Louis mengerutkan keningnya saat pria itu menginjakkan kedua kakinya di kamar Dallas. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa barang-barang di sana tidak terletak sesuai tempatnya.
"Apa ini kamar?"tanya Louis pada Dallas yang tengah termenung. Tidak tahu pria itu sedang memikirkan apa.
"Hey! Kau mendengarku?"
Dallas menolehkan kepalanya. Ia menatap Louis tajam. "Pertanyaan itu ... sama seperti pertanyaan yang diajukan oleh dokter Hana padaku."
"Semua orang akan bertanya seperti itu jika berkunjung ke tempat ini." Louis menarik sebuah kursi ke sebelah ranjang Dallas lalu mendudukkan pantatnya di sana.
"Kau membawa sarapanku, Loulou?"tanya Dallas sembari melirik Louis.
Louis memutar bola matanya. Ia memberikan sebuah paper bag yang sejak tadi dibawanya ke Dallas membuat pria itu sumringah.
"Sesuai pesananku, bukan?"tanya Dallas. Pria itu menelisik isi pa
Seperti hari-hari biasanya, hari ini Louis bangun dengan tepat waktu di pagi hari. Bersiap-siap lalu pergi ke kantor. Mengurus beberapa urusan perusahaan selagi Dallas di rawat di rumah sakit. Mengecek segala hal yang terjadi di kantor dan memastikan situasinya tetap aman terkendali. Setelahnya, barulah pria itu berangkat ke rumah sakit untuk menemani Dallas. Lalu lintas hari ini terpantau normal. Namun, tidak menjadikan Louis berhenti bersikap waspada. Pria itu tetap memperhatikan ke sekelilingnya. Karena sebelumnya, hal ini terjadi pada Dallas yang mengalami kecelakaan padahal menurut kesaksian pria itu, keadaan lalu lintas waktu kecelakaannya terjadi terpantau normal. Suara dari pemutar musik memenuhi seisi mobil. Namun, tidak terlalu keras hingga menutupi pendengaran pria itu terhadap keadaan di luar mobilnya. Sesekali, Louis bersiul mengikuti ritme lagu yang di putar. Jari telunjuk pria itu bahkan ikut menget
Dallas tidak berhenti tersenyum seraya memandangi Hana yang tengah memeriksanya. Wanita itu sedang fokus mengganti beban di bahunya dan ia benar-benar menyukai hal itu. Dallas bersyukur karena ternyata, komplain dia terhadap pekerjaan Hana ada gunanya juga. Sekarang, wanita itu mengerjakan semua hal yang terkait dengan Dallas langsung dari tangannya sendiri tanpa embel-embel menyuruh perawat menanganinya. "Selamat pagi, dokter Hana."sapa Dallas masih dengan senyumannya. Hana diam saja. Wanita itu sibuk membalut bahu Dallas dengan perban putih yang ia bawa. Tingkahnya yang seperti itu, membuat Dallas semakin gencar ingin menggodanya. "Kau datang terlambat pagi ini, dokter Hana."ucap Dallas yang membuat Hana memberikannya tatapan tajam. "Kenapa? Kau ingin melaporkanku karena terlambat? Dengar,! Aku memiliki jadwal operasi pagi ini. Aku juga harus mengecek pasienku yang lain."jel
"Ada apa? Kau tampak sangat kesal."tanya Erick. Pria itu penasaran dengan apa yang terjadi pada Hana. Sejak tadi, wanita itu sibuk menaduk-ngaduk spaghetti yang ia pesan tanpa berniat untuk memakannya. "Hey! Aku bertanya padamu."tegur Erick karena Hana yang tak kunjung merespon pertanyaannya. Hana menghela napasnya kasar. Wanita itu menenggelamkan wajahnya ke dalam dua telapak tangannya. Erick dapat mendengar erangan kecil wanita itu yang terdengar sangat frustasi. Pria itu semakin yakin bahwa telah terjadi sesuatu pada Hana. Hana mengangkat wajahnya yang kini terlihat kusut. Rambut wanita itu juga sedikit terlihat berantakan. Ia menatap Erick frustasi. "Sebenarnya apa kesalahanku sehingga harus memiliki pasien seperti dirinya?"tanya Hana dengan nada geram bercampur frustasi. "Dirinya? Siapa?"tanya Erick bingung. Pria itu juga sedikit terkejut dengan tingkah Hana ya
Hana tengah memeriksa Dallas saat ini. Seperti biasanya, wanita itu akan mengecek kembali keadaannya lalu mengganti ulang perban di bahu pria itu. Dallas akan menatapnya dalam diam sembari tersenyum semanis mungkin walaupun pria itu tahu tidak sekalipun Hana membalas senyumannya. "Kau terlihat cantik hari ini, dokter Hana. Kau terlihat lebih fresh daripada biasanya. Kau sudah sarapan terlebih dahulu?"tanya Dallas. Hana melirik pria itu sekilas kemudian melanjutkan kembali mengganti perban di bahu Dallas. "Sudah kukatakan padamu, bahwa aku selalu sarapan setiap pagi." Dallas menganggukkan kepalanya paham. Ia kemudian menatap Hana lagi. "Lalu, apa yang membuatmu tampak berbeda hari ini? Kau tidak lagi menatapku dengan sinis atau mengucapkan kata-kata tajammu itu padaku." Hana menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Dallas kemudian tersenyum tipis. Hal ini sontak membuat Dallas terkejut. Karena,
"Ternyata rumah sakit tidak terlihat mengerikan seperti namanya. Aku harus lebih sering keluar kamar untuk melihat seluruh rumah sakit ini."ucap Dallas seraya memandang ke sekelilingnya. Pria itu tengah di taman rumah sakit saat ini bersama dengan Hana yang cemberut di sebelahnya. Bagaimana tidak? Semenjak kakinya melangkah keluar dari kamar Dallas bersama pria itu, mereka berdua langsung menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju pada mereka --ah, maksutnya pada Dallas-- yang kebetulan sedang bersama dengannya. Tepat seperti yang dikatakan oleh Erick tentang Dallas tempo hari, Dallas adalah seseorang yang namanya terkenal di masyarakat terutama di antara kaum hawa. Seperti saat ini, hampir di setiap langkahnya, ada saja perempuan yang menyapa pria itu. Baik itu staf rumah sakit maupun pengunjung rumah sakit itu sendiri. Mereka tersenyum penuh kagum menatap Dallas sementara pria itu, membalas dengan sen
Malam sabtu kali ini, Hana lewatkan bersama dengan ayahnya. Mereka berdua tengah bersantai di tepi sungai Thames yang berada di daerah South Bank sembari melihat pemandangan London eye di seberang. Lingkaran raksasa yang menjadi ikon kota London itu, tampak begitu indah jika disaksikan saat malam tiba. Karena ada lampu beraneka warna yang menghiasi benda raksasa itu. Bukan hanya itu, pemandangan Tower bridge yang merupakan jembatan legendaris kota London juga tampak mempesona. Dari tempatnya, Hana dapat melihat lampu-lampu kendaraan yang melintas di atas jembatan tersebut sehingga membuatnya kian terlihat indah. "Kau lihat di sana? Ayah masih ingat saat kau berusia 14 tahun, ayah mengajakmu menaiki benda itu. Kau terlihat sangat senang ketika berada di atas sana."ucap Sam seraya menunjuk ke arah London eye yang berada di seberang sungai Thames. Hana tersenyum menatap benda raksasa yang tengah berputar itu. "
Dallas menaikkan sebelah alisnya seraya memandang dua orang di depannya bingung. Di hadapan pria itu saat ini, berdiri Hana dan seorang pria lain yang sama sekali tidak ia kenal. Pria asing itu berpakaian rapi. Ia tersenyum ramah kepada Dallas yang sayangnya, tdak membalas ramahnya senyuman pria itu. "Siapa dia?"tanya Dallas pada Hana. "Ah, dia adalah Alan Lennon. Seorang fisioterapis terkenal. Tn. Lennon, akan menjadi fisioterapismu."jawab Hana seraya memperkenalkan pria di sampingnya dengan semangat. Dallas mengerutkan dahinya. Ia menatap Hana dan Alan secara bergantian. "Dia? Fisioterapis yang kau pilihkan untukku?"tanya pria itu sekali lagi. Ia memperhatikan penampilan Alan dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Selamat pagi, Tn. Wheeler. Saya Alan Lennon, calon fisioterapis anda. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu proses penyembuhan anda. Saya mohon
"Kau akan cuti? Kapan?" "Sekitar dua minggu lagi." Dallas teringat obrolannya dengan Hana tempo hari. Di mana dokter cantik itu mengatakan bahwa ia akan mengambil cuti dua minggu lagi. Bukan hanya itu, Hana juga mengatakan bahwa Dallas akan segera pulang ke rumah sekitar satu minggu lagi. Dallas berdecak. Pria itu mengusap wajahnya. Entah mengapa, memikirkan semua itu membuat Dallas merasa frustasi. Memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya jika ia tidak lagi bertemu dengan Hana. "Ah, kenapa aku menjadi seperti ini? Kenapa rasanya aku ingin sekali mendapatkan hati wanita itu?"tanya Dallas pada dirinya sendiri. "Hey, sadarlah! Kau itu Dallas Wheeler! Para wanitalah yang mengejarmu. Bukan kau yang mengejar mereka. Lalu, sekarang mengapa kau keluar dari prinsipmu itu?" "Tapi, bukankah dokter Hana itu adalah wanita yang manis. Bukan masalah besar