Sebuah tempat dengan pencahayaan remang-remang. Diisi oleh orang-orang yang bergerak tidak beraturan mengikuti irama musik dari disk jokey yang menggelegar hingga menggetarkan lantai. Beberapa pelayan berseragam juga tampak sibuk mondar-mandir membawa minuman beralkohol entah itu dari kasta bir, wine hingga tequila.
Kondisi yang jauh dari ketenangan. Jika tidak terbiasa mungkin seseorang bisa saja pingsan dengan keadaan di dalam ruangan seperti ini. Belum lagi beberapa pasangan yang dengan tidak tahu malu berciuman bahkan melakukan hal yang lebih.
Sepasang kaki jenjang yang dibalut dengan sehelai celana mewah melangkah kedalam ruangan itu. Bagai disihir, kehadirannya mampu membelah lautan manusia yang tadinya sedang menggila. Mereka kompak memberikan jalan pada sosok yang dengan tenang melangkah penuh percaya diri.
Sebagian orang mulai berbisik-bisik. Sebagian pria menatap tak suka ada pula yang menatap penuh hormat. Sedangkan para wanita menatap kagum bak singa kelaparan yang tengah mengincar mangsanya. Mereka ingin mendekat namun, tidak mempunyai cukup keberanian.
"Selamat datang tuan Dallas Wheeler. Aku akan mengantarkanmu ke ruangan VIP."sambut seorang pria berbadan sedikit pendek. Perutnya buncit dan kepalanya plontos. Pria itu mengenakan stelan jas bewarna hitam dan kemeja bewarna putih yang beberapa kancing teratasnya telah terbuka. Ia adalah Tyresse, pemilik tempat itu.
Dallas menganggukkan kepalanya. Pria tampan itu mengikuti Tyresse sambil sesekali melemparkan senyum manis kepada para wanita yang tak henti-henti memandangnya.
Perjalanan yang begitu singkat. Tidak lebih dari 1 menit Dallas dan Tyresse tiba di sebuah ruangan. Sebuah ruangan yang didesign mewah dan tertutup. Sama seperti ruangan utama bar, ruangan ini memiliki lampu yang bercahaya remang-remang. Bahkan bisa dibilang lebih redup. Namun, Dallas tampaknya tidak terganggu dengan hal tersebut.
Di dalam ruangan tersebut telah tersedia beberapa minuman beralkohol yang harganya setara dengan sebuah mobil. Dan jangan lupakan ada seorang wanita cantik berpakaian minim tengah menunggu untuk menuangkan minuman tersebut untuk tamu istimewa bar ini.
"Selamat menikmati, tuan Wheeler. Saya permisi."ucap Tyresse.
Dallas tidak membalas. Pria itu sepertinya lebih memilih memasuki ruangan VIP tersebut dibandingkan membalas ucapan Tyresse yang tidak terlalu penting baginya.
Pria yang berusia 27 tahun itu mendaratkan pantatnya di sebuah sofa panjang bewarna hitam. Ia duduk tepat di sebelah wanita berpakaian ketat yang tersenyum menggoda.
"Bagaimana kabarmu, tuan Wheeler?"tanya wanita itu seraya memberikan Dallas segelas wine.
Dallas tersenyum tipis. Pria itu menerima segelas cairan pekat yang diberikan wanita penghibur itu lalu menyesapnya sedikit.
"Bagaimana menurutmu? Apa aku terlihat baik-baik saja?"tanya Dallas.
"Kau terlihat seperti biasanya. Tampan dan menggoda. Selalu luar biasa."
Dallas menyeringai. Pria itu menuangkan sebotol wine pada gelas kaca lalu memberikannya pada wanita yang duduk di sebelahnya. "Lalu, apa kau juga seperti biasanya, Jane?"
Wanita yang bernama Jane tersebut menatap Dallas dengan senyum menggoda. Ia kemudian bangkit lalu duduk di pangkuan pria itu. Tangan lentiknya mengelus lembut rahang Dallas lalu menggit kecil ujung telinga pria tampan itu.
"Aku akan menjadi luar biasa untukmu malam ini, tuan Wheeler."bisiknya sensual.
Dallas menyeringai. "Kau bisa membuktikannya nanti."
***
Drrtt ... Drrttt...
Getaran ponsel di atas nakas membangunkan Dallas. Pria tampan itu mengerjapkan matanya berulangkali lalu memperhatikan sekelilingnya.
Dallas menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Ia menoleh dan mendapati seorang wanita tengah tertidur di sebelahnya. Tubuh wanita itu hanya dibalut sehelai selimut yang ia pakai bersama Dallas.
Dallas menguap. Getaran ponsel di atas nakas masih belum berhenti. Pria itu mengambil benda pipih berharga fantastis itu. Ada nama Louis tertera di sana.
"Hm ... Good morning, dude."ucap Dallas dengan suara khas baru bangun tidur.
"Kau di mana?"
"Kenapa? Kau merindukanku?"tanya Dallas.
"Dasar bodoh! Kau ada rapat pagi ini. Apa kau lupa?"
Dallas memutar bola matanya malas. "Yayaya aku tidak lupa. Aku akan tiba di sana beberapa menit lagi."
Pria itu mematikan ponselnya. Lalu bangkit dari ranjang menuju ke kamar mandi. Ia membersihkan dirinya sejenak lalu keluar darisana dengan penampilan yang jauh lebih rapi.
Dallas meraih ponselnya lalu mengirimkan pesan kepada Louis. 'Sepertinya jasku sedikit kotor. Apa kau bisa meminta sekretarisku yang sexy menyiapkannya, Lou? Terimakasih'
Setelah mengetikkan itu, ia memasukkan ponsel pintarnya kedalam saku jas. Kemudian terdiam sebentar menatap seorang wanita yang masih tertidur di atas ranjang. Selimut yang dikenakan wanita itu sedikit tersingkap sehingga menampakkan paha mulusnya.
Dallas mengambil dompetnya. Mengeluarkan sebuah cek dengan nominal besar yang telah ia siapkan sebelumnya. Pria itu kemudian meletakkan cek itu di atas nakas lalu beranjak darisana.
Di depan hotel telah terparkir Porsche 911 Careera 4 MT milik Dallas. Pria itu mengeluarkan beberapa lembar uang lalu memberikannya kepada seorang petugas yang telah memarkirkan mobilnya.
"Terimakasih, tuan Wheeler."ucap pria itu.
Dallas tidak menjawab. Pria itu hanya menganggukkan kepalanya. Ia mendekati kendaraan mewah miliknya lalu masuk kedalamnya.
Kondisi lalu lintas pagi ini tampak normal. Dallas dapat mengendarai mobilnya dengan santai walaupun beberapa waktu yang lalu Louis mengatakan bahwa ia harus menghadiri sebuah rapat.
Lampu lalu lintas bertukar warna menjadi merah. Pria itu menghentikan mobilnya. Ia memperhatikan pejalan kaki yang menyeberang di depannya. Sesekali Dallas tersenyum saat beberapa wanita melihat ke arahnya. Senyum khas pria cassanova.
Lampu lalu lintas kembali bertukar warna menjadi hijau. Dallaspun kembali melajukan kendaraan mewahnya dengan kecepatan stabil.
Semuanya tampak baik-baik saja hingga saat sebuah mobil sedan bewarna hitam menerobos lampu merah. Bak hilang kendali, mobil hitam tersebut melaju dengan kecepatan tinggi kearahnya. Dallas membanting stir kekanan namun sialnya ada sebuah truck yang sepertinya tak sempat menghindari hingga ...
'Brakkkk ...'
Tabrakan tidak bisa dihindari. Terdengar bunyi dentuman yang begitu kuat. Dallas dapat melihat bagian depan mobilnya hancur.
Kepala pria itu terbentur. Darah segar mengalir deras di dahinya. Dallas dapat merasakan rasa sakit bercampur pusing pada kepalanya. Sekujur tubuhnya merasa ngilu. Namun, pria itu masih kuat untuk bergerak.
Dengan mengumpulkan sisa tenaganya, Dallas keluar dari mobil sambil memegangi kepalanya yang berdarah. Pria itu berjalan terseok-seok mencoba meminta bantuan orang-orang di sekitarnya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena penglihatan Dallas perlahan memudar. Segala hal di sekitarnya tak bisa ia lihat dengan jelas hingga akhirnya pria itu jatuh tidak sadarkan diri.
Kepalanya semakin terasa sakit. Telinganya berdengung. Klakson mobil mobil yang terdengar saling bersahutan semakin memperburuk keadaan. Orang-orang mulai mengerubunginya. Walau tidak terlalu jelas, Dallas dapat mendengar beberapa orang berbisik-bisik tentangnya. Ada yang menatap tidak percaya, ada pula yang mengeluarkan ponsel untuk memotretnya.
"Tuan, kau baik-baik saja?"
Samar-samar Dallas mendengar seorang pria bertanya kepadanya. Ada beberapa orang yang juga terlihat mendekatinya. Itulah hal terakhir yang Dallas lihat sebelum ia jatuh tidak sadarkan diri.
Hana baru saja tiba di rumah sakit pagi ini. Berniat memulai harinya dengan bekerja seperti biasanya. Bertemu beberapa perawat dan dokter lain lalu saling menyapa. Kemudian melakukan kewajibannya sebagai seorang dokter. Namun, baru saja wanita itu menginjakkan kaki di rumah sakit tempat ia bekerja, Hana sudah dikejutkan dengan suara sirine mobil ambulan yang terdengar nyaring. Wanita itu menatap penuh tanya saat mobil yang dominan bewarna putih itu terparkir di depan rumah sakit dengan sirine yang masih menyala. Seperti baru saja tiba di sana. Ternyata dugaan Hana tepat. Dari pintu belakang ambulan keluar seorang perawat laki-laki yang terburu-buru mengambil hospital bed lalu membawanya. "Dokter Hana, bisa kau membantuku?"tanya perawat pria itu. Hana menganggukkan kepalanya. Setelah meletakkan tas di resepsionis, wanita itu segera mendekati ambulan. Ternyata di sana juga telah ada 2 orang orang perawat la
Operasi telah selesai dilakukan. Kini, Dallas sudah dipindahkan ke ruang rawat inap VIP. Hana sebelumnya sudah menduga hal ini. Dallas memang terlihat bukan seperti orang biasa. Hal ini semakin menguatkan keyakinannya dengan kehadiran Louis yang mengaku sahabat pria itu. Saat ini, Hana tengah memasang beberapa peralatan rumah sakit untuk Dallas dibantu seorang perawat wanita. Pria itu masih tertidur dengan pulas. Mungkin efek bius masih belum hilang darinya. Pintu tiba-tiba terbuka mengalihkan perhatian seisi ruangan kecuali Dallas, tentunya. Dari ambang pintu tampak Louis yang tengah berjalan mendekat. Ia menyapa Hana dan perawat di samping wanita itu kemudian berdiri di sebelah ranjang Dallas. "Bagaimana keadaannya, dok?" "Syukurlah, operasinya berjalan lancar. Dia hanya perlu menjalani perawatan intensif beberapa waktu sebelum akhirnya diperbolehkan pulang."jelas Hana. &nbs
"Kau bilang apa tadi? Ada seseorang di balik kecelakaanku ini?"tanya Dallas terkejut. Louis menganggukkan kepalanya. "Ada sesuatu yang janggal terkait kejadian itu. Dan aku, masih menyelidikinya hingga saat ini." "Kau benar. Kau harus menyelidikinya. Aku harus tahu siapa keparat yang berani macam-macam denganku."ucap Dallas. Rahangnya mengeras. Pria itu tampak kesal terlebih lagi saat ia tahu bahwa kecelakaan yang membuatnya terbaring di rumah sakit saat ini adalah sebuah kesengajaan. "Kau terlihat sangat kesal? Kenapa? Bukannya kau selalu tahu bahwa banyak orang di luar sana yang menginginkan dirimu dalam keadaan seperti ini. Aku sudah sering memperingatimu. Namun, kau tampak santai saat menanggapi hal tersebut."ujar Louis menatap Dallas penuh tanya. Pria itu menaikkan sebelah alisnya meminta Dallas segera menjawab pertanyaannya. "Hmm, itu benar. Aku mungkin akan bersikap biasa saja
Hana mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan meja. Saat ini, wanita itu tengah berada di ruangan direktur umum DW Hospital. Tn. Albert sendirilah yang memanggilnya kesini. Hana tahu mengapa Tn. Albert memanggilnya untuk menemui pria itu. Semua ini pasti dikarenakan keluhan yang disampaikan oleh Dallas beberapa waktu yang lalu dan membuat wanita itu berakhir di sini. "Kau pasti sudah tahu kenapa aku memanggilmu kemari, dokter Hana."ucap Tn. Albert yang sepertinya ingin cepat-cepat ke inti pembicaraan. Hana menganggukkan kepalanya. "Tentang Tn. Wheeler, dan semua keluhannya terhadap pekerjaanku." Tn. Albert menghela napasnya pelan. "Dengar, Hana. Kau adalah dokter favoritku di sini. Salah satu dokter terbaik di rumah sakit ini. Aku mengerti kau telah bekerja semaksimal mungkin. Tapi, aku harap untuk kali ini kau bisa memakluminya." Hana terdiam sejenak. Wanita itu menatap
Hari sudah menunjukkan pukul 7 malam. Akhirnya, setelah hari yang penuh drama Hana bisa pulang ke rumahnya. Saat ini, dengan langkah tenang wanita itu berjalan ke basement rumah sakit. Ia berhenti tepat di sebelah mobil sedannya yang bewarna putih. Wanita itu merogoh tas selempang yang ia bawa guna mencari kunci mobilnya. Namun, benda yang ia cari tak kunjung Hana temukan. "Perasaan aku menyimpannya di sini. Apa ketinggalan di meja kerja?"tanya Hana kepada dirinya sendiri. Ia mencoba mengingat-ingat letak kunci mobilnya. "Ah sebaiknya aku kembali. Mungkin saja aku meninggalkannya di ruanganku." "Kau mencari ini, Nona?" Hana menghentikan langkahnya saat hendak kembali ke ruangannya. Wanita itu membalikkan tubuh dan mendapati seorang pria tampan tengah menatapnya. Tangan pria itu menyodorkan sebuah benda pada Hana. Benda yang ia cari sejak tadi. "Kunci m
Hana melangkahkan kakinya lebar-lebar di sepanjang koridor rumah sakit. Pagi inj, wanita itu datang terlambat. Dan penyebabnya adalah ia yang bangun kesiangan. Pagi ini, sekitar jam 08.30 Hana mempunyai jadwal operasi. Dan sekarang masih pukul 07.55 am. Masih ada sekitar 35 menit lagi waktu yang wanita itu punya sebelum operasi dilaksanakan. Hana memilih untuk mengunjungi kamar pasiennya. Kamar pertama yang wanita itu kunjungi adalah kamar VIP yang terletak di lantai 7. Kamar itu adalah kamar di mana seorang Dallas Wheeler dirawat. Bukan tanpa alasan Hana memilih kamar Dallas sebagai kamar pertama yang ia kunjungi sekaligus pasien pertama yang ia periksa hari ini. Wanita itu hanya tidak ingin Dallas mengeluh lagi tentang pekerjaannya. Bisa-bisa pria itu kembali mengadukan Hana pada Tn. Albert. Cukup satu kali saja pria paruh baya itu menegur Hana. Hana telah sampai di depan pintu kamar Dallas. B
Louis mengerutkan keningnya saat pria itu menginjakkan kedua kakinya di kamar Dallas. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa barang-barang di sana tidak terletak sesuai tempatnya. "Apa ini kamar?"tanya Louis pada Dallas yang tengah termenung. Tidak tahu pria itu sedang memikirkan apa. "Hey! Kau mendengarku?" Dallas menolehkan kepalanya. Ia menatap Louis tajam. "Pertanyaan itu ... sama seperti pertanyaan yang diajukan oleh dokter Hana padaku." "Semua orang akan bertanya seperti itu jika berkunjung ke tempat ini." Louis menarik sebuah kursi ke sebelah ranjang Dallas lalu mendudukkan pantatnya di sana. "Kau membawa sarapanku, Loulou?"tanya Dallas sembari melirik Louis. Louis memutar bola matanya. Ia memberikan sebuah paper bag yang sejak tadi dibawanya ke Dallas membuat pria itu sumringah. "Sesuai pesananku, bukan?"tanya Dallas. Pria itu menelisik isi pa
Seperti hari-hari biasanya, hari ini Louis bangun dengan tepat waktu di pagi hari. Bersiap-siap lalu pergi ke kantor. Mengurus beberapa urusan perusahaan selagi Dallas di rawat di rumah sakit. Mengecek segala hal yang terjadi di kantor dan memastikan situasinya tetap aman terkendali. Setelahnya, barulah pria itu berangkat ke rumah sakit untuk menemani Dallas. Lalu lintas hari ini terpantau normal. Namun, tidak menjadikan Louis berhenti bersikap waspada. Pria itu tetap memperhatikan ke sekelilingnya. Karena sebelumnya, hal ini terjadi pada Dallas yang mengalami kecelakaan padahal menurut kesaksian pria itu, keadaan lalu lintas waktu kecelakaannya terjadi terpantau normal. Suara dari pemutar musik memenuhi seisi mobil. Namun, tidak terlalu keras hingga menutupi pendengaran pria itu terhadap keadaan di luar mobilnya. Sesekali, Louis bersiul mengikuti ritme lagu yang di putar. Jari telunjuk pria itu bahkan ikut menget