Hana mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan meja. Saat ini, wanita itu tengah berada di ruangan direktur umum DW Hospital. Tn. Albert sendirilah yang memanggilnya kesini.
Hana tahu mengapa Tn. Albert memanggilnya untuk menemui pria itu. Semua ini pasti dikarenakan keluhan yang disampaikan oleh Dallas beberapa waktu yang lalu dan membuat wanita itu berakhir di sini.
"Kau pasti sudah tahu kenapa aku memanggilmu kemari, dokter Hana."ucap Tn. Albert yang sepertinya ingin cepat-cepat ke inti pembicaraan.
Hana menganggukkan kepalanya. "Tentang Tn. Wheeler, dan semua keluhannya terhadap pekerjaanku."
Tn. Albert menghela napasnya pelan. "Dengar, Hana. Kau adalah dokter favoritku di sini. Salah satu dokter terbaik di rumah sakit ini. Aku mengerti kau telah bekerja semaksimal mungkin. Tapi, aku harap untuk kali ini kau bisa memakluminya."
Hana terdiam sejenak. Wanita itu menatap lama wajah Tn. Albert yang mulai mengeriput. "Aku hanya bekerja seperti biasanya, Tn. Albert. Aku bersikap adil kepada siapapun pasienku. Sejauh ini, tidak ada yang pernah mengeluh tentang itu."
"Kalau begitu, untuk satu pasien saja. Kumohon, dokter Hana. Kau tidak harus melakukannya dengan seluruh pasienmu. Hanya pada Tn. Wheeler saja."pinta Tn. Albert.
Hana menatap tak percaya pada Tn. Albert. "Ada apa denganmu, Tn. Albert? Tidak biasanya kau ikut mencampuri pekerjaanku seperti ini."
Tn. Albert bangkit dari duduknya. Ia lalu berdiri menghadap jendela yang ada di belakang meja kerjanya. Posisi pria paruh baya itu saat ini membelakangi Hana.
"Karena ... Bukan hanya pekerjaanmu saja yang akan dipertaruhkan di sini, Hana."ucapnya pelan tapi masih bisa di dengar oleh telinga Hana.
Wanita itu mengerutkan keningnya. "Aku tidak mengerti ..."
Tn. Albert membalikkan badannya. Lalu menatap Hana. Pria itu terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab, "Karena dia itu Dallas Wheeler. Pemilik DW company, sekaligus pemilik rumah sakit ini."
***
Hana melangkahkan kakinya lebar-lebar di koridor Rumah Sakit. Wanita itu terlihat terburu-buru. Ia bahkan tidak membalas sapaan orang-orang yang menyapanya.
Langkah Hana terhenti di depan sebuah pintu ruang rawat inap. Wanita itu langsung membuka pintu tersebut bahkan tanpa mengetuknya terlebih dahulu sehingga membuat orang-orang yang berada di dalam ruangan itu terkejut. Bahkan pasien yang tengah diperiksa ikut terdampak efeknya.
"What the fu-- ..."umpat Erick. Pria itu terkejut bukan main saat melihat pintu ruangan yang tiba-tiba terbuka. Ia bahkan sampai lupa bahwa sekarang ia tengah berada bersama pasien.
"Kau sedang sibuk?"tanya Hana seperti tidak merasa bersalah sedikitpun.
Erick memelototkan matanya. Pria itu menatap Hana sinis. "Kau tidak lihat?"
Hana terdiam. Ia menatap ke sekeliling ruangan dan baru menyadari bahwa saat ini wanita itu tengah menjadi pusat perhatian. Hana kemudian membungkuk untuk meminta maaf.
"Maafkan aku, tapi ada hal penting yang ingin kubicarakan dengan mu."
Erick mengerutkan dahinya. "Penting sekali? Apa tidak bisa menunggu sebentar?"
Hana tampak berpikir sejenak. "Sepertinya bisa. Tapi sebentar lagi aku akan ada jadwal operasi jadi, kuharap kau segera meluangkan waktumu."
Erick memutar bola matanya. "Kalau begitu, tunggulah di ruanganku. Setelah ini aku akan menemuimu di sana."
Hana menganggukkan kepalanya. Setelah meminta maaf sekali lagi kepada seisi ruangan, wanita itu segera pergi ke ruang kerja Erick. Lalu menunggu pria itu di sana.
Wanita itu memperhatikan kesekeliling ruangan Erick. Lalu, tatapannya jatuh pada beberapa bingkai foto yang tersusun rapi di atas meja.
Ada sekitar 4 bingkai foto dengan warna yang sama. Isinya adalah gambar-gambar Erick saat pria itu tengah liburan. Ada foto Erick saat mendaki gunung, hingga fotonya saat sedang bermain di tepi pantai.
Erick adalah tipe pria yang suka dengan suasana alam. Jika sedang berlibur, pria itu akan memilih menghabiskan waktu dengan menjelajahi alam.
Hampir 15 menit Hana menunggu Erick, akhirnya pria itu tiba dengan membawa dua cup coffee lalu memberikan salah satunya kepada Hana.
"Kenapa lama sekali?"tanya Hana. Wanita itu kemudian meminum coffee yang diberikan Erick.
"Aku masih harus melakukan pengecekan terhadap 1 pasien lagi. Selain itu, aku juga mengambil coffee untukmu dan untukku."
"Tapi, aku tidak menyuruhmu membawa coffee untukku."ucap Hana.
Erick memutar bola matanya. "Sudahlah, kau juga meminumnya. Sekarang katakan! Apa yang ingin kau bicarakan denganku?"
Hana terdiam sejenak. Wanita itu meletakkan cup coffe di atas meja kemudian menatap Erick serius. "Ini tentang Dallas Wheeler."
Ekspresi Erick seketika berubah. Pria itu juga ikut meletakkan cup coffeenya di atas meja. Ia menunjuk wajah Hana hingga membuat wanita itu terkejut.
"Kebetulan, aku juga ingin membicarakan tentangnya."
"Benarkah? Jadi, kau yang mulai atau aku?"tanya Hana.
Erick tampak berpikir. "Kau saja dulu! Sepertinya ceritamu tentang Dallas Wheeler lebih menarik."
Hana menganggukkan kepalanya. Wanita itu menarik napasnya sejenak kemudian mulai berbicara.
"Seperti yang pernah kukatakan padamu, aku memiliki seorang pasien baru yang cukup meresahkan. Dan nama pasienku itu adalah Dallas Wheeler. Kau tahu? Dia selalu saja membuatku kesal dengan tingkahnya. Selalu saja mengeluh ..."
"... Pagi ini, saat aku memeriksanya ia mengeluh tentang pekerjaanku. Dia ingin aku yang mengurus segala keperluannya, bukan perawat. Tentu saja aku menolaknya. Kukatakan bahwa itu adalah tugas perawat. Lalu, tiba-tiba Tn. Albert datang ke kamarnya. Menjenguk pria menyebalkan itu. Dan kau tahu?"
Erick menggelengkan kepalanya. "Tidak, lalu?"
"Kau tahu? Dia menyampaikan keluhannya tentangku pada Tn. Albert. Karena itulah usai bekerja, Tn. Albert memanggilku ke ruangannya. Ia memintaku untuk bersikap lebih baik lagi kepada Dallas ..."
Hana memberikan jeda pada kalimatnya untuk bernapas sejenak kemudian melanjutkan, "... Aku merasa bingung dengan hal itu, karena tidak biasanya Tn. Albert ikut campur urusanku. Namun, setelah aku menanyakan alasannya, kau tahu? Apa yang dikatakan Tn. Albert padaku?"
"Dallas Wheeler adalah pemilik rumah sakit ini."ucap Erick seolah mengerti apa yang akan dikatakan Hana selanjutnya. Hal ini sontak membuat Hana terkejut. Wanita itu membulatkan matanya.
"Kau sudah tahu? Dan baru memberitahuku sekarang?"tanya Hana sedikit kesal. Ia menatap Erick tak percaya.
Erick menggelengkan kepalanya cepat. "Aku baru menyadarinya kemarin setelah selesai makan siang. Pantas saja, nama Dallas Wheeler terdengar tidak asing bagiku. Hal inilah yang ingin aku katakan padamu. Namun, ternyata kau juga sudah mengetahuinya sebelum aku sempat mengatakannya padamu."
Hana kehabisan kata-kata. Wanita itu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Ia menghela napasnya kasar sembari menatap langit-langit ruangan. Tangannya tergerak mengurut pangkal hidungnya."Apa itu artinya aku sedang dalam masalah besar?"
Erick mengedikkan bahunya. "Seperti yang kukatakan sebelumnya, semuanya tergantung pada bagaimana pelayanan mu terhadapnya nanti. Mungkin, semakin bagus pelayananmu, semakin bagus pula posisimy di rumah sakit ini."
Hana menegakkan punggungnya. Ia menatap Erick tajam. "Sudah kukatakan, bukan? Aku tidak pernah membeda-bedakan pelayananku kepada pasien. Tidak perduli siapapun dia dan darimana ia berasal. Jadi, aku tidak bisa berbuat seperti itu hanya karena ia pemilik rumah sakit ini."
"Mungkin sudah saatnya kau membedakannya, Hana."
Hari sudah menunjukkan pukul 7 malam. Akhirnya, setelah hari yang penuh drama Hana bisa pulang ke rumahnya. Saat ini, dengan langkah tenang wanita itu berjalan ke basement rumah sakit. Ia berhenti tepat di sebelah mobil sedannya yang bewarna putih. Wanita itu merogoh tas selempang yang ia bawa guna mencari kunci mobilnya. Namun, benda yang ia cari tak kunjung Hana temukan. "Perasaan aku menyimpannya di sini. Apa ketinggalan di meja kerja?"tanya Hana kepada dirinya sendiri. Ia mencoba mengingat-ingat letak kunci mobilnya. "Ah sebaiknya aku kembali. Mungkin saja aku meninggalkannya di ruanganku." "Kau mencari ini, Nona?" Hana menghentikan langkahnya saat hendak kembali ke ruangannya. Wanita itu membalikkan tubuh dan mendapati seorang pria tampan tengah menatapnya. Tangan pria itu menyodorkan sebuah benda pada Hana. Benda yang ia cari sejak tadi. "Kunci m
Hana melangkahkan kakinya lebar-lebar di sepanjang koridor rumah sakit. Pagi inj, wanita itu datang terlambat. Dan penyebabnya adalah ia yang bangun kesiangan. Pagi ini, sekitar jam 08.30 Hana mempunyai jadwal operasi. Dan sekarang masih pukul 07.55 am. Masih ada sekitar 35 menit lagi waktu yang wanita itu punya sebelum operasi dilaksanakan. Hana memilih untuk mengunjungi kamar pasiennya. Kamar pertama yang wanita itu kunjungi adalah kamar VIP yang terletak di lantai 7. Kamar itu adalah kamar di mana seorang Dallas Wheeler dirawat. Bukan tanpa alasan Hana memilih kamar Dallas sebagai kamar pertama yang ia kunjungi sekaligus pasien pertama yang ia periksa hari ini. Wanita itu hanya tidak ingin Dallas mengeluh lagi tentang pekerjaannya. Bisa-bisa pria itu kembali mengadukan Hana pada Tn. Albert. Cukup satu kali saja pria paruh baya itu menegur Hana. Hana telah sampai di depan pintu kamar Dallas. B
Louis mengerutkan keningnya saat pria itu menginjakkan kedua kakinya di kamar Dallas. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa barang-barang di sana tidak terletak sesuai tempatnya. "Apa ini kamar?"tanya Louis pada Dallas yang tengah termenung. Tidak tahu pria itu sedang memikirkan apa. "Hey! Kau mendengarku?" Dallas menolehkan kepalanya. Ia menatap Louis tajam. "Pertanyaan itu ... sama seperti pertanyaan yang diajukan oleh dokter Hana padaku." "Semua orang akan bertanya seperti itu jika berkunjung ke tempat ini." Louis menarik sebuah kursi ke sebelah ranjang Dallas lalu mendudukkan pantatnya di sana. "Kau membawa sarapanku, Loulou?"tanya Dallas sembari melirik Louis. Louis memutar bola matanya. Ia memberikan sebuah paper bag yang sejak tadi dibawanya ke Dallas membuat pria itu sumringah. "Sesuai pesananku, bukan?"tanya Dallas. Pria itu menelisik isi pa
Seperti hari-hari biasanya, hari ini Louis bangun dengan tepat waktu di pagi hari. Bersiap-siap lalu pergi ke kantor. Mengurus beberapa urusan perusahaan selagi Dallas di rawat di rumah sakit. Mengecek segala hal yang terjadi di kantor dan memastikan situasinya tetap aman terkendali. Setelahnya, barulah pria itu berangkat ke rumah sakit untuk menemani Dallas. Lalu lintas hari ini terpantau normal. Namun, tidak menjadikan Louis berhenti bersikap waspada. Pria itu tetap memperhatikan ke sekelilingnya. Karena sebelumnya, hal ini terjadi pada Dallas yang mengalami kecelakaan padahal menurut kesaksian pria itu, keadaan lalu lintas waktu kecelakaannya terjadi terpantau normal. Suara dari pemutar musik memenuhi seisi mobil. Namun, tidak terlalu keras hingga menutupi pendengaran pria itu terhadap keadaan di luar mobilnya. Sesekali, Louis bersiul mengikuti ritme lagu yang di putar. Jari telunjuk pria itu bahkan ikut menget
Dallas tidak berhenti tersenyum seraya memandangi Hana yang tengah memeriksanya. Wanita itu sedang fokus mengganti beban di bahunya dan ia benar-benar menyukai hal itu. Dallas bersyukur karena ternyata, komplain dia terhadap pekerjaan Hana ada gunanya juga. Sekarang, wanita itu mengerjakan semua hal yang terkait dengan Dallas langsung dari tangannya sendiri tanpa embel-embel menyuruh perawat menanganinya. "Selamat pagi, dokter Hana."sapa Dallas masih dengan senyumannya. Hana diam saja. Wanita itu sibuk membalut bahu Dallas dengan perban putih yang ia bawa. Tingkahnya yang seperti itu, membuat Dallas semakin gencar ingin menggodanya. "Kau datang terlambat pagi ini, dokter Hana."ucap Dallas yang membuat Hana memberikannya tatapan tajam. "Kenapa? Kau ingin melaporkanku karena terlambat? Dengar,! Aku memiliki jadwal operasi pagi ini. Aku juga harus mengecek pasienku yang lain."jel
"Ada apa? Kau tampak sangat kesal."tanya Erick. Pria itu penasaran dengan apa yang terjadi pada Hana. Sejak tadi, wanita itu sibuk menaduk-ngaduk spaghetti yang ia pesan tanpa berniat untuk memakannya. "Hey! Aku bertanya padamu."tegur Erick karena Hana yang tak kunjung merespon pertanyaannya. Hana menghela napasnya kasar. Wanita itu menenggelamkan wajahnya ke dalam dua telapak tangannya. Erick dapat mendengar erangan kecil wanita itu yang terdengar sangat frustasi. Pria itu semakin yakin bahwa telah terjadi sesuatu pada Hana. Hana mengangkat wajahnya yang kini terlihat kusut. Rambut wanita itu juga sedikit terlihat berantakan. Ia menatap Erick frustasi. "Sebenarnya apa kesalahanku sehingga harus memiliki pasien seperti dirinya?"tanya Hana dengan nada geram bercampur frustasi. "Dirinya? Siapa?"tanya Erick bingung. Pria itu juga sedikit terkejut dengan tingkah Hana ya
Hana tengah memeriksa Dallas saat ini. Seperti biasanya, wanita itu akan mengecek kembali keadaannya lalu mengganti ulang perban di bahu pria itu. Dallas akan menatapnya dalam diam sembari tersenyum semanis mungkin walaupun pria itu tahu tidak sekalipun Hana membalas senyumannya. "Kau terlihat cantik hari ini, dokter Hana. Kau terlihat lebih fresh daripada biasanya. Kau sudah sarapan terlebih dahulu?"tanya Dallas. Hana melirik pria itu sekilas kemudian melanjutkan kembali mengganti perban di bahu Dallas. "Sudah kukatakan padamu, bahwa aku selalu sarapan setiap pagi." Dallas menganggukkan kepalanya paham. Ia kemudian menatap Hana lagi. "Lalu, apa yang membuatmu tampak berbeda hari ini? Kau tidak lagi menatapku dengan sinis atau mengucapkan kata-kata tajammu itu padaku." Hana menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Dallas kemudian tersenyum tipis. Hal ini sontak membuat Dallas terkejut. Karena,
"Ternyata rumah sakit tidak terlihat mengerikan seperti namanya. Aku harus lebih sering keluar kamar untuk melihat seluruh rumah sakit ini."ucap Dallas seraya memandang ke sekelilingnya. Pria itu tengah di taman rumah sakit saat ini bersama dengan Hana yang cemberut di sebelahnya. Bagaimana tidak? Semenjak kakinya melangkah keluar dari kamar Dallas bersama pria itu, mereka berdua langsung menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju pada mereka --ah, maksutnya pada Dallas-- yang kebetulan sedang bersama dengannya. Tepat seperti yang dikatakan oleh Erick tentang Dallas tempo hari, Dallas adalah seseorang yang namanya terkenal di masyarakat terutama di antara kaum hawa. Seperti saat ini, hampir di setiap langkahnya, ada saja perempuan yang menyapa pria itu. Baik itu staf rumah sakit maupun pengunjung rumah sakit itu sendiri. Mereka tersenyum penuh kagum menatap Dallas sementara pria itu, membalas dengan sen
Louis memandang ke arah Dallas. Pria itu menaikkan sebelah alisnya. Ekspresi yang terganbar di wajahnya seolah-olah menunjukkan bahwa ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. "Kenapa? Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Dallas sensi. Louis masih saja diam. Pria itu tampak berpikir keras. Dilihatnya dengan teliti wajah pria yang sedang setengah berbaring di atas ranjang rumah sakit itu. Louis mencoba mencari jejak kebohongan maupun lelucon di wajah tampan Dallas. Namun, yang ia temukan hanyalah tatapan serius yang sangat jarang sekali ia lihat di wajah Dallas. Ekspresi yang benar-benar langka. Louis mencoba mencerna satu persatu kata yang diucapkan oleh Dallas. Ia mencoba menghubungkan semuanya dengan keadaan sahabatnya itu saat ini. Dan, semua hal tersebut terlihat masuk akal. Dokter Hana bukanlah sosok wanita biasa yang bisa didapatkan Dallas dengan cara yang mudah. Jika biasa
Louis baru saja terlepas dari pekerjaannya yang melelahkan di kantor. Begitu banyak hal yang harus ia lakukan selagi Dallas tengah dirawat di rumah sakit. Pria itu berniat pulang ke rumahnya. Ia membayangkan bagaimana secangkir coklat panas akan menemani dirinya nanti. Belum lagi ranjang empuk yang selalu siap sedia menampung tubuh tingginya. Namun, semua khayalannya sirna seketika saat ia mendapat panggilan telepon dari Dallas. Sebenarnya, Louis bisa saja mengabaikan panggilan masuk dari pria itu. Dia juga sudah biasa melakukannya. Hanya saja, kali ini berbeda. Suara panik Dallas dari seberang telepon memaksa mata Louis terbuka lebar dan membuat pria itu segera tancap gas menuju rumah sakit. Ia benar-benar panik. Khawatir dengan apa yang terjadi dengan sahabatnya yang sedikit kurang ajar itu. Tidak biasanya seorang Dallas Wheeler yang selalu terlihat santai dalam segala keadaan akan bersikap panik sep
"Bagaimana bisa kau terus saja mengacuhkanku? Apa aku tidak semenarik itu di matamu, dokter Hana?"tanya Dallas. Tatapan pria itu terlihat semakin dalam dan berbeda. "Apa kau tidak pernah sedikitpun merasa tertarik padaku, dokter Hana?"tanya Dallas sekali lagi bahkan sebelum Hana sempat menjawab pertanyaan yang ia ajukan sebelumnya. Hana tertegun. Wanita itu memalingkan wajahnya. Entah mengapa, ia tiba-tiba tidak betah melihat ke arah mata Dallas yang tengah menatapnya. Ia meremas ujung jasnya yang bewarna putih. Mencoba meredam kegelisahan yang mulai menguasai sebagian dirinya. Hana tidak ingin terlihat bodoh di depan Dallas hanya karena kata-kata yang sialnya, berhasil memberi dampak yang cukup besar bagi dirinya. Dallas terus saja memandang ke arah Hana yang bahkan telah memalingkan wajah darinya. Sikap Hana yang seperti itu, menciptakan sebuah perasaan aneh di dadanya. Perasaan asing
Hana baru saja selesai memeriksa seorang pasien beberapa menit yang lalu. Saat ini, dokter muda itu tengah berjalan menuju ruang kerjanya untuk mempersiapkan operasi yang akan ia lakukan 1 jam mendatang. Wanita itu sesekali tersenyum saat berpapasan dengan staff maupun pasien di DW hospital. Waktu sudah menunjukkan pukul 4.25 sore. Banyak pasien yang memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar koridor maupun taman rumah sakit untuk sekedar menghilangkan rasa bosan, tentu setelah masing-masing pasien tersebut telah mendapat izin dari dokter yang merawat mereka. Langkah Hana terhenti saat matanya menangkap sosok familiar yang tengah duduk di atas sebuah bangku panjang di taman DW hospital. Wanita itu melihat sosok pria tersebut dari arah samping. Namun, ia langsung bisa mengenalinya bahkan dari jarak tempat ia berdiri saat ini. Hana memutuskan untuk mendekat ke arah pria tersebut yang terlihat tengah termenung
"Aku tidak perduli!" Itu adalah kalimat terakhir yang Hana ucapkan sebelum keluar dari kamar Dallas. Wanita itu dengan terang-terangan menunjukkan penolakannya terhadap usulan yang diajukan pasien tampannya itu. Namun, di sinilah ia sekarang. Duduk serius dengan sebuah laptop di hadapannya. Kedua mata bulatnya menatap serius ke pada layar laptop tersebut. Ia tampak mencari beberapa informasi dari sana. Hana tengah sibuk mencari informasi seputar Hawai. Tentang apa saja hal menarik yang berada di negara bagian Amerika serikat tersebut. "Ini lumayan," komentar Hana seraya menatap fokus ke layar laptop. "Pantai di sana juga sangat terkenal. Sepertinya akan menyenangkan jika aku berkunjung ke sana," sambungnya. Tiba-tiba Hana terdiam. Hawai adalah saran dari Dallas. Bukankah tadi ia mengatakan bahwa ia tidak perduli dengan tempat yang dikatakan pria itu? Lalu, mengapa se
"Selamat pagi, dokter Hana." Hana tersenyum menanggapi sapaan para staff rumah sakit saat ia tiba di sana. Sesekali ia juga membalas sapaan mereka. Sesekali juga, ia hanya membalasnya dengan senyuman. "Pagi, Hana," sapa Erick saat ia tidak sengaja bertemu dengan wanita itu di koridor rumah sakit. Pria itu membawa segelas kopi hangat di tangannya. Hana menghentikan langkahnya. Ia tersenyum tipis seraya membalas sapaan Erick. "Pagi, Erick," jawab Hana singkat. "Kau sudah sarapan? Mau sarapan bersama sebelum bekerja?"tawar Erick pada Hana. Namun, wanita itu menolak ajakannya halus. "Aku sudah sarapan tadi. Mungkin lain kali," papar Hana. Erick menganggukkan kepalanya paham. "Baiklah, jika begitu. Aku ingin pergi ke cafeteria, membeli sepotong sandwich. Sampai jumpa," ucap pria itu sebelum akhirnya berlalu dari hadapan Hana. &nbs
"Hallo, dokter Hana." Hana mengerutkan dahinya. Suara seorang pria terdengar dari seberang telpon. Suara itu terkesan familiar bagi Hana. Seperti ia pernah mendengar suara orang itu sebelumnya. "Siapa ini?"tanya Hana penasaran. Namun, pria itu lagi-lagi diam. Selama hampir beberapa menit, Hana hanya mendengar keheningan dari seberang telpon. "Hey, apa kau ini penipu?"tanya Hana waspada. Pria di seberang telepon tertawa renyah membuat Hana mengerutkan dahinya. Wanita itu tidak merasa ada yang lucu dengan apa yang ia katakan. "Untuk apa aku menipumu? Aku tidak punya alasan untuk melakukan hal itu."jawab pria itu di akhir tawanya. "Tentu saja untuk uang. Bukankah sudah banyak kejadian orang tertipu karena orang asing yang menelponnya,"papar Hana. "Aku sudah punya segalanya. Aku tidak perlu menipumu hanya untuk mendapatkan uang."
Dallas mengutak-atik remote yang ia pegang. Pria itu berulang kali mengganti siaran di layar televisi. Berharap akan menemukan sebuah acara yang dapat menghibur dirinya. Namun, sayangnya sudah hampir sejam ia tidak menemukan acara yang ia maksud. CEO muda itu melempar remote ke atas ranjangnya sembarangan. Ia kemudian menghela napasnya kasar. Sudah hampir jam 10 malam. Namun, kedua matanya masih belum bisa tertidur. Dallas bertanya-tanya, apa obat yang diberikan oleh pihak rumah sakit tidak berpengaruh padanya. Karena seharusnya, ia mengantuk dan tertidur setelah mengkonsumi obat-obatan tersebut. Namun, nyatanya, bahkan menguap saja ia tidak. Dallas memperhatikan ke sekelilingnya. Ia benar-benar merasa bosan. Tidak ada satupun hal menarik yang dapat ia temukan di dalam kamarnya. Bahkan ponsel mahal milik pria itu juga tidak membantu sama sekali. Louis yang biasanya menemani Dallas juga k
"Hufffttt!!"ucap Hana lelah seraya menghembuskan napasnya kasar. Wanita itu melangkah gontai ke dalam rumahnya. Langkah kakinya terhenti ketika melihat ke arah ranjang. Rasanya, Hana ingin sekali menghempaskan badan ke atas ranjang empuk beraroma lavender itu. Akan tetapi, ia mengurungkan niatnya. Tubuh Hana berkeringat setelah seharian bekerja. Ia juga baru saja pulang dari rumah sakit. Tempat di mana bakteri dan penyakit dapat berkumpul. Tentu saja, Hana tidak ingin jika smua bakteri yang ia bawa menempel pada ranjang bewarna ungu kesayangannya. Setelah menyimpan tas dan ponselnya, Hana lalu melangkah ke kamar mandi. Membersihkan tubuhnya dengan air hangat sekaligus memberikan kesegaran pada dirinya yang begitu kelelahan. Selang 30 menit kemudian, Hana keluar dari kamar mandi. Wanita itu segera mengenakan baju tidur yang nyaman. Tidak lupa pula, Hana memakai skincare night routin