Leyna POV
“Calon dokter?”
Nada pertanyaan dari seberang penelepon membuatku semakin bernafsu untuk membenarkan kalimat keraguannya tersebut, “Quinza mengatakan kalau dia akan menjadi dokter spesialis beberapa tahun lagi, Dion.”
Teman berbicara setelah Quinza pamit undur diri kembali ke acara supaya tidak menimbulkan keraguan hanyalah Dion.
“Dan … kalian akan dijodohkan?”
Aku mengangkat bahuku cuek, sadar bahwa bukan fitur video call yang aku gunakan kali ini, membuatku kembali bersuara untuk membalas, “Belum tahu. After all, itu hanya spekulasi, bukan fakta. Benar tidaknya, juga tidak ada yang tahu.”
Setelah itu, aku mengernyitkan dahi. Tidak ada suara apapun lagi dari pria tersebut membuatku memastikan kalau jaringan yang digunakan masih berjalan lancar atau Dion tidak memutuskan teleponnya sepihak. Aku baru saja akan menyahut memanggil sebelum suara anak Adam itu terdengar dan menghentikan niatku.
“
“Nona Muda, Nona Muda, apakah Anda di dalam?” “Nona Muda …,” Suara lenguhan terdengar ketika indera pendengarannya sayup-sayup mendengar suara yang berada di balik daun pintu. Dengan malas beranjak bangun dari kasur dan mencari lokasi sumber suara tersebut. Tangannya mengucek ujung matanya, gadis tersebut bersuara pelan, “Ya, seben-“ Gadis tersebut langsung tertegun mendengar suaranya, dengan cepat melihat tubuhnya sendiri dan semakin terkejut melihatnya. Piyama biru dongker berubah menjadi piyama pink pastel, celana pakaian tidur yang seharusnya diatas mata kakinya berubah menutupi separuh punggung kakinya sekarang. “Tertukar lagi?” tanyanya yang sadar dengan situasi yang terasa familiar. Dia hendak mencari letak ponsel. Namun, suara yang daritadi mengganggunya kembali terdengar. “Nona Muda Olivia, apakah Anda di dalam? Kita harus segera ke lokasi, Nona Muda.” Sempat kebingungan dengan dua prioritas utama paginya itu, Dion—den
[Dion POV] “Kita akan memantau lapangan proyek di sana sampai siang nanti. Dilanjuti makan siang. Lalu, Tuan Chyaton meminta saya untuk mengajak Anda bertemu dengan investor setelah itu.” ucapan Mr. Edward cukup membuatku kalang kabut dalm posisiku yang diam. Aku menggerakkan tubuhku sejenak, terasa risih dengan posisi dudukku selama lima menit yang lalu. Kuda besi ini juga tidak lama berjalan membelah jalanan, membuatku harus menahan siksaan sesabar mungkin. Sepasang manik Leyna kupinjam untuk membaca deretan huruf untuk membuatku tidak berlaku bodoh saat di lokasi nanti. Sedangkan, jiwa gadis itu bekerja sama denganku dengan mengirimkan pesan tentang seluruh kejadian yang terjadi kemarin seharian. Perlahan aku mulai paham dengan arahan yang akan dibicarakan hari ini setelah membaca satu proposal selama di perjalanan dan bisa menghembuskan napas lega ketika melihat sekitar bahwa masih di jalanan besar, sekaligus tidak ada t
Berbeda dengan Leyna yang sudah siap dengan celemek di tubuhnya, tangannya sibuk memotong bawang putih secepat mungkin sembari melihat angka jam dinding. Dia harus segera mendapatkan sarapan dalam tiga puluh menit lagi. Granny baru saja bangun dan akan mandi. Lima belas menit kemudian, dia berhasil menyajikan sebuah oatmeal yang menjadi keseharian wanita tua itu. Dia kembali untuk mendapati sarapannya juga dan terhenti ketika melihat sesuatu yang tertempel di pintu kulkas. Choco pudding dessert Leyna tersenyum saat melihat sticky notes tertempel di pintu kulkas dibubuhi tulisan tangan laki-laki tersebut. Sepertinya, Dion berniat untuk membuat santapan penutup hari ini. Jiwa wanita itu membuka kulkas dan menemukan seluruh bahan-bahan yang diperlukan lengkap di dalam sana. Benar-benar ingin membuatnya. Maniknya kembali melihat ke arah jarum jam dan mendengus pelan. Dia tidak bisa menelepon Dion sekarang. Dia pastikan raganya di
Manik kecoklatan gelap itu melirik ke samping, wanita tua itu masih setia menyamankan dirinya di atas kursi rotan dengan mata yang menonton acara berita malam itu, semangkuk potongan apel dalam ukuran kecil di pangkuannya sebagai santapan penutup. Sama sepertinya yang memilih mendapati choco pudding malam ini. Setelah itu, dia kembali menyaksikan acara berita. Namun, tidak selang lima detik, Leyna kembali melirik ke samping. Rautnya yang terlihat kebingungan dan bibirnya yang mengatup terbuka tutup—ingin bersuara—berakhir memakan dessert kenyal itu. “Katakan, apa yang ingin kau ketahui?” tanya Granny Greisy yang menekan tombol remote TV. “Nggak ada, Granny,” katanya lagi. Namun, ketika melihat sang wanita tua itu terus mendiaminya. Dia kembali bersuara, “Sejak kapan Granny tahu?” Granny Greisy tersenyum tipis, “Sudah lama. Dua minggu yang lalu? Tepatnya setelah pulang dari pengadilan.” Leyn
[Dion POV] Daddy [Ada pertemuan penting akhir pekan ini. Daddy harap, kamu tidak membuat jadwal apapun untuk malam itu] Aku langsung mengetik senetral mungkin supaya tidak memberikan kesan negatif untuk Tuan Chayton. Leyna [Okay, Daddy] [Aku akan meluangkan waktu malam itu] Setelah memastikan pesan yang kuketik terkirim dengan sempurna, aku kembali melihat pemandangan Sundgridge yang sudah gelap dan jarang melihat penduduk setempat berkeliaran di bawah tiang lampu sudut jalanan yang menyala teram. "Apakah Anda ingin mampir untuk makan malam, Miss?" tanya Mr. Edward yang memecah keheningan setelah menyetir pulang ke apartemen. Minggu ini dihabiskan dengan keliling satu proyek dan aku baru sempat menghirup udara Sundgridge sore tadi saat berjalan kaki ke supermarket terdekat proyek. "Apa ada tempat jual ko
"Aku keluar untuk jogging dulu, Granny." Sedetik berikutnya terdengar suara pintu rumah yang berderit pelan dibuka dan ditutup kembali setelah Leyna keluar dari bangunan bertingkat dua sederhana itu dengan setelan training. Setelah menggerakan tubuhnya ringan--pemanasan--sebelum sungguh-sungguh olahraga pagi, jiwa wanita terperangkap di dalam tubuh pria itupun melakukan rutinitas paginya. Matahari Burk's Falls belum terlihat sedikitpun dan hanya disinari oleh lampu jalan, mungkin Leyna adalah segelintir orang yang susah payah membangunkan diri untuk melakukan aktivitas sesubuh ini. Sebuah benda berguling di ujung sepatunya menarik perhatian. Leyna mengambil benda tersebut, menyingkirkan debu yang ada, dan merengut bingung. Sebuah botol minum bergelindir di tangannya sekarang. "Hey, kamu yang memegang botol itu." Dia berdiri di dekat lampu jalan, beruntung dia masih bisa melihat siluet sang pemanggilnya. Melalui mata fisiknya Dion, dia
[Dion Addison POV] “Thank you,” kataku setelah mobil hitam ini terparkir apik di dalam wilayah gedung pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal Leyna selama ini. Supir yang ditugaskan untuk menjemputku dari stasiun membungkuk singkat sedangkan petugas yang lain mengambil barang-barangku di bagasi. Aku sudah ingin membantu membawanya. Dipkir-pikir, itu adalah barang-barangku semua, tidak enak hati untuk meminta orang lain membawanya yang terkesan berat. Namun, perkataan Leyna menjadi tuntunan langkahku beberapa saat ini. Menjadi salah satu keluarga pemimpin sama saja berarti kebutuhanku dipenuhi dengan baik, keamanan dan kemudahan semuanya tersedia dan dijamin. Tidak ingin terlalu lama berada di luar gedung, ujung rok yang menutupi sampai mata kaki terbang karena angin malam, tas kecil yang menumpuk di atas cardigan hitam yang dikancing rapat menutupi t-shirt body fit hitam. Langkah kaki ya
Dion masih setia mengerutkan dahinya sejenak, apalagi saat pria yang seperti berada di usia yang sama sepertinya yang asli menunjuk ke arahnya. Apakah dia dan pria ini pernah bertemu? Tatapannya dipalingkan meminta penjelasan dari Leyna menggunakan kode mata. Nyatanya, hanya sia-sia. Jiwa gadis yang terperangkap di tubuh laki-laki itu juga tidak tahu apapun tentang pria asing di depannya ini. “Anda, putri kedua dari Tuan Chayton?” tanya pria asing itu dengan ragu-ragu. Wajah sekitar pelipis pria itu dibanjiri keringat yang ditutupi oleh topi hitam yang dipakainya, menandakan kalau dia telah melakukannya lebih lama dan lebih pagi daripada mereka. Dion dengan ragu mengangguk mau tidak mau. “Sabtu lalu seharusnya kita saling bertemu saat acara pertemuan,” kata pria asing tersebut dengan tepat. Baik Dion maupun Leyna sontak membuka mulutnya tanpa suara. Terkuak sudah, ini dia pria yang menurut Quinza akan diperkenalkan dengannya untuk menjalani pe
“Jadi, hari ini adalah harinya?” Dion memangku tangannya yang sedang menggenggam sebuah bungkusan protein bars, mengunyah sambil melihat layar ponsel yang ditegakkan bersandar pada botol minumannya di meja. “Iya. Makan malam dengan kolega Tuan Chayton,” katanya yang telah menelan makanannya tersebut. Makan siang dengan dua protein bars di ruang istirahat di gedung balet yang secara kebetulan sedang sepi, membuatnya berpikir untuk menghubungi kekasihnya itu sekarang. Well, kekasih … Dion rasa dia harus bisa beradaptasi dengan julukan tersebut sekarang. “Kalau memang cowo itu yang bakalan datang, bagaimana menurutmu?” tanya Leyna yang berada di ujung telepon sedang mengecek tumpukan buku anak-anak dengan sebelah telinga kirinya tersumpal dengan Bluetooth earphone. “Aku tidak bisa menerimanya, bukan?” tanya Dion balik yang disetujui oleh jiwa perempuan yang berada di tubuhnya yang asli itu. Terkadang Dion berpikir berapa lama lagikah dia akan bersemayam di tubuh seorang wanita yang
Setelah malam itu mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing, tidak ada lagi yang bertambah. Baik Dion maupun Leyna, keduanya sama-sama disibukkan dengan kegiatan sehari-hari dan Jumat sudah datang menjemput mereka. Dion sudah siap dengan balutan dress di bawah lutut dan duduk ke kursi meja makan yang sudah ditempati oleh tiga anggota lainnya. “Night, Dad, Mom, Quinza,” sapanya dengan binar riang di matanya. “Night, Leyna.” Sang Ibunda membalas sapaannya. Dia mengambil tempat di samping sang adik perempuan yang bermain dengan ponselnya daritadi. Sedangkan, laki-laki satu-satunya di keluarga inti tersebut sedang membaca berita dari ponselnya. “So, can we start?” tanya Aubrey yang melirik kedua anggota yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dion memilih untuk tersenyum tipis ketika mengetahui kepada siapa yang dituju. Chayton dan putri bungsunya meletakkan alat komunikasi mereka di samping dan menjawab dengan kompak, “Sure.” Wanita tersebut mengangguk dan mulai meminta
[Dion POV] Aku yang baru saja bisa pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian merilekskan persendian yang rasanya kaku banget setelah duduk di meja makan mendiskusikan beberapa topik hangat dengan Tuan Chayton. Sedangkan, Quinza berada di kamarnya sendiri mengerjakan tugas sekolahnya di jam sebelas malam ini. Setelah berbelanja barang kebutuhan tadi, aku dan dia langsung menyimpan barang tersebut di dapur dan beberapa disisihkan untuk di simpan di tas yang khusus menampung pakaian ganti dan outfit latihan aku. Dan, ketika melihat namaku sendiri tertera di layar ponsel Leyna itu aku langsung mengangkatnya. “Hello?” Sejujurnya ntah kenapa malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah kami lewati dengan berbicara melalui telepon. Leyna menjawabnya, pembicaraan mulai terasa aneh ketika lawan bicaraku itu menanyakan situasi di sini. Namun, tidak berapa lama, aku mengetahui jawabannya. Jawaban mengapa aku merasa canggung dan aneh dalam pembicaraan kami k
[Leyna POV] Aku melangkah keluar dari gedung sekolah dan menaiki sepeda yang menemani semua kegiatanku semenjak menjadi sosok yang dipanggil Dion Addison. Langit yang hari ini terlihat mendadak begitu cerah tidak digubris olehku sama sekali. Karena rasanya dari dalam hatiku terbakar sejak siang tadi. Sialnya sampai sekarang masih belum padam. Efek yang luar biasa dahsyat setelah guru perempuan itu seenak jidat menawarkan ini dan itu kepadaku. Maksudnya kepada Dion, tentu saja. “Memangnya dia tahu kalau Dion itu suka sekali dengan oatmeal dan smoothies yang beragam variasi cara untuk menikmatinya,” celetukku sambil mengayuh sepeda. Beruntung aku bukan seorang puteri keturunan kepala pemerintah sekarang ini. Ada untungnya juga menjadi seorang warga biasa yang memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja. Tentu saja kebanyakan warga di sini menikmati kehidupannya dengan biasa-biasa saja, bangun pagi, menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, pergi bekerja, pulang dan menikmati makan malam
Dion meletakkan semua belanjaannya kepada kasir dengan tenang. Tidak, lebih tepatnya pura-pura untuk bersikap tenang dan biasa saja. Dia tahu Quinza daritadi melihatnya dengan tatapan yang menyiratkan untuk berbicara empat mata dengannya. Namun, dia bersikap tidak tahu-menahu. "Leyna," panggil Quinza yang berada di belakangnya berbisik mendekat sampai ke telinganya. Beruntung sekali dia sudah terbiasa dengan adik perempuan Leyna selama ini sehingga dia tidak lagi merasa terkejut. Sebuah dehaman menjadi jawabannya dan dia melihat ke arah monitor kasir yang sedang bergerak menghitung total pembeliannya. "Kamu serius sekarang? Si cowo yang kujelasin itu ada di belakang tahu," kata Quinza lagi, dia berbicara dengan bisikan meskipun terdengar seperti nada tinggi. "Dia orangnya? Charles, benarkan?" beo Dion yang melirik ke sosok di belakang anak bungsu keluarga kepala pemerintah ini. Lalu, kembali bertingkah seperti biasa. Yang lebih muda itu refleks menepuk pundak sang Kakak gemas. "
Pada satu waktu yang sama, Leyna juga sedang mengurusi nilai murid-muridnya di ruang guru. Dia tidak sendirian di ruangan tersebut, masih ada dua atau tiga guru yang juga duduk di sana melakukan tugas mereka masing-masing. Mengingat jam belajar-mengajar telah berakhir tiga jam yang lalu, Leyna dan guru-guru lainnya bisa beristirahat sejenak. "Sir. Dion," panggil seorang guru perempuan yang sering mengikutinya di setiap kesempatan yang ada. Maksudnya, mengikuti raga Dion, bukan jiwanya. Terkadang Leyna melamun dan berpikir bagaimana reaksi sekitar mereka kalau mengetahui bahwa orang yang di depan mereka bukanlah yang mereka kenali. "Ada apa, Miss?" tanya Leyna sesopan mungkin. Setelah mengetahui konsep dari kutukan aneh ini, Leyna berpikir untuk membatasi diri dengan dunia. Dia tidak bermaksud untuk besar kepala. Namun, siapa yang tidak akan jatuh hati ketika melihat raga seorang laki-laki yang tinggi jangkung, berpakaian rapi, dan bersikap lembut? Leyna mungkin adalah salah satun
Dion melewati jalan setelah selesai dengan pertemuan penting di rumah Granny Greisy. Beberapa kali dia berhenti hanya untuk berbincang dengan beberapa tetangga yang dikenalnya ataupun berjongkok menyamai tinggi anak kecil yang mengenal Leyna bukan Dion yang bermain di luar rumah sembari menunggu jam mandi. “Selamat pagi, Nona Muda Olivia,” kata salah satu pengawal gedung yang langsung dibalas olehnya dengan tak kalah hangat. Dia memasuki interior gedung dengan penampilan sporty, pegawai yang berlalu lalang menyapanya formal dan dibalasnya juga dengan baik. “Nona Muda Olivia, Tuan Besar memanggil Anda untuk ke taman belakang sekarang,” kata kepala asisten rumah yang memanggilnya dari belakang. Dion langsung berbalik badan. “Baik, saya akan ke sana. Terima kasih untuk infonya.” Jiwa laki-laki itupun memutar badannya untuk sampai taman belakang gedung. Niatannya tadi itu, dia akan membersihkan dirinya dulu setelah berkeringat banyak karena dia sempat jogging dengan durasi yang lebih
“Jatuh cintalah. Maka kutukannya akan musnah.” Dion dan Leyna sontak terbelalak terkejut. “Maksudnya, Granny?” tanya Dion yang duluan sadar. “Granny pernah bilang kalau Virga Phantasia ini sama dengan cupid, kan?” tanya Granny Greisy lagi yang sontak diangguki oleh Leyna yang masih ingat dengan jelas pembicaraan mereka tempo lalu itu. "Maka dari itu, jatuh cintalah," sambung Granny Greisy lagi dengan tenang. Air matanya sudah berhenti mengalir. "satu-satunya jalan adalah jatuh cinta." "Jatuh cinta yang bagaimana, Granny?" Manik wanita tua itu memburam perlahan bersamaan dengan penuh dengan harapan saat menelisik kembali ke masa lalu. "Granny pernah menemui seseorang yang juga sebagai manusia terpilih untuk keajaiban satu ini. Dia seumuran dengan Granny, hidup di kota besar seperti Ottawa dan Toronto sekarang. Dia sudah menikah dan masih hamil tiga bulan," ucap wan
“Leyna? Kau sudah bangun?” Dion yang sedang mengikat tali sepatunya langsung mendongak mendengar suara serak terdengar tidak jauh darinya. Suara khas akan bangun tidur yang menyita perhatiannya sejenak. “Oh, kau sudah bangun? Aku hendak jogging sebentar,” jawabnya seadanya sebelum kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. “Belum. Aku hanya ingin ke toilet, masih ada dua jam sebelum mandi. Aku tidak akan membuang kesempatan itu,” jawab Quinza—sosok yang bangun di jam subuh—melangkah menjauh kearah dapur. Jelas sekali, anak sekolah itu akan mencari kamar kecil. Memang keseharian kedua gadis kesayangan Chayton itu sangat berbeda. Dari segi umur juga telah mengatakan segala. Quinza meskipun dia aktif untuk menari, dia terlalu malas untuk bangun pagi demi merenggangkan otot-ototnya yang kaku setelah bangun dan lebih rela berendam di bathup setelah seharian beraktivitas. Leyna—atau Dion sekarang—terbiasa untuk bangun pagi sejak zaman sekolah, membuatn