Share

41. Dinner?

[Dion Addison POV]

Aku berjalan di koridor dengan tumpukan buku hasil kerja para siswaku di tangan, tidak lupa untuk menyapa balik anak-anak berseragam bebas itu menyapaku. Berjalan ke arah ruang guru untuk beristirahat lima belas menit disaat para pelajar memilih bermain di lapangan, membuka pintu ruang dan meletakkan tumpukan buku di area meja yang kosong.

“Eum, Dion?”

Aku hanya berdehem sebagai balasan. Lalu, menegak air minum yang menganggur selama satu jam lebih dengan mata yang melirik ke suara yang memanggilku tadi. Setelah memastikan aku tetap hidrasi, aku menjawab, “Ada apa, Miss. Jesslyn?”

“Astaga, tidak perlu sungkan begitu. Kita sudah menjadi rekan lebih dari tiga tahun, Dion,” ujarnya yang sebenarnya masuk akal.

Aku hanya berdehem sebagai jawaban rancu. Untuk beberapa hal, aku tidak bisa memanggilnya dengan nama seperti guru lain memanggilnya.

Bukan, bukan, bukan karena dia pendiam dan mengguarkan aura tegas untuk sekelilingnya. Harus kuakui, dia adalah tipikal guru yang ramah kepada seluruh anggota sekolah. Baik dari kepala sekolah sampai kepada pengurus kebersihan, bukan sekali dua kali aku mendapatinya menemani anak-anak yang bukan anak didiknya menunggu jemputan.

Dia adalah guru yang baik.

Jadi, dia bukan termasuk rekan yang sombong. Dia sering membantu sekitarnya, bisa dibilang dia mengenal nyaris seluruh penjuru sekolah.

Dan, aku tidak mau besar kepala.

Sikapnya kepadaku berbeda dengan sikapnya kepada orang lain.

Memang tidak terlihat jelas. Yang lain tidak akan merasakannya kalau tidak melihatnya dengan teliti.

“Bisakah kamu membantuku mengambil alat kerajinan di belakang?” tanyanya dengan lembut. Bahkan, tidak sungkan untuk duduk di sampingku yang seharusnya merupakan meja Fiona. Rekanku satu itu kemungkinan sedang menikmati sarapannya di taman sekolah sembari video call dengan keluarganya.

Statusnya yang telah terikat dengan seorang pria, membuatku rileks berada di sekitarnya.

Bisa dikatakan, aku lebih dekat dengan Fiona daripada wanita di sampingku ini.

“Sekarang?” tanyaku lagi.

Dia mengangguk, “Kalau tidak bisa, tidak apa-apa. Aku akan meminta bantuan orang lain.”

“Bisa. Di gudang belakang?” tanyaku lagi. Satu-satunya kelemahanku hanyalah tidak bisa menolak permintaan orang lain.

Kulihat dia mengembangkan senyum bahagia karena perkataanku. Aku langsung bangkit dan melangkah keluar dari ruangan, diikuti oleh guru wanita itu yang menutupnya, tentu saja perjalanan ke belakang yang harusnya hanya memakan waktu 3 menit dengan jalan kaki menjadi 6 menit karena Jesslyn harus berhenti untuk menyapa orang yang kami lewati.

Tidak ada yang bisa aku lakukan sambil menerbitkan sebuah senyum tipis sesekali.

Bau khas debu yang lengket di dalam gudang tercium dengan baik, begitu juga dengan banyaknya butiran yang mengotori permukaan atas seluruh benda yang disimpan di ruangan petak ini. Lemari terpasang apik bersandar pada dinding dan dua rak yang disusun di tengah.

“Aku menyimpannya di kotak, ada dua kotak. Aku melabelinya dengan namaku sendiri. Bisakah kamu membantuku mencarinya?”

“Aku akan cari di sebelah sini,” kataku yang menunjuk ke bilik kiri, bilik yang paling dekat denganku. Sedangkan, wanita itu mengambil bilik di seberangnya.

Sepasang mataku terbuka dengan lebar dan berusaha untuk tidak berkedip walaupun terdengar mustahil untuk tidak menutup sekejap mata, tanganku sesekali menyentuh beberapa kardus yang tersusun di rak-rak tersebut.

Aku memicing saat melihat sebuah kardus yang diletakkan agak maju, menarik perhatianku untuk mendonga ke atas sekaligus langsung membawa tangga yang memiliki dua anak tangga saja untuk merapikan kardus tersebut. Tetapi, ketika melihat labelnya, aku langsung berucap, “Ketemu!”

“Di mana?”

Aku menunjukkan kardus yang kupegang kepada Jesslyn yang berada di atas permukaan tanah, “Bisa kamu ambil ini sebentar? Sepertinya yang satunya juga di sini.”

“Ternyata dipindahkan ke sana. Seingatku, aku meletakkannya tidak tinggi karena, postur tubuhku,” balasnya setelah menerima kardus dariku, aku ikut mengambil kardus satunya yang juga bersebelahan. Pelan-pelan, aku turun dari tangga dan menyimpan alat tersebut di tempat yang aman.

“Ayo, kita kembali,” ucapnya, dia membuka pintu dan melangkahkan kakinya setelah memastikan aku ikut berjalan di sebelahnya. Gudang yang terletak cukup dekat dengan taman belakang sekolah membuatku tersenyum samar. Tebakanku benar tentang Fiona, tawanya terdengar sampai ke sini membuatku dan Jesslyn ikut terkekeh pelan.

“Dia tampak bahagia,” tuturnya yang melangkah menjauh dari gudang, begitu juga denganku.

“Dia selalu bahagia saat membicarakan keluarganya.”

“Apa Dion juga seperti itu?” tanyanya yang melihatku sejenak lalu kembali menghadap depan.

Aku berdengung, “Ya. Tapi, tidak selalu.”

Aku mengerut dahinya saat wanita yang bersamaku berhenti mendadak. Aku juga ikut berhenti tanpa alasan yang jelas, merapikan posisi kardus digenggamanku sedikit. Lalu, kembali bersuara, “Ada apa, Miss? Apa ada yang tertinggal di gudang? Aku akan mengambilnya.”

“Tidak ada. Hanya saja, ada yang harus aku katakan,” katanya yang berbalik menghadapku sepenuhnya.

Lima detik, aku tenggelam dalam pemikiran yang tidak jelas. Karena, tidak paham dengan maksud dari wanita ini. Namun, sedetiknya lagi, aku paham.

Sekaligus, tidak tahu harus bersikap bagaimana. Karena, jujur ini adalah pengalaman yang baru nan asing untukku.

“Apakah kamu memiliki waktu luang pekan nanti? Aku ingin mentraktirmu makan malam sebagai balas budi.”

_The Stranger’s Lust_

To Be Continue

Sky

Selamat malam. Sky is back, all Sorry for disappear like that. I will do my best for now on Love you

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status