Leona baru saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa, keadaan apartemen sangat sepi. Tak ada suara apapun yang dapat ia dengar, selain gesekan sendalnya dengan lantai.
Leona melihat ke arah televisi yang selalu berada dalam keadaan mati sejak pertama ia lihat. Ia pun mulai menyalakannya. Setidaknya lumayan untuk mengurangi aura mencekam di apartemen semewah ini.
"Kau mau menonton TV?" tanya William yang baru saja datang.
Leona menolehkan kepalanya dengan cepat. Ia mengangguk sembari tersenyum.
"Suaranya menggangguku," ujar William dengan wajah datar.
"Apa kamu tidak pernah menonton TV?" Kini giliran Leona yang melemparkan pertanyaan. William menjawabnya dengan gelengan kepala.
Leona bergedik ngeri. Bisa-bisanya di dunia ini ada manusia seperti William.
"Kamu bahkan punya TV berukuran sangat besar di sini. Apa kamu sesibuk itu hingga tidak sempat menontonnya?" berondong Leona sembari bangkit mendekati William.
"Aku hanya tidak suka," balas laki-laki itu, kemudian melangkah pergi dari hadapan Leona.
Leona mengikutinya. Ia memang cukup nekat ketika merasa gemas dengan sesuatu.
"Sekarang kamu mau apa? Kalau tidak punya kegiatan, cobalah sesekali menonton TV!" bujuk Leona.
"Aku mau masak untuk makan malamku," jawab William malas.
Laki-laki itu mulai membuka kulkasnya. Ia sedikit terkejut melihat penampakkan kulkasnya yang berbeda dengan biasanya.
"Kamu tidak keberatan kan, kalau berbagi kulkas itu padaku? Aku juga perlu tempat untuk menyimpan bahan makanan," ucap Leona yang seolah sadar dengan perubahan sikap William.
William tak menjawab. Laki-laki itu mengambil sekantung daging lalu menutup kembali pintu kulkasnya.
"Tunggu! Aku sudah memasak untuk makan malam kita," ujar Leona sembari menahan langkah William.
William menatap gadis itu dengan tatapan datar. Seolah berkata jika ia tidak peduli dengan apapun yang gadis itu katakan. Karena memang, sebisa mungkin William ingin bersikap seolah tidak ada gadis itu di dalam unitnya.
Leona mengambil daging di tangan William, "kalau kamu lapar, ayo kita makan masakanku!" ajak Leona sembari tersenyum.
"Keberadaanmu benar-benar mengganggu," gumam William masih dengan wajah datarnya.
Leona menyeritkan alisnya. Ia benar-benar berniat baik untuk memasakkan William. Kenapa laki-laki itu malah menganggapnya seperti hama?
"Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku tinggal di sini? Tapi kenapa kamu-"
"Aku menyuruhmu tinggal, tapi tidak mengizinkanmu mengganggu ketenanganku," balas William sembari merebut kembali dagingnya dari Leona.
Leona tak tinggal diam. Ia merebut kembali daging itu dan menyembunyikannya di belakang punggungnya.
"Aku sudah masak untuk porsi dua orang. Setidaknya bantu aku menghabiskannya malam ini!" pinta Leona dengan nada memelas.
Tatapan William masih sama, dingin. Ia seolah tak peduli sama sekali dengan rengekan gadis di hadapannya.
"Aku tidak bisa makan sembarangan," balasnya pada akhirnya.
"Aku memasak daging untukmu. Aku hanya tahu kamu bisa makan daging. Makanya aku membuatnya. Setelah ini, kamu bisa mengatakan padaku, apa saja makanan yang kamu suka. Dan aku akan berusaha membuatkannya untukmu setiap hari," terang Leona.
William meneliti penampilan gadis di hadapannya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Leona bergedik ngeri melihat tatapan William padanya. Pikirannya mulai berkelana memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Bagaimana? Kamu setuju, kan?" tanya Leona tak sabaran.
"Aku tidak tertarik dengan gadis agresif sepertimu." Jawaban tak terduga itu keluar dari mulut William.
Kali ini, Leona menatap laki-laki di hadapannya itu dengan sengit. "Kamu pikir aku tertarik padamu?" tanyanya.
"Ya. Bukankah kamu sedang berusaha menarik perhatianku?" tanya William balik.
Leona mendengus kesal. Ia berjalan menuju lemari pendingin kemudian memasukkan daging milik William dengan kasar.
"Dengar! Aku melakukan ini demi membangun chemistry yang baik denganmu. Kamu ingat, kita diminta untuk tinggal bersama agar kita bisa saling mengenal dan membangun chemistry yang baik sebelum mulai shooting?" omel Leona yang tidak terima dengan ucapan William sebelumnya.
William tersenyum miring mendengar penuturan Leona yang menurutnya hanya alibi belaka.
"Kenapa kamu tersenyum seperti itu?" bentak Leona yang tak bisa lagi menahan kekesalannya.
William melangkah ke depan. Mengikis jarak antara dirinya dengan gadis polos di depannya. Senyum miring masih tercetak jelas di bibirnya.
Leona perlahan mundur. Berusaha mempertahankan jarak antara dirinya dengan laki-laki aneh itu. Tapi, William masih terus bergerak maju, membuat Leona bergedik ngeri mengingat ia hanya tinggal berdua dengan laki-laki ini di lantai ini.
Jika William melakukan sesuatu pada Leona, tak akan ada seorangpun yang bisa menolongnya.
Tap
Leona terpenjat kaget saat bagian pinggulnya menyentuh meja makan. Sementara di depan sana, jarak William dengan dirinya sudah menakin menipis. Napas Leona semakin tak beraturan merasakan debaran aneh di dadanya.
'Apa dia seberengsek itu? Tidak! Kamu tidak boleh takut, Leona! Tunjukan kalau kamu bukan gadis sembarangan!' monolog Leona dalam hati.
Tap
William menghentikan langkahnya. Namun, jarak antara dia dengan Leona sudah benar-benar tipis. Leona melirik ke samping kanan dan kiri. Mencari peluang untuk kabur dari laki-laki itu.
Namun, baru saja Leona hendak bergeser ke samping, William sudah lebih dulu mengurungnya. Kini posisi Leona benar-benar terhimpit oleh meja makan dan tubuh kekar William.
"Minggir!" ujar Leona berusaha mempertahankan atensinya.
Bukannya menyingkir, William malah tertawa kecil mendengar usiran gadis di hadapannya itu. Hal tersebut membuat Leona semakin ketakutan, namun sebisa mungkin ia masih berusaha untuk menahannya.
"Aku bilang menyingkir dari hadapanku!" bentak Leona sembari berusaha mendorong tubuh William.
"Akuilah, kamu menyukaiku, kan?" desak William sembari memajukan wajahnya.
Leona menggeleng kecil. Ia tidak berani terlalu banyak bergerak dalam posisi seperti ini.
'Jantungku... kenapa rasanya seperti ini? Tidak! Kamu tidak boleh terpesona dengan laki-laki berengsek ini, Leona! Kamu tidak boleh dilemahkan oleh cinta!' batin Leona masih menyemangati dirinya sendiri.
Wajah William semakin dekat. Dan Leona sudah tak memiliki ruang untuk menghindar. Tangannya sudah bergetar, tapi ia meremasnya kencang agar kondisinya yang memprihatinkan ini tidak diketahui oleh William.
William terus memajukan wajahnya. Leona memejamkan matanya pasrah. Ia tak tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh laki-laki itu.
Apakah William akan membunuhnya? Atau dia akan menciumnya? Leona benar-benar tidak bisa menebak isi pikiran laki-laki itu.
"Jangan pernah menaruh hatimu padaku! Jangan berharap lebih! Aku mengizinkan kamu tinggal, bukan berarti kau boleh lancang menaruh hatimu padaku," bisik William dengan nada rendah, membuat Leona semakin kesulitan bernapas.
Cup
Napas Leona tercekat. Ia dapat merasakan sesuatu yang lembab menyentuh pipinya. Apa laki-laki itu baru saja menciumnya?
Apa maksudnya melarang Leona jatuh hati padanya, tapi satu detik berikutnya ia malah mencium pipi Leona seperti itu?
Apa yang sebenarnya diinginkan laki-laki bernama William Redorge itu?
"Kamu pikir aku menciummu karena aku tertarik padamu? Hmm.. jangan bermimpi! Aku hanya ingin membuktika padamu, tentang perasaan padaku. Kau menyukaiku, bukan?" bisik William sebelum akhirnya ia menjauhkan wajahnya.
Plakkk
Leona tak dapat lagi menahan kekesalannya. Ia mendorong William sekuat tenaga setelah sebelumnya ia menampar pipi pria itu.
"Dasar laki-laki berengsek!" teriak Leona kemudian berjalan cepat meninggalkan laki-laki yang masih membeku di tempatnya itu.
Setelah kepergian Leona, William mendengus kesal, "seperti ini tamparan seorang wanita? Dasar lemah," gumamnya.
"Mari aku tunjukkan apa arti kata berengsek yang sebenarnya pada gadis munafik itu. Permainan baru saja akan dimulai, Leona Russel," lirih William sembari menatap pintu kamar Leona yang baru saja ditutup dengan kasar.
***
Bersambung...
Aku mengajukan kontrak The Curse (Bahasa Indonesia) pada tanggal 25 Mei 2021 (setelah versi Bahasa Inggrisnya sudah acc). Dan cerita ini akan dilanjut setelah keduanya benar-benar terkontrak. Jadi, yuk bantuin doa bagi yang nggak sabar sama kelanjutan cerita William dan Leona :)
Malam semakin larut. Namun, Leona masih juga tidak berhasil terjun ke alam bawah sadarnya. Ia masih berguling ke kanan, dan kadang ke kiri. Salah satu tangannya sudah memegangi perutnya yang sedari tadi berbunyi akibat menahan lapar.Ia melirik jam di atas nakas. Hampir pukul sepuluh malam. Harusnya Leona segera tidur, karena ia tidak terlalu terbiasa tidur di atas jam sembilan. Tapi, ia benar-benar tidak bisa tidur dalam keadaan lapar seperti itu."Dia sudah tidur belum, ya? Malas sekali kalau aku keluar lalu bertemu dengannya," gumam gadis itu.Tak tahan lagi, Leona akhirnya keluar. Ia berjalan seperti orang mengendap-endap agar lagkahnya tak terdengar oleh pemilik apartemen ini.Ia melihat ke atas meja. Kosong. Mungkinkah makanannya sudah William masukkan ke dalam lemari pendingin?Leona menuju ke lemari pendingin, kemudian membukanya. Ternyata benar. Ada satu porsi masakannya yang belum tersentuh sama sekali di dalamnya. Itu pasti miliknya. Tap
Leona terkejut saat merasakan sinar matahari yang sudah memasuki kamarnya. Seingatnya, ia sudah memasang alarm pukul lima lagi. Tidak mungkin kan, ia bangun kesiangan?Perlahan, mata Leona terbuka. Ia memperhatikan lamat-lamat ruangan tempatnya berada kini.Benar. Matahari sudah bersinar. Itu artinya, Leona bangun lebih siang dibanding biasanya.Leona meraih jam wekernya. Dan matanya langsung membulat melihat jarum paling pendek jam itu sudah menunjuk ke angka delapan."Whattt???" Ia memekik kaget bukan main. Dengan sempoyongan, karena nyawa yang belum benar-benar terkumpul, ia pun segera menuju ke lemari untuk mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi.Dan dalam kamar mandi, Leona terus merutuki kebodohannya. Ia belum pernah bangun sesiang ini. Sebelumnya, alarmnya selalu berfungsi dengan baik. Apa yang salah hingga jam yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu tidak membangunkannya?Selesai mandi dan berganti pakaian,
Leona baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Ethan. Ia masih terpengangah dengan gedung megah di hadapannya. Selain memiliki apartemen yang sangat mewah, ternyata William juga bekerja di kantor sebesar ini.R Corp. Terdengar cukup familiyar bagi Leona. Ia berusaha mengingatnya, namun belum sempat hal itu terjadi, suara Ethan sudah lebih dulu mengintrupsinya."Kamu sedang apa? Ayo!" ajak Ethan.Leona mengangguk kemudian berlari kecil untuk menyusul satu-satunya manusia yang ia kenal itu."Ethan, tunggu!" pinta Leona.Ethan memperlambat langkahnya untuk menunggu Leona. Ia baru ingat, jika yang sedang bersamanya kini adalah gadis berperawakan cukup mungil yang memiliki kaki jauh lebih pendek darinya."Ada apa, Leona?" tanya Ethan."Apa tidak akan jadi masalah kalau aku datang ke sini?" tanya Leona.Ethan menyert. Ia tidak mengerti, memang apa yang bisa terjadi hanya karena kedatangan Leona?"Maksud kamu masalah seperti
'Warna matanya, kenapa-' pikiran William seketika kosong. Ia hanya terus menatap mata emerald Leona dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang menarik dari mata itu. Warna yang tergolong jarang William temui di dalam hidupnya. Tak sekadar warna hijaunya saja, tapi seperti ada hal lain yang membuat William tertarik untuk terus menatap mata indah itu.'Klek'William segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Di sana, ada tiga orang laki-laki yang mematung sembari menatap ke arah William dengan tatapan terkejut.William tidak mengerti kenapa mereka menatapnya seperti itu. Sebelum akhirnya ia teringat dengan gadis yang kini berada di hadapannya.'Mereka pasti berpikir yang aneh-aneh tentang aku dan Leona,' monolog William dalam hati.Perlahan, William membantu Leona untuk bersandar di sofa."Kalian mau masuk atau terus terdiam di situ?" tanya William dengan nada dingin, seperti biasanya.Tiga pria it
Terhitung sudah satu minggu Leona tinggal di apartemen William. Dan semua keadaan di dalam apartemen itu masih sama. Dengan William yang selalu bersikap dingin, dan Leona yang terus berusaha dekat dengan laki-laki itu."Sebenarnya apa sih maumu?" tanya William malas, ketika Leona terus saja mengikutinya sembari menawarkan berbagai jenis minuman."Aku hanya ingin membuatkan kamu minum. Hari ini kamu habis lembur, kan? Kamu pasti capek. Jadi aku-""Aku cuma butuh mandi. Dan kamu, diamlah!" ketus William kemudian beranjak menuju kamarnya.Leona menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa diperlakukan demikian oleh William. Tapi ia tidak boleh menyerah. Terlebih ketika naskah skenario film yang akan mereka bintangi datang sejak tiga hari lalu.Leona baru sadar, akan ada banyak adegan romantis yang harus ia lakoni bersama William. Dan Leona ragu bisa melakukannya dengan baik jika sikap William padanya saja masih sedingin ini.Leona memilih beralih
Leona membuka matanya ketika alarmnya berbunyi. Dan ia langsung terpenjat saat melihat sosok laki-laki berada di kamarnya. Ia hampir saja menjerit, sebelum akhirnya ia sadar kalau laki-laki itu adalah pemilik apartemen yang ia tempati."Apa yang kamu lakukan dengan jam wekerku?" bingung Leona. Bahkan suaranya masih terdengar serak, khas orang bangun tidur."Mematikan semua yang aku anggap mengganggu," jawab William santai.Leona baru menyadari sesuatu. Beberapa kali alarmnya sering tidak berbunyi meski ia ingat betul sudah memasangnya dengan benar. Jadi, inikah alasannya?William sering datang ke kamarnya dan mematikan alarmnya ketika ia merasa terganggu hingga Leona terlambat bangun?"Ini bukan pertama kalinya, kan?" selidik Leona.William mengambil posisi duduk di pinggir kasur Leona, hingga membuat gadis itu refleks bergeser menjauh.Diamnya laki-laki itu Leona artikan sebagai jawaban "YA". Jadi laki-laki itu memang sering menerobo
Dua laki-laki berpakaian rapi itu sedang sibuk membahas masalah pekerjaan. Ethan, salah seorang laki-laki itu, kembali menjelaskan detail berkas yang ia bawa."Ini adalah peluang emas kalau kamu mau maju, William. Kapan lagi produser film nomor satu di dunia menawarimu kerja sama seperti ini? Apa kamu tidak tergiur dengan bayarannya yang mencapai jutaan dolar? Selain itu, film ini merupakan adaptasi novel best seller dunia yang sudah dinantikan banyak orang," ujarnya.William, sang lawan bicara hanya mendesah ringan."Sudah aku tegaskan berkali-kali, aku tidak berminat bermain di genre romance. Aku tidak bisa memerankan sosok Peter dengan baik." William kembali menolaknya.William Redorge. Seorang aktor yang amat terkenal, khususnya dalam film action. Sejak berkecimpung dengan dunia perfilman tujuh tahun lalu, William memang selalu menolak project film roman.Ia merasa, imejnya sangat tidak sesuai jika memerankan karakter pria idaman dalam film romansa.
Sudah lewat satu jam sejak jadwal pertemuan. Namun, gadis itu tak juga datang. William mulai bosan mendengar obrolan tak berisi antara Ethan dan pihak PH.William sendiri memilih untuk membaca script yang diberikan pihak PH padanya beberapa saat lalu. Tidak buruk. Setidaknya dalam film ini William tetap memerankan sosok yang kuat dan berkuasa seperti film-filmnya yang lain.Hal yang paling tidak William membuat William tidak mau bermain di film romance adalah, dia tidak mau dan merasa tidak cocok terlihat lemah. Tapi setidaknya, di film ini imej William masih aman."Ma- ma- maaf, saya terlambat." Semua mata tertuju ke arah sumber suara.Tampak seorang gadis bersurai panjang menunduk di dekat kursi William. William melihat lamat-lamat wajahnya, tapi ia tak bisa mengenali siapa wanita itu."Duduklah, Leona!" ujar Shawn yang William ketahui sebagai sutradara film yang akan William mainkan.Gadis itu duduk di samping William. Ia masih menunduk dan beb
Leona membuka matanya ketika alarmnya berbunyi. Dan ia langsung terpenjat saat melihat sosok laki-laki berada di kamarnya. Ia hampir saja menjerit, sebelum akhirnya ia sadar kalau laki-laki itu adalah pemilik apartemen yang ia tempati."Apa yang kamu lakukan dengan jam wekerku?" bingung Leona. Bahkan suaranya masih terdengar serak, khas orang bangun tidur."Mematikan semua yang aku anggap mengganggu," jawab William santai.Leona baru menyadari sesuatu. Beberapa kali alarmnya sering tidak berbunyi meski ia ingat betul sudah memasangnya dengan benar. Jadi, inikah alasannya?William sering datang ke kamarnya dan mematikan alarmnya ketika ia merasa terganggu hingga Leona terlambat bangun?"Ini bukan pertama kalinya, kan?" selidik Leona.William mengambil posisi duduk di pinggir kasur Leona, hingga membuat gadis itu refleks bergeser menjauh.Diamnya laki-laki itu Leona artikan sebagai jawaban "YA". Jadi laki-laki itu memang sering menerobo
Terhitung sudah satu minggu Leona tinggal di apartemen William. Dan semua keadaan di dalam apartemen itu masih sama. Dengan William yang selalu bersikap dingin, dan Leona yang terus berusaha dekat dengan laki-laki itu."Sebenarnya apa sih maumu?" tanya William malas, ketika Leona terus saja mengikutinya sembari menawarkan berbagai jenis minuman."Aku hanya ingin membuatkan kamu minum. Hari ini kamu habis lembur, kan? Kamu pasti capek. Jadi aku-""Aku cuma butuh mandi. Dan kamu, diamlah!" ketus William kemudian beranjak menuju kamarnya.Leona menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa diperlakukan demikian oleh William. Tapi ia tidak boleh menyerah. Terlebih ketika naskah skenario film yang akan mereka bintangi datang sejak tiga hari lalu.Leona baru sadar, akan ada banyak adegan romantis yang harus ia lakoni bersama William. Dan Leona ragu bisa melakukannya dengan baik jika sikap William padanya saja masih sedingin ini.Leona memilih beralih
'Warna matanya, kenapa-' pikiran William seketika kosong. Ia hanya terus menatap mata emerald Leona dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang menarik dari mata itu. Warna yang tergolong jarang William temui di dalam hidupnya. Tak sekadar warna hijaunya saja, tapi seperti ada hal lain yang membuat William tertarik untuk terus menatap mata indah itu.'Klek'William segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Di sana, ada tiga orang laki-laki yang mematung sembari menatap ke arah William dengan tatapan terkejut.William tidak mengerti kenapa mereka menatapnya seperti itu. Sebelum akhirnya ia teringat dengan gadis yang kini berada di hadapannya.'Mereka pasti berpikir yang aneh-aneh tentang aku dan Leona,' monolog William dalam hati.Perlahan, William membantu Leona untuk bersandar di sofa."Kalian mau masuk atau terus terdiam di situ?" tanya William dengan nada dingin, seperti biasanya.Tiga pria it
Leona baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Ethan. Ia masih terpengangah dengan gedung megah di hadapannya. Selain memiliki apartemen yang sangat mewah, ternyata William juga bekerja di kantor sebesar ini.R Corp. Terdengar cukup familiyar bagi Leona. Ia berusaha mengingatnya, namun belum sempat hal itu terjadi, suara Ethan sudah lebih dulu mengintrupsinya."Kamu sedang apa? Ayo!" ajak Ethan.Leona mengangguk kemudian berlari kecil untuk menyusul satu-satunya manusia yang ia kenal itu."Ethan, tunggu!" pinta Leona.Ethan memperlambat langkahnya untuk menunggu Leona. Ia baru ingat, jika yang sedang bersamanya kini adalah gadis berperawakan cukup mungil yang memiliki kaki jauh lebih pendek darinya."Ada apa, Leona?" tanya Ethan."Apa tidak akan jadi masalah kalau aku datang ke sini?" tanya Leona.Ethan menyert. Ia tidak mengerti, memang apa yang bisa terjadi hanya karena kedatangan Leona?"Maksud kamu masalah seperti
Leona terkejut saat merasakan sinar matahari yang sudah memasuki kamarnya. Seingatnya, ia sudah memasang alarm pukul lima lagi. Tidak mungkin kan, ia bangun kesiangan?Perlahan, mata Leona terbuka. Ia memperhatikan lamat-lamat ruangan tempatnya berada kini.Benar. Matahari sudah bersinar. Itu artinya, Leona bangun lebih siang dibanding biasanya.Leona meraih jam wekernya. Dan matanya langsung membulat melihat jarum paling pendek jam itu sudah menunjuk ke angka delapan."Whattt???" Ia memekik kaget bukan main. Dengan sempoyongan, karena nyawa yang belum benar-benar terkumpul, ia pun segera menuju ke lemari untuk mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi.Dan dalam kamar mandi, Leona terus merutuki kebodohannya. Ia belum pernah bangun sesiang ini. Sebelumnya, alarmnya selalu berfungsi dengan baik. Apa yang salah hingga jam yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu tidak membangunkannya?Selesai mandi dan berganti pakaian,
Malam semakin larut. Namun, Leona masih juga tidak berhasil terjun ke alam bawah sadarnya. Ia masih berguling ke kanan, dan kadang ke kiri. Salah satu tangannya sudah memegangi perutnya yang sedari tadi berbunyi akibat menahan lapar.Ia melirik jam di atas nakas. Hampir pukul sepuluh malam. Harusnya Leona segera tidur, karena ia tidak terlalu terbiasa tidur di atas jam sembilan. Tapi, ia benar-benar tidak bisa tidur dalam keadaan lapar seperti itu."Dia sudah tidur belum, ya? Malas sekali kalau aku keluar lalu bertemu dengannya," gumam gadis itu.Tak tahan lagi, Leona akhirnya keluar. Ia berjalan seperti orang mengendap-endap agar lagkahnya tak terdengar oleh pemilik apartemen ini.Ia melihat ke atas meja. Kosong. Mungkinkah makanannya sudah William masukkan ke dalam lemari pendingin?Leona menuju ke lemari pendingin, kemudian membukanya. Ternyata benar. Ada satu porsi masakannya yang belum tersentuh sama sekali di dalamnya. Itu pasti miliknya. Tap
Leona baru saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa, keadaan apartemen sangat sepi. Tak ada suara apapun yang dapat ia dengar, selain gesekan sendalnya dengan lantai.Leona melihat ke arah televisi yang selalu berada dalam keadaan mati sejak pertama ia lihat. Ia pun mulai menyalakannya. Setidaknya lumayan untuk mengurangi aura mencekam di apartemen semewah ini."Kau mau menonton TV?" tanya William yang baru saja datang.Leona menolehkan kepalanya dengan cepat. Ia mengangguk sembari tersenyum."Suaranya menggangguku," ujar William dengan wajah datar."Apa kamu tidak pernah menonton TV?" Kini giliran Leona yang melemparkan pertanyaan. William menjawabnya dengan gelengan kepala.Leona bergedik ngeri. Bisa-bisanya di dunia ini ada manusia seperti William."Kamu bahkan punya TV berukuran sangat besar di sini. Apa kamu sesibuk itu hingga tidak sempat menontonnya?" berondong Leona sembari bangkit mendekati William."Aku hanya tidak suka," bal
Leona baru saja selesai mengemasi barangnya. Fasilitas kamar yang ia tempati ini sangat lengkap. Bahkan ada lemari besar yang lebih dari cukup untuk menyimpan pakaiannya.Leona menyisir rambutnya di depan meja rias. Ia baru saja bangun dari tidur siang beberapa saat lalu, kemudian ia langsung menata barang-barangnya di kamar yang akan ia tempati untuk beberapa waktu ke depan ini. Setelah rambutnya kembali rapi, Leona memutuskan untuk keluar dari kamar.Suasana apartemen sangat sepi. Seakan hanya ada Leona yang tinggal di sini. Di mana William?Leona menghela napas panjang kemudian duduk di salah satu kursi ruang makan. Ia membuka kantong berisi makanan yang tadi dikatakan Ethan.Masih ada dua porsi makanan. Itu artinya William belum makan siang. Rasanya sangat malas bagi Leona untuk mengajak laki-laki itu makan bersama. Tapi, di sini ia adalah tamu. Tidak mungkin ia makan sebelum pemilik tempat ini mempersilakan.Leona menoleh saat mendengar suara pintu
Leona berdiri di depan cafe dengan pakaian yang serba tertutup. Kopernya pun sudah siap sedia di sampingnya. Sudah jam sepuluh lebih, namun sosok Ethan belum juga tiba.Leona menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan jika tidak ada penjahat atau apapun yang mengincarnya. Bagaimanapun juga, Leona tidak memiliki siapapun lagi untuknya mengadu. Jadi lebih baik ia memang harus selalu siaga agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.Leona menghela napas kesal. Kakinya terasa pegal jika ia terus-terusan berdiri seperti ini."Selamat pagi, Leona," sapa seseorang.Leona menoleh cepat. Ia tersenyum tipis ketika melihat sosok yang ia tunggu-tunggu sudah datang."Pagi, Pak Ethan," balas Leona.Ethan menyerit, "Kamu bisa bicara lebih santai denganku, Leona. Tidak perlu kaku seperti itu," ujarnya.Leona menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ternyata Ethan tidak seangkuh yang ia kira."Mau pergi sekarang? Semuanya sudah disiapkan," ajak Ethan.