[Dion POV]
Leyna Olivia
[Meet me in the garden now. I'm at school.]
Satu pesan dari layar ponsel membuatku langsung membawa sepasang tungkai kakiku berjalan keluar dari ruang guru. Tidak peduli dengan tatapan kebingungan dari tiga rekanku yang lain melekat melihatku. Aku paham sekali kalau mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Koridor sekolah masih sepi, belum memasuki jam istirahat untuk anak-anak yang mengemban kewajibannya di dalam ruang petak bersama yang lainnya. Lapangan sekolah yang terasa panas karena Burk's Falls hari ini terasa begitu terik untuk dilewati. Namun, hanya itu jalur untuk sampai ke taman.
Taman belakang sekolah.
Dalam lintasan benakku saat itu terus-menerus memikirkan penyebab keturunan pemimpin itu ingin menemuiku di pagi hari ini. Masih terlalu pagi untuk saling menukar cerita keseharian seperti biasa yang kami lakukan. Jelasnya, bukanlah merupakan sesuatu hal yang seringan kapas yang terjadi dalam hidupnya.
Mataku bergulir untuk menyortir seisi taman belakang sekolah yang tidak luas lapangan golf namun tidak sempit juga. Taman yang biasanya menjadi tempat tujuan para guru untuk sekedar menikmati sarapan mereka yang tertunda sebelum kembali mengajar ilmu kepada anak didiknya.
Dan, aku menangkap pemandangan rambut yang dibiarkan terlepas tanpa ikatan dan sedikit bergelombang. Punggung sempit terasa familiar itu menyihir jiwa raga untuk mendekat ke arahnya.
"Leyna," kataku saat mengintip dari samping. Sekilas, aku merasa asing karena tidak bisa melihat wajah sang pemilik punggung keseluruhan. Dia memakai masker wajah hitam yang menimbulkan kesan misterius. Sebuah atasan sabrina hitam polos dan ketat dipadu dengan tennis skirt warna putih pendek.
Tetapi, aku bisa memastikan dia adalah Leyna Olivia dari sepasang mata yang pernah menjadi milikku selama seminggu penuh.
"Oh? Dion, sini duduk. Maaf mengganggu waktumu," serunya dengan yang berpindah duduk ke samping agar menyisakan ruang untukku.
Aku mengambil tempat tersebut, sebuah gazebo yang dihias dengan tanaman menjalar, disekitarnya ditanami bermacam bunga yang tidak kuketahui namanya, "Tidak apa-apa. You good?"
"Not really. Aku harus segera ke sekolah Quinza nanti."
"Any problems with her?"
Dalam radius sedekat ini, aku bisa mendengar hembusan napasnya. Terdengar frustasi, aku berniat untuk tetap diam, memberikan ruang waktu untuk wanita tersebut mempersiapkan dirinya.
Kalau dipikir-pikir, tidak ada yang memikirkan kalau aku bisa bertemu dengan Leyna melalui kejadian aneh tersebut. Walaupun sempat saling melempar sengit, tidak ada yang menyangka kalau kami bisa menghapus jarak dan seperti sepasang teman.
"Brandon Miles."
Bagai kilat cahaya, aku langsung memalingkan wajah untuk melihat Leyna yang masih menatap ke depan.
"Aku dan Daddy akan ke sana untuk mengurus anak itu setelah dari sini," katanya yang membuatku tidak bisa berkutik.
Sekilas aku terikut senang, memang itu adalah jalan terbaik. Selama aku menjadi Leyna, Quinza tampang murung dan semakin murung. Mungkin tidak tercetak jelas di wajahnya karena selalu terlihat datar dan biasa saja tetapi saat melihat manik anak perempuan itu, semuanya ketahuan.
"Itu berarti aku juga harus mengambil keputusan," sambungnya membuatku mengernyit dahi. Dia melihatku, tatapannya begitu sendu dan putus asa, Aku tidak tahu apa yang sedang dialami olehnya belakangan ini.
Selama kami mengirim pesan, dia selalu mengatakan dia baik-baik saja.
Seolah mengetahui kebingunganku, wanita muda itu memberikanku sebuah dokumen dari dalam tasnya. Aku hanya menerima walaupun sesekali melihatnya untuk mengetahui langsung dari bibir tersebut.
"Aku diminta untuk mengurus cabang baru," ujarnya setelah melihatku membalikkan halaman.
"Itu bagus," Balasku yang kembali melihat cover document tersebut. Memang proposal pembukaan cabang baru. Tetapi, mataku kembali melihat ke halaman berikutnya, berisi profil cabang baru itu. Di situlah aku membulatkan mataku.
Tanpa sadar aku bersuara dengan intonasi yang meninggi, "Sundgridge?! Kau sungguh akan ke sana?"
Kulihat, Leyna menurunkan masker wajah sampai hanya menutupi area dagu, pandangannya turun melihat tangannya sendiri yang saling memeluk. "Aku belum tahu," katanya dengan lirih.
"Kau ingin ke sana? Maksudku, ini peluang yang cukup bagus untukmu. Aku yakin Tuan Grissham tidak segegabah itu membiarkan kau mengurusi cabang baru sendirian. Beliau pasti punya pertimbangan sendiri."
"Tentu saja. Adriann tidak mungkin memegang cabang baru, dia belajar di Ottawa menjadi dokter spesialis neurologi. Sedangkan Quinza masih terlalu belia. Hanya aku yang menjadi pilihan baginya."
Aku menepuk pundaknya menyemangati, "Pilihannya tetap di tanganmu, Leyna. Aku sempat melihat proposalnya, menurutku semuanya bagus. Beliau hanya memintamu untuk mengurus cabang di sana. Kendati Beliau tidak bisa mengurusi cabang baru itu dengan baik mengingat dia masih ada pekerjaan di Burk's Falls."
Kulihat wanita itu masih menginginkan untuk membisu. Aku tidak bisa menolak permintaan Tuan Grissham untuk Leyna. Yang bisa kulakukan hanyalah memastikan wanita di sebelahku memiliki pemikiran yang bersih untuknya sendiri.
Paham benar kalau kedatangannya di sini adalah untuk membahas masa depannya sendiri. Masalah Quinza hanya sebagai pemanis, karena masalahnya lebih berat dan bersangkutan dengan banyak orang. Tentu dia harus memikirkan ini matang-matang. Aku kembali bersuara sebelum ikut diam menemaninya sampai jam istirahat dimulai untuk terakhir kalinya.
"Lagipula, bukankah hitung-hitung kau belajar pengalaman baru daripada sekedar menemani Beliau di belakang? Aku akan mengunjungimu kalau kau sungguh ke sana setiap pekan."
Kuharap, dia bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya sendiri.
_The Stranger's Lust_
To Be Continue
Suara ketukan pintu terdengar tiga kali sebelum kembali senyap dan digantikan oleh suara dari dalam kamar yang merupakan sang pemilik ruang, "Masuk." "Leyna, can I sleep here?" Seorang wanita yang sudah setengah berbaring di tempatnya tersenyum, memindahkan tubuhnya ke sisi kanan, "Of course. Have a bad sleep?" "Kinda," jawab seorang gadis yang baru remaja dengan sebelah tangan yang membawa plushie ubur-ubur dan botol minum di sebelah tangannya yang lain. Dia langsung mengambil tempat di atas kasur Leyna dan memposisikan posisi ternyaman. Kamar yang terang samar karena sudah memasuki jam tidur. Leyna ikut menyamankan posisinya dan menghadap sang pengganggu kesendiriannya. “Leyna,” bisik Quinza selaku orang yang telah berada di sampingnya dengan mata yang setengah terpejam memeluk plushie ubur-uburnya. Terdengar dehaman dari pemilik kamar untuk memintanya melanjutkan kalimat. “Apa kau belakangan ini mendapatka
[Leyna POV] "All is eighty dollars, sir." Tidak perlu susah menebak, jelas aku sedang berada di kasir. Jam istirahat telah dimulai dua menit yang lalu memberikan aku dan para pekerja lainnya untuk bersiap-siap mengumpulkan tenaga ekstra untuk melewati jam sibuk. Hari ini bisa aku simpulkan kalau lebih ramai dari biasanya. Semua anggota masuk kerja namun masih tidak cukup untuk melayani seluruh pelanggan yang datang. Bahkan, saat aku sempat melirik antrian, masih ada sebelas orang yang berbaris menunggu untuk dilayani. Tidak bisa berpikir apa-apa lagi selain memfokuskan diri untuk segera menyelesaikan pekerjaan di sini. Daddy sudah ke sekolah Quinza satu jam yang lalu setelah mengurus rapat penting dengan investor restoran tadi pagi. Mommy tentu saja ke butiknya. Katanya mereka kedatangan tamu VIP untuk mengurus busana pernikahan. Aku tidak tahu spesifiknya bagaimana. Karena, aku lebih sering
[Dion POV] Aku merenggangkan leherku ke kiri dan kanan, lalu memutar pergelangan kakiku bergantian setelah memastikan tali sepatu telah diikat apik aku keluar dari rumah. Lalu, menguncinya kembali dari luar, menyisakan Granny seorang diri dalam. Saatnya memulai olahraga pagi. Burk's Falls masih sepi saat ini, hanya sebuah lampu jalan yang menyala sebagai temanku. Aku hanya berencana memutari Burk's Falls sampai ke minimarket yang kemarin menjadi tempat persinggahan Leyna untuk membeli beberapa sayuran. Mataku mendelik saat melihat sebuah bayangan dari ujung jalan yang lain terlihat tidak asing. Aku mempercepat kecepatan jogging-ku dan mengulas senyum ketika semakin lama bayangan tersebut semakin jelas. Bonusnya, aku mengenali bayangan tersebut. “Leyna!” Teriakku dan menyengir ketika melihat dengan jelas bagaimana sepasang bahu tersebut terjengit karena suaraku. Aku langsung berjalan sampai di depann
[Leyna POV] Swear God, I dunno how to speak out of sudden. Aku bahkan tidak bisa melihat orang yang duduk di depanku dengan mata yang menyorot tajam kepadaku. Pandanganku memang ke depan tetapi, sepasang netraku lebih memilih melihat tembok yang dicat dengan warna kalem. “Ehem.” Aku langsung mematung di tempatku. Tanpa sadar, tanganku bergerak untuk memegang apapun yang berada di sekitarku. Sepasang netra bulat memicing ketika melihatku, aku langsung gelagapan dan melepaskan tangan yang kupegang dengan refleks tadi. Dalam hatiku, aku meminta maaf pada Dion yang terbawa ke sini. Yang bisa kulakukan hanyalah menatap lesu oknum yang memergoki keberadaan kami berdua. Matahari belum meninggi dan masih bersembunyi malu-malu di balik awan tersebut. “Aku tidak mau b**a-basi, Leyna. Jelaskan semuanya, sejelas-jelasnya,” katanya dengan perintah mutlak yang membuatku meringis dalam hati. Akan s
Leyna memasuki sebuah butik yang menampilkan beberapa manekin di depan kaca bening untuk menarik perhatian pengunjung. Saat membuka pintu masuk toko, wanita itu diberikan sebuah kesejukan dari pendingin yang dipasang di dalam serta sebuah sapaan hangat dari seorang wanita yang berdiri di belakang meja resepsionis. “Selamat datang, Nona Muda.” Wanita itu tersenyum sebagai tanggapan sapaan dari resepsionis, “Nyonya ada di dalam?” “Nyonya berada di lantai atas, dia sedang menyortir bahan yang baru masuk, Nona. Mari saya antar,” kata wanita dengan tag name Anastacia Marie menjabat sebagai resepsionis di Sky Blue Boutique. “Tidak perlu. Saya akan ke sana sendirian. Anda bisa kembali sibuk dengan pekerjaan Anda. Kalau begitu, saya duluan,” balas Leyna yang duluan menjauhi meja dan melewati koridor cukup muat tiga orang dalam sekali jalan di samping bagian customer service. Sebelah kiri dan kanannya terpajang beberapa foto pasangan
[Dion Addison POV] Aku berjalan di koridor dengan tumpukan buku hasil kerja para siswaku di tangan, tidak lupa untuk menyapa balik anak-anak berseragam bebas itu menyapaku. Berjalan ke arah ruang guru untuk beristirahat lima belas menit disaat para pelajar memilih bermain di lapangan, membuka pintu ruang dan meletakkan tumpukan buku di area meja yang kosong. “Eum, Dion?” Aku hanya berdehem sebagai balasan. Lalu, menegak air minum yang menganggur selama satu jam lebih dengan mata yang melirik ke suara yang memanggilku tadi. Setelah memastikan aku tetap hidrasi, aku menjawab, “Ada apa, Miss. Jesslyn?” “Astaga, tidak perlu sungkan begitu. Kita sudah menjadi rekan lebih dari tiga tahun, Dion,” ujarnya yang sebenarnya masuk akal. Aku hanya berdehem sebagai jawaban rancu. Untuk beberapa hal, aku tidak bisa memanggilnya dengan nama seperti guru lain memanggilnya. Bukan, bukan, bukan karena dia pendiam dan m
Dion merasa bahwa ada yang memaku kakinya di atas pijakan tanah beraspal supaya tidak membiarkannya kabur di saat situasi seperti ini. Ya, begitu sulit untuk bergerak walaupun hanya seinchi. Di depannya, wanita tersebut yang berhasil mengacau-balaukan system motoriknya tengah menahan senyumnya yang mengembang tak berdosa. Memangnya apa yang salah dengan ajakan makan diantara anak Adam dan Hawa? Menurut Dion, itu adalah kesalahan. Ketika mata yang memancarkan sorot penuh harap itu memiliki setetes rasa aneh yang tidak pernah ia jumpai sebelumnya. Sorot keharapan itu berbeda ketika Leyna memintanya untuk melakukannya sesuatu. “Bagaimana, Dion?” tanya wanita tersebut lagi membuyarkan lamunannya dalam sekejap. “Aku …,” ucapnya semakin memelan, matanya melirik melihat Jesslyn yang masih setia menatapnya dengan binar yang sama. Itu membuatnya meringis dalam hati. Maaf. “Aku tidak bisa makan denganmu, Miss. Aku ada urusan di rumah,”
[Leyna POV] Aku mengambil pesananku saat namaku dipanggil dari bagian ‘take order’ oleh seorang pegawai di café tersebut. Sebuah iced caramel machiatto untuk menemani jam bebas selepas jam kegiatan ballet. Duduk di sebuah meja untuk dua orang yang berdampingan dengan sebuah kaca yang menampilkan pemandangan kota sore hari. Me [Aku di café. Kau mau kupesankan sesuatu?] Quinza [Kau di dekat studiomu? Kalau begitu red velvet cheese cake, please] Aku mengirimkan pesan kepada adikku satu-satunya untuk membunuh waktu yang berjalan. Aku langsung kembali ke arah kasir dan memesan pesanan Quinza serta brownies rasa mocca untukku. Entahlah aku tidak ingin pulang sekarang juga. Selepas dari butik, aku langsung ke studio dan kembali melatih kemampuan tarianku sekaligus melenturkan kakiku. Aku sud