[Leyna POV]
Aku mengambil pesananku saat namaku dipanggil dari bagian ‘take order’ oleh seorang pegawai di café tersebut. Sebuah iced caramel machiatto untuk menemani jam bebas selepas jam kegiatan ballet. Duduk di sebuah meja untuk dua orang yang berdampingan dengan sebuah kaca yang menampilkan pemandangan kota sore hari.
Me
[Aku di café. Kau mau kupesankan sesuatu?]
Quinza
[Kau di dekat studiomu? Kalau begitu red velvet cheese cake, please]
Aku mengirimkan pesan kepada adikku satu-satunya untuk membunuh waktu yang berjalan. Aku langsung kembali ke arah kasir dan memesan pesanan Quinza serta brownies rasa mocca untukku. Entahlah aku tidak ingin pulang sekarang juga.
Selepas dari butik, aku langsung ke studio dan kembali melatih kemampuan tarianku sekaligus melenturkan kakiku. Aku sudah meminta kepada supir keluarga untuk menjemputku setelah dia menjemput Quinza. Kurasa, sang supir akan sedikit kewalahan sampai aku kembali ke rumah.
Aku merasakan getaran tak aneh di tanganku dan langsung menggeser tombol hijau di atas layar saat menyadari kalau ada yang meneleponku.
“Are you free right now?” tanyanya setelah aku mendekatkan ponsel ke indera pendengaranku. Perlu kuakui, aku merasakan sebuah ketenangan setelah mendengar suara tersebut untuk hari ini. Sudah dua hari, aku tidak berkomunikasi dengannya.
“Yes, Dion. Aku sedang di café dan menunggu Quinza datang. Anak itu sedang menginginkan kue favoritnya,” jawabku sambil mengulas senyum tipis. Tapi, aku bisa pastikan kalau siapapun bisa mengetahui kalau ini adalah senyum bahagia.
Tidak pernah lagi aku tersenyum karena seorang laki-laki seperti Dion, setelah kejadian tersebut. Kalau dipikir-pikir, sudah lama sekali kejadian tersebut. Namun, aku masih bisa merekamnya dengan baik.
“Aku kira kau berada di gedung. Aku berniat bertemu denganmu di taman tadinya,” balasnya yang membuatku satu sisi merasa senang karena dia ingin bertemu denganku. Namun, satu sisi aku tidak enak hati karena tidak bisa mengabulkan perkataannya.
“Ada apa? Tidak biasanya kau menelepon,” kataku yang menyadari satu hal aneh pastilah terjadi. “kau tidak akan menelepon kalau bukan di akhir pekan dan itu selalu tengah malam. Ini masih sore, apa kau mengalami yang tidak mengenakkan hari ini?” sambungku yang diam-diam merasa cemas.
Ya, itulah Dion Addison yang kuketahui selama ini.
Mendapat teleponnya di waktu sore seperti ini, tentulah membuatku kebingungan. Aku berharap dia hanya sedang kebosanan dan tidak mengalami sesuatu yang seperti kubayangkan.
“Leyna,” katanya setelah kami berdua terdiam cukup lama. Aku mengarahkan kepalaku keluar jendela dan mendapati mobil hitam yang kukenali berhenti di depan café. Aku hanya memberikan sebuah deheman sebagai jawaban.
Sebuah lonceng café terdengar saat pintu dibuka menampilkan Quinza dengan pakaian sekolah dari pagi tanpa tas sekolah. Semuanya terasa cepat ketika bersamaan dengan itu, Dion berucap lebih dari yang kuduga.
“Apa kau pernah mendapatkan pernyataan cinta orang lain?”
Aku membisu, kulihat Quinza melambaikan tangannya dengan semangat. Lalu, melangkah dengan langkah ringan ke arahku saat melihat pesanannya tersaji di atas meja bersamaan denganku yang belum tersentuh sama sekali.
“Leyna, hey, apa kau masih ada di sana?” tanyanya yang menjeda setiap kalimatnya.
“Aku akan membalasmu nanti. Aku sedang sibuk. Bye,” kataku dengan cepat memutuskan panggilan tersebut dan meletakkan ponsel di atas papan datar begitu saja. Tidak perlu pedulikan itu. Karena, yang lebih penting dari itu sekarang, aku harus menetralkan degup jantungku yang berdebar kencang tanpa kupinta sekarang.
Aku tidak peduli dengan Quinza yang telah duduk di depanku. Tanpa sadar, aku menepuk dadaku.
Di sana … berdenyut sakit dan kencang.
Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan atau membalas dengan kalimat seperti apa. Pikiranku penuh dan bagaikan benang kusut dalam sedetik. Ajaibnya, hanya karena seorang cowo yang baru kukenal tidak lebih dari setahun.
“Hey, kau baik-baik saja, Leyna?” tanya adikku, kulihat gurat wajahnya mengernyit pelan bercampur cemas saat melihatku seperti ini.
Aku mengangguk lemah, menyesap minumanku, “Aku baik-baik saja.”
“Tapi, kau tidak terlihat seperti itu. Kau yakin?” tanyanya lagi. Aku mengangguk disertai sebuah senyum teduh.
Ya, aku baik-baik saja. Ini hanya bersifat sementara. Setelah ini, maka semuanya akan kembali seperti semula.
_The Stranger’s Lust_
Aku menatap kebingungan kepada kedua orangtuaku yang tengah duduk di seberang dan hanya saling berkomunikasi melalui tatapan mata. Sudah sepuluh menit berlalu sejak makan malam bersama, aku belum memberikan balasan untuk Dion. Karena, Daddy langsung memintaku ke kamarnya dan Mommy untuk mendiskusikan sesuatu.
“Dad, Mom, what’s happen?” tanyaku yang memberanikan diri untuk membuka suara duluan. Tidak mungkin juga, membiarkan mereka seperti ini terus-menerus setelah banyak menit yang terbuang sia-sia.
“Apakah akhir pekan nanti kamu ada acara dengan temanmu, Leyna?” tanya Mommy yang membuka suara pada akhirnya setelah menghembuskan napas pelan.
Aku tidak bisa mendefinisikan arti hembusan napas tersebut untuk sekarang.
“Tidak ada seingatku. Alex memilih menghabiskan akhir pekan dengan keluarga kecilnya dan temanku yang lain lebih suka berkencan dengan tunangannya nanti daripada denganku,” kataku seadanya sesuai dengan fakta.
Aku tidak menyalahkan kedua temanku. Hidup memang berjalan seperti ini.
Rasanya memang aku berjalan di tempat sedangkan yang satunya telah menikah dan memiliki seorang bayi menjadi pelengkap dalam hidupnya, yang satunya tengah merancang pernikahannya dengan sosok yang dicintainya sampai akhir hayat.
Aku sendirian, tidak siap untuk berkomitmen seperti mereka berdua. Tidak juga pernah kepikiran untuk mencari pasangan hidup di usiaku yang dalam sekejap mata akan menyentuh angka tiga di depan.
“Kamu mau ikut dengan Daddy dan Mommy?” tanya Daddy membuyarkan lamunanku.
Mereka juga pasti mengetahui hal ini. Karena, lingkup pertemananku tidak luas dan cenderung menyempit setiap tahunnya.
“Kemana?”
“Daddy akan membahas proyek dengan salah satu kolega Daddy sambil makan malam. Apa kamu mau ikut?”
Aku kembali bertanya, “Hanya kita bertiga?”
“Leyna juga akan ikut kalau dia tidak ada acara dengan temannya,” jawab Mommy yang membuatku berpikir panjang.
Ya, mungkin memang akan ada baiknya aku mengikuti pertemuan makan malam itu. Hitung-hitung, menambah pengetahuan umum untuk masa depan.
“Ya, Dad. Aku akan ikut.”
Kuharap bukan keputusan yang salah.
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
Leyna melangkah keluar dari kamar orang tuanya yang tidak berada jauh dari kamarnya sendiri. Setelah membahas hal yang penting dan sedikit basa-basi dengan mereka berdua, sembari menyantap hidangan pendingin berupa es krim tiga rasa, perasaannya menjadi mendung. Sudah mendung semenjak sore di café dan semakin mendung setelah bertemu dengan kepala Burk’s Falls. Bicara tentang café, mengingatkannya dengan panggilan yang terputus dengan tidak baik. Dengan bergegas, dia langsung masuk ke dalam kamarnya sendiri, menggapai ponselnya yang terletak di atas ranjang. Tadi, tidak disengaja dilempar saat Quinza memintanya untuk makan malam. Dia melihat ke atas layar ponsel, sudah jam sembilan lewat lima belas menit. Cukup lama dia berbincang dengan orangtuanya, sedikit besar dia senang karena, sudah lama sekali mereka tidak berbicara selama ini karena waktu mereka yang tidak cukup untuk berbicara lebih dalam dari sekedar bertanya kabar.
07.00 a.m Sundridge, Canada Leyna meletakkan kopernya di lantai flat yang akan ditinggalinya selama tiga hari. Tidak terlalu sempit untuk seorang diri dan wanita muda itu bersyukur karena telah terisi fasilitas di dalamnya. Walaupun, hanya sebuah sofa minimalis dengan satu set televisi lengkap menyapa dari ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang keluarga. Tungkai kakinya kembali berjalan masuk ke dalam satu tingkat itu dan melihat satu pintu di sebelah televisi dan satu pintu lagi di sebelahnya. Tepat diseberang pintu itu ada dapur yang duluan menyita perhatiannya. Dengan penuh ekspetasi, dia membuka kabinet atas dan tersenyum sumringah. Hanya terdapat bungkusan mi instant serta beberapa botol bumbu masakan. Alat masak yang tidak banyak dan hanya pentingnya saja terdapat di sebelah mi instant. Kulkas yang berdiri tegak dua pintu menunjukkan keberadaannya di samping wastafel. Sesuai dugaan
Malam hari Burk’s Falls, Canada Quinza duduk gelisah di tempatnya, makan malam berupa pizza dihadapannya tidak menggugah selera. Mungkin hanya dirinya yang memberikan ekspresi tidak minat dikiri kanan orang tuanya. Dia tidak seperti Leyna yang penurut, dia telah memberontak untuk duduk di kursi paling ujung. Nyatanya, Chayton tidak menyetujui dan memaksanya. “Mereka sudah datang, tunjukkan senyumanmu, sayang,” timpal Aubrey yang berbisik pelan kepada putri bungsunya. Gadis tersebut mendengus kecut karena ucapan Ibunya. Namun, tidak berniat membantah dan berusaha tersenyum sapa normal. Perasaannya semakin tidak membaik saat melihat dua orang sekitaran usia orang tuanya dan seorang laki-laki berkemeja hitam polos dengan dasi putih mengilat duduk di depannya dengan senyuman lebar. Saat ini, Quinza mengakui kalau dia sungguh ingin kabur ke toilet dengan beragam alasan sampai acara membosankan i
Leyna POV “Calon dokter?” Nada pertanyaan dari seberang penelepon membuatku semakin bernafsu untuk membenarkan kalimat keraguannya tersebut, “Quinza mengatakan kalau dia akan menjadi dokter spesialis beberapa tahun lagi, Dion.” Teman berbicara setelah Quinza pamit undur diri kembali ke acara supaya tidak menimbulkan keraguan hanyalah Dion. “Dan … kalian akan dijodohkan?” Aku mengangkat bahuku cuek, sadar bahwa bukan fitur video call yang aku gunakan kali ini, membuatku kembali bersuara untuk membalas, “Belum tahu. After all, itu hanya spekulasi, bukan fakta. Benar tidaknya, juga tidak ada yang tahu.” Setelah itu, aku mengernyitkan dahi. Tidak ada suara apapun lagi dari pria tersebut membuatku memastikan kalau jaringan yang digunakan masih berjalan lancar atau Dion tidak memutuskan teleponnya sepihak. Aku baru saja akan menyahut memanggil sebelum suara anak Adam itu terdengar dan menghentikan niatku. “
“Nona Muda, Nona Muda, apakah Anda di dalam?” “Nona Muda …,” Suara lenguhan terdengar ketika indera pendengarannya sayup-sayup mendengar suara yang berada di balik daun pintu. Dengan malas beranjak bangun dari kasur dan mencari lokasi sumber suara tersebut. Tangannya mengucek ujung matanya, gadis tersebut bersuara pelan, “Ya, seben-“ Gadis tersebut langsung tertegun mendengar suaranya, dengan cepat melihat tubuhnya sendiri dan semakin terkejut melihatnya. Piyama biru dongker berubah menjadi piyama pink pastel, celana pakaian tidur yang seharusnya diatas mata kakinya berubah menutupi separuh punggung kakinya sekarang. “Tertukar lagi?” tanyanya yang sadar dengan situasi yang terasa familiar. Dia hendak mencari letak ponsel. Namun, suara yang daritadi mengganggunya kembali terdengar. “Nona Muda Olivia, apakah Anda di dalam? Kita harus segera ke lokasi, Nona Muda.” Sempat kebingungan dengan dua prioritas utama paginya itu, Dion—den
[Dion POV] “Kita akan memantau lapangan proyek di sana sampai siang nanti. Dilanjuti makan siang. Lalu, Tuan Chyaton meminta saya untuk mengajak Anda bertemu dengan investor setelah itu.” ucapan Mr. Edward cukup membuatku kalang kabut dalm posisiku yang diam. Aku menggerakkan tubuhku sejenak, terasa risih dengan posisi dudukku selama lima menit yang lalu. Kuda besi ini juga tidak lama berjalan membelah jalanan, membuatku harus menahan siksaan sesabar mungkin. Sepasang manik Leyna kupinjam untuk membaca deretan huruf untuk membuatku tidak berlaku bodoh saat di lokasi nanti. Sedangkan, jiwa gadis itu bekerja sama denganku dengan mengirimkan pesan tentang seluruh kejadian yang terjadi kemarin seharian. Perlahan aku mulai paham dengan arahan yang akan dibicarakan hari ini setelah membaca satu proposal selama di perjalanan dan bisa menghembuskan napas lega ketika melihat sekitar bahwa masih di jalanan besar, sekaligus tidak ada t
Berbeda dengan Leyna yang sudah siap dengan celemek di tubuhnya, tangannya sibuk memotong bawang putih secepat mungkin sembari melihat angka jam dinding. Dia harus segera mendapatkan sarapan dalam tiga puluh menit lagi. Granny baru saja bangun dan akan mandi. Lima belas menit kemudian, dia berhasil menyajikan sebuah oatmeal yang menjadi keseharian wanita tua itu. Dia kembali untuk mendapati sarapannya juga dan terhenti ketika melihat sesuatu yang tertempel di pintu kulkas. Choco pudding dessert Leyna tersenyum saat melihat sticky notes tertempel di pintu kulkas dibubuhi tulisan tangan laki-laki tersebut. Sepertinya, Dion berniat untuk membuat santapan penutup hari ini. Jiwa wanita itu membuka kulkas dan menemukan seluruh bahan-bahan yang diperlukan lengkap di dalam sana. Benar-benar ingin membuatnya. Maniknya kembali melihat ke arah jarum jam dan mendengus pelan. Dia tidak bisa menelepon Dion sekarang. Dia pastikan raganya di
Manik kecoklatan gelap itu melirik ke samping, wanita tua itu masih setia menyamankan dirinya di atas kursi rotan dengan mata yang menonton acara berita malam itu, semangkuk potongan apel dalam ukuran kecil di pangkuannya sebagai santapan penutup. Sama sepertinya yang memilih mendapati choco pudding malam ini. Setelah itu, dia kembali menyaksikan acara berita. Namun, tidak selang lima detik, Leyna kembali melirik ke samping. Rautnya yang terlihat kebingungan dan bibirnya yang mengatup terbuka tutup—ingin bersuara—berakhir memakan dessert kenyal itu. “Katakan, apa yang ingin kau ketahui?” tanya Granny Greisy yang menekan tombol remote TV. “Nggak ada, Granny,” katanya lagi. Namun, ketika melihat sang wanita tua itu terus mendiaminya. Dia kembali bersuara, “Sejak kapan Granny tahu?” Granny Greisy tersenyum tipis, “Sudah lama. Dua minggu yang lalu? Tepatnya setelah pulang dari pengadilan.” Leyn