Malam semakin larut. Namun, Leona masih juga tidak berhasil terjun ke alam bawah sadarnya. Ia masih berguling ke kanan, dan kadang ke kiri. Salah satu tangannya sudah memegangi perutnya yang sedari tadi berbunyi akibat menahan lapar.
Ia melirik jam di atas nakas. Hampir pukul sepuluh malam. Harusnya Leona segera tidur, karena ia tidak terlalu terbiasa tidur di atas jam sembilan. Tapi, ia benar-benar tidak bisa tidur dalam keadaan lapar seperti itu.
"Dia sudah tidur belum, ya? Malas sekali kalau aku keluar lalu bertemu dengannya," gumam gadis itu.
Tak tahan lagi, Leona akhirnya keluar. Ia berjalan seperti orang mengendap-endap agar lagkahnya tak terdengar oleh pemilik apartemen ini.
Ia melihat ke atas meja. Kosong. Mungkinkah makanannya sudah William masukkan ke dalam lemari pendingin?
Leona menuju ke lemari pendingin, kemudian membukanya. Ternyata benar. Ada satu porsi masakannya yang belum tersentuh sama sekali di dalamnya. Itu pasti miliknya. Tapi, di mana porsi yang satu?
"Kamu kelaparan di tengah malam seperti ini?" Leona terpenjat. Ia dapat merasakan napas hangat seseorang di lehernya.
Hendak memutar tubuhnya, tapi ia tidak bisa. Posisi William benar-benar sangat dekat dengannya. Ia khawatir akan bersenggolan dengan laki-laki itu jika ia salah mengambil langkah.
Lagi pula, sejak kapan William berdiri di sini? Apa yang ia lakukan jam sepuluh malam di dapur? Bukankah dia sudah makan malam dengan masakan Leona tadi?
"Bisa mundur sedikit?" pinta Leona dengan nada sedatar mungkin.
"Sudah," jawabnya setelah beberapa detik.
Leona menghela napas panjang. Ia amat yakin jika jarak antara dirinya dan William sama sekali belum berubah. Napas William bahkan masih berembus jelas di sekitaran leher Leona.
"Mundur!" suruhnya lagi.
"Aku sudah mundur sekitar satu setengan senti sejak kamu memintanya pertama kali. Apa itu kurang?" tanya William polos.
Pasrah, Leona sehati-hati mungkin, memutar tubuhnya hingga benar-benar berhadapan dengan laki-laki itu.
Leona tak sudi mengangkat kepalanya yang akan membuat tatapan mereka bertemu. Ia lebih memilih menatap lurus ke depan, ke arah dada bidang pria aneh di depannya.
"Kamu tidak jadi makan malam?" tanya William lagi.
"Aku akan makan kalau kamu kembali masuk ke kamarmu," balas Leona sinis.
Terdengar kekehan kecil dari mulut pria di depannya, yang membuat Leona merasa kebingungan.
"Aku bisa menemanimu makan malam. Aku juga sudah lapar," ujarnya. Leona menyerit.
"Bukankah kamu sudah makan masakanku tadi? Aku ingat jelas jika tadi sore aku memasak untuk dua porsi. Dan sekarang sisa satu. Itu artinya kamu-" Leona menghentikan ucapannya ketika merasakan tatapan yang tak biasa William tertuju padanya.
Apa ada yang salah?
"Kenapa? Apa menurutmu aku salah bicara lagi?" tanya Leona.
"Tidak. Hanya saja sepertinya kamu lupa, di mana kamu sekarang. Kamu baru saja melarang pemilik apartemen ini untuk melakukan apa yang dia mau," jawab William dengan nada menjengkelkan.
Leona mendorong sedikit badan William hingga menciptakan jarak yang lebih nyata di antara keduanya. Setelah itu, ia berbalik untuk mengambil satu porsi daging yang masih tersisa dan menyerahkannya pada William.
"Makanlah!" ujar Leona jengkel.
"Lalu kamu?" tanya William.
"Apa pedulimu kalau aku mau makan, ataupun tidak makan?" sembur Leona yang tak tahan lagi dengan perilaku William. Padahal ini masih terhitung hari pertama ia tinggal satu atap dengan laki-laki itu.
"Kau benar. Aku sama sekali tak peduli," jawab William sembari membawa makanan yang Leona berikan ke arah meja makan.
Leona mengerang kesal. Sebenarnya, apa sih yang diinginkan laki-laki itu? Bisa-bisanya gadis lugu seperti Leona terjebak harus tinggal satu atap dengannya. Tapi, Leona tidak ada pilihan lain. Ia harus bersabar menghadapi laki-laki itu demi impian terbesarnya untuk menjadi aktris terkenal.
Leona berusaha menenangkan dirinya. Setelah itu, ia membuka lemari atas dan mengambil sebungkus mie instan dari sana. Untung saja ia tadi membelinya saat di super market. Ia sudah menduga, ada kalanya makanan instan akan berguna seperti ini jika ia tinggal satu atap dengan manusia seperti William.
Leona memasak mie itu sambil terdiam. Ia sama sekali tak berniat untuk membuka suara sedikitpun. Setelah mie-nya matang, mau tidak mau ia harus kembali berhadapan dengan William di meja makan.
Keduanya makan dengan tenang, tanpa satupun berniat memulai pembicaraan.
Tak lama kemudian, William selesai menyantap hidangan menjelang tengah malamnya.
"Masakanmu cukup enak. Aku tidak keberatan jika kamu memasakkan untukku mulai hari ini," ujar William setelah menelan suapan terakhirnya.
Leona memutar bola matanya malas. Tadi saja laki-laki itu menolak masakannya mentah-mentah. Sekarang apa? Bahkan ia meminta secara langsung pada Leona untuk memasakkanya setiap hari.
"Kamu tidak lupa kan, kalau kamu tinggal secara gratis di sini? Setidaknya berlaku baik lah pada pemilik apartemen ini," imbuh laki-laki menjengkelkan itu.
Leona mendengus. Ia mengangkat wajahnya, dan menelan secara paksa makanan yang ada di mulutnya.
"Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku tinggal di sini?" tanya Leona.
"Yup. Dan itu demi pekerjaan. Tapi tetap saja kamu harus membayarku selaku pemilik apartemen ini," jawab William dengan wajah datar.
Dia serius? Leona harus membayar untuk tinggal di unit semewah ini? Meskipun hanya separuh harga, bukankah ini sangat mahal?
Wajah Leona langsung pucat pasi. Ia tidak punya cukup banyak uang untuk menyewa tempat semewah ini. Jangankan apartemen ini, kontrakan kecil saja ia tidak sanggup lagi menyewanya.
Tapi, ia benar-benar harus menjadi aktris terkenal. Ia tidak bisa pergi begitu saja. Akan sangat sulit baginya mendapat tawaran bermain film, terlebih menjadi tokoh utama seperti sekarang.
"Be- be- berapa banyak yang harus aku bayar?" tanya Leona hati-hati.
Di otaknya, sudah tergambar jelas bagaimana banyaknya deretan angka yang harus ia keluarkan nantinya. Sungguh suram.
William tertawa sinis. Membuat kekesalan Leona kembali muncul.
"Tidak bisakah kita bicara serius? Aku bertanya padamu, berapa biaya sewa yang harus aku bayar?" kesal Leona.
"Kamu punya uang seberapa banyak?" tantang William.
"Kau tidak perlu tahu. Katakan saja berapa yang kamu dariku?" balas Leona.
William meletakkan kedua sikunya di atas meja. Kemudian, ia menopang kepalanya dengan tangannya itu.
"Apa menurutmu uangmu lebih banyak dariku? Apa menurutmu aku kekurangan uang hingga harus meminta darimu?" tanya William dengan nada santai.
"Kamu sendiri tadi yang bilang, aku harus bayar. Lalu berapa yang harus aku bayarkan?" balas Leona.
"Jika disewakan, unit ini mungkin akan bernilai sekitar tiga juta USD per tahunnya. Tinggal kamu hitung, akan berapa lama kamu tinggal di sini," ujar William.
Leona terdiam. Ia menelan salivanya kasar. Benarkah semahal itu? Bahkan apa bila ginjalnya dijual saja tidak akan cukup untuk membayar biaya sewa itu untuk beberapa bulan ke depan.
"Se- se- sekitar tiga setengah juta dolar per bulan?" tanya Leona ragu. Selanjutnya, William pun mengangguk membenarkan.
"Tapi kita tinggal berdua. Dan bahkan aku menempati kamar yang lebih kecil darimu. Aku juga- bisakah aku membayar seperempatnya saja? Itupun, aku akan membayarnya setelah kita mendapat bayaran dari proyek film itu," ucap Leona semakin lirih.
Ia benar-benar sudah tidak punya uang. Dan tiga setengah juta dolar bukanlah nominal yang kecil baginya. Itu amat besar.
Lagi, tawa William pecah. Namun, kali ini tanggapan Leona berbeda dari yang sebelumnya kesal, kini ia lebih merasa seperti terintimidasi oleh suara tawa laki-laki itu.
Ia sadar posisinya saat ini. Ia tidak bisa berbuat seenaknya pada William.
"Hey hey, tenanglah! Aku tidak membutuhkan uang recehmu itu!" ujar William yang membuat Leona sontak mengangkat wajahnya.
Ia benar-benar tidak mengerti, apa yang diinginkan laki-laki itu.
"Bukankah kamu yang memintanya tadi? Kamu-"
"Lalu kamu punya uang jika aku akan memintamu untuk membayar di muka?" tantang William yang membuat mental Leona kembali down. Gadis itu menggeleng.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Leona lirih.
"Berkerjalah untukku! Kamu bisa membersihkan apartemen, memasak, dan bersikap sebaik mungkin untukku," ujar William dengan nada lebih tenang, namun serius.
Leona menatap mata laki-laki itu. Benar-benar sempurna. Bagaimana bisa di muka bumi ini ada sosok seperti William, terlebih, sosok itu kini berada tepat di hadapan Leona.
"Dan kau harus selalu ingat aturan yang paling utama di apartemen ini," ucap William membuat Leona tersentak, kembali sadar dari lamunannya.
"Apa?" tanya cepat.
"Jangan mengganggu ketenangan dan privasiku!" jawab William.
Leona mengangguk penuh semangat. Tidak sulit. Ia yakin ia bisa melakukannya. Persetan jika memang ia harus menjadi pelayan di apartemen ini. Setidaknya ia bisa tinggal lebih lama, tanpa harus memikirkan biayanya.
Toh, tempat ini sangat aman untuknya. Walaupun mungkin nantinya ia akan tersiksa karena tingkah polah William, tapi setidaknya ia tahu, di tempat ini, keselamatannya tidak lagi terancam. Hanya apartemen inilah tempat teraman untuk ia tinggali sebelum akhirnya ia akan menjadi aktris terkenal.
***Bersambung...
Jangan lupa nantikan kelanjutannya :)
Untuk yang sudah kepo banget, bisa loh baca versi Bahasa Inggrisnya, sudah beberapa chapter lebih di depan dibanding versi Indo :D
Leona terkejut saat merasakan sinar matahari yang sudah memasuki kamarnya. Seingatnya, ia sudah memasang alarm pukul lima lagi. Tidak mungkin kan, ia bangun kesiangan?Perlahan, mata Leona terbuka. Ia memperhatikan lamat-lamat ruangan tempatnya berada kini.Benar. Matahari sudah bersinar. Itu artinya, Leona bangun lebih siang dibanding biasanya.Leona meraih jam wekernya. Dan matanya langsung membulat melihat jarum paling pendek jam itu sudah menunjuk ke angka delapan."Whattt???" Ia memekik kaget bukan main. Dengan sempoyongan, karena nyawa yang belum benar-benar terkumpul, ia pun segera menuju ke lemari untuk mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi.Dan dalam kamar mandi, Leona terus merutuki kebodohannya. Ia belum pernah bangun sesiang ini. Sebelumnya, alarmnya selalu berfungsi dengan baik. Apa yang salah hingga jam yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu tidak membangunkannya?Selesai mandi dan berganti pakaian,
Leona baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Ethan. Ia masih terpengangah dengan gedung megah di hadapannya. Selain memiliki apartemen yang sangat mewah, ternyata William juga bekerja di kantor sebesar ini.R Corp. Terdengar cukup familiyar bagi Leona. Ia berusaha mengingatnya, namun belum sempat hal itu terjadi, suara Ethan sudah lebih dulu mengintrupsinya."Kamu sedang apa? Ayo!" ajak Ethan.Leona mengangguk kemudian berlari kecil untuk menyusul satu-satunya manusia yang ia kenal itu."Ethan, tunggu!" pinta Leona.Ethan memperlambat langkahnya untuk menunggu Leona. Ia baru ingat, jika yang sedang bersamanya kini adalah gadis berperawakan cukup mungil yang memiliki kaki jauh lebih pendek darinya."Ada apa, Leona?" tanya Ethan."Apa tidak akan jadi masalah kalau aku datang ke sini?" tanya Leona.Ethan menyert. Ia tidak mengerti, memang apa yang bisa terjadi hanya karena kedatangan Leona?"Maksud kamu masalah seperti
'Warna matanya, kenapa-' pikiran William seketika kosong. Ia hanya terus menatap mata emerald Leona dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang menarik dari mata itu. Warna yang tergolong jarang William temui di dalam hidupnya. Tak sekadar warna hijaunya saja, tapi seperti ada hal lain yang membuat William tertarik untuk terus menatap mata indah itu.'Klek'William segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Di sana, ada tiga orang laki-laki yang mematung sembari menatap ke arah William dengan tatapan terkejut.William tidak mengerti kenapa mereka menatapnya seperti itu. Sebelum akhirnya ia teringat dengan gadis yang kini berada di hadapannya.'Mereka pasti berpikir yang aneh-aneh tentang aku dan Leona,' monolog William dalam hati.Perlahan, William membantu Leona untuk bersandar di sofa."Kalian mau masuk atau terus terdiam di situ?" tanya William dengan nada dingin, seperti biasanya.Tiga pria it
Terhitung sudah satu minggu Leona tinggal di apartemen William. Dan semua keadaan di dalam apartemen itu masih sama. Dengan William yang selalu bersikap dingin, dan Leona yang terus berusaha dekat dengan laki-laki itu."Sebenarnya apa sih maumu?" tanya William malas, ketika Leona terus saja mengikutinya sembari menawarkan berbagai jenis minuman."Aku hanya ingin membuatkan kamu minum. Hari ini kamu habis lembur, kan? Kamu pasti capek. Jadi aku-""Aku cuma butuh mandi. Dan kamu, diamlah!" ketus William kemudian beranjak menuju kamarnya.Leona menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa diperlakukan demikian oleh William. Tapi ia tidak boleh menyerah. Terlebih ketika naskah skenario film yang akan mereka bintangi datang sejak tiga hari lalu.Leona baru sadar, akan ada banyak adegan romantis yang harus ia lakoni bersama William. Dan Leona ragu bisa melakukannya dengan baik jika sikap William padanya saja masih sedingin ini.Leona memilih beralih
Leona membuka matanya ketika alarmnya berbunyi. Dan ia langsung terpenjat saat melihat sosok laki-laki berada di kamarnya. Ia hampir saja menjerit, sebelum akhirnya ia sadar kalau laki-laki itu adalah pemilik apartemen yang ia tempati."Apa yang kamu lakukan dengan jam wekerku?" bingung Leona. Bahkan suaranya masih terdengar serak, khas orang bangun tidur."Mematikan semua yang aku anggap mengganggu," jawab William santai.Leona baru menyadari sesuatu. Beberapa kali alarmnya sering tidak berbunyi meski ia ingat betul sudah memasangnya dengan benar. Jadi, inikah alasannya?William sering datang ke kamarnya dan mematikan alarmnya ketika ia merasa terganggu hingga Leona terlambat bangun?"Ini bukan pertama kalinya, kan?" selidik Leona.William mengambil posisi duduk di pinggir kasur Leona, hingga membuat gadis itu refleks bergeser menjauh.Diamnya laki-laki itu Leona artikan sebagai jawaban "YA". Jadi laki-laki itu memang sering menerobo
Dua laki-laki berpakaian rapi itu sedang sibuk membahas masalah pekerjaan. Ethan, salah seorang laki-laki itu, kembali menjelaskan detail berkas yang ia bawa."Ini adalah peluang emas kalau kamu mau maju, William. Kapan lagi produser film nomor satu di dunia menawarimu kerja sama seperti ini? Apa kamu tidak tergiur dengan bayarannya yang mencapai jutaan dolar? Selain itu, film ini merupakan adaptasi novel best seller dunia yang sudah dinantikan banyak orang," ujarnya.William, sang lawan bicara hanya mendesah ringan."Sudah aku tegaskan berkali-kali, aku tidak berminat bermain di genre romance. Aku tidak bisa memerankan sosok Peter dengan baik." William kembali menolaknya.William Redorge. Seorang aktor yang amat terkenal, khususnya dalam film action. Sejak berkecimpung dengan dunia perfilman tujuh tahun lalu, William memang selalu menolak project film roman.Ia merasa, imejnya sangat tidak sesuai jika memerankan karakter pria idaman dalam film romansa.
Sudah lewat satu jam sejak jadwal pertemuan. Namun, gadis itu tak juga datang. William mulai bosan mendengar obrolan tak berisi antara Ethan dan pihak PH.William sendiri memilih untuk membaca script yang diberikan pihak PH padanya beberapa saat lalu. Tidak buruk. Setidaknya dalam film ini William tetap memerankan sosok yang kuat dan berkuasa seperti film-filmnya yang lain.Hal yang paling tidak William membuat William tidak mau bermain di film romance adalah, dia tidak mau dan merasa tidak cocok terlihat lemah. Tapi setidaknya, di film ini imej William masih aman."Ma- ma- maaf, saya terlambat." Semua mata tertuju ke arah sumber suara.Tampak seorang gadis bersurai panjang menunduk di dekat kursi William. William melihat lamat-lamat wajahnya, tapi ia tak bisa mengenali siapa wanita itu."Duduklah, Leona!" ujar Shawn yang William ketahui sebagai sutradara film yang akan William mainkan.Gadis itu duduk di samping William. Ia masih menunduk dan beb
Leona berdiri di depan cafe dengan pakaian yang serba tertutup. Kopernya pun sudah siap sedia di sampingnya. Sudah jam sepuluh lebih, namun sosok Ethan belum juga tiba.Leona menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan jika tidak ada penjahat atau apapun yang mengincarnya. Bagaimanapun juga, Leona tidak memiliki siapapun lagi untuknya mengadu. Jadi lebih baik ia memang harus selalu siaga agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.Leona menghela napas kesal. Kakinya terasa pegal jika ia terus-terusan berdiri seperti ini."Selamat pagi, Leona," sapa seseorang.Leona menoleh cepat. Ia tersenyum tipis ketika melihat sosok yang ia tunggu-tunggu sudah datang."Pagi, Pak Ethan," balas Leona.Ethan menyerit, "Kamu bisa bicara lebih santai denganku, Leona. Tidak perlu kaku seperti itu," ujarnya.Leona menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ternyata Ethan tidak seangkuh yang ia kira."Mau pergi sekarang? Semuanya sudah disiapkan," ajak Ethan.
Leona membuka matanya ketika alarmnya berbunyi. Dan ia langsung terpenjat saat melihat sosok laki-laki berada di kamarnya. Ia hampir saja menjerit, sebelum akhirnya ia sadar kalau laki-laki itu adalah pemilik apartemen yang ia tempati."Apa yang kamu lakukan dengan jam wekerku?" bingung Leona. Bahkan suaranya masih terdengar serak, khas orang bangun tidur."Mematikan semua yang aku anggap mengganggu," jawab William santai.Leona baru menyadari sesuatu. Beberapa kali alarmnya sering tidak berbunyi meski ia ingat betul sudah memasangnya dengan benar. Jadi, inikah alasannya?William sering datang ke kamarnya dan mematikan alarmnya ketika ia merasa terganggu hingga Leona terlambat bangun?"Ini bukan pertama kalinya, kan?" selidik Leona.William mengambil posisi duduk di pinggir kasur Leona, hingga membuat gadis itu refleks bergeser menjauh.Diamnya laki-laki itu Leona artikan sebagai jawaban "YA". Jadi laki-laki itu memang sering menerobo
Terhitung sudah satu minggu Leona tinggal di apartemen William. Dan semua keadaan di dalam apartemen itu masih sama. Dengan William yang selalu bersikap dingin, dan Leona yang terus berusaha dekat dengan laki-laki itu."Sebenarnya apa sih maumu?" tanya William malas, ketika Leona terus saja mengikutinya sembari menawarkan berbagai jenis minuman."Aku hanya ingin membuatkan kamu minum. Hari ini kamu habis lembur, kan? Kamu pasti capek. Jadi aku-""Aku cuma butuh mandi. Dan kamu, diamlah!" ketus William kemudian beranjak menuju kamarnya.Leona menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa diperlakukan demikian oleh William. Tapi ia tidak boleh menyerah. Terlebih ketika naskah skenario film yang akan mereka bintangi datang sejak tiga hari lalu.Leona baru sadar, akan ada banyak adegan romantis yang harus ia lakoni bersama William. Dan Leona ragu bisa melakukannya dengan baik jika sikap William padanya saja masih sedingin ini.Leona memilih beralih
'Warna matanya, kenapa-' pikiran William seketika kosong. Ia hanya terus menatap mata emerald Leona dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang menarik dari mata itu. Warna yang tergolong jarang William temui di dalam hidupnya. Tak sekadar warna hijaunya saja, tapi seperti ada hal lain yang membuat William tertarik untuk terus menatap mata indah itu.'Klek'William segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Di sana, ada tiga orang laki-laki yang mematung sembari menatap ke arah William dengan tatapan terkejut.William tidak mengerti kenapa mereka menatapnya seperti itu. Sebelum akhirnya ia teringat dengan gadis yang kini berada di hadapannya.'Mereka pasti berpikir yang aneh-aneh tentang aku dan Leona,' monolog William dalam hati.Perlahan, William membantu Leona untuk bersandar di sofa."Kalian mau masuk atau terus terdiam di situ?" tanya William dengan nada dingin, seperti biasanya.Tiga pria it
Leona baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Ethan. Ia masih terpengangah dengan gedung megah di hadapannya. Selain memiliki apartemen yang sangat mewah, ternyata William juga bekerja di kantor sebesar ini.R Corp. Terdengar cukup familiyar bagi Leona. Ia berusaha mengingatnya, namun belum sempat hal itu terjadi, suara Ethan sudah lebih dulu mengintrupsinya."Kamu sedang apa? Ayo!" ajak Ethan.Leona mengangguk kemudian berlari kecil untuk menyusul satu-satunya manusia yang ia kenal itu."Ethan, tunggu!" pinta Leona.Ethan memperlambat langkahnya untuk menunggu Leona. Ia baru ingat, jika yang sedang bersamanya kini adalah gadis berperawakan cukup mungil yang memiliki kaki jauh lebih pendek darinya."Ada apa, Leona?" tanya Ethan."Apa tidak akan jadi masalah kalau aku datang ke sini?" tanya Leona.Ethan menyert. Ia tidak mengerti, memang apa yang bisa terjadi hanya karena kedatangan Leona?"Maksud kamu masalah seperti
Leona terkejut saat merasakan sinar matahari yang sudah memasuki kamarnya. Seingatnya, ia sudah memasang alarm pukul lima lagi. Tidak mungkin kan, ia bangun kesiangan?Perlahan, mata Leona terbuka. Ia memperhatikan lamat-lamat ruangan tempatnya berada kini.Benar. Matahari sudah bersinar. Itu artinya, Leona bangun lebih siang dibanding biasanya.Leona meraih jam wekernya. Dan matanya langsung membulat melihat jarum paling pendek jam itu sudah menunjuk ke angka delapan."Whattt???" Ia memekik kaget bukan main. Dengan sempoyongan, karena nyawa yang belum benar-benar terkumpul, ia pun segera menuju ke lemari untuk mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi.Dan dalam kamar mandi, Leona terus merutuki kebodohannya. Ia belum pernah bangun sesiang ini. Sebelumnya, alarmnya selalu berfungsi dengan baik. Apa yang salah hingga jam yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu tidak membangunkannya?Selesai mandi dan berganti pakaian,
Malam semakin larut. Namun, Leona masih juga tidak berhasil terjun ke alam bawah sadarnya. Ia masih berguling ke kanan, dan kadang ke kiri. Salah satu tangannya sudah memegangi perutnya yang sedari tadi berbunyi akibat menahan lapar.Ia melirik jam di atas nakas. Hampir pukul sepuluh malam. Harusnya Leona segera tidur, karena ia tidak terlalu terbiasa tidur di atas jam sembilan. Tapi, ia benar-benar tidak bisa tidur dalam keadaan lapar seperti itu."Dia sudah tidur belum, ya? Malas sekali kalau aku keluar lalu bertemu dengannya," gumam gadis itu.Tak tahan lagi, Leona akhirnya keluar. Ia berjalan seperti orang mengendap-endap agar lagkahnya tak terdengar oleh pemilik apartemen ini.Ia melihat ke atas meja. Kosong. Mungkinkah makanannya sudah William masukkan ke dalam lemari pendingin?Leona menuju ke lemari pendingin, kemudian membukanya. Ternyata benar. Ada satu porsi masakannya yang belum tersentuh sama sekali di dalamnya. Itu pasti miliknya. Tap
Leona baru saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa, keadaan apartemen sangat sepi. Tak ada suara apapun yang dapat ia dengar, selain gesekan sendalnya dengan lantai.Leona melihat ke arah televisi yang selalu berada dalam keadaan mati sejak pertama ia lihat. Ia pun mulai menyalakannya. Setidaknya lumayan untuk mengurangi aura mencekam di apartemen semewah ini."Kau mau menonton TV?" tanya William yang baru saja datang.Leona menolehkan kepalanya dengan cepat. Ia mengangguk sembari tersenyum."Suaranya menggangguku," ujar William dengan wajah datar."Apa kamu tidak pernah menonton TV?" Kini giliran Leona yang melemparkan pertanyaan. William menjawabnya dengan gelengan kepala.Leona bergedik ngeri. Bisa-bisanya di dunia ini ada manusia seperti William."Kamu bahkan punya TV berukuran sangat besar di sini. Apa kamu sesibuk itu hingga tidak sempat menontonnya?" berondong Leona sembari bangkit mendekati William."Aku hanya tidak suka," bal
Leona baru saja selesai mengemasi barangnya. Fasilitas kamar yang ia tempati ini sangat lengkap. Bahkan ada lemari besar yang lebih dari cukup untuk menyimpan pakaiannya.Leona menyisir rambutnya di depan meja rias. Ia baru saja bangun dari tidur siang beberapa saat lalu, kemudian ia langsung menata barang-barangnya di kamar yang akan ia tempati untuk beberapa waktu ke depan ini. Setelah rambutnya kembali rapi, Leona memutuskan untuk keluar dari kamar.Suasana apartemen sangat sepi. Seakan hanya ada Leona yang tinggal di sini. Di mana William?Leona menghela napas panjang kemudian duduk di salah satu kursi ruang makan. Ia membuka kantong berisi makanan yang tadi dikatakan Ethan.Masih ada dua porsi makanan. Itu artinya William belum makan siang. Rasanya sangat malas bagi Leona untuk mengajak laki-laki itu makan bersama. Tapi, di sini ia adalah tamu. Tidak mungkin ia makan sebelum pemilik tempat ini mempersilakan.Leona menoleh saat mendengar suara pintu
Leona berdiri di depan cafe dengan pakaian yang serba tertutup. Kopernya pun sudah siap sedia di sampingnya. Sudah jam sepuluh lebih, namun sosok Ethan belum juga tiba.Leona menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan jika tidak ada penjahat atau apapun yang mengincarnya. Bagaimanapun juga, Leona tidak memiliki siapapun lagi untuknya mengadu. Jadi lebih baik ia memang harus selalu siaga agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.Leona menghela napas kesal. Kakinya terasa pegal jika ia terus-terusan berdiri seperti ini."Selamat pagi, Leona," sapa seseorang.Leona menoleh cepat. Ia tersenyum tipis ketika melihat sosok yang ia tunggu-tunggu sudah datang."Pagi, Pak Ethan," balas Leona.Ethan menyerit, "Kamu bisa bicara lebih santai denganku, Leona. Tidak perlu kaku seperti itu," ujarnya.Leona menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ternyata Ethan tidak seangkuh yang ia kira."Mau pergi sekarang? Semuanya sudah disiapkan," ajak Ethan.