tentang café, mengingatkannya dengan panggilan yang terputus dengan tidak baik. Dengan bergegas, dia langsung masuk ke dalam kamarnya sendiri, menggapai ponselnya yang terletak di atas ranjang. Tadi, tidak disengaja dilempar saat Quinza memintanya untuk makan malam. Dia melihat ke atas layar ponsel, sudah jam sembilan lewat lima belas menit. Cukup lama dia berbincang dengan orangtuanya, sedikit besar dia senang karena, sudah lama sekali mereka tidak berbicara selama ini karena waktu mereka yang tidak cukup untuk berbicara lebih dalam dari sekedar bertanya kabar.
07.00 a.m Sundridge, Canada Leyna meletakkan kopernya di lantai flat yang akan ditinggalinya selama tiga hari. Tidak terlalu sempit untuk seorang diri dan wanita muda itu bersyukur karena telah terisi fasilitas di dalamnya. Walaupun, hanya sebuah sofa minimalis dengan satu set televisi lengkap menyapa dari ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang keluarga. Tungkai kakinya kembali berjalan masuk ke dalam satu tingkat itu dan melihat satu pintu di sebelah televisi dan satu pintu lagi di sebelahnya. Tepat diseberang pintu itu ada dapur yang duluan menyita perhatiannya. Dengan penuh ekspetasi, dia membuka kabinet atas dan tersenyum sumringah. Hanya terdapat bungkusan mi instant serta beberapa botol bumbu masakan. Alat masak yang tidak banyak dan hanya pentingnya saja terdapat di sebelah mi instant. Kulkas yang berdiri tegak dua pintu menunjukkan keberadaannya di samping wastafel. Sesuai dugaan
Malam hari Burk’s Falls, Canada Quinza duduk gelisah di tempatnya, makan malam berupa pizza dihadapannya tidak menggugah selera. Mungkin hanya dirinya yang memberikan ekspresi tidak minat dikiri kanan orang tuanya. Dia tidak seperti Leyna yang penurut, dia telah memberontak untuk duduk di kursi paling ujung. Nyatanya, Chayton tidak menyetujui dan memaksanya. “Mereka sudah datang, tunjukkan senyumanmu, sayang,” timpal Aubrey yang berbisik pelan kepada putri bungsunya. Gadis tersebut mendengus kecut karena ucapan Ibunya. Namun, tidak berniat membantah dan berusaha tersenyum sapa normal. Perasaannya semakin tidak membaik saat melihat dua orang sekitaran usia orang tuanya dan seorang laki-laki berkemeja hitam polos dengan dasi putih mengilat duduk di depannya dengan senyuman lebar. Saat ini, Quinza mengakui kalau dia sungguh ingin kabur ke toilet dengan beragam alasan sampai acara membosankan i
Leyna POV “Calon dokter?” Nada pertanyaan dari seberang penelepon membuatku semakin bernafsu untuk membenarkan kalimat keraguannya tersebut, “Quinza mengatakan kalau dia akan menjadi dokter spesialis beberapa tahun lagi, Dion.” Teman berbicara setelah Quinza pamit undur diri kembali ke acara supaya tidak menimbulkan keraguan hanyalah Dion. “Dan … kalian akan dijodohkan?” Aku mengangkat bahuku cuek, sadar bahwa bukan fitur video call yang aku gunakan kali ini, membuatku kembali bersuara untuk membalas, “Belum tahu. After all, itu hanya spekulasi, bukan fakta. Benar tidaknya, juga tidak ada yang tahu.” Setelah itu, aku mengernyitkan dahi. Tidak ada suara apapun lagi dari pria tersebut membuatku memastikan kalau jaringan yang digunakan masih berjalan lancar atau Dion tidak memutuskan teleponnya sepihak. Aku baru saja akan menyahut memanggil sebelum suara anak Adam itu terdengar dan menghentikan niatku. “
“Nona Muda, Nona Muda, apakah Anda di dalam?” “Nona Muda …,” Suara lenguhan terdengar ketika indera pendengarannya sayup-sayup mendengar suara yang berada di balik daun pintu. Dengan malas beranjak bangun dari kasur dan mencari lokasi sumber suara tersebut. Tangannya mengucek ujung matanya, gadis tersebut bersuara pelan, “Ya, seben-“ Gadis tersebut langsung tertegun mendengar suaranya, dengan cepat melihat tubuhnya sendiri dan semakin terkejut melihatnya. Piyama biru dongker berubah menjadi piyama pink pastel, celana pakaian tidur yang seharusnya diatas mata kakinya berubah menutupi separuh punggung kakinya sekarang. “Tertukar lagi?” tanyanya yang sadar dengan situasi yang terasa familiar. Dia hendak mencari letak ponsel. Namun, suara yang daritadi mengganggunya kembali terdengar. “Nona Muda Olivia, apakah Anda di dalam? Kita harus segera ke lokasi, Nona Muda.” Sempat kebingungan dengan dua prioritas utama paginya itu, Dion—den
[Dion POV] “Kita akan memantau lapangan proyek di sana sampai siang nanti. Dilanjuti makan siang. Lalu, Tuan Chyaton meminta saya untuk mengajak Anda bertemu dengan investor setelah itu.” ucapan Mr. Edward cukup membuatku kalang kabut dalm posisiku yang diam. Aku menggerakkan tubuhku sejenak, terasa risih dengan posisi dudukku selama lima menit yang lalu. Kuda besi ini juga tidak lama berjalan membelah jalanan, membuatku harus menahan siksaan sesabar mungkin. Sepasang manik Leyna kupinjam untuk membaca deretan huruf untuk membuatku tidak berlaku bodoh saat di lokasi nanti. Sedangkan, jiwa gadis itu bekerja sama denganku dengan mengirimkan pesan tentang seluruh kejadian yang terjadi kemarin seharian. Perlahan aku mulai paham dengan arahan yang akan dibicarakan hari ini setelah membaca satu proposal selama di perjalanan dan bisa menghembuskan napas lega ketika melihat sekitar bahwa masih di jalanan besar, sekaligus tidak ada t