"Selamat pagi, dokter Hana."
Hana tersenyum menanggapi sapaan para staff rumah sakit saat ia tiba di sana. Sesekali ia juga membalas sapaan mereka. Sesekali juga, ia hanya membalasnya dengan senyuman.
"Pagi, Hana," sapa Erick saat ia tidak sengaja bertemu dengan wanita itu di koridor rumah sakit. Pria itu membawa segelas kopi hangat di tangannya.
Hana menghentikan langkahnya. Ia tersenyum tipis seraya membalas sapaan Erick. "Pagi, Erick," jawab Hana singkat.
"Kau sudah sarapan? Mau sarapan bersama sebelum bekerja?"tawar Erick pada Hana. Namun, wanita itu menolak ajakannya halus.
"Aku sudah sarapan tadi. Mungkin lain kali," papar Hana.
Erick menganggukkan kepalanya paham. "Baiklah, jika begitu. Aku ingin pergi ke cafeteria, membeli sepotong sandwich. Sampai jumpa," ucap pria itu sebelum akhirnya berlalu dari hadapan Hana.
&nbs
Happy reading and enjoy 💕
"Aku tidak perduli!" Itu adalah kalimat terakhir yang Hana ucapkan sebelum keluar dari kamar Dallas. Wanita itu dengan terang-terangan menunjukkan penolakannya terhadap usulan yang diajukan pasien tampannya itu. Namun, di sinilah ia sekarang. Duduk serius dengan sebuah laptop di hadapannya. Kedua mata bulatnya menatap serius ke pada layar laptop tersebut. Ia tampak mencari beberapa informasi dari sana. Hana tengah sibuk mencari informasi seputar Hawai. Tentang apa saja hal menarik yang berada di negara bagian Amerika serikat tersebut. "Ini lumayan," komentar Hana seraya menatap fokus ke layar laptop. "Pantai di sana juga sangat terkenal. Sepertinya akan menyenangkan jika aku berkunjung ke sana," sambungnya. Tiba-tiba Hana terdiam. Hawai adalah saran dari Dallas. Bukankah tadi ia mengatakan bahwa ia tidak perduli dengan tempat yang dikatakan pria itu? Lalu, mengapa se
Hana baru saja selesai memeriksa seorang pasien beberapa menit yang lalu. Saat ini, dokter muda itu tengah berjalan menuju ruang kerjanya untuk mempersiapkan operasi yang akan ia lakukan 1 jam mendatang. Wanita itu sesekali tersenyum saat berpapasan dengan staff maupun pasien di DW hospital. Waktu sudah menunjukkan pukul 4.25 sore. Banyak pasien yang memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar koridor maupun taman rumah sakit untuk sekedar menghilangkan rasa bosan, tentu setelah masing-masing pasien tersebut telah mendapat izin dari dokter yang merawat mereka. Langkah Hana terhenti saat matanya menangkap sosok familiar yang tengah duduk di atas sebuah bangku panjang di taman DW hospital. Wanita itu melihat sosok pria tersebut dari arah samping. Namun, ia langsung bisa mengenalinya bahkan dari jarak tempat ia berdiri saat ini. Hana memutuskan untuk mendekat ke arah pria tersebut yang terlihat tengah termenung
"Bagaimana bisa kau terus saja mengacuhkanku? Apa aku tidak semenarik itu di matamu, dokter Hana?"tanya Dallas. Tatapan pria itu terlihat semakin dalam dan berbeda. "Apa kau tidak pernah sedikitpun merasa tertarik padaku, dokter Hana?"tanya Dallas sekali lagi bahkan sebelum Hana sempat menjawab pertanyaan yang ia ajukan sebelumnya. Hana tertegun. Wanita itu memalingkan wajahnya. Entah mengapa, ia tiba-tiba tidak betah melihat ke arah mata Dallas yang tengah menatapnya. Ia meremas ujung jasnya yang bewarna putih. Mencoba meredam kegelisahan yang mulai menguasai sebagian dirinya. Hana tidak ingin terlihat bodoh di depan Dallas hanya karena kata-kata yang sialnya, berhasil memberi dampak yang cukup besar bagi dirinya. Dallas terus saja memandang ke arah Hana yang bahkan telah memalingkan wajah darinya. Sikap Hana yang seperti itu, menciptakan sebuah perasaan aneh di dadanya. Perasaan asing
Louis baru saja terlepas dari pekerjaannya yang melelahkan di kantor. Begitu banyak hal yang harus ia lakukan selagi Dallas tengah dirawat di rumah sakit. Pria itu berniat pulang ke rumahnya. Ia membayangkan bagaimana secangkir coklat panas akan menemani dirinya nanti. Belum lagi ranjang empuk yang selalu siap sedia menampung tubuh tingginya. Namun, semua khayalannya sirna seketika saat ia mendapat panggilan telepon dari Dallas. Sebenarnya, Louis bisa saja mengabaikan panggilan masuk dari pria itu. Dia juga sudah biasa melakukannya. Hanya saja, kali ini berbeda. Suara panik Dallas dari seberang telepon memaksa mata Louis terbuka lebar dan membuat pria itu segera tancap gas menuju rumah sakit. Ia benar-benar panik. Khawatir dengan apa yang terjadi dengan sahabatnya yang sedikit kurang ajar itu. Tidak biasanya seorang Dallas Wheeler yang selalu terlihat santai dalam segala keadaan akan bersikap panik sep
Louis memandang ke arah Dallas. Pria itu menaikkan sebelah alisnya. Ekspresi yang terganbar di wajahnya seolah-olah menunjukkan bahwa ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. "Kenapa? Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Dallas sensi. Louis masih saja diam. Pria itu tampak berpikir keras. Dilihatnya dengan teliti wajah pria yang sedang setengah berbaring di atas ranjang rumah sakit itu. Louis mencoba mencari jejak kebohongan maupun lelucon di wajah tampan Dallas. Namun, yang ia temukan hanyalah tatapan serius yang sangat jarang sekali ia lihat di wajah Dallas. Ekspresi yang benar-benar langka. Louis mencoba mencerna satu persatu kata yang diucapkan oleh Dallas. Ia mencoba menghubungkan semuanya dengan keadaan sahabatnya itu saat ini. Dan, semua hal tersebut terlihat masuk akal. Dokter Hana bukanlah sosok wanita biasa yang bisa didapatkan Dallas dengan cara yang mudah. Jika biasa
Sebuah tempat dengan pencahayaan remang-remang. Diisi oleh orang-orang yang bergerak tidak beraturan mengikuti irama musik dari disk jokey yang menggelegar hingga menggetarkan lantai. Beberapa pelayan berseragam juga tampak sibuk mondar-mandir membawa minuman beralkohol entah itu dari kasta bir, wine hingga tequila. Kondisi yang jauh dari ketenangan. Jika tidak terbiasa mungkin seseorang bisa saja pingsan dengan keadaan di dalam ruangan seperti ini. Belum lagi beberapa pasangan yang dengan tidak tahu malu berciuman bahkan melakukan hal yang lebih. Sepasang kaki jenjang yang dibalut dengan sehelai celana mewah melangkah kedalam ruangan itu. Bagai disihir, kehadirannya mampu membelah lautan manusia yang tadinya sedang menggila. Mereka kompak memberikan jalan pada sosok yang dengan tenang melangkah penuh percaya diri. Sebagian orang mulai berbisik-bisik. Sebagian pria menatap tak suka ada pula yang menatap penuh hor
Hana baru saja tiba di rumah sakit pagi ini. Berniat memulai harinya dengan bekerja seperti biasanya. Bertemu beberapa perawat dan dokter lain lalu saling menyapa. Kemudian melakukan kewajibannya sebagai seorang dokter. Namun, baru saja wanita itu menginjakkan kaki di rumah sakit tempat ia bekerja, Hana sudah dikejutkan dengan suara sirine mobil ambulan yang terdengar nyaring. Wanita itu menatap penuh tanya saat mobil yang dominan bewarna putih itu terparkir di depan rumah sakit dengan sirine yang masih menyala. Seperti baru saja tiba di sana. Ternyata dugaan Hana tepat. Dari pintu belakang ambulan keluar seorang perawat laki-laki yang terburu-buru mengambil hospital bed lalu membawanya. "Dokter Hana, bisa kau membantuku?"tanya perawat pria itu. Hana menganggukkan kepalanya. Setelah meletakkan tas di resepsionis, wanita itu segera mendekati ambulan. Ternyata di sana juga telah ada 2 orang orang perawat la
Operasi telah selesai dilakukan. Kini, Dallas sudah dipindahkan ke ruang rawat inap VIP. Hana sebelumnya sudah menduga hal ini. Dallas memang terlihat bukan seperti orang biasa. Hal ini semakin menguatkan keyakinannya dengan kehadiran Louis yang mengaku sahabat pria itu. Saat ini, Hana tengah memasang beberapa peralatan rumah sakit untuk Dallas dibantu seorang perawat wanita. Pria itu masih tertidur dengan pulas. Mungkin efek bius masih belum hilang darinya. Pintu tiba-tiba terbuka mengalihkan perhatian seisi ruangan kecuali Dallas, tentunya. Dari ambang pintu tampak Louis yang tengah berjalan mendekat. Ia menyapa Hana dan perawat di samping wanita itu kemudian berdiri di sebelah ranjang Dallas. "Bagaimana keadaannya, dok?" "Syukurlah, operasinya berjalan lancar. Dia hanya perlu menjalani perawatan intensif beberapa waktu sebelum akhirnya diperbolehkan pulang."jelas Hana. &nbs