Leona berdiri di depan cafe dengan pakaian yang serba tertutup. Kopernya pun sudah siap sedia di sampingnya. Sudah jam sepuluh lebih, namun sosok Ethan belum juga tiba.
Leona menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan jika tidak ada penjahat atau apapun yang mengincarnya. Bagaimanapun juga, Leona tidak memiliki siapapun lagi untuknya mengadu. Jadi lebih baik ia memang harus selalu siaga agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.
Leona menghela napas kesal. Kakinya terasa pegal jika ia terus-terusan berdiri seperti ini.
"Selamat pagi, Leona," sapa seseorang.
Leona menoleh cepat. Ia tersenyum tipis ketika melihat sosok yang ia tunggu-tunggu sudah datang.
"Pagi, Pak Ethan," balas Leona.
Ethan menyerit, "Kamu bisa bicara lebih santai denganku, Leona. Tidak perlu kaku seperti itu," ujarnya.
Leona menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ternyata Ethan tidak seangkuh yang ia kira.
"Mau pergi sekarang? Semuanya sudah disiapkan," ajak Ethan.
Leona mengangguk penuh semangat. Ia hendak menarik kopernya, tapi ditahan oleh Ethan. Laki-laki itu mengambil alih koper Leona, dan mempersilakan gadis itu untuk masuk ke mobil lebih dulu.
Setelah satu jam dalam perjalanan, akhirnya Leona dan Ethan sampai di sebuah apartemen mewah. Bahkan pengamanan di hotel itu sangat ketat. Membuat Leona menghela napas lega, mengetahui tempat yang akan ia tinggali beberapa waktu kedepan memiliki keamanan sebaik ini.
"Ayo, Leona!" ajak Ethan sembari menurunkan koper Leona dari bagasi.
"Biar aku bawa sendiri saja, Ethan." Leona mengambil alih kopernya.
Leona mengikuti langkah Ethan menuju satu lift khusus.
"Kau akan menyukai tempat ini," ujar Ethan.
Leona mengangguk setuju.
"Ya. Pasti sangat hebat bisa tinggal di tempat seperti ini. Aku jadi semakin kagum dengan kesuksesan William." Ethan tertawa kecil mendengar pengakuan Leona.
"Kenapa?" bingung Leona.
"Kamu mengaguminya rupanya," tebak Ethan.
Leona menggeleng cepat. Bisa-bisanya ia berbicara sejujur itu pada orang kepercayaan William.
"Maksudnya bukan seperti itu. Aku hanya-"
"Tidak apa-apa. Dia tidak semengerikan yang kamu kira. Dia sebenarnya baik. Hanya saja ia terkesan arogan dan dingin bagi orang yang belum mengenalnya," terang Ethan.
Memang apa yang Leona harap keluar dari mulut laki-laki itu? Sudah jelas kalau Ethan adalah orang kepercayaan William. Laki-laki itu pasti akan mengatakan hal-hal yang baik tentang William.
"Serius, maksudku bukan mengagumi yang seperti itu. Aku-" lagi, ucapan Leona kembali terintrupsi. Kali ini dentingan lift yang membuatnya menghentikan ucapannya.
"Kita sampai," ujar Ethan sembari mempersilakan Leona berjalan di depan.
"Tapi aku tidak tahu unit William," ungkap Leona.
"Di sini hanya ada satu unit. Yaitu milik William. Kamu hanya harus mengingat lantainya, oke?" ucap Ethan sembari tertawa kecil.
Leona menoleh ke arah angka yang tertera pada lift. Ia terkejut bukan main saat tahu jika ia kini sedang berada di lantai tiga puluh.
"Ayo, Leona!" Lamunan Leona buyar. Ia segera mengikuti langkah Ethan yang ternyata sudah mendahuluinya.
"William tidak suka keramaian. Dia juga kurang pandai bergaul. Jadi inilah tempat yang paling tepat untuk manusia sepertinya," terang Ethan sembari melangkah santai.
"Lalu, apa yang harus dan tidak boleh aku lakukan selama aku tinggal di sini?" tanya Leona.
Mereka berhenti dan Ethan mulai mengetik sandi untuk membuka pintu unit William. Tak lama kemudian, pintu berwarna hitam metalik itu terbuka.
"Tidak ada aturan khusus. Kamu hanya perlu menjaga privasinya. Dan jangan masuk kamarnya sembarangan!" jawab Ethan.
"Tentu saja aku tidak akan masuk sembarangan ke kamar laki-laki. Apalagi jika aku sudah tahu watak laki-laki itu seperti Wil-"
"Hmm.." Leona tersentak. Ia refleks menoleh ke arah suara itu. Dan matanya membulat melihat William yang kini menatapnya datar.
"Oh iya, Leona. Untuk lebih jelasnya mengenai aturan di sini, kamu bisa tanya langsung ke William," ujar Ethan sembari menyodorkan koper Leona.
"Enggak perlu. Semuanya sudah jelas kok. Kalau begitu, dimana kamarku?" tanya Leona.
"Di sebelah sana." Leona mengikuti arah pandangan Ethan, kemudian mengangguk mengerti.
"Boleh aku istirahat sekarang? Aku tadi terlalu lama berdiri di depan cafe. Dan sekarang aku sangat lelah," Leona meminta izin.
Ethan tertawa kecil mendengar ucapan Leona. Ia tak menjawab pertanyaan Leona. Kali ini, ia memberi kode pada Leona agar meminta izin langsung pada pemilik apartemen ini.
"Terserah," sambung William yang dapat membaca maksud Ethan. Laki-laki itu segera pergi dari hadapan Ethan dan Leona.
'Aku? Harus tinggal seatap dengan laki-laki seperti itu? Andai saja ini bukan untuk keberlangsungan hidupku, aku tidak akan mau melakukannya,' monolog Leona dalam hati.
"Ingat, Leona. Kamu dan William diminta untuk tinggal bersama untuk membangun chemistry yang baik untuk proyek kita. Jadi tolong kerja samanya, ya?" ucap Ethan mengingatkan.
"Iya aku tahu. Aku akan berusaha sebaik yang aku bisa," jawab Leona sembari tersenyum.
Ia tak punya pilihan lain. Ia benar-benar harus lebih sabar menghadapi William demi proyek besar yang sudah menjadi tujuan utama hidupnya itu.
Ethan menepuk bahu Leona, "kamu tidak perlu khawatir. Aku juga akan sering-sering menasihati William agar bersikap lebih baik padamu," ujarnya.
"Terima kasih sudah banyak membantuku, Ethan," ungkap Leona.
"Hmm. Kamu bisa beristirahat sekarang. Aku sudah memesankan makan siang untukmu dan William. Kamu bisa langsung memakannya kalau kamu lapar. Dan oh ya, ini kartu namaku. Kamu bisa menghubungiku kapan saja kalau kamu membutuhkan bantuan. Kamu tidak punya manajer, bukan?" Leona mengangguk penuh semangat. Ia sangat bersyukur, di dunia ini masih ada manusia sebaik Ethan.
"Sekali lagi terima kasih, Ethan. Kamu sudah banyak membantuku padahal kita baru saja kenal," ucap Leona.
"Bukan masalah. Kalau begitu, aku pergi," pamit Ethan kemudian keluar dari apartemen William.
Setelah kepergian Ethan, Leona merasa kehidupan barunya benar-benar di mulai.
Ia berjalan lesu menuju kamarnya sembari menyeret kopernya. Ketika masuk, ia dikagetkan dengan kondisi kamar yang begitu luas dan mewah.
"Apakah Ethan yang menyiapkan semua ini? Ini luar biasa." Leona benar-benar dibuat terpukau dengan nuansa kamarnya.
"Ahh..." Leona merebahkan tubuhnya di ranjang empuk yang berada di dekat jendela.
"Ini benar-benar luar biasa. Sepertinya aku akan tidur nyenyak malam ini. Tak ada yang perlu aku khawatirkan lagi sekarang," ujarnya sembari menatap langit-langit kamar.
Leona memiringkan tubuhnya. Ia menatap ke luar jendela kamarnya. Pikirannya berkelana entah kemana, seolah terbang terbawa angin.
"Bolehkah aku iri dengan William? Dia punya segala yang aku inginkan. Keluarga yang bahagia, karir yang cemerlang, bahkan ia tak perlu memikirkan kekhawatiran-kekhawatiran sepertiku karena dia bisa melakukan apapun yang ia mau," gumam Leona.
Bertemu dengan William Regorge adalah sebuah bencana sekaligus anugerah bagi Leona. Bencana, karena sekarang ia tahu bahwa tidak akan mudah menghadapi sikap dingin sekaligus sombong laki-laki itu.
Anugerah, karena kini Leona merasa memiliki tempat yang aman dan nyaman untuk ia tinggali. Leona juga merasa semakin dekat dengan impian besarnya untuk menjadi aktris terkenal setelah mengenal William.
"Hh.. kamu bisa, Leona. Kamu hanya harus sedikit bersabar. Dan sebentar lagi, semua yang kamu inginkan akan tercapai," monolog Leona sembari tersenyum tipis.
Leona tidak tahu. Bahwa ujian di kehidupan barunya kini bukan hanya tentang sikap menjengkelkan William. Lebih dari itu, kini Leona telah masuk ke dalam dunia penuh rahasia yang selama ini disimpan oleh William. Akankah ia sadar jika laki-laki yang tinggal satu atap dengannya kini adalah seorang manusia serigala yang mungkin saja bisa menerkamnya kapan saja?
***
Penasaran dengan kelanjutannya? Doakan segera cerita ini cepat mendapat kontrak ya, biar aku lebih semangat menulisnya. Untuk yang mau tahu info seputar semua ceritaku, bisa follow ig riskandria06 atau f* Andriani Riska. Terima kasih sudah mampir :)
Leona baru saja selesai mengemasi barangnya. Fasilitas kamar yang ia tempati ini sangat lengkap. Bahkan ada lemari besar yang lebih dari cukup untuk menyimpan pakaiannya.Leona menyisir rambutnya di depan meja rias. Ia baru saja bangun dari tidur siang beberapa saat lalu, kemudian ia langsung menata barang-barangnya di kamar yang akan ia tempati untuk beberapa waktu ke depan ini. Setelah rambutnya kembali rapi, Leona memutuskan untuk keluar dari kamar.Suasana apartemen sangat sepi. Seakan hanya ada Leona yang tinggal di sini. Di mana William?Leona menghela napas panjang kemudian duduk di salah satu kursi ruang makan. Ia membuka kantong berisi makanan yang tadi dikatakan Ethan.Masih ada dua porsi makanan. Itu artinya William belum makan siang. Rasanya sangat malas bagi Leona untuk mengajak laki-laki itu makan bersama. Tapi, di sini ia adalah tamu. Tidak mungkin ia makan sebelum pemilik tempat ini mempersilakan.Leona menoleh saat mendengar suara pintu
Leona baru saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa, keadaan apartemen sangat sepi. Tak ada suara apapun yang dapat ia dengar, selain gesekan sendalnya dengan lantai.Leona melihat ke arah televisi yang selalu berada dalam keadaan mati sejak pertama ia lihat. Ia pun mulai menyalakannya. Setidaknya lumayan untuk mengurangi aura mencekam di apartemen semewah ini."Kau mau menonton TV?" tanya William yang baru saja datang.Leona menolehkan kepalanya dengan cepat. Ia mengangguk sembari tersenyum."Suaranya menggangguku," ujar William dengan wajah datar."Apa kamu tidak pernah menonton TV?" Kini giliran Leona yang melemparkan pertanyaan. William menjawabnya dengan gelengan kepala.Leona bergedik ngeri. Bisa-bisanya di dunia ini ada manusia seperti William."Kamu bahkan punya TV berukuran sangat besar di sini. Apa kamu sesibuk itu hingga tidak sempat menontonnya?" berondong Leona sembari bangkit mendekati William."Aku hanya tidak suka," bal
Malam semakin larut. Namun, Leona masih juga tidak berhasil terjun ke alam bawah sadarnya. Ia masih berguling ke kanan, dan kadang ke kiri. Salah satu tangannya sudah memegangi perutnya yang sedari tadi berbunyi akibat menahan lapar.Ia melirik jam di atas nakas. Hampir pukul sepuluh malam. Harusnya Leona segera tidur, karena ia tidak terlalu terbiasa tidur di atas jam sembilan. Tapi, ia benar-benar tidak bisa tidur dalam keadaan lapar seperti itu."Dia sudah tidur belum, ya? Malas sekali kalau aku keluar lalu bertemu dengannya," gumam gadis itu.Tak tahan lagi, Leona akhirnya keluar. Ia berjalan seperti orang mengendap-endap agar lagkahnya tak terdengar oleh pemilik apartemen ini.Ia melihat ke atas meja. Kosong. Mungkinkah makanannya sudah William masukkan ke dalam lemari pendingin?Leona menuju ke lemari pendingin, kemudian membukanya. Ternyata benar. Ada satu porsi masakannya yang belum tersentuh sama sekali di dalamnya. Itu pasti miliknya. Tap
Leona terkejut saat merasakan sinar matahari yang sudah memasuki kamarnya. Seingatnya, ia sudah memasang alarm pukul lima lagi. Tidak mungkin kan, ia bangun kesiangan?Perlahan, mata Leona terbuka. Ia memperhatikan lamat-lamat ruangan tempatnya berada kini.Benar. Matahari sudah bersinar. Itu artinya, Leona bangun lebih siang dibanding biasanya.Leona meraih jam wekernya. Dan matanya langsung membulat melihat jarum paling pendek jam itu sudah menunjuk ke angka delapan."Whattt???" Ia memekik kaget bukan main. Dengan sempoyongan, karena nyawa yang belum benar-benar terkumpul, ia pun segera menuju ke lemari untuk mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi.Dan dalam kamar mandi, Leona terus merutuki kebodohannya. Ia belum pernah bangun sesiang ini. Sebelumnya, alarmnya selalu berfungsi dengan baik. Apa yang salah hingga jam yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu tidak membangunkannya?Selesai mandi dan berganti pakaian,
Leona baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Ethan. Ia masih terpengangah dengan gedung megah di hadapannya. Selain memiliki apartemen yang sangat mewah, ternyata William juga bekerja di kantor sebesar ini.R Corp. Terdengar cukup familiyar bagi Leona. Ia berusaha mengingatnya, namun belum sempat hal itu terjadi, suara Ethan sudah lebih dulu mengintrupsinya."Kamu sedang apa? Ayo!" ajak Ethan.Leona mengangguk kemudian berlari kecil untuk menyusul satu-satunya manusia yang ia kenal itu."Ethan, tunggu!" pinta Leona.Ethan memperlambat langkahnya untuk menunggu Leona. Ia baru ingat, jika yang sedang bersamanya kini adalah gadis berperawakan cukup mungil yang memiliki kaki jauh lebih pendek darinya."Ada apa, Leona?" tanya Ethan."Apa tidak akan jadi masalah kalau aku datang ke sini?" tanya Leona.Ethan menyert. Ia tidak mengerti, memang apa yang bisa terjadi hanya karena kedatangan Leona?"Maksud kamu masalah seperti
'Warna matanya, kenapa-' pikiran William seketika kosong. Ia hanya terus menatap mata emerald Leona dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang menarik dari mata itu. Warna yang tergolong jarang William temui di dalam hidupnya. Tak sekadar warna hijaunya saja, tapi seperti ada hal lain yang membuat William tertarik untuk terus menatap mata indah itu.'Klek'William segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Di sana, ada tiga orang laki-laki yang mematung sembari menatap ke arah William dengan tatapan terkejut.William tidak mengerti kenapa mereka menatapnya seperti itu. Sebelum akhirnya ia teringat dengan gadis yang kini berada di hadapannya.'Mereka pasti berpikir yang aneh-aneh tentang aku dan Leona,' monolog William dalam hati.Perlahan, William membantu Leona untuk bersandar di sofa."Kalian mau masuk atau terus terdiam di situ?" tanya William dengan nada dingin, seperti biasanya.Tiga pria it
Terhitung sudah satu minggu Leona tinggal di apartemen William. Dan semua keadaan di dalam apartemen itu masih sama. Dengan William yang selalu bersikap dingin, dan Leona yang terus berusaha dekat dengan laki-laki itu."Sebenarnya apa sih maumu?" tanya William malas, ketika Leona terus saja mengikutinya sembari menawarkan berbagai jenis minuman."Aku hanya ingin membuatkan kamu minum. Hari ini kamu habis lembur, kan? Kamu pasti capek. Jadi aku-""Aku cuma butuh mandi. Dan kamu, diamlah!" ketus William kemudian beranjak menuju kamarnya.Leona menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa diperlakukan demikian oleh William. Tapi ia tidak boleh menyerah. Terlebih ketika naskah skenario film yang akan mereka bintangi datang sejak tiga hari lalu.Leona baru sadar, akan ada banyak adegan romantis yang harus ia lakoni bersama William. Dan Leona ragu bisa melakukannya dengan baik jika sikap William padanya saja masih sedingin ini.Leona memilih beralih
Leona membuka matanya ketika alarmnya berbunyi. Dan ia langsung terpenjat saat melihat sosok laki-laki berada di kamarnya. Ia hampir saja menjerit, sebelum akhirnya ia sadar kalau laki-laki itu adalah pemilik apartemen yang ia tempati."Apa yang kamu lakukan dengan jam wekerku?" bingung Leona. Bahkan suaranya masih terdengar serak, khas orang bangun tidur."Mematikan semua yang aku anggap mengganggu," jawab William santai.Leona baru menyadari sesuatu. Beberapa kali alarmnya sering tidak berbunyi meski ia ingat betul sudah memasangnya dengan benar. Jadi, inikah alasannya?William sering datang ke kamarnya dan mematikan alarmnya ketika ia merasa terganggu hingga Leona terlambat bangun?"Ini bukan pertama kalinya, kan?" selidik Leona.William mengambil posisi duduk di pinggir kasur Leona, hingga membuat gadis itu refleks bergeser menjauh.Diamnya laki-laki itu Leona artikan sebagai jawaban "YA". Jadi laki-laki itu memang sering menerobo
Leona membuka matanya ketika alarmnya berbunyi. Dan ia langsung terpenjat saat melihat sosok laki-laki berada di kamarnya. Ia hampir saja menjerit, sebelum akhirnya ia sadar kalau laki-laki itu adalah pemilik apartemen yang ia tempati."Apa yang kamu lakukan dengan jam wekerku?" bingung Leona. Bahkan suaranya masih terdengar serak, khas orang bangun tidur."Mematikan semua yang aku anggap mengganggu," jawab William santai.Leona baru menyadari sesuatu. Beberapa kali alarmnya sering tidak berbunyi meski ia ingat betul sudah memasangnya dengan benar. Jadi, inikah alasannya?William sering datang ke kamarnya dan mematikan alarmnya ketika ia merasa terganggu hingga Leona terlambat bangun?"Ini bukan pertama kalinya, kan?" selidik Leona.William mengambil posisi duduk di pinggir kasur Leona, hingga membuat gadis itu refleks bergeser menjauh.Diamnya laki-laki itu Leona artikan sebagai jawaban "YA". Jadi laki-laki itu memang sering menerobo
Terhitung sudah satu minggu Leona tinggal di apartemen William. Dan semua keadaan di dalam apartemen itu masih sama. Dengan William yang selalu bersikap dingin, dan Leona yang terus berusaha dekat dengan laki-laki itu."Sebenarnya apa sih maumu?" tanya William malas, ketika Leona terus saja mengikutinya sembari menawarkan berbagai jenis minuman."Aku hanya ingin membuatkan kamu minum. Hari ini kamu habis lembur, kan? Kamu pasti capek. Jadi aku-""Aku cuma butuh mandi. Dan kamu, diamlah!" ketus William kemudian beranjak menuju kamarnya.Leona menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa diperlakukan demikian oleh William. Tapi ia tidak boleh menyerah. Terlebih ketika naskah skenario film yang akan mereka bintangi datang sejak tiga hari lalu.Leona baru sadar, akan ada banyak adegan romantis yang harus ia lakoni bersama William. Dan Leona ragu bisa melakukannya dengan baik jika sikap William padanya saja masih sedingin ini.Leona memilih beralih
'Warna matanya, kenapa-' pikiran William seketika kosong. Ia hanya terus menatap mata emerald Leona dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang menarik dari mata itu. Warna yang tergolong jarang William temui di dalam hidupnya. Tak sekadar warna hijaunya saja, tapi seperti ada hal lain yang membuat William tertarik untuk terus menatap mata indah itu.'Klek'William segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Di sana, ada tiga orang laki-laki yang mematung sembari menatap ke arah William dengan tatapan terkejut.William tidak mengerti kenapa mereka menatapnya seperti itu. Sebelum akhirnya ia teringat dengan gadis yang kini berada di hadapannya.'Mereka pasti berpikir yang aneh-aneh tentang aku dan Leona,' monolog William dalam hati.Perlahan, William membantu Leona untuk bersandar di sofa."Kalian mau masuk atau terus terdiam di situ?" tanya William dengan nada dingin, seperti biasanya.Tiga pria it
Leona baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Ethan. Ia masih terpengangah dengan gedung megah di hadapannya. Selain memiliki apartemen yang sangat mewah, ternyata William juga bekerja di kantor sebesar ini.R Corp. Terdengar cukup familiyar bagi Leona. Ia berusaha mengingatnya, namun belum sempat hal itu terjadi, suara Ethan sudah lebih dulu mengintrupsinya."Kamu sedang apa? Ayo!" ajak Ethan.Leona mengangguk kemudian berlari kecil untuk menyusul satu-satunya manusia yang ia kenal itu."Ethan, tunggu!" pinta Leona.Ethan memperlambat langkahnya untuk menunggu Leona. Ia baru ingat, jika yang sedang bersamanya kini adalah gadis berperawakan cukup mungil yang memiliki kaki jauh lebih pendek darinya."Ada apa, Leona?" tanya Ethan."Apa tidak akan jadi masalah kalau aku datang ke sini?" tanya Leona.Ethan menyert. Ia tidak mengerti, memang apa yang bisa terjadi hanya karena kedatangan Leona?"Maksud kamu masalah seperti
Leona terkejut saat merasakan sinar matahari yang sudah memasuki kamarnya. Seingatnya, ia sudah memasang alarm pukul lima lagi. Tidak mungkin kan, ia bangun kesiangan?Perlahan, mata Leona terbuka. Ia memperhatikan lamat-lamat ruangan tempatnya berada kini.Benar. Matahari sudah bersinar. Itu artinya, Leona bangun lebih siang dibanding biasanya.Leona meraih jam wekernya. Dan matanya langsung membulat melihat jarum paling pendek jam itu sudah menunjuk ke angka delapan."Whattt???" Ia memekik kaget bukan main. Dengan sempoyongan, karena nyawa yang belum benar-benar terkumpul, ia pun segera menuju ke lemari untuk mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi.Dan dalam kamar mandi, Leona terus merutuki kebodohannya. Ia belum pernah bangun sesiang ini. Sebelumnya, alarmnya selalu berfungsi dengan baik. Apa yang salah hingga jam yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu tidak membangunkannya?Selesai mandi dan berganti pakaian,
Malam semakin larut. Namun, Leona masih juga tidak berhasil terjun ke alam bawah sadarnya. Ia masih berguling ke kanan, dan kadang ke kiri. Salah satu tangannya sudah memegangi perutnya yang sedari tadi berbunyi akibat menahan lapar.Ia melirik jam di atas nakas. Hampir pukul sepuluh malam. Harusnya Leona segera tidur, karena ia tidak terlalu terbiasa tidur di atas jam sembilan. Tapi, ia benar-benar tidak bisa tidur dalam keadaan lapar seperti itu."Dia sudah tidur belum, ya? Malas sekali kalau aku keluar lalu bertemu dengannya," gumam gadis itu.Tak tahan lagi, Leona akhirnya keluar. Ia berjalan seperti orang mengendap-endap agar lagkahnya tak terdengar oleh pemilik apartemen ini.Ia melihat ke atas meja. Kosong. Mungkinkah makanannya sudah William masukkan ke dalam lemari pendingin?Leona menuju ke lemari pendingin, kemudian membukanya. Ternyata benar. Ada satu porsi masakannya yang belum tersentuh sama sekali di dalamnya. Itu pasti miliknya. Tap
Leona baru saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa, keadaan apartemen sangat sepi. Tak ada suara apapun yang dapat ia dengar, selain gesekan sendalnya dengan lantai.Leona melihat ke arah televisi yang selalu berada dalam keadaan mati sejak pertama ia lihat. Ia pun mulai menyalakannya. Setidaknya lumayan untuk mengurangi aura mencekam di apartemen semewah ini."Kau mau menonton TV?" tanya William yang baru saja datang.Leona menolehkan kepalanya dengan cepat. Ia mengangguk sembari tersenyum."Suaranya menggangguku," ujar William dengan wajah datar."Apa kamu tidak pernah menonton TV?" Kini giliran Leona yang melemparkan pertanyaan. William menjawabnya dengan gelengan kepala.Leona bergedik ngeri. Bisa-bisanya di dunia ini ada manusia seperti William."Kamu bahkan punya TV berukuran sangat besar di sini. Apa kamu sesibuk itu hingga tidak sempat menontonnya?" berondong Leona sembari bangkit mendekati William."Aku hanya tidak suka," bal
Leona baru saja selesai mengemasi barangnya. Fasilitas kamar yang ia tempati ini sangat lengkap. Bahkan ada lemari besar yang lebih dari cukup untuk menyimpan pakaiannya.Leona menyisir rambutnya di depan meja rias. Ia baru saja bangun dari tidur siang beberapa saat lalu, kemudian ia langsung menata barang-barangnya di kamar yang akan ia tempati untuk beberapa waktu ke depan ini. Setelah rambutnya kembali rapi, Leona memutuskan untuk keluar dari kamar.Suasana apartemen sangat sepi. Seakan hanya ada Leona yang tinggal di sini. Di mana William?Leona menghela napas panjang kemudian duduk di salah satu kursi ruang makan. Ia membuka kantong berisi makanan yang tadi dikatakan Ethan.Masih ada dua porsi makanan. Itu artinya William belum makan siang. Rasanya sangat malas bagi Leona untuk mengajak laki-laki itu makan bersama. Tapi, di sini ia adalah tamu. Tidak mungkin ia makan sebelum pemilik tempat ini mempersilakan.Leona menoleh saat mendengar suara pintu
Leona berdiri di depan cafe dengan pakaian yang serba tertutup. Kopernya pun sudah siap sedia di sampingnya. Sudah jam sepuluh lebih, namun sosok Ethan belum juga tiba.Leona menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan jika tidak ada penjahat atau apapun yang mengincarnya. Bagaimanapun juga, Leona tidak memiliki siapapun lagi untuknya mengadu. Jadi lebih baik ia memang harus selalu siaga agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.Leona menghela napas kesal. Kakinya terasa pegal jika ia terus-terusan berdiri seperti ini."Selamat pagi, Leona," sapa seseorang.Leona menoleh cepat. Ia tersenyum tipis ketika melihat sosok yang ia tunggu-tunggu sudah datang."Pagi, Pak Ethan," balas Leona.Ethan menyerit, "Kamu bisa bicara lebih santai denganku, Leona. Tidak perlu kaku seperti itu," ujarnya.Leona menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ternyata Ethan tidak seangkuh yang ia kira."Mau pergi sekarang? Semuanya sudah disiapkan," ajak Ethan.