Operasi telah selesai dilakukan. Kini, Dallas sudah dipindahkan ke ruang rawat inap VIP. Hana sebelumnya sudah menduga hal ini. Dallas memang terlihat bukan seperti orang biasa. Hal ini semakin menguatkan keyakinannya dengan kehadiran Louis yang mengaku sahabat pria itu.
Saat ini, Hana tengah memasang beberapa peralatan rumah sakit untuk Dallas dibantu seorang perawat wanita. Pria itu masih tertidur dengan pulas. Mungkin efek bius masih belum hilang darinya.
Pintu tiba-tiba terbuka mengalihkan perhatian seisi ruangan kecuali Dallas, tentunya. Dari ambang pintu tampak Louis yang tengah berjalan mendekat. Ia menyapa Hana dan perawat di samping wanita itu kemudian berdiri di sebelah ranjang Dallas.
"Bagaimana keadaannya, dok?"
"Syukurlah, operasinya berjalan lancar. Dia hanya perlu menjalani perawatan intensif beberapa waktu sebelum akhirnya diperbolehkan pulang."jelas Hana.
Louis tersenyum lega. "Baiklah, terimakasih dok."ucapnya tulus.
Melihat Louis yang tersenyum, entah mengapa membuat Hana ikut tersenyum. "Ini semua adalah tugasku. Jadi, tidak perlu berterimakasih."
Percakapan mereka terhentikan oleh Dallas yang ternyata telah siuman. Erangan khas bangun tidur dari pria itu mengalihkan perhatian seisi ruangan.
"Loulou? Sudah berapa lama pangeran tampan ini tertidur?"tanya Dallas.
Louis memutar bola matanya. "Aku pikir kecelakaan dapat membuatmu berubah. Ternyata sama sekali tidak."
Dallas mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan hingga tatapannya terhenti saat melihat Hana. Ia menatapnya lama kemudian tersenyum penuh arti.
"Ah, apa aku sudah meninggal? Dan sekarang berada di surga bersama bidadari yang cantik jelita."
Louis mencebikkan bibirnya. Ia menatap Dallas kesal. Sahabatnya yang satu itu mulai bertingkah lagi. "Bajingan sepertimu tidak akan mungkin masuk surga. Itu bukanlah tempat untuk pria brengsek sepertimu."
Dallas mengerutkan keningnya. "Lalu ... Apa aku berada saat ini? Bagaimana denganmu? Kesalahan apa yang kau lakukan hingga berada di tempat yang sama denganku?"
Louis sudah tidak tahan lagi. Rasanya pria itu ingin memukul kepala Dallas keras-keras hingga membuat pria itu kembali pingsan. Namun, ia mengurungkan niatnya. Semenyebalkan apapun Dallas, pria itu adalah sahabatnya dan juga bosnya. Louis masih sayang dengan pekerjaannya. Karena itulah lebih baik ia membatalkan niatnya.
"Dengar, Dallas. Kau baru saja selesai dioperasi beberapa jam yang lalu karena kau mengalami kecelakaan tadi pagi. Kau belum mati, ya ... walaupun aku berharap demikian. Tapi, kau belum mati. Jadi singkirkan jauh-jauh pemikiran tentang surga-neraka itu."oceh Louis.
"Sepertinya kau sangat tertekan dengan kejadian ini, bung. Kau mungkin takut kehilanganku karena itulah kau tampak sedikit emosional."ucap Dallas. Pria itu menatap Louis prihatin.
Louis menghela napasnya kasar. "Kurasa kepalamu terbentur terlalu keras. Dokter Hana, apa kau bisa memeriksa pria ini lagi?"
Hana yang tadinya diam saja dan sibuk mengamati kedua pria itu sontak terkejut. Wanita itu gelagapan terlebih lagi saat atensi kedua pria itu mengarah kearahnya.
"Dokter Hana? Jadi, namamu dokter Hana? Manis sekali."celetuk Dallas.
Louis menatap Dallas tajam. Seolah memberikan pria itu peringatan agar jangan mulai bertingkah. Namun, sepertinya Dallas tidak mengindahkan peringatan tersebut.
"Ah jadi kau dokter yang akan mengurusku? Wah Loulou, sepertinya aku akan betah di tempat ini."ucap Dallas sembari menatap ke arah Hana penuh arti.
Hana yang melihat Dallas bertingkah demikian menjadi jengah. Tingkah pria itu membuatnya tak ingin berlama-lama di dalam ruangan ini. Karena itulah, Hana memutuskan untuk pergi.
"Maaf, ada beberapa pasien yang masih harus kutangani. Aku permisi."pamit Hana sebelum akhirnya wanita itu menghilang di balik pintu bersama perawat yang tadi bersamanya.
"Lihat! Kau membuatnya pergi. Cobalah jangan bertingkah macam-macam, dude."ujar Louis sesaat setelah Hana meninggalkan ruangan.
"Melihatnya, membuatku tidak bisa tidak bertingkah macam-macam, Loulou."
***
Hana menghembuskan napasnya kasar. Entah mengapa firasatnya buruk soal pasien barunya itu. Sepertinya pria itu adalah tipe pasien yang akan menyusahkan dirinya. Baik secara fisik maupun mental.
Hana masih ingat bagaimana pria itu dengan nakal menatapnya secara terang-terangan. Seketika, semua pujian yang sempat Hana lontarkan untuknya sirna. Jika tahu perangainya seperti itu, seharusnya ia tidak pernah memujinya.
Wanita itu melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju kafetaria rumah sakit. Sejujurnya, Hana belum memakan apapun sejak pagi tadi. Dan sekarang, ia harus mengisi perutnya.
Sepotong sandwich dan segelas jus jeruk menjadi pilihan wanita itu kali ini. Usai memesan makanannya, Hana mengambil tempat duduk di salah satu meja dan menikmati makan siangnya.
"Hay, Hana. Boleh aku duduk di sini?"tanya seorang pria yang mengenakan jas dokter yang sama seperti Hana. Dia mengenakan name tag yang bertuliskan Eric Smith.
Hana melihatnya sekilas. Lalu wanita itu menjawab, "Kau sudah duduk. Jadi, tidak perlu menanyakannya lagi."
Pria itu hanya menyengir sehingga tampak gigi-gigi putihnya yang berbaris rapi. Hal itu membuatnya terlihat manis. "Kau sudah dengar?"
"Apa?"tanya Hana yang sebenarnya tidak terlalu penasaran.
"Pemilik rumah sakit ini dikabarkan mengalami kecelakaan. Dan kudengar sekarang dia sedang dirawat di sini."jawab Eric.
Hana tidak membalas. Wanita itu sibuk menikmati sandwich yang hanya tersisa setengah lagi. Ia terlihat tidak tertarik dengan apa yang dibicarakan oleh Eric.
"Hay, apa kau mendengarkan?"tanya Eric sedikit kesal karena Hana mengacuhkannya.
Hana menganggukkan kepalanya malas. "Hm, aku dengar, lalu? Apa ada hubungannya denganku?"
"Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi ini bisa berpengaruh sangat besar jika dia menjadi pasienmu. Pekerjaanmu akan dipertaruhkan berdasarkan bagaimana pelayananmu terhadapnya nanti."jelas Eric. Pria itu menyuap sesendok nasi goreng kedalam mulutnya.
Hana mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Wanita itu sama sekali tidak terlihat tertarik dengan semua yang dikatakan oleh Eric.
"Aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu selama dia tidak menjadi pasienku. Lagian pula, pelayanan ku tetap akan sama kepada semua orang baik dia seorang president sekalipun."ucap Hana sembari memakan gigitan terakhir sandwich nya.
"Tapi, dia adalah pemilik rumah sakit ini. Bagaimana bisa kau bersikap demikian?"
Hana memutar bola matanya malas. "Dia tidak menjadi pasien ku, bukan? Atau belum? Entahlah, aku berharap tidak. Tapi satu hal yang pasti, sekarang aku sudah mendapat pasien yang cukup meresahkan. Dan aku yakin, dia akan menjadi pasienku yang paling menyusahkan selama aku bekerja."
Mendengar penjelasan Hana, membuat Eric tertarik. Pria itu merasa penasaran dengan sosok yang tengah dibicarakan oleh rekan kerjanya tersebut. "Oh ya? Siapa dia?"
"Dallas, Dallas Wheeler? Entah aku sudah lupa nama pria itu."jawab Hana acuh tak acuh.
Eric mengerutkan keningnya. Entah mengapa ia merasa nama itu tidak asing baginya. Seperti pernah mendengar nama tersebut di suatu tempat. Tapi, kapan dan di mana itu, dia masih tidak tahu.
"Dallas Wheeler?"
"Ya, kau mengenalnya?"
Eric menggelengkan kepalanya. "Entahlah, rasanya nama itu terdengar begitu familiar untukku. Tapi ... Ah! Aku tidak bisa mengingatnya jika sedang lapar."
Hana memutar bola matanya. Wanita itu meminum tegukan terakhir jus jeruknya. "Sebaiknya kau makan saja. Tentang siapa itu Dallas Wheeler, kau bisa memikirkannya nanti. Baiklah, aku pergi dulu. Masih banyak yang harus kukerjakan."
Hana meninggalkan Eric begitu saja. Pria itu masih berkutat dengan pikirannya. Ia bahkan menjadi tidak fokus dengan makan siangnya. Nama Dallas Wheeler selalu berputar-putar di pikiran pria itu. Memaksanya berpikir keras tentang siapa sebenarnya pemilik nama itu.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dia mengingat siapa pemilik nama yang terdengar begitu familiar baginya. Dan hal itu sontak membuat kedua mata Eric membulat sempurna. Pria itu bahkan bangkit dari duduknya sehingga membuat beberapa orang yang ada di kafetaria menatap ke arahnya.
"Dallas Wheeler ... Dia itu ..."
"Kau bilang apa tadi? Ada seseorang di balik kecelakaanku ini?"tanya Dallas terkejut. Louis menganggukkan kepalanya. "Ada sesuatu yang janggal terkait kejadian itu. Dan aku, masih menyelidikinya hingga saat ini." "Kau benar. Kau harus menyelidikinya. Aku harus tahu siapa keparat yang berani macam-macam denganku."ucap Dallas. Rahangnya mengeras. Pria itu tampak kesal terlebih lagi saat ia tahu bahwa kecelakaan yang membuatnya terbaring di rumah sakit saat ini adalah sebuah kesengajaan. "Kau terlihat sangat kesal? Kenapa? Bukannya kau selalu tahu bahwa banyak orang di luar sana yang menginginkan dirimu dalam keadaan seperti ini. Aku sudah sering memperingatimu. Namun, kau tampak santai saat menanggapi hal tersebut."ujar Louis menatap Dallas penuh tanya. Pria itu menaikkan sebelah alisnya meminta Dallas segera menjawab pertanyaannya. "Hmm, itu benar. Aku mungkin akan bersikap biasa saja
Hana mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan meja. Saat ini, wanita itu tengah berada di ruangan direktur umum DW Hospital. Tn. Albert sendirilah yang memanggilnya kesini. Hana tahu mengapa Tn. Albert memanggilnya untuk menemui pria itu. Semua ini pasti dikarenakan keluhan yang disampaikan oleh Dallas beberapa waktu yang lalu dan membuat wanita itu berakhir di sini. "Kau pasti sudah tahu kenapa aku memanggilmu kemari, dokter Hana."ucap Tn. Albert yang sepertinya ingin cepat-cepat ke inti pembicaraan. Hana menganggukkan kepalanya. "Tentang Tn. Wheeler, dan semua keluhannya terhadap pekerjaanku." Tn. Albert menghela napasnya pelan. "Dengar, Hana. Kau adalah dokter favoritku di sini. Salah satu dokter terbaik di rumah sakit ini. Aku mengerti kau telah bekerja semaksimal mungkin. Tapi, aku harap untuk kali ini kau bisa memakluminya." Hana terdiam sejenak. Wanita itu menatap
Hari sudah menunjukkan pukul 7 malam. Akhirnya, setelah hari yang penuh drama Hana bisa pulang ke rumahnya. Saat ini, dengan langkah tenang wanita itu berjalan ke basement rumah sakit. Ia berhenti tepat di sebelah mobil sedannya yang bewarna putih. Wanita itu merogoh tas selempang yang ia bawa guna mencari kunci mobilnya. Namun, benda yang ia cari tak kunjung Hana temukan. "Perasaan aku menyimpannya di sini. Apa ketinggalan di meja kerja?"tanya Hana kepada dirinya sendiri. Ia mencoba mengingat-ingat letak kunci mobilnya. "Ah sebaiknya aku kembali. Mungkin saja aku meninggalkannya di ruanganku." "Kau mencari ini, Nona?" Hana menghentikan langkahnya saat hendak kembali ke ruangannya. Wanita itu membalikkan tubuh dan mendapati seorang pria tampan tengah menatapnya. Tangan pria itu menyodorkan sebuah benda pada Hana. Benda yang ia cari sejak tadi. "Kunci m
Hana melangkahkan kakinya lebar-lebar di sepanjang koridor rumah sakit. Pagi inj, wanita itu datang terlambat. Dan penyebabnya adalah ia yang bangun kesiangan. Pagi ini, sekitar jam 08.30 Hana mempunyai jadwal operasi. Dan sekarang masih pukul 07.55 am. Masih ada sekitar 35 menit lagi waktu yang wanita itu punya sebelum operasi dilaksanakan. Hana memilih untuk mengunjungi kamar pasiennya. Kamar pertama yang wanita itu kunjungi adalah kamar VIP yang terletak di lantai 7. Kamar itu adalah kamar di mana seorang Dallas Wheeler dirawat. Bukan tanpa alasan Hana memilih kamar Dallas sebagai kamar pertama yang ia kunjungi sekaligus pasien pertama yang ia periksa hari ini. Wanita itu hanya tidak ingin Dallas mengeluh lagi tentang pekerjaannya. Bisa-bisa pria itu kembali mengadukan Hana pada Tn. Albert. Cukup satu kali saja pria paruh baya itu menegur Hana. Hana telah sampai di depan pintu kamar Dallas. B
Louis mengerutkan keningnya saat pria itu menginjakkan kedua kakinya di kamar Dallas. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa barang-barang di sana tidak terletak sesuai tempatnya. "Apa ini kamar?"tanya Louis pada Dallas yang tengah termenung. Tidak tahu pria itu sedang memikirkan apa. "Hey! Kau mendengarku?" Dallas menolehkan kepalanya. Ia menatap Louis tajam. "Pertanyaan itu ... sama seperti pertanyaan yang diajukan oleh dokter Hana padaku." "Semua orang akan bertanya seperti itu jika berkunjung ke tempat ini." Louis menarik sebuah kursi ke sebelah ranjang Dallas lalu mendudukkan pantatnya di sana. "Kau membawa sarapanku, Loulou?"tanya Dallas sembari melirik Louis. Louis memutar bola matanya. Ia memberikan sebuah paper bag yang sejak tadi dibawanya ke Dallas membuat pria itu sumringah. "Sesuai pesananku, bukan?"tanya Dallas. Pria itu menelisik isi pa
Seperti hari-hari biasanya, hari ini Louis bangun dengan tepat waktu di pagi hari. Bersiap-siap lalu pergi ke kantor. Mengurus beberapa urusan perusahaan selagi Dallas di rawat di rumah sakit. Mengecek segala hal yang terjadi di kantor dan memastikan situasinya tetap aman terkendali. Setelahnya, barulah pria itu berangkat ke rumah sakit untuk menemani Dallas. Lalu lintas hari ini terpantau normal. Namun, tidak menjadikan Louis berhenti bersikap waspada. Pria itu tetap memperhatikan ke sekelilingnya. Karena sebelumnya, hal ini terjadi pada Dallas yang mengalami kecelakaan padahal menurut kesaksian pria itu, keadaan lalu lintas waktu kecelakaannya terjadi terpantau normal. Suara dari pemutar musik memenuhi seisi mobil. Namun, tidak terlalu keras hingga menutupi pendengaran pria itu terhadap keadaan di luar mobilnya. Sesekali, Louis bersiul mengikuti ritme lagu yang di putar. Jari telunjuk pria itu bahkan ikut menget
Dallas tidak berhenti tersenyum seraya memandangi Hana yang tengah memeriksanya. Wanita itu sedang fokus mengganti beban di bahunya dan ia benar-benar menyukai hal itu. Dallas bersyukur karena ternyata, komplain dia terhadap pekerjaan Hana ada gunanya juga. Sekarang, wanita itu mengerjakan semua hal yang terkait dengan Dallas langsung dari tangannya sendiri tanpa embel-embel menyuruh perawat menanganinya. "Selamat pagi, dokter Hana."sapa Dallas masih dengan senyumannya. Hana diam saja. Wanita itu sibuk membalut bahu Dallas dengan perban putih yang ia bawa. Tingkahnya yang seperti itu, membuat Dallas semakin gencar ingin menggodanya. "Kau datang terlambat pagi ini, dokter Hana."ucap Dallas yang membuat Hana memberikannya tatapan tajam. "Kenapa? Kau ingin melaporkanku karena terlambat? Dengar,! Aku memiliki jadwal operasi pagi ini. Aku juga harus mengecek pasienku yang lain."jel
"Ada apa? Kau tampak sangat kesal."tanya Erick. Pria itu penasaran dengan apa yang terjadi pada Hana. Sejak tadi, wanita itu sibuk menaduk-ngaduk spaghetti yang ia pesan tanpa berniat untuk memakannya. "Hey! Aku bertanya padamu."tegur Erick karena Hana yang tak kunjung merespon pertanyaannya. Hana menghela napasnya kasar. Wanita itu menenggelamkan wajahnya ke dalam dua telapak tangannya. Erick dapat mendengar erangan kecil wanita itu yang terdengar sangat frustasi. Pria itu semakin yakin bahwa telah terjadi sesuatu pada Hana. Hana mengangkat wajahnya yang kini terlihat kusut. Rambut wanita itu juga sedikit terlihat berantakan. Ia menatap Erick frustasi. "Sebenarnya apa kesalahanku sehingga harus memiliki pasien seperti dirinya?"tanya Hana dengan nada geram bercampur frustasi. "Dirinya? Siapa?"tanya Erick bingung. Pria itu juga sedikit terkejut dengan tingkah Hana ya