Dallas tidak berhenti tersenyum seraya memandangi Hana yang tengah memeriksanya. Wanita itu sedang fokus mengganti beban di bahunya dan ia benar-benar menyukai hal itu.
Dallas bersyukur karena ternyata, komplain dia terhadap pekerjaan Hana ada gunanya juga. Sekarang, wanita itu mengerjakan semua hal yang terkait dengan Dallas langsung dari tangannya sendiri tanpa embel-embel menyuruh perawat menanganinya.
"Selamat pagi, dokter Hana."sapa Dallas masih dengan senyumannya.
Hana diam saja. Wanita itu sibuk membalut bahu Dallas dengan perban putih yang ia bawa. Tingkahnya yang seperti itu, membuat Dallas semakin gencar ingin menggodanya.
"Kau datang terlambat pagi ini, dokter Hana."ucap Dallas yang membuat Hana memberikannya tatapan tajam.
"Kenapa? Kau ingin melaporkanku karena terlambat? Dengar,! Aku memiliki jadwal operasi pagi ini. Aku juga harus mengecek pasienku yang lain."jel
"Ada apa? Kau tampak sangat kesal."tanya Erick. Pria itu penasaran dengan apa yang terjadi pada Hana. Sejak tadi, wanita itu sibuk menaduk-ngaduk spaghetti yang ia pesan tanpa berniat untuk memakannya. "Hey! Aku bertanya padamu."tegur Erick karena Hana yang tak kunjung merespon pertanyaannya. Hana menghela napasnya kasar. Wanita itu menenggelamkan wajahnya ke dalam dua telapak tangannya. Erick dapat mendengar erangan kecil wanita itu yang terdengar sangat frustasi. Pria itu semakin yakin bahwa telah terjadi sesuatu pada Hana. Hana mengangkat wajahnya yang kini terlihat kusut. Rambut wanita itu juga sedikit terlihat berantakan. Ia menatap Erick frustasi. "Sebenarnya apa kesalahanku sehingga harus memiliki pasien seperti dirinya?"tanya Hana dengan nada geram bercampur frustasi. "Dirinya? Siapa?"tanya Erick bingung. Pria itu juga sedikit terkejut dengan tingkah Hana ya
Hana tengah memeriksa Dallas saat ini. Seperti biasanya, wanita itu akan mengecek kembali keadaannya lalu mengganti ulang perban di bahu pria itu. Dallas akan menatapnya dalam diam sembari tersenyum semanis mungkin walaupun pria itu tahu tidak sekalipun Hana membalas senyumannya. "Kau terlihat cantik hari ini, dokter Hana. Kau terlihat lebih fresh daripada biasanya. Kau sudah sarapan terlebih dahulu?"tanya Dallas. Hana melirik pria itu sekilas kemudian melanjutkan kembali mengganti perban di bahu Dallas. "Sudah kukatakan padamu, bahwa aku selalu sarapan setiap pagi." Dallas menganggukkan kepalanya paham. Ia kemudian menatap Hana lagi. "Lalu, apa yang membuatmu tampak berbeda hari ini? Kau tidak lagi menatapku dengan sinis atau mengucapkan kata-kata tajammu itu padaku." Hana menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Dallas kemudian tersenyum tipis. Hal ini sontak membuat Dallas terkejut. Karena,
"Ternyata rumah sakit tidak terlihat mengerikan seperti namanya. Aku harus lebih sering keluar kamar untuk melihat seluruh rumah sakit ini."ucap Dallas seraya memandang ke sekelilingnya. Pria itu tengah di taman rumah sakit saat ini bersama dengan Hana yang cemberut di sebelahnya. Bagaimana tidak? Semenjak kakinya melangkah keluar dari kamar Dallas bersama pria itu, mereka berdua langsung menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju pada mereka --ah, maksutnya pada Dallas-- yang kebetulan sedang bersama dengannya. Tepat seperti yang dikatakan oleh Erick tentang Dallas tempo hari, Dallas adalah seseorang yang namanya terkenal di masyarakat terutama di antara kaum hawa. Seperti saat ini, hampir di setiap langkahnya, ada saja perempuan yang menyapa pria itu. Baik itu staf rumah sakit maupun pengunjung rumah sakit itu sendiri. Mereka tersenyum penuh kagum menatap Dallas sementara pria itu, membalas dengan sen
Malam sabtu kali ini, Hana lewatkan bersama dengan ayahnya. Mereka berdua tengah bersantai di tepi sungai Thames yang berada di daerah South Bank sembari melihat pemandangan London eye di seberang. Lingkaran raksasa yang menjadi ikon kota London itu, tampak begitu indah jika disaksikan saat malam tiba. Karena ada lampu beraneka warna yang menghiasi benda raksasa itu. Bukan hanya itu, pemandangan Tower bridge yang merupakan jembatan legendaris kota London juga tampak mempesona. Dari tempatnya, Hana dapat melihat lampu-lampu kendaraan yang melintas di atas jembatan tersebut sehingga membuatnya kian terlihat indah. "Kau lihat di sana? Ayah masih ingat saat kau berusia 14 tahun, ayah mengajakmu menaiki benda itu. Kau terlihat sangat senang ketika berada di atas sana."ucap Sam seraya menunjuk ke arah London eye yang berada di seberang sungai Thames. Hana tersenyum menatap benda raksasa yang tengah berputar itu. "
Dallas menaikkan sebelah alisnya seraya memandang dua orang di depannya bingung. Di hadapan pria itu saat ini, berdiri Hana dan seorang pria lain yang sama sekali tidak ia kenal. Pria asing itu berpakaian rapi. Ia tersenyum ramah kepada Dallas yang sayangnya, tdak membalas ramahnya senyuman pria itu. "Siapa dia?"tanya Dallas pada Hana. "Ah, dia adalah Alan Lennon. Seorang fisioterapis terkenal. Tn. Lennon, akan menjadi fisioterapismu."jawab Hana seraya memperkenalkan pria di sampingnya dengan semangat. Dallas mengerutkan dahinya. Ia menatap Hana dan Alan secara bergantian. "Dia? Fisioterapis yang kau pilihkan untukku?"tanya pria itu sekali lagi. Ia memperhatikan penampilan Alan dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Selamat pagi, Tn. Wheeler. Saya Alan Lennon, calon fisioterapis anda. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu proses penyembuhan anda. Saya mohon
"Kau akan cuti? Kapan?" "Sekitar dua minggu lagi." Dallas teringat obrolannya dengan Hana tempo hari. Di mana dokter cantik itu mengatakan bahwa ia akan mengambil cuti dua minggu lagi. Bukan hanya itu, Hana juga mengatakan bahwa Dallas akan segera pulang ke rumah sekitar satu minggu lagi. Dallas berdecak. Pria itu mengusap wajahnya. Entah mengapa, memikirkan semua itu membuat Dallas merasa frustasi. Memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya jika ia tidak lagi bertemu dengan Hana. "Ah, kenapa aku menjadi seperti ini? Kenapa rasanya aku ingin sekali mendapatkan hati wanita itu?"tanya Dallas pada dirinya sendiri. "Hey, sadarlah! Kau itu Dallas Wheeler! Para wanitalah yang mengejarmu. Bukan kau yang mengejar mereka. Lalu, sekarang mengapa kau keluar dari prinsipmu itu?" "Tapi, bukankah dokter Hana itu adalah wanita yang manis. Bukan masalah besar
Seperti biasa, makan siang kali ini Hana habiskan di kafetaria. Namun, bedanya kali ini ia ditemani oleh seorang fisioterapis tampan yang bernama Alan Lennon. "Sudah lama sekali, bukan? Seingatku, kita bertemu terakhir kali tahun lalu, benar bukan?"tanya Alan mencoba mengingat-ingat pertemuannya dengan Hana terakhir kali. Hana menganggukkan kepalanya. "Ya, kau benar. Itu terjadi tahun lalu, tepatnya saat menghadiri sebuah seminar?" Alan tersenyum. "Seingatku juga seperti itu." "Bagaimana dengan Jepang? Kau belum menceritakannya padaku."ucap Hana. Ia teringat bahwa Alan bekerja di Jepang sebelumnya. Alan meneguk Americano yang ia pesan tadi, lalu berpikir sejenak. "Tidak terlalu buruk. Jepang adalah negara yang indah. Sayang sekali, aku mengunjunginya saat bunga Sakura belum bermekaran. Jepang juga menjunjung tinggi nilai sopan santun. Itulah yang membuatku mer
Louis melangkahkan kakinya ke sebuah bar di kota London. Wajah tampan pria itu terlihat kusut. Ia berjalan mendekati meja bartender. "Selamat malam, Tn. Louis."ucap sang bartender berambut ikal. Louis menganggukkan kepalanya. "Aku ingin sebotol wine."ucapnya. Bartender berambut ikal itupun menganggukkan kepalanya. Dengan cekatan, ia menyediakan sebotol wine pilihan lengkap dengan sebuah gelas kaca di hadapan Louis. Louis menuangkan cairan pekat itu kedalam gelas kaca yang telah disediakan lalu meneguknya. Pria itu memejamkan matanya sembari merasakan sensasi wine yang perlahan mengalir di kerongkongannya. Perlahan kedua mata coklatnya terbuka disusul dengan helaan napas berat yang terdengar. Meski tampak lebih rileks, wajah Louis tetap saja terlihat kusut. Seperti banyak sekali beban memenuhi kepala pria itu. "Ada apa? Kau tampak berbeda ha