"Kau bilang apa tadi? Ada seseorang di balik kecelakaanku ini?"tanya Dallas terkejut.
Louis menganggukkan kepalanya. "Ada sesuatu yang janggal terkait kejadian itu. Dan aku, masih menyelidikinya hingga saat ini."
"Kau benar. Kau harus menyelidikinya. Aku harus tahu siapa keparat yang berani macam-macam denganku."ucap Dallas. Rahangnya mengeras. Pria itu tampak kesal terlebih lagi saat ia tahu bahwa kecelakaan yang membuatnya terbaring di rumah sakit saat ini adalah sebuah kesengajaan.
"Kau terlihat sangat kesal? Kenapa? Bukannya kau selalu tahu bahwa banyak orang di luar sana yang menginginkan dirimu dalam keadaan seperti ini. Aku sudah sering memperingatimu. Namun, kau tampak santai saat menanggapi hal tersebut."ujar Louis menatap Dallas penuh tanya. Pria itu menaikkan sebelah alisnya meminta Dallas segera menjawab pertanyaannya.
"Hmm, itu benar. Aku mungkin akan bersikap biasa saja jika mereka tidak sampai membuatku seperti ini. Lihatlah aku sekarang! Terbaring lemah seolah-olah tidak berdaya. Dan lihat pakaian menyedihkan ini! Sangat tidak sesuai dengan gayaku ..."
"... Seharusnya aku sedang bersantai dengan wanita-wanitaku saat ini. Menikmati segelas wine. Dan juga lekukan tubuh yang ... Ah aku sudah sangat merindukannya."oceh Dallas. Matanya menatap langit-langit ruangan. Pikirannya jauh menerawang.
"Seharusnya kau merubah sikapmu. Kau itu sudah hampir mati akibat kejadian itu. Bagaimana bisa kau memikirkan hal-hal seperti itu di saat bahu kananmu patah. Kau tidak berpikir tentang bagaimana nasibmh saat kau mati nanti?"tanya Louis keheranan. Pria itu menatap Dallas tidak habis pikir.
Dallas menaik turunkan alisnya. Kemudian tersenyum dengan tengil. "Harta, tahta, selangkangan wanita. Apa aku perlu menjelaskannya padamu?"
'tok-tok-tok'
Louis yang tadinya hendak membalas ucapan Dallas terpaksa mengurungkan niatnya. Pria tampan itu segera bangkit dari duduknya lalu membuka pintu. Dari luar ruangan, tampak Hana yang datang dengan seorang perawat pria.
"Oh dokter Hana? Silahkan masuk."ucap Louis lalu menggeser badannya. Memberikan tempat agar Hana dan perawat itu bisa masuk.
Dallas yang melihat kedatangan Hana sontak tersenyum lebar. "Selamat datang kembali, Dokter Hana."
Hana tidak menjawab sapaan Dallas. Wanita itu sibuk mengecek botol infus Dallas yang mulai kosong lalu menggantinya.
"Ganti perban di bahu dan kepalanya."perintah Hana pada perawat pria yang datang bersamanya. Perawat itupun dengan sigap menuruti perintah Hana dan mendekati Dallas.
"Kenapa tidak kau saja yang menggantinya?"tanya Dallas saat perawat itu mendekatinya.
"Kenapa tidak? Aku membawanya kesini untuk melakukan tugasnya. Apa itu salah?" Bukannya menjawab, Hana malah balik bertanya.
"Bukankah ini juga tugasmu? Oh ayolah, dokter Hana. Jangan menimpakan semua tugasmu kepada bawahanmu."
Hana menatap Dallas tajam. "Kau tidak perlu menasihatiku. Aku tahu apa dan bagaimana tugasku. Tugasku mungkin merawat dan memastikan kau sembuh dengan sebaik mungkin. Tapi, perawat juga mempunyai tugas yang hampir sama denganku. Untuk urusan mengganti perban, dan perawatanmu adalah urusan perawat. Aku hanya bertugas untuk mengarahkan mereka."
"Apa ada masalah?"
Semua kompak menoleh saat sebuah suara milik seorang pria tiba-tiba muncul. Di ambang pintu tampak seorang pria paruh baya berpakaian rapi tengah berdiri sambil tersenyum. Ia membawa sebuket bunga dan sekeranjang buah yang tampak segar.
"Tuan Albert? Wah senang bertemu denganmu lagi." Louis adalah orang pertama yang bereaksi. Ia berjabat tangan dengan pria yang bernama Albert itu.
"Direktur?"tanya Hana pelan. Ia menatap bingung pada Albert yang datang secara tiba-tiba.
"Halo, Pak direktur. Sudah lama bukan?"tanya Dallas saat Tn. Albert tiba di sebelahnya.
"Benar, tuan Wheeler. Sudah lama sekali sejak pertemuan terakhir kita. Yang aku ingat sekitar ... 1tahun yang lalu? Kalau tidak salah saat ulang tahun Wheeler company, bukan?"
Dallas menganggukkan kepalanya. "Ternyata ingatanmu cukup bagus untuk usia lanjut sepertimu."
Tn. Albert tertawa mendengar ucapan Dallas. Ia sama sekali tidak tersinggung dengan apa yang dikatakan oleh pria itu.
"Aku membawa beberapa buah tangan kecil untukmu. Aku harap kau bisa menerimanya, Tn. Wheeler."ucap Albert seraya meletakkan bingkisan yang ia bawa tadi di atas nakas.
Dallas tersenyum. "Ah terima kasih Tn. Albert. Kenapa berdiri saja? Duduklah. Terlalu lama berdiri tidaklah baik untuk seseorang dengan usia lanjut sepertimu."
Louis dan Hana menghela napasnya kasar. Dallas benar-benar pria yang tidak kenal sopan santun. Bahkan dengan orangtua sekalipun.
"Jadi, bagaimana kabarmu Tn. Wheeler? Aku turut merasa prihatin dengan kecelakaan yang menimpa dirimu."
Mendengar pertanyaan Tn. Albert membuat Dallas tiba-tiba menyeringai. Pria itu menatap Hana sekilas lalu, sebuah ide licik muncul begitu saja di pikirannya.
"Seperti yang kau lihat. Keadaanku sudah cukup baik. Rumah sakit ini melayaniku dengan sangat baik. Namun ..."ucap Dallas dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat.
"Namun? Apa terjadi sesuatu tuan?"tanya Tn. Albert penasaran.
Dallas melirik Hana sekali lagi. Kemudian melanjutkan, "Aku sebenarnya tidak ingin mengatakan hal ini. Tapi, karena aku mempercayaimu aku akan mengatakannya ..."
Dallas menarik napasnya. Sementara Tn. Albert mendengarkan. "Jujur saja, aku sedikit kecewa dengan pelayanan yang diberikan oleh dokter Hana. Bukan berarti aku mengatakan pekerjaannya buruk. Hanya saja, aku ingin segala hal yang menyangkut kesehatanku langsung ia kerjakan dengan tangannya sendiri ..."
"Ah maafkan aku. Aku tidak bermaksut mengatakan bahwa dokter Hana itu lalai atau semacamnya. Tapi, kau pasti mengerti. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kesembuhanku. Kau pasti paham, Tn. Albert. Aku juga tipe orang yang sulit mempercayai seseorang. Bukan berarti aku mengatakan pekerjaanmu tidak baik, kawan." Dallas mengatakan kalimat terakhirnya kepada perawat yang datang bersama Hana.
Hana sontak terkejut. Sejak tadi, wanita itu diam saja tidak berniat mencampuri urusan antara Dallas dan direktur rumah sakit. Namun, tiba-tiba saja pasiennya itu menyebutkan nama Hana dalam daftar keluhan yang ia buat.
Wanita itu menatap Dallas tajam. Mencoba memperingarinya agar tidak bertindak lebih jauh lagi. Namun, bukannya takut Dallas malah semakin senang melihat Hana kesal karena ulahnya.
"Ah jadi, begitu. Baiklah, nanti aku akan mencoba berbicara dengan dokter Hana."ujar Tn. Albert.
Dallas sontak memasang ekspresi tidak enak yang dibuat-buat olehnya. "Tidak perlu begitu, Tn. Albert. Dokter Hana sudah melakukan tugasnya dengan baik. Tidak apa-apa biarkan saja seperti ini."
Hana memutar bola matanya malas. Sungguh, Dallas sangat ahli dalam berpura-pura. Seharusnya dia mendaftar sebagai seorang aktor atau semacamnya. Selain mempunyai wajah yang cocok untuk profesi itu, ia juga lihai dalam berakting.
"Tidak, Tn. Wheeler. Kenyamanan setiap pasien di rumah sakit ini adalah prioritas kami. Sudah menjadi tanggung jawab kami memastikan keadaan pasien dengan sebaik-baiknya hingga pasien tersebut benar-benar sembuh. Aku berjanji, kau tidak akan merasa kecewa lagi setelah ini."
"Ah terimakasih banyak, Tn. Albert. Tidak sia-sia kau menjadi direktur rumah sakit ini."ucap Dallas.
Pria itu menatap Hana yang langsung membuang mukanya. Dallas menyeringai lalu berucap dengan sangat pelan nyaris tanpa suara, "Aku menang, dokter Hana."
Hana mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan meja. Saat ini, wanita itu tengah berada di ruangan direktur umum DW Hospital. Tn. Albert sendirilah yang memanggilnya kesini. Hana tahu mengapa Tn. Albert memanggilnya untuk menemui pria itu. Semua ini pasti dikarenakan keluhan yang disampaikan oleh Dallas beberapa waktu yang lalu dan membuat wanita itu berakhir di sini. "Kau pasti sudah tahu kenapa aku memanggilmu kemari, dokter Hana."ucap Tn. Albert yang sepertinya ingin cepat-cepat ke inti pembicaraan. Hana menganggukkan kepalanya. "Tentang Tn. Wheeler, dan semua keluhannya terhadap pekerjaanku." Tn. Albert menghela napasnya pelan. "Dengar, Hana. Kau adalah dokter favoritku di sini. Salah satu dokter terbaik di rumah sakit ini. Aku mengerti kau telah bekerja semaksimal mungkin. Tapi, aku harap untuk kali ini kau bisa memakluminya." Hana terdiam sejenak. Wanita itu menatap
Hari sudah menunjukkan pukul 7 malam. Akhirnya, setelah hari yang penuh drama Hana bisa pulang ke rumahnya. Saat ini, dengan langkah tenang wanita itu berjalan ke basement rumah sakit. Ia berhenti tepat di sebelah mobil sedannya yang bewarna putih. Wanita itu merogoh tas selempang yang ia bawa guna mencari kunci mobilnya. Namun, benda yang ia cari tak kunjung Hana temukan. "Perasaan aku menyimpannya di sini. Apa ketinggalan di meja kerja?"tanya Hana kepada dirinya sendiri. Ia mencoba mengingat-ingat letak kunci mobilnya. "Ah sebaiknya aku kembali. Mungkin saja aku meninggalkannya di ruanganku." "Kau mencari ini, Nona?" Hana menghentikan langkahnya saat hendak kembali ke ruangannya. Wanita itu membalikkan tubuh dan mendapati seorang pria tampan tengah menatapnya. Tangan pria itu menyodorkan sebuah benda pada Hana. Benda yang ia cari sejak tadi. "Kunci m
Hana melangkahkan kakinya lebar-lebar di sepanjang koridor rumah sakit. Pagi inj, wanita itu datang terlambat. Dan penyebabnya adalah ia yang bangun kesiangan. Pagi ini, sekitar jam 08.30 Hana mempunyai jadwal operasi. Dan sekarang masih pukul 07.55 am. Masih ada sekitar 35 menit lagi waktu yang wanita itu punya sebelum operasi dilaksanakan. Hana memilih untuk mengunjungi kamar pasiennya. Kamar pertama yang wanita itu kunjungi adalah kamar VIP yang terletak di lantai 7. Kamar itu adalah kamar di mana seorang Dallas Wheeler dirawat. Bukan tanpa alasan Hana memilih kamar Dallas sebagai kamar pertama yang ia kunjungi sekaligus pasien pertama yang ia periksa hari ini. Wanita itu hanya tidak ingin Dallas mengeluh lagi tentang pekerjaannya. Bisa-bisa pria itu kembali mengadukan Hana pada Tn. Albert. Cukup satu kali saja pria paruh baya itu menegur Hana. Hana telah sampai di depan pintu kamar Dallas. B
Louis mengerutkan keningnya saat pria itu menginjakkan kedua kakinya di kamar Dallas. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa barang-barang di sana tidak terletak sesuai tempatnya. "Apa ini kamar?"tanya Louis pada Dallas yang tengah termenung. Tidak tahu pria itu sedang memikirkan apa. "Hey! Kau mendengarku?" Dallas menolehkan kepalanya. Ia menatap Louis tajam. "Pertanyaan itu ... sama seperti pertanyaan yang diajukan oleh dokter Hana padaku." "Semua orang akan bertanya seperti itu jika berkunjung ke tempat ini." Louis menarik sebuah kursi ke sebelah ranjang Dallas lalu mendudukkan pantatnya di sana. "Kau membawa sarapanku, Loulou?"tanya Dallas sembari melirik Louis. Louis memutar bola matanya. Ia memberikan sebuah paper bag yang sejak tadi dibawanya ke Dallas membuat pria itu sumringah. "Sesuai pesananku, bukan?"tanya Dallas. Pria itu menelisik isi pa
Seperti hari-hari biasanya, hari ini Louis bangun dengan tepat waktu di pagi hari. Bersiap-siap lalu pergi ke kantor. Mengurus beberapa urusan perusahaan selagi Dallas di rawat di rumah sakit. Mengecek segala hal yang terjadi di kantor dan memastikan situasinya tetap aman terkendali. Setelahnya, barulah pria itu berangkat ke rumah sakit untuk menemani Dallas. Lalu lintas hari ini terpantau normal. Namun, tidak menjadikan Louis berhenti bersikap waspada. Pria itu tetap memperhatikan ke sekelilingnya. Karena sebelumnya, hal ini terjadi pada Dallas yang mengalami kecelakaan padahal menurut kesaksian pria itu, keadaan lalu lintas waktu kecelakaannya terjadi terpantau normal. Suara dari pemutar musik memenuhi seisi mobil. Namun, tidak terlalu keras hingga menutupi pendengaran pria itu terhadap keadaan di luar mobilnya. Sesekali, Louis bersiul mengikuti ritme lagu yang di putar. Jari telunjuk pria itu bahkan ikut menget
Dallas tidak berhenti tersenyum seraya memandangi Hana yang tengah memeriksanya. Wanita itu sedang fokus mengganti beban di bahunya dan ia benar-benar menyukai hal itu. Dallas bersyukur karena ternyata, komplain dia terhadap pekerjaan Hana ada gunanya juga. Sekarang, wanita itu mengerjakan semua hal yang terkait dengan Dallas langsung dari tangannya sendiri tanpa embel-embel menyuruh perawat menanganinya. "Selamat pagi, dokter Hana."sapa Dallas masih dengan senyumannya. Hana diam saja. Wanita itu sibuk membalut bahu Dallas dengan perban putih yang ia bawa. Tingkahnya yang seperti itu, membuat Dallas semakin gencar ingin menggodanya. "Kau datang terlambat pagi ini, dokter Hana."ucap Dallas yang membuat Hana memberikannya tatapan tajam. "Kenapa? Kau ingin melaporkanku karena terlambat? Dengar,! Aku memiliki jadwal operasi pagi ini. Aku juga harus mengecek pasienku yang lain."jel
"Ada apa? Kau tampak sangat kesal."tanya Erick. Pria itu penasaran dengan apa yang terjadi pada Hana. Sejak tadi, wanita itu sibuk menaduk-ngaduk spaghetti yang ia pesan tanpa berniat untuk memakannya. "Hey! Aku bertanya padamu."tegur Erick karena Hana yang tak kunjung merespon pertanyaannya. Hana menghela napasnya kasar. Wanita itu menenggelamkan wajahnya ke dalam dua telapak tangannya. Erick dapat mendengar erangan kecil wanita itu yang terdengar sangat frustasi. Pria itu semakin yakin bahwa telah terjadi sesuatu pada Hana. Hana mengangkat wajahnya yang kini terlihat kusut. Rambut wanita itu juga sedikit terlihat berantakan. Ia menatap Erick frustasi. "Sebenarnya apa kesalahanku sehingga harus memiliki pasien seperti dirinya?"tanya Hana dengan nada geram bercampur frustasi. "Dirinya? Siapa?"tanya Erick bingung. Pria itu juga sedikit terkejut dengan tingkah Hana ya
Hana tengah memeriksa Dallas saat ini. Seperti biasanya, wanita itu akan mengecek kembali keadaannya lalu mengganti ulang perban di bahu pria itu. Dallas akan menatapnya dalam diam sembari tersenyum semanis mungkin walaupun pria itu tahu tidak sekalipun Hana membalas senyumannya. "Kau terlihat cantik hari ini, dokter Hana. Kau terlihat lebih fresh daripada biasanya. Kau sudah sarapan terlebih dahulu?"tanya Dallas. Hana melirik pria itu sekilas kemudian melanjutkan kembali mengganti perban di bahu Dallas. "Sudah kukatakan padamu, bahwa aku selalu sarapan setiap pagi." Dallas menganggukkan kepalanya paham. Ia kemudian menatap Hana lagi. "Lalu, apa yang membuatmu tampak berbeda hari ini? Kau tidak lagi menatapku dengan sinis atau mengucapkan kata-kata tajammu itu padaku." Hana menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Dallas kemudian tersenyum tipis. Hal ini sontak membuat Dallas terkejut. Karena,