Suara ketukan pintu terdengar tiga kali sebelum kembali senyap dan digantikan oleh suara dari dalam kamar yang merupakan sang pemilik ruang, "Masuk."
"Leyna, can I sleep here?"
Seorang wanita yang sudah setengah berbaring di tempatnya tersenyum, memindahkan tubuhnya ke sisi kanan, "Of course. Have a bad sleep?"
"Kinda," jawab seorang gadis yang baru remaja dengan sebelah tangan yang membawa plushie ubur-ubur dan botol minum di sebelah tangannya yang lain. Dia langsung mengambil tempat di atas kasur Leyna dan memposisikan posisi ternyaman.
Kamar yang terang samar karena sudah memasuki jam tidur. Leyna ikut menyamankan posisinya dan menghadap sang pengganggu kesendiriannya.
“Leyna,” bisik Quinza selaku orang yang telah berada di sampingnya dengan mata yang setengah terpejam memeluk plushie ubur-uburnya. Terdengar dehaman dari pemilik kamar untuk memintanya melanjutkan kalimat.
“Apa kau belakangan ini mendapatkan hal baik?” tanyanya yang membuka penuh netra untuk beradu tatap dengan kakak perempuannya.
Wanita muda itu lantas tersenyum setelah mendapatkan balasan yang terbaik, “Menurutmu begitu?”
Quinza mengangguk lalu memejamkan matanya saat merasakan elusan hangat dari anak kedua pemimpin Burk’s Falls. Kemudian, membuka matanya lagi setelah elusan itu tidak lagi terasa di atas kepalanya. “Leyna memang selalu berekspresi dengan baik menggunakan wajah. Belakangan ini, Leyna tersenyum kepada semua orang. Lalu, kemarin aku … melihat ponsel Leyna ada sebuah pesan dari Dion Addison. Dia penduduk Daddy, kan?” tanya anak perempuan bungsu dengan mata yang berbinar penasaran.
Kalau saja, lampu kamar masih menyala. Mungkin Leyna bisa melihatnya dengan jelas.
“Aku tahu Leyna memang akrab dengan penduduk di sini. Siapapun yang tinggal di Burk’s Falls pastilah pernah disapa olehmu sekali tetapi, sangat aneh mengetahui Leyna menyimpan nomor warga di mana kau tidak melakukan hal itu.”
Dan, Leyna Olivia tidak bisa membalas apapun untuk tiga menit ke depan.
Tidak menyangka kalau adiknya menangkap rahasiannya walaupun masih di awal. Kehabisan kata-kata dan satu sisi takut salah bicara adalah faktor ruangan tersebut berubah menjadi hening dan sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik dari luar jendela dan balkon kamar.
“Leyna yakin … Leyna tidak menyembunyikan apa-apa?”
Sekali lagi, mungkin kalau bukan lampu temaram, Leyna sudah bisa melihat seringai tipis nan jahil terbingkai di wajah si bungsu sekarang.
“Dia … dia adalah guru yang diberikan tanggung jawab untuk berhubungan denganku pasal sekolah. Kemarin itu kami sedang membahas untuk memberikan study tour kepada siswa.”
Sekarang, wanita yang menyandang belakang nama Olivia sedang berdoa dalam hati. Berharap kalau adiknya percaya dengan alasannya yang sebenarnya masih masuk akal.
“Ke Doe Lake? Aku sempat melihat pesannya, dia berbicara tentang indahnya pemandangan di air tersebut.”
“Ya. Kami membahas tentang itu. Selain itu, kami juga sedang memikirkan kesempatan untuk study tour keluar kota.”
Diam-diam, Leyna menghembuskan napasnya lega saat melihat Quinza tidak lagi banyak bertanya tentang Dion dan memilih untuk mengeratkan pelukannya pada plushie lalu memejamkan matanya.
“Good night, Leyna. Have a sweet dream.”
Putri dewasa Chayton itu tersenyum tipis, ikut memejamkan matanya dengan posisi saling berhadapan dengan kedua tangan yang saling melipat di depan dadanya, mengikuti adiknya untuk mengarungi alam mimpi.
“Good night, Quinza. Have a sweet dream.”
_The Stranger’s Lust_
Keesokan harinya,
Burk’s Falls, Kanada
“Good morning, Mommy, Daddy.”
Sebuah seruan semangat muncul dari jarak satu meter dengan meja makan. Meletakkan tasnya di samping kursinya lalu duduk di samping sang ibu yang sedang menikmati teh paginya.
“Good morning, Quinza. Did you have a good sleep yesterday?” Balas sang istri dari kepala keluarga yang meletakkan cangkirnya ke atas meja.
Quinza mengangguk pelan walaupun tidak bisa menyembunyikan senyumnya pagi hari itu, anak gadis itu mengambil dua potong roti yang dihidangkan di atas meja makan, diikuti dengan toples berisi peanut butter dan strawberry jam sebagai olesan untuk sarapan.
“Di mana Leyna?” Sang kepala keluarga bersuara setelah menyimpan tabletnya di samping meja.
“Di sini, Daddy. Maaf terlambat, aku tidak menemukan jepitan rambutku,” ujar suara yang datang dengan tergesa-gesa duduk di seberang Aubrey, istri dari sang kepala keluarga sekaligus ibu dari dua anak di depannya.
Wanita di usia paruhnya mengangguk paham, meminta sebuah susu vanilla hangat kepada asisten rumah, “Apa kamu telah menemukannya, sayang?”
“Sudah. Ternyata ada di sling bag-ku. Mungkin karena kemarin terlalu gerah. Aku menyimpannya di sana dan lupa mengeluarkannya kembali.” Jawab Leyna yang mengambil dua helai roti gandum serta toples berisi chocolate butter di sampingnya.
“Baguslah. Mommy kira telah hilang. Kita bisa membelinya lagi nanti.”
Leyna hanya mengumbar senyumnya, sebelah tangannya aktif mengoles selai kecoklatan itu di atas permukaan olahan gandum itu.
“Daddy rasa Quinza sudah mendengarnya, Brandon tidak akan datang ke sekolah selama seminggu. Daddy dan Leyna sudah membahasnya dengan pihak sekolah kemarin pagi,” kata Chayton setelah menghabiskan satu porsi oatmeal-nya dan menyisakan setengah cairan kopi pahit di cangkir.
“Iya. Leyna kemarin memberitahuku saat arah pulang, Dad.”
“Ternyata dia sudah sering mengikuti siswi di sekolah. Teman perempuan di kelasnya sering mendapatkan perlakuan tidak enak darinya. Dia sedang menjalani masa hukuman sekarang. Tapi, belum menjadi hukuman tetap untuknya. Pihak sekolah sedang membahas hukumannya, orang tuanya akan datang hari ini.”
Quinza menghentikan acara makannya, roti lapis yang telah berbekas gigitan itu masih dalam genggaman tangannya, “Berarti Daddy dan Leyna akan ke sekolah lagi hari ini?”
“Hanya Daddy. Leyna perlu mengurus restoran. Pertemuannya dilaksanakan dari jam sebelas, restoran akan sangat ramai saat itu. Kalau waktunya tepat, Daddy akan menunggumu untuk pulang bersama,” jelas Chayton yang melihat bungsunya dengan nanar.
Namun, setidaknya dia masih merasa bersyukur melihat Quinza yang begitu tegar menghadapi masalahnya sendirian selama ini. Putri kecilnya menahan diri untuk tetap masuk ke dalam sekolah yang jelas-jelas membuatnya ketakutan di beberapa waktu setiap hari.
Putri kesayangannya telah besar dan dewasa.
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
[Leyna POV] "All is eighty dollars, sir." Tidak perlu susah menebak, jelas aku sedang berada di kasir. Jam istirahat telah dimulai dua menit yang lalu memberikan aku dan para pekerja lainnya untuk bersiap-siap mengumpulkan tenaga ekstra untuk melewati jam sibuk. Hari ini bisa aku simpulkan kalau lebih ramai dari biasanya. Semua anggota masuk kerja namun masih tidak cukup untuk melayani seluruh pelanggan yang datang. Bahkan, saat aku sempat melirik antrian, masih ada sebelas orang yang berbaris menunggu untuk dilayani. Tidak bisa berpikir apa-apa lagi selain memfokuskan diri untuk segera menyelesaikan pekerjaan di sini. Daddy sudah ke sekolah Quinza satu jam yang lalu setelah mengurus rapat penting dengan investor restoran tadi pagi. Mommy tentu saja ke butiknya. Katanya mereka kedatangan tamu VIP untuk mengurus busana pernikahan. Aku tidak tahu spesifiknya bagaimana. Karena, aku lebih sering
[Dion POV] Aku merenggangkan leherku ke kiri dan kanan, lalu memutar pergelangan kakiku bergantian setelah memastikan tali sepatu telah diikat apik aku keluar dari rumah. Lalu, menguncinya kembali dari luar, menyisakan Granny seorang diri dalam. Saatnya memulai olahraga pagi. Burk's Falls masih sepi saat ini, hanya sebuah lampu jalan yang menyala sebagai temanku. Aku hanya berencana memutari Burk's Falls sampai ke minimarket yang kemarin menjadi tempat persinggahan Leyna untuk membeli beberapa sayuran. Mataku mendelik saat melihat sebuah bayangan dari ujung jalan yang lain terlihat tidak asing. Aku mempercepat kecepatan jogging-ku dan mengulas senyum ketika semakin lama bayangan tersebut semakin jelas. Bonusnya, aku mengenali bayangan tersebut. “Leyna!” Teriakku dan menyengir ketika melihat dengan jelas bagaimana sepasang bahu tersebut terjengit karena suaraku. Aku langsung berjalan sampai di depann
[Leyna POV] Swear God, I dunno how to speak out of sudden. Aku bahkan tidak bisa melihat orang yang duduk di depanku dengan mata yang menyorot tajam kepadaku. Pandanganku memang ke depan tetapi, sepasang netraku lebih memilih melihat tembok yang dicat dengan warna kalem. “Ehem.” Aku langsung mematung di tempatku. Tanpa sadar, tanganku bergerak untuk memegang apapun yang berada di sekitarku. Sepasang netra bulat memicing ketika melihatku, aku langsung gelagapan dan melepaskan tangan yang kupegang dengan refleks tadi. Dalam hatiku, aku meminta maaf pada Dion yang terbawa ke sini. Yang bisa kulakukan hanyalah menatap lesu oknum yang memergoki keberadaan kami berdua. Matahari belum meninggi dan masih bersembunyi malu-malu di balik awan tersebut. “Aku tidak mau b**a-basi, Leyna. Jelaskan semuanya, sejelas-jelasnya,” katanya dengan perintah mutlak yang membuatku meringis dalam hati. Akan s
Leyna memasuki sebuah butik yang menampilkan beberapa manekin di depan kaca bening untuk menarik perhatian pengunjung. Saat membuka pintu masuk toko, wanita itu diberikan sebuah kesejukan dari pendingin yang dipasang di dalam serta sebuah sapaan hangat dari seorang wanita yang berdiri di belakang meja resepsionis. “Selamat datang, Nona Muda.” Wanita itu tersenyum sebagai tanggapan sapaan dari resepsionis, “Nyonya ada di dalam?” “Nyonya berada di lantai atas, dia sedang menyortir bahan yang baru masuk, Nona. Mari saya antar,” kata wanita dengan tag name Anastacia Marie menjabat sebagai resepsionis di Sky Blue Boutique. “Tidak perlu. Saya akan ke sana sendirian. Anda bisa kembali sibuk dengan pekerjaan Anda. Kalau begitu, saya duluan,” balas Leyna yang duluan menjauhi meja dan melewati koridor cukup muat tiga orang dalam sekali jalan di samping bagian customer service. Sebelah kiri dan kanannya terpajang beberapa foto pasangan
[Dion Addison POV] Aku berjalan di koridor dengan tumpukan buku hasil kerja para siswaku di tangan, tidak lupa untuk menyapa balik anak-anak berseragam bebas itu menyapaku. Berjalan ke arah ruang guru untuk beristirahat lima belas menit disaat para pelajar memilih bermain di lapangan, membuka pintu ruang dan meletakkan tumpukan buku di area meja yang kosong. “Eum, Dion?” Aku hanya berdehem sebagai balasan. Lalu, menegak air minum yang menganggur selama satu jam lebih dengan mata yang melirik ke suara yang memanggilku tadi. Setelah memastikan aku tetap hidrasi, aku menjawab, “Ada apa, Miss. Jesslyn?” “Astaga, tidak perlu sungkan begitu. Kita sudah menjadi rekan lebih dari tiga tahun, Dion,” ujarnya yang sebenarnya masuk akal. Aku hanya berdehem sebagai jawaban rancu. Untuk beberapa hal, aku tidak bisa memanggilnya dengan nama seperti guru lain memanggilnya. Bukan, bukan, bukan karena dia pendiam dan m
Dion merasa bahwa ada yang memaku kakinya di atas pijakan tanah beraspal supaya tidak membiarkannya kabur di saat situasi seperti ini. Ya, begitu sulit untuk bergerak walaupun hanya seinchi. Di depannya, wanita tersebut yang berhasil mengacau-balaukan system motoriknya tengah menahan senyumnya yang mengembang tak berdosa. Memangnya apa yang salah dengan ajakan makan diantara anak Adam dan Hawa? Menurut Dion, itu adalah kesalahan. Ketika mata yang memancarkan sorot penuh harap itu memiliki setetes rasa aneh yang tidak pernah ia jumpai sebelumnya. Sorot keharapan itu berbeda ketika Leyna memintanya untuk melakukannya sesuatu. “Bagaimana, Dion?” tanya wanita tersebut lagi membuyarkan lamunannya dalam sekejap. “Aku …,” ucapnya semakin memelan, matanya melirik melihat Jesslyn yang masih setia menatapnya dengan binar yang sama. Itu membuatnya meringis dalam hati. Maaf. “Aku tidak bisa makan denganmu, Miss. Aku ada urusan di rumah,”
[Leyna POV] Aku mengambil pesananku saat namaku dipanggil dari bagian ‘take order’ oleh seorang pegawai di café tersebut. Sebuah iced caramel machiatto untuk menemani jam bebas selepas jam kegiatan ballet. Duduk di sebuah meja untuk dua orang yang berdampingan dengan sebuah kaca yang menampilkan pemandangan kota sore hari. Me [Aku di café. Kau mau kupesankan sesuatu?] Quinza [Kau di dekat studiomu? Kalau begitu red velvet cheese cake, please] Aku mengirimkan pesan kepada adikku satu-satunya untuk membunuh waktu yang berjalan. Aku langsung kembali ke arah kasir dan memesan pesanan Quinza serta brownies rasa mocca untukku. Entahlah aku tidak ingin pulang sekarang juga. Selepas dari butik, aku langsung ke studio dan kembali melatih kemampuan tarianku sekaligus melenturkan kakiku. Aku sud
Leyna melangkah keluar dari kamar orang tuanya yang tidak berada jauh dari kamarnya sendiri. Setelah membahas hal yang penting dan sedikit basa-basi dengan mereka berdua, sembari menyantap hidangan pendingin berupa es krim tiga rasa, perasaannya menjadi mendung. Sudah mendung semenjak sore di café dan semakin mendung setelah bertemu dengan kepala Burk’s Falls. Bicara tentang café, mengingatkannya dengan panggilan yang terputus dengan tidak baik. Dengan bergegas, dia langsung masuk ke dalam kamarnya sendiri, menggapai ponselnya yang terletak di atas ranjang. Tadi, tidak disengaja dilempar saat Quinza memintanya untuk makan malam. Dia melihat ke atas layar ponsel, sudah jam sembilan lewat lima belas menit. Cukup lama dia berbincang dengan orangtuanya, sedikit besar dia senang karena, sudah lama sekali mereka tidak berbicara selama ini karena waktu mereka yang tidak cukup untuk berbicara lebih dalam dari sekedar bertanya kabar.