Share

42. Decline

Dion merasa bahwa ada yang memaku kakinya di atas pijakan tanah beraspal supaya tidak membiarkannya kabur di saat situasi seperti ini. Ya, begitu sulit untuk bergerak walaupun hanya seinchi. Di depannya, wanita tersebut yang berhasil mengacau-balaukan system motoriknya tengah menahan senyumnya yang mengembang tak berdosa.

Memangnya apa yang salah dengan ajakan makan diantara anak Adam dan Hawa?

Menurut Dion, itu adalah kesalahan. Ketika mata yang memancarkan sorot penuh harap itu memiliki setetes rasa aneh yang tidak pernah ia jumpai sebelumnya. Sorot keharapan itu berbeda ketika Leyna memintanya untuk melakukannya sesuatu.

“Bagaimana, Dion?” tanya wanita tersebut lagi membuyarkan lamunannya dalam sekejap.

“Aku …,” ucapnya semakin memelan, matanya melirik melihat Jesslyn yang masih setia menatapnya dengan binar yang sama. Itu membuatnya meringis dalam hati.

Maaf.

“Aku tidak bisa makan denganmu, Miss. Aku ada urusan di rumah,” jawab Dion final. Bak terkepung karena mencuri sesuatu, Dion sedikit menunduk setelah melihat binar itu berganti menjadi sebuah kekecewaan.

Ya, Dion Addison berbohong demi keegoisannya sendiri.

Jelas dia tidak ada urusan apapun di rumah yang mendesaknya. Selain, membawa Nenek tersayangnya berjalan dan mengisi persediaan makanan di rumah yang dirasanya kurang untuk menunjang perjalanan hidup yang masih panjang.

Ah! Tidak hanya itu. Dia memiliki jadwal spesial akhir pekan nanti.

“Ah, begitu, ya. Tidak apa-apa, Dion. Maaf membuatmu tidak enak,” kata Jesslyn yang mengusap lengan bawahnya sendiri. Seolah dia mengetahui bagaimana kikuknya pria di depannya menghadapi tingkahnya yang kelewat batas.

Dion mengibaskan tangannya langsung, “Tidak apa-apa, Miss. Sungguh. Ayo, kembali ke ruangan untuk meletakkan ini.”

Karena sejatinya, dia tidak begitu mempertimbangkan hal ini begitu berat. Pria muda itu hanya terkejut dengan sederet kalimat yang tidak disangkanya akan datang hari ini juga.

“Oh, iya. Ayo,” kata Jesslyn yang melanjutkan langkah kakinya. Seiring dengan Dion yang berjalan di barisan belakangnya tanpa ingin membuka topik pembicaraan lagi untuk tidak menimbulkan kecanggungan berlebih diantara mereka.

_The Stranger’s Lust_

Dion menutup buku tugas terakhir siswa yang kukoreksi untuk malam ini. Untuk keseluruhan, bisa berpuas hati karena sebagian besar dari mereka telah paham dengan apa yang diajarkan selama tiga hari ini. Kemudian, pria itu mengumpulkannya menjadi satu dan diletakkan di dekat tas kerja. Lalu, mengambil note book untuk satu ajaran ini dan membuat jadwal lebih lanjut untuk semua para siswa.

Manik coklat melihat kearah jarum jam, telah menunjuk ke angka delapan. Matahari pun telah terlelap pulas digantikan oleh sang bulan dengan banyak temannya di angkasa yang telah gelap tetapi, bukan berarti hujan.

Dia cukup yakin, kalau satu-satunya anggota keluarga yang dipunya sedang asyik menonton acara berita malam di ruang depan dengan apple juice yang dibuat disela-sela kesibukannya meracik bumbu untuk makan malam selepas jam pulang kerja.

Sadar akan melupakan sesuatu, dia menggapai ponselnya yang disimpan di dalam laci nakas paling atas bersama dengan beberapa barang alat tulis lainnya. Maniknya seolah tidak jenuh untuk menatap layar hitam yang ditampilkan dari awal.

“Aku akan membalasmu nanti. Aku sedang sibuk. Bye.”

Dan disinilah dia untuk malam ini. Dengan bodohnya, dia menunggu dengan setia seseorang yang satu wilayah dengannya akan membalas pertanyaannya. Layaknya seperti tidak ada pekerjaan lain untuk dikerjakan lagi.

Helaan napas gusarnya terdengar untuk pertama kali malam itu. Batinnya terus menerus menenangkan sang otak yang sibuk berpikiran negative dengan sosok yang dihubunginya tadi sore. Walaupun, tidak memberikan hasil yang bagus.

Karena, sepertinya sang otak tidak bisa diajak bekerja sama sekarang ini.

“Ya. Dia pasti sedang sibuk dengan pekerjaannya,” ucapnya sebagai final dari hasil pemaksaan. Ketika tersadarkan bahwa hubungannya dengan dia tidak lebih dari teman yang kenal kurang dari dua bulan.

Lelah setelah bertikai dengan diri sendiri, pria itu memilih turun dan duduk disamping wanita tua kesayangannya. Menemaninya menonton berita malam dalam diam selama tiga puluh menit.

“Hari tersebut sudah mau datang, cucuku. Apa kamu ingat?”

Pertanyaan dari sang nenek menyadarkan lamunannya. Ternyata tidak ada yang berbeda ketika dia menyibukkan diri. Hanya semakin kacau saja yang dia terima.

“Aku ingat, Granny. Aku akan pergi ke sana akhir pekan nanti. Granny tetap tidak mau ikut?” tanya Dion retoris. Pertanyaan yang dari dulu dia tanyakan dan selalu mendapatkan jawaban yang sama dari orang yang sama bertahun-tahun.

“Kamu saja, ya. Granny titip salam kepada mereka,” kata Granny Greisy dan menggapai minumannya.

Reaksi Dion masih sama dari tahun ke tahun, “Iya, Granny.”

_The Stranger’s Lust_

To Be Continue

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status