Leona terkejut saat merasakan sinar matahari yang sudah memasuki kamarnya. Seingatnya, ia sudah memasang alarm pukul lima lagi. Tidak mungkin kan, ia bangun kesiangan?
Perlahan, mata Leona terbuka. Ia memperhatikan lamat-lamat ruangan tempatnya berada kini.
Benar. Matahari sudah bersinar. Itu artinya, Leona bangun lebih siang dibanding biasanya.
Leona meraih jam wekernya. Dan matanya langsung membulat melihat jarum paling pendek jam itu sudah menunjuk ke angka delapan.
"Whattt???" Ia memekik kaget bukan main. Dengan sempoyongan, karena nyawa yang belum benar-benar terkumpul, ia pun segera menuju ke lemari untuk mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi.
Dan dalam kamar mandi, Leona terus merutuki kebodohannya. Ia belum pernah bangun sesiang ini. Sebelumnya, alarmnya selalu berfungsi dengan baik. Apa yang salah hingga jam yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu tidak membangunkannya?
Selesai mandi dan berganti pakaian, Leona segera keluar dari kamar. Ia ingat betul jika semalam William memintanya menjadi pelayan di rumah ini.
Apakah laki-laki itu sudah bangun? Bagaimana jika ketika ia bangun, ia melihat meja makan yang masih kosong? Bagaimana nasib Leona setelah ini?
Leona berlari kecil. Tujuan utamanya adalah dapur. Ia harus cepat-cepat menyiapkan sarapan untuk William dan dirinya sendiri.
Terlambat...
"Selamat pagi, Leona," sapa salah seorang laki-laki di meja makan.
"Pagi, Ethan," balas Leona sembari melangkah ragu ke arah meja makan.
"Duduklah! William sudah menyiapkan sarapan untuk kita," ujar Ethan.
Leona menelan salivanya kasar. Ia hanya bisa pasrah ketika Ethan menarikkan kursi untuknya.
"Maaf," cicit Leona ketika ia sudah duduk sempurna di tempatnya.
Namun, tak sepatah katapun keluar dari mulut William. Membuat perasaan Leona menjadi semakin tidak enak.
Sementara itu, Ethan yang tidak tahu apa-apa pun dilanda kebingungan. Kenapa Leona harus meminta maaf pada William? Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka? Aneh sekali. Padahal baru semalam Ethan meninggalkan mereka berdua.
Suasana yang hening membuat Ethan semakin penasaran. Apalagi ketika Leona tak kunjung menyantap hidangan di hadapannya. Padahal, sebentar lagi jam makan pagi akan segera habis.
"Kamu tidak mau memakan makananmu, Leona?" tanya Ethan hati-hati.
Leona mengangkat wajahnya menatap Ethan, kemudian beralih pada William yang kini tampak masih fokus dengan makanannya. Refleks, Ethan pun mengikuti arah pandangan gadis itu. Ia mulai mengerti sekarang. Ia mengikuti perilaku Leona, menatap William hingga laki-laki itu mendengus kesal karena merasa diperhatikan oleh dua orang lainnya.
"Sebenarnya apa masalah kalian?" kesal William, sembari menatap Leona dan Ethan secara bergantian.
Leona dan Ethan sama-sama terdiam. Membuat William mendesah kasar.
"Apa kau tidak berniat segera memakan makananmu itu? Makanlah! Aku sudah susah payah membuatnya," ujar William pada Leona.
Senyum cerah langsung tercetak jelas di wajah Leona. Gadis itu pun segera mengambil sendok dan garpu yang sudah disiapkan, kemudian menyantap hidangan di hadapannya.
Ethan tersenyum kecil melihat interaksi dua manusia di dekatnya itu. Selanjutnya, ia pun kembali melanjutkan kegiatannya yang sebelumnya sempat tertunda.
William menyelesaikan aktivitas makannya lebih awal dibanding dua orang lainnya. Laki-laki itu berdiri, hendak membawa piringnya ke wastafle, namun, lebih dulu suara Leona mengintrupsinya.
"Will, biar aku saja," ujar Leona.
William terdiam untuk beberapa saat. Namun, ia segera menjauhkan tangannya dari piring.
"Kamu harus langsung mencucinya setelah kamu makan. Aku tidak suka ada tumpukan piring kotor di apartemenku," pesan William.
Leona mengangguk cepat. Ia pun terbiasa langsung mencuci piringnya sendiri setelah ia makan. Tidak masalah jika mulai sekarang cuciannya bertambah beberapa piring.
"Kamu yang mencucikan piringnya?" tanya Ethan setelah kepergian William. Leona mengangguk.
"Kamu juga. Tinggalkan saja nanti piringnya di situ! Aku akan mencucikannya sekalian," pinta Leona.
"Ah... aku tidak terbiasa dicucikan piringnya. Lagi pula, kasihan kamu," ujar Ethan.
"Hey ini cuma mencuci piring. Aku sudah terbiasa melakukannya dari kecil. Mungkin kamu belum tahu, tapi aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana, dan aku terbiasa melakukan rumah sendirian sejak kecil," balas Leona sembari tersenyum manis.
Ethan terpenganga melihat kecantikan Leona ketika gadis itu tersenyum. Ia tak menampik bahwa selama ini ia banyak bertemu dengan wanita-wanita cantik. Tapi Leona berbeda. Ia tak sekadar cantik di luarnya saja. Tapi benar-benar ada sesuatu pada dirinya yang bisa menarik perhatian orang di sekelilingnya. Seperti halnya William.
"Ethan, kamu jadi mengantarku ke kantor?" tanya William mengintrupsi.
Ethan menoleh cepat, kemudian mengangguk.
"Biarkan aku minum sebentar," ucap Ethan sembari mengambil segelas air di depannya.
"Kantor? Kamu juga bekerja di kantor?" tanya Leona. Ia tak tahu banyak tentang orang yang pernah menjadi salah satu idolanya itu. Selama ini ia mengaguminya hanya sebagai aktor di layar kaca, tanpa perlu tahu kehidupannya di belakang kamera.
"Jangan bercanda. Tidak mungkin kan kamu tidak tahu?" kaget Ethan. Sementara itu, William masih mempertahankan ekspresi datarnya.
"Tahu apa?" bingung Leona sembari menoleh ke arah dua laki-laki itu secara bergantian.
Ethan menatap tak percaya ke arah Leona. Ia seperti ragu dengan apa yang baru saja ia dengar. Mana mungkin ada orang di negeri ini yang tidak tahu status William Redorge sebagai direktur sekaligus pewaris utama R Corp yang tersohor itu?
"Kok diam? Memang ada sesuatu yang penting yang-"
"Sudahlah, bukan hal besar." William memotong ucapan Leona. Leona menyerit bingung.
Tak lama berselang, terdengar suara tawa yang pecah dari hadapan Leona. Dia adalah Ethan. Leona semakin merasa aneh. Tidak biasanya Ethan bisa begitu ekspresif, bahkan bisa tertawa sekencang itu.
"Ya kali kamu nggak tahu William, Leona. William Redorge. Aktor film aksi yang sangat terkenal dan-"
"Iya aku tahu itu. Dia aktor terkenal, dan?"
"Sudahlah, Ethan! Ayo cepat kita berangkat!" sela William.
Ethan berdehem. Setelah itu ia bangkit dari posisinya.
"Oke, Nona Russel, sepertinya aku harus pergi sekarang, sebelum serigala ganas itu menyerangku," ujar Ethan.
William mendelik ke arah sepupu sekaligus asistennya itu. Bisa-bisanya Ethan menyebutnya 'serigala' di depan Leona. Bagaimana kalau gadis itu curiga?
Tapi, di luar dugaan, Leona hanya menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. Membuat William dapat mengembuskan napas lega. Ternyata gadis itu tidak terlalu memikirkan ucapan ngelantur Ethan.
"Buruan!" ujar William kemudian berjalan meninggalkan ruang makan.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Ethan pun segera menyusul sepupunya itu. Hingga tinggalah Leona sendiri di ruangan itu.
Leona terkekeh, "serigala? Cocok juga. Kepribadiannya cukup mirip dengan serigala. Auranya menyeramkan, tatapannya tajam, dan jangan lupa, dia suka daging," gumam Leona sebelum menyuapkan makanan ke dalam mulutnya dengan santai.
Gadis itu tidak tahu, jika apa yang keluar dari mulut Ethan bukanlah kata khiasan. Yup, saat ini Leona tengah hidup bersama seekor manusia serigala, yang mungkin saja bisa berubah menjadi ganas tanpa Leona sadari.
Selesai makan, Leona bergegas mencuci peralatan makan miliknya dan kedua laki-laki tadi. Setelah itu,ia mengerjakan pekerjaan rumah yang lain seperti menyapu, mengepel, dan yang lainnya.
Saat pertama membuka pintu kamar Willian, Leona merasakan hawa yang berbeda dengan ruangan lainnya. Tapi sebisa mungkin ia terus berpikiran positif. Ia juga sangat berhati-hati jangan sampai ada barang William yang berpindah tempat atau kotor karenanya. Karena ia tahu, William tidak akan suka itu.
Jika memikirkan perbedaan aura kamar William dengan ruangan lainnya, Leona hanya terus meyakinkan dirinya jika itu merupakan hal yang wajar, karena William laki-laki, dan bahkan aroma parfumnya pun pasti tersebar di sepenjuru kamarnya ini.
"Mungkin efek aroma parfumnya, jadi kamarnya terkesan aneh seperti ini," gumam Leona tak mau ambil pusing.
Ia segera keluar dari ruangan itu dan membersihkan ruangan lainnya.
"Jika tujuanmu menyuruhku menjadi pelayan di apartemen ini agar aku menjadi tidak betah tinggal, kamu salah William. Hal seperti ini sama sekali bukan masalah untukku, dibanding aku yang harus pergi dari tempat ini dan mempertaruhkan nyawaku sendiri di luar sana," ucap Leona ketika ia merebahkan dirinya disofa setelah ia membersihkan seluruh ruangan rumah ini.
Leona teringat akan sesuatu!
Ia mengambil ponselnya, kemudian mencari satu nama di kontaknya. William.
Ia mengirim pesan ke laki-laki itu untuk menanyakan alamat kantornya, karena Leona berniat membawakannya makan siang. Anggap saja sebagai permintaan maaf karena Leona tadi bangun kesiangan hingga tidak sempat membuat sarapan untuk mereka.
Setelah lima menit, William membaca pesannya. Namun laki-laki itu seakan tak berniat untuk membalasnya.
Leona mendengus kesal. Kenapa laki-laki itu sangat dingin terhadapnya? Padahal ia sudah berusaha berjuang sekeras mungkin untuk bersikap baik padanya.
Namun, tak lama berselang, ponsel Leona berbunyi. Ada sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
'Hay, Leona. Ini aku, Ethan. William memintaku untuk menjemputmu datang ke sini jam setengah dua belas nanti. Jadi bersiaplah dan jangan lupa bawakan pesanan William!'
Leona tersenyum membaca pesan itu. Ia pun segera menyimpan nomor Ethan sebelum ia lupa.
Tapi, tunggu!
Pesanan? Memang William pesan apa? Bahkan laki-laki itu tidak menjawab pesannya tadi.
Leona mengetikkan pesan balasan untuk Ethan,
'William berpesan agar aku membawakan apa? Apa ada sesuatu yang ia perlukan?''Aku tidak tahu pastinya. Tapi dia bilang, kamu baru saja menawarinya sesuatu, dan dia memintamu membawakannya ke sini.'
Tawa Leona pecah. Maksudnya makan siang? Dasar laki-laki gengsian. Menerima tawarannya secara langsung saja gengsi, harus lewat Ethan dulu.
Dengan penuh semangat, Leona pun segera memasak makan siang untuk dirinya, William dan Ethan. Semuanya sudah harus siap sebelum Ethan datang.
***
Bersambung...
Jangan lupa nantikan chapter selanjutnya
Kalau aian suka dengan cerita ini, silakan ajak sebanyak mungkin orang untuk mampir ke sini, ya. Terima kasih :)
Leona baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Ethan. Ia masih terpengangah dengan gedung megah di hadapannya. Selain memiliki apartemen yang sangat mewah, ternyata William juga bekerja di kantor sebesar ini.R Corp. Terdengar cukup familiyar bagi Leona. Ia berusaha mengingatnya, namun belum sempat hal itu terjadi, suara Ethan sudah lebih dulu mengintrupsinya."Kamu sedang apa? Ayo!" ajak Ethan.Leona mengangguk kemudian berlari kecil untuk menyusul satu-satunya manusia yang ia kenal itu."Ethan, tunggu!" pinta Leona.Ethan memperlambat langkahnya untuk menunggu Leona. Ia baru ingat, jika yang sedang bersamanya kini adalah gadis berperawakan cukup mungil yang memiliki kaki jauh lebih pendek darinya."Ada apa, Leona?" tanya Ethan."Apa tidak akan jadi masalah kalau aku datang ke sini?" tanya Leona.Ethan menyert. Ia tidak mengerti, memang apa yang bisa terjadi hanya karena kedatangan Leona?"Maksud kamu masalah seperti
'Warna matanya, kenapa-' pikiran William seketika kosong. Ia hanya terus menatap mata emerald Leona dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang menarik dari mata itu. Warna yang tergolong jarang William temui di dalam hidupnya. Tak sekadar warna hijaunya saja, tapi seperti ada hal lain yang membuat William tertarik untuk terus menatap mata indah itu.'Klek'William segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Di sana, ada tiga orang laki-laki yang mematung sembari menatap ke arah William dengan tatapan terkejut.William tidak mengerti kenapa mereka menatapnya seperti itu. Sebelum akhirnya ia teringat dengan gadis yang kini berada di hadapannya.'Mereka pasti berpikir yang aneh-aneh tentang aku dan Leona,' monolog William dalam hati.Perlahan, William membantu Leona untuk bersandar di sofa."Kalian mau masuk atau terus terdiam di situ?" tanya William dengan nada dingin, seperti biasanya.Tiga pria it
Terhitung sudah satu minggu Leona tinggal di apartemen William. Dan semua keadaan di dalam apartemen itu masih sama. Dengan William yang selalu bersikap dingin, dan Leona yang terus berusaha dekat dengan laki-laki itu."Sebenarnya apa sih maumu?" tanya William malas, ketika Leona terus saja mengikutinya sembari menawarkan berbagai jenis minuman."Aku hanya ingin membuatkan kamu minum. Hari ini kamu habis lembur, kan? Kamu pasti capek. Jadi aku-""Aku cuma butuh mandi. Dan kamu, diamlah!" ketus William kemudian beranjak menuju kamarnya.Leona menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa diperlakukan demikian oleh William. Tapi ia tidak boleh menyerah. Terlebih ketika naskah skenario film yang akan mereka bintangi datang sejak tiga hari lalu.Leona baru sadar, akan ada banyak adegan romantis yang harus ia lakoni bersama William. Dan Leona ragu bisa melakukannya dengan baik jika sikap William padanya saja masih sedingin ini.Leona memilih beralih
Leona membuka matanya ketika alarmnya berbunyi. Dan ia langsung terpenjat saat melihat sosok laki-laki berada di kamarnya. Ia hampir saja menjerit, sebelum akhirnya ia sadar kalau laki-laki itu adalah pemilik apartemen yang ia tempati."Apa yang kamu lakukan dengan jam wekerku?" bingung Leona. Bahkan suaranya masih terdengar serak, khas orang bangun tidur."Mematikan semua yang aku anggap mengganggu," jawab William santai.Leona baru menyadari sesuatu. Beberapa kali alarmnya sering tidak berbunyi meski ia ingat betul sudah memasangnya dengan benar. Jadi, inikah alasannya?William sering datang ke kamarnya dan mematikan alarmnya ketika ia merasa terganggu hingga Leona terlambat bangun?"Ini bukan pertama kalinya, kan?" selidik Leona.William mengambil posisi duduk di pinggir kasur Leona, hingga membuat gadis itu refleks bergeser menjauh.Diamnya laki-laki itu Leona artikan sebagai jawaban "YA". Jadi laki-laki itu memang sering menerobo
Dua laki-laki berpakaian rapi itu sedang sibuk membahas masalah pekerjaan. Ethan, salah seorang laki-laki itu, kembali menjelaskan detail berkas yang ia bawa."Ini adalah peluang emas kalau kamu mau maju, William. Kapan lagi produser film nomor satu di dunia menawarimu kerja sama seperti ini? Apa kamu tidak tergiur dengan bayarannya yang mencapai jutaan dolar? Selain itu, film ini merupakan adaptasi novel best seller dunia yang sudah dinantikan banyak orang," ujarnya.William, sang lawan bicara hanya mendesah ringan."Sudah aku tegaskan berkali-kali, aku tidak berminat bermain di genre romance. Aku tidak bisa memerankan sosok Peter dengan baik." William kembali menolaknya.William Redorge. Seorang aktor yang amat terkenal, khususnya dalam film action. Sejak berkecimpung dengan dunia perfilman tujuh tahun lalu, William memang selalu menolak project film roman.Ia merasa, imejnya sangat tidak sesuai jika memerankan karakter pria idaman dalam film romansa.
Sudah lewat satu jam sejak jadwal pertemuan. Namun, gadis itu tak juga datang. William mulai bosan mendengar obrolan tak berisi antara Ethan dan pihak PH.William sendiri memilih untuk membaca script yang diberikan pihak PH padanya beberapa saat lalu. Tidak buruk. Setidaknya dalam film ini William tetap memerankan sosok yang kuat dan berkuasa seperti film-filmnya yang lain.Hal yang paling tidak William membuat William tidak mau bermain di film romance adalah, dia tidak mau dan merasa tidak cocok terlihat lemah. Tapi setidaknya, di film ini imej William masih aman."Ma- ma- maaf, saya terlambat." Semua mata tertuju ke arah sumber suara.Tampak seorang gadis bersurai panjang menunduk di dekat kursi William. William melihat lamat-lamat wajahnya, tapi ia tak bisa mengenali siapa wanita itu."Duduklah, Leona!" ujar Shawn yang William ketahui sebagai sutradara film yang akan William mainkan.Gadis itu duduk di samping William. Ia masih menunduk dan beb
Leona berdiri di depan cafe dengan pakaian yang serba tertutup. Kopernya pun sudah siap sedia di sampingnya. Sudah jam sepuluh lebih, namun sosok Ethan belum juga tiba.Leona menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan jika tidak ada penjahat atau apapun yang mengincarnya. Bagaimanapun juga, Leona tidak memiliki siapapun lagi untuknya mengadu. Jadi lebih baik ia memang harus selalu siaga agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.Leona menghela napas kesal. Kakinya terasa pegal jika ia terus-terusan berdiri seperti ini."Selamat pagi, Leona," sapa seseorang.Leona menoleh cepat. Ia tersenyum tipis ketika melihat sosok yang ia tunggu-tunggu sudah datang."Pagi, Pak Ethan," balas Leona.Ethan menyerit, "Kamu bisa bicara lebih santai denganku, Leona. Tidak perlu kaku seperti itu," ujarnya.Leona menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ternyata Ethan tidak seangkuh yang ia kira."Mau pergi sekarang? Semuanya sudah disiapkan," ajak Ethan.
Leona baru saja selesai mengemasi barangnya. Fasilitas kamar yang ia tempati ini sangat lengkap. Bahkan ada lemari besar yang lebih dari cukup untuk menyimpan pakaiannya.Leona menyisir rambutnya di depan meja rias. Ia baru saja bangun dari tidur siang beberapa saat lalu, kemudian ia langsung menata barang-barangnya di kamar yang akan ia tempati untuk beberapa waktu ke depan ini. Setelah rambutnya kembali rapi, Leona memutuskan untuk keluar dari kamar.Suasana apartemen sangat sepi. Seakan hanya ada Leona yang tinggal di sini. Di mana William?Leona menghela napas panjang kemudian duduk di salah satu kursi ruang makan. Ia membuka kantong berisi makanan yang tadi dikatakan Ethan.Masih ada dua porsi makanan. Itu artinya William belum makan siang. Rasanya sangat malas bagi Leona untuk mengajak laki-laki itu makan bersama. Tapi, di sini ia adalah tamu. Tidak mungkin ia makan sebelum pemilik tempat ini mempersilakan.Leona menoleh saat mendengar suara pintu
Leona membuka matanya ketika alarmnya berbunyi. Dan ia langsung terpenjat saat melihat sosok laki-laki berada di kamarnya. Ia hampir saja menjerit, sebelum akhirnya ia sadar kalau laki-laki itu adalah pemilik apartemen yang ia tempati."Apa yang kamu lakukan dengan jam wekerku?" bingung Leona. Bahkan suaranya masih terdengar serak, khas orang bangun tidur."Mematikan semua yang aku anggap mengganggu," jawab William santai.Leona baru menyadari sesuatu. Beberapa kali alarmnya sering tidak berbunyi meski ia ingat betul sudah memasangnya dengan benar. Jadi, inikah alasannya?William sering datang ke kamarnya dan mematikan alarmnya ketika ia merasa terganggu hingga Leona terlambat bangun?"Ini bukan pertama kalinya, kan?" selidik Leona.William mengambil posisi duduk di pinggir kasur Leona, hingga membuat gadis itu refleks bergeser menjauh.Diamnya laki-laki itu Leona artikan sebagai jawaban "YA". Jadi laki-laki itu memang sering menerobo
Terhitung sudah satu minggu Leona tinggal di apartemen William. Dan semua keadaan di dalam apartemen itu masih sama. Dengan William yang selalu bersikap dingin, dan Leona yang terus berusaha dekat dengan laki-laki itu."Sebenarnya apa sih maumu?" tanya William malas, ketika Leona terus saja mengikutinya sembari menawarkan berbagai jenis minuman."Aku hanya ingin membuatkan kamu minum. Hari ini kamu habis lembur, kan? Kamu pasti capek. Jadi aku-""Aku cuma butuh mandi. Dan kamu, diamlah!" ketus William kemudian beranjak menuju kamarnya.Leona menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa diperlakukan demikian oleh William. Tapi ia tidak boleh menyerah. Terlebih ketika naskah skenario film yang akan mereka bintangi datang sejak tiga hari lalu.Leona baru sadar, akan ada banyak adegan romantis yang harus ia lakoni bersama William. Dan Leona ragu bisa melakukannya dengan baik jika sikap William padanya saja masih sedingin ini.Leona memilih beralih
'Warna matanya, kenapa-' pikiran William seketika kosong. Ia hanya terus menatap mata emerald Leona dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang menarik dari mata itu. Warna yang tergolong jarang William temui di dalam hidupnya. Tak sekadar warna hijaunya saja, tapi seperti ada hal lain yang membuat William tertarik untuk terus menatap mata indah itu.'Klek'William segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Di sana, ada tiga orang laki-laki yang mematung sembari menatap ke arah William dengan tatapan terkejut.William tidak mengerti kenapa mereka menatapnya seperti itu. Sebelum akhirnya ia teringat dengan gadis yang kini berada di hadapannya.'Mereka pasti berpikir yang aneh-aneh tentang aku dan Leona,' monolog William dalam hati.Perlahan, William membantu Leona untuk bersandar di sofa."Kalian mau masuk atau terus terdiam di situ?" tanya William dengan nada dingin, seperti biasanya.Tiga pria it
Leona baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Ethan. Ia masih terpengangah dengan gedung megah di hadapannya. Selain memiliki apartemen yang sangat mewah, ternyata William juga bekerja di kantor sebesar ini.R Corp. Terdengar cukup familiyar bagi Leona. Ia berusaha mengingatnya, namun belum sempat hal itu terjadi, suara Ethan sudah lebih dulu mengintrupsinya."Kamu sedang apa? Ayo!" ajak Ethan.Leona mengangguk kemudian berlari kecil untuk menyusul satu-satunya manusia yang ia kenal itu."Ethan, tunggu!" pinta Leona.Ethan memperlambat langkahnya untuk menunggu Leona. Ia baru ingat, jika yang sedang bersamanya kini adalah gadis berperawakan cukup mungil yang memiliki kaki jauh lebih pendek darinya."Ada apa, Leona?" tanya Ethan."Apa tidak akan jadi masalah kalau aku datang ke sini?" tanya Leona.Ethan menyert. Ia tidak mengerti, memang apa yang bisa terjadi hanya karena kedatangan Leona?"Maksud kamu masalah seperti
Leona terkejut saat merasakan sinar matahari yang sudah memasuki kamarnya. Seingatnya, ia sudah memasang alarm pukul lima lagi. Tidak mungkin kan, ia bangun kesiangan?Perlahan, mata Leona terbuka. Ia memperhatikan lamat-lamat ruangan tempatnya berada kini.Benar. Matahari sudah bersinar. Itu artinya, Leona bangun lebih siang dibanding biasanya.Leona meraih jam wekernya. Dan matanya langsung membulat melihat jarum paling pendek jam itu sudah menunjuk ke angka delapan."Whattt???" Ia memekik kaget bukan main. Dengan sempoyongan, karena nyawa yang belum benar-benar terkumpul, ia pun segera menuju ke lemari untuk mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi.Dan dalam kamar mandi, Leona terus merutuki kebodohannya. Ia belum pernah bangun sesiang ini. Sebelumnya, alarmnya selalu berfungsi dengan baik. Apa yang salah hingga jam yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu tidak membangunkannya?Selesai mandi dan berganti pakaian,
Malam semakin larut. Namun, Leona masih juga tidak berhasil terjun ke alam bawah sadarnya. Ia masih berguling ke kanan, dan kadang ke kiri. Salah satu tangannya sudah memegangi perutnya yang sedari tadi berbunyi akibat menahan lapar.Ia melirik jam di atas nakas. Hampir pukul sepuluh malam. Harusnya Leona segera tidur, karena ia tidak terlalu terbiasa tidur di atas jam sembilan. Tapi, ia benar-benar tidak bisa tidur dalam keadaan lapar seperti itu."Dia sudah tidur belum, ya? Malas sekali kalau aku keluar lalu bertemu dengannya," gumam gadis itu.Tak tahan lagi, Leona akhirnya keluar. Ia berjalan seperti orang mengendap-endap agar lagkahnya tak terdengar oleh pemilik apartemen ini.Ia melihat ke atas meja. Kosong. Mungkinkah makanannya sudah William masukkan ke dalam lemari pendingin?Leona menuju ke lemari pendingin, kemudian membukanya. Ternyata benar. Ada satu porsi masakannya yang belum tersentuh sama sekali di dalamnya. Itu pasti miliknya. Tap
Leona baru saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa, keadaan apartemen sangat sepi. Tak ada suara apapun yang dapat ia dengar, selain gesekan sendalnya dengan lantai.Leona melihat ke arah televisi yang selalu berada dalam keadaan mati sejak pertama ia lihat. Ia pun mulai menyalakannya. Setidaknya lumayan untuk mengurangi aura mencekam di apartemen semewah ini."Kau mau menonton TV?" tanya William yang baru saja datang.Leona menolehkan kepalanya dengan cepat. Ia mengangguk sembari tersenyum."Suaranya menggangguku," ujar William dengan wajah datar."Apa kamu tidak pernah menonton TV?" Kini giliran Leona yang melemparkan pertanyaan. William menjawabnya dengan gelengan kepala.Leona bergedik ngeri. Bisa-bisanya di dunia ini ada manusia seperti William."Kamu bahkan punya TV berukuran sangat besar di sini. Apa kamu sesibuk itu hingga tidak sempat menontonnya?" berondong Leona sembari bangkit mendekati William."Aku hanya tidak suka," bal
Leona baru saja selesai mengemasi barangnya. Fasilitas kamar yang ia tempati ini sangat lengkap. Bahkan ada lemari besar yang lebih dari cukup untuk menyimpan pakaiannya.Leona menyisir rambutnya di depan meja rias. Ia baru saja bangun dari tidur siang beberapa saat lalu, kemudian ia langsung menata barang-barangnya di kamar yang akan ia tempati untuk beberapa waktu ke depan ini. Setelah rambutnya kembali rapi, Leona memutuskan untuk keluar dari kamar.Suasana apartemen sangat sepi. Seakan hanya ada Leona yang tinggal di sini. Di mana William?Leona menghela napas panjang kemudian duduk di salah satu kursi ruang makan. Ia membuka kantong berisi makanan yang tadi dikatakan Ethan.Masih ada dua porsi makanan. Itu artinya William belum makan siang. Rasanya sangat malas bagi Leona untuk mengajak laki-laki itu makan bersama. Tapi, di sini ia adalah tamu. Tidak mungkin ia makan sebelum pemilik tempat ini mempersilakan.Leona menoleh saat mendengar suara pintu
Leona berdiri di depan cafe dengan pakaian yang serba tertutup. Kopernya pun sudah siap sedia di sampingnya. Sudah jam sepuluh lebih, namun sosok Ethan belum juga tiba.Leona menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan jika tidak ada penjahat atau apapun yang mengincarnya. Bagaimanapun juga, Leona tidak memiliki siapapun lagi untuknya mengadu. Jadi lebih baik ia memang harus selalu siaga agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.Leona menghela napas kesal. Kakinya terasa pegal jika ia terus-terusan berdiri seperti ini."Selamat pagi, Leona," sapa seseorang.Leona menoleh cepat. Ia tersenyum tipis ketika melihat sosok yang ia tunggu-tunggu sudah datang."Pagi, Pak Ethan," balas Leona.Ethan menyerit, "Kamu bisa bicara lebih santai denganku, Leona. Tidak perlu kaku seperti itu," ujarnya.Leona menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ternyata Ethan tidak seangkuh yang ia kira."Mau pergi sekarang? Semuanya sudah disiapkan," ajak Ethan.