Sudah lewat satu jam sejak jadwal pertemuan. Namun, gadis itu tak juga datang. William mulai bosan mendengar obrolan tak berisi antara Ethan dan pihak PH.
William sendiri memilih untuk membaca script yang diberikan pihak PH padanya beberapa saat lalu. Tidak buruk. Setidaknya dalam film ini William tetap memerankan sosok yang kuat dan berkuasa seperti film-filmnya yang lain.
Hal yang paling tidak William membuat William tidak mau bermain di film romance adalah, dia tidak mau dan merasa tidak cocok terlihat lemah. Tapi setidaknya, di film ini imej William masih aman.
"Ma- ma- maaf, saya terlambat." Semua mata tertuju ke arah sumber suara.
Tampak seorang gadis bersurai panjang menunduk di dekat kursi William. William melihat lamat-lamat wajahnya, tapi ia tak bisa mengenali siapa wanita itu.
"Duduklah, Leona!" ujar Shawn yang William ketahui sebagai sutradara film yang akan William mainkan.
Gadis itu duduk di samping William. Ia masih menunduk dan beberapa kali meminta maaf hingga membuat William bosan.
William memilih kembali membaca scriptnya dan tak memperdulikan gadis di sampingnya.
"Jadi ini-" ucapan Ethan terpotong.
"Leona. Dia yang akan berpesan sebagai Jasmine. Bukankah sangat cocok?" potong Shawn.
William mengangkat wajahnya. Melirik ke arah gadis di sampingnya yang masih setia menunduk itu. William dapat melihat bagaimana gadis itu terus meremat tangannya sendiri.
"Anda bercanda?" tanya William pada Shawn.
"No, William. Dia yang akan menjadi lawan mainmu. Dia memang pendatang baru. Bahkan ini adalah proyek pertamanya. Tapi aku langsung menyukainya ketika kami pertama bertemu. Dia benar-benar cocok memerankan karakter Jasmine," terang Shawn.
William tersenyum miring. Seakan meremehkan gadis di sampingnya. Lihatlah, bahkan mengangkat kepalanya saja gadis itu tidak bisa.
"Leona, perkenalkan dirimu pada William. Kau pasti sudah tahu tentangnya, kan?" Shawn mengintrupsi.
Perlahan, gadis itu mengangkat wajahnya. William nyaris tertawa melihat wajah pucat gadis itu. Bahkan memakai make up saja dia tidak bisa. Bisa-bisanya gadis seperti ini dipasangkan dengan seorang William Redorge?
"Na- na- nama saya Leona," ujar Leona memperkenalkan diri.
"Dia bahkan tidak bisa bicara," ungkap William seakan tak punya hati. Ia kembali membalik lembar script di tangannya.
"Saya bisa. Hanya saja sa- sa- saya-"
William tertawa kecil dengan nada sinis. Gadis itu benar-benar tidak cocok untuknya.
"Kita lihat saja, apakah dia bisa bermain secara profesional atau tidak. Kalau tidak, saya mau Anda menggantinya dengan aktris lain. Karena saya tidak punya banyak waktu untuk take ulang setiap adegan," ujar William dingin.
"Saya bisa. Saya janji akan melakukan yang terbaik. Saya harus dapat proyek ini. Jadi tolong-"
"Kalau begitu berlatihlah dengan keras!" William memotong ucapan Leona dengan nada tegas.
Leona mengembuskan napas panjang. Ia harus menahan emosinya. Ia harus mengalah menghadapi calon lawan mainnya yang merupakan aktor terkenal itu.
'Ternyata dia cukup ambisius, sampai tidak sadar dengan kemampuannya sendiri,' monolog William dalam hati.
"Jadi, kapan proses shooting akan dimulai?" tanya Ethan memecah suasana.
"Kita masih butuh banyak persiapan. Dan saya kira William dan Leona butuh banyak berlatih mengingat ini adalah proyek film romance pertama mereka," jawab Shawn.
Ethan mengangguk setuju. Ia melirik sepupunya. Dia tahu betul bagaimana kakunya sepupunya itu. Pasti ini akan menjadi salah satu proyek paling sulit bagi William.
"Hanya saran, untuk membangun chemistry antara mereka, bagaimana kalau kita beri waktu khusus pada mereka untuk saling mengenal?" usul salah satu perwakilan pihak PH.
"Saya rasa budget film ini juga lebih dari cukup untuk menyewakan sebuah apartemn untuk mereka agar bisa tinggal bersama," sambung Shawn.
William membulatkan matanya. Ia? Tinggal bersama seorang gadis?
"Tidak. Kita bisa langsung shooting hari ini kalau kalian mau. Tapi tidak dengan urusan tinggal bersama. Saya tidak bisa," tolak William tegas.
"Wil-" ucap Ethan berusaha menenangkan.
"Apa? Kau tahu aku tidak bisa tinggal dengan orang lain, kan?" Dan Ethan hanya dapat mengangguk kecil. Ia baru ingat, selain aktor, William juga merupakan manusia serigala yang bisa berubah wujud ketika malam bulan purnama tiba.
"Saya rasa terlalu berlebihan untuk tinggal bersama," ujar Ethan membantu William.
"Ini hanya tinggal bersama dalam satu apartemen. Kami juga akan mencarikan apartemen yang layak dan memiliki dua kamar," desak Shawn.
"Saya tidak bisa," tolak William.
"Kalau tidak dengan cara itu, saya ragu kalau film ini bisa selesai dengan cepat. Bukan bermaksud meremehkan, tapi ini film romance pertama kamu, William." Shawn terus mendesak William.
"Tolong terima saja persyaratan ini!" bisik Leona dengan nada memelas.
Gila. Memangnya William segila itu sampai mau tinggal satu atap dengan gadis yang tidak tahu asal-usulnya itu?
"Wil, sepertinya kali ini kamu harus mengalah. Turuti saja dulu. Masalah 'itu' bisa kita bicarakan nanti saat tidak ada mereka," bisik Ethan.
William menghela napas panjang. Ia mengangguk kecil, pertanda jika ia setuju dengan usulan itu. Setidaknya, selama ini Ethan tidak pernah mengecewakannya. Laki-laki itu cukup cerdas hingga bisa menyembunyikan identitas William sebagai manusia serigala selama bertahun-tahun.
"Kalau begitu, kami akan carikan apartemennya. Nanti kami kirim-"
"Tidak perlu. Saya malas berkemas. Dia bisa tinggal di apartemen saya mulai besok," potong William.
Ethan mengangguk setuju. Akan lebih baik jika William tetap tinggal di apartemennya. Setidaknya apartemen itu sudah didesain khusus untuk mengamankan rahasia besar William selama ini.
"Itu jauh lebih baik. Selain hemat biaya, apartemen William juga memiliki sistem keamanan yang kuat. Cukup aman untuk menyembunyikan diri dari media," imbuh Ethan.
Pihak PH tampaknya setuju dengan usulan itu. Kali ini, Shawn menoleh ke arah Leona. Leona tampak kaget ketika tiba-tiba diperhatikan.
"Ya?" tanya Leona kaku.
"Kamu bersedia kan, tinggal di apartemen William untuk beberapa waktu?" tanya Shawn.
"Oh.. aku- saya-"
"Ethan akan menjemputmu di tempat ini besok jam sembilan pagi," potong William sepihak.
Leona mengangguk kaku. Ia tidak yakin, apakah pilihan yang ia ambil sudah tepat. Tapi untuk saat ini ia tidak punya pilihan lain. Ia hanya harus melakukan yang berbaik agar proses shooting bisa berjalan dengan baik dan semua rencananya berjalan sempurna.
'Kamu bisa, Leona. Keinginan kamu akan segera tercapai. Kamu hanya perlu melakukan yang terbaik, dan semuanya akan baik-baik saja,' batin Leona menyemangati dirinya sendiri.
Sesekali Leona melirik ke arah William yang akan menjadi lawan mainnya di film perdananya nanti. Ia masih tidak menyangka, lawan main di film pertamanya adalah seorang aktor besar seperti William. Ia bahkan dulu sempat mengidolakan sosok itu, sama seperti kaum hawa pada umumnya. Dan sekarang, Leona memiliki kesempatan untuk menjadi lawan main idolanya itu.
'Aku tidak menyangka, salah satu aktor idolaku ternyata semenjengkelkan ini. Aku kira dia seperti itu hanya ketika dalam film. Tapi ternyata di dunia nyata dia bahkan jauh lebih menjengkelkan,' dengus Leona.
Tap
Leona gelagapan saat tatapannya bertemu dengan manik cokelat tua William. Ia ingin mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tapi, tatapan William seolah menguncinya.
Jantung Leona berdetak tak karuan saat ia memandang wajah rupawan laki-laki itu. Apakah Leona mulai tertarik dengan sosok pria menyebalkan itu?
Leona menggelengkan kepalanya saat kesadarannya telah kembali.
"Tapi aku mau minta satu hal. Jangan sampai gadis ini mengganggu privasiku," pinta William yang langsung diangguki Ethan.
"Tentu saja. Memang aku akan melakukan apa?" kesal Leona.
"Gadis zaman sekarang kalau sudah jatuh cinta akan melakukan hal-hal gila yang mengganggu," ujar William.
Leona menyeritkan alisnya. Ia mulai tersinggung dengan ucapan William. Tidak. Sebenarnya sudah dari tadi. Hanya saja, kali ini benar-benar keterlaluan.
"Kamu pikir aku akan jatuh cinta padamu?" tanya Leona.
"Aku yakin bahkan kali ini sudah," jawab William seakan tak ada beban.
Leona membulatkan matanya. Andai saja bukan karena ia sangat membutuhkan proyek film kali ini, sudah dipastikan jika bibir William akan merasakan timbukan dari sepatu Leona.
Tapi lagi dan lagi, Leona harus menahan perasaan jengkelnya. Ia tidak mau kehilangan peluang emas ini begitu saja hanya karena emosi sesaat. Bagaimanapun juga ia harus mendapatkan proyek ini.
***
Bersambung....
Selamat datang di dunia fantasi modern pertamaku. Jangan lupa tinggalkan komentar kalian, agar penulis tahu, seberapa banyak orang yang antusias dengan ceritanya. Terima kasih sudah mampir :)
Leona berdiri di depan cafe dengan pakaian yang serba tertutup. Kopernya pun sudah siap sedia di sampingnya. Sudah jam sepuluh lebih, namun sosok Ethan belum juga tiba.Leona menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan jika tidak ada penjahat atau apapun yang mengincarnya. Bagaimanapun juga, Leona tidak memiliki siapapun lagi untuknya mengadu. Jadi lebih baik ia memang harus selalu siaga agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.Leona menghela napas kesal. Kakinya terasa pegal jika ia terus-terusan berdiri seperti ini."Selamat pagi, Leona," sapa seseorang.Leona menoleh cepat. Ia tersenyum tipis ketika melihat sosok yang ia tunggu-tunggu sudah datang."Pagi, Pak Ethan," balas Leona.Ethan menyerit, "Kamu bisa bicara lebih santai denganku, Leona. Tidak perlu kaku seperti itu," ujarnya.Leona menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ternyata Ethan tidak seangkuh yang ia kira."Mau pergi sekarang? Semuanya sudah disiapkan," ajak Ethan.
Leona baru saja selesai mengemasi barangnya. Fasilitas kamar yang ia tempati ini sangat lengkap. Bahkan ada lemari besar yang lebih dari cukup untuk menyimpan pakaiannya.Leona menyisir rambutnya di depan meja rias. Ia baru saja bangun dari tidur siang beberapa saat lalu, kemudian ia langsung menata barang-barangnya di kamar yang akan ia tempati untuk beberapa waktu ke depan ini. Setelah rambutnya kembali rapi, Leona memutuskan untuk keluar dari kamar.Suasana apartemen sangat sepi. Seakan hanya ada Leona yang tinggal di sini. Di mana William?Leona menghela napas panjang kemudian duduk di salah satu kursi ruang makan. Ia membuka kantong berisi makanan yang tadi dikatakan Ethan.Masih ada dua porsi makanan. Itu artinya William belum makan siang. Rasanya sangat malas bagi Leona untuk mengajak laki-laki itu makan bersama. Tapi, di sini ia adalah tamu. Tidak mungkin ia makan sebelum pemilik tempat ini mempersilakan.Leona menoleh saat mendengar suara pintu
Leona baru saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa, keadaan apartemen sangat sepi. Tak ada suara apapun yang dapat ia dengar, selain gesekan sendalnya dengan lantai.Leona melihat ke arah televisi yang selalu berada dalam keadaan mati sejak pertama ia lihat. Ia pun mulai menyalakannya. Setidaknya lumayan untuk mengurangi aura mencekam di apartemen semewah ini."Kau mau menonton TV?" tanya William yang baru saja datang.Leona menolehkan kepalanya dengan cepat. Ia mengangguk sembari tersenyum."Suaranya menggangguku," ujar William dengan wajah datar."Apa kamu tidak pernah menonton TV?" Kini giliran Leona yang melemparkan pertanyaan. William menjawabnya dengan gelengan kepala.Leona bergedik ngeri. Bisa-bisanya di dunia ini ada manusia seperti William."Kamu bahkan punya TV berukuran sangat besar di sini. Apa kamu sesibuk itu hingga tidak sempat menontonnya?" berondong Leona sembari bangkit mendekati William."Aku hanya tidak suka," bal
Malam semakin larut. Namun, Leona masih juga tidak berhasil terjun ke alam bawah sadarnya. Ia masih berguling ke kanan, dan kadang ke kiri. Salah satu tangannya sudah memegangi perutnya yang sedari tadi berbunyi akibat menahan lapar.Ia melirik jam di atas nakas. Hampir pukul sepuluh malam. Harusnya Leona segera tidur, karena ia tidak terlalu terbiasa tidur di atas jam sembilan. Tapi, ia benar-benar tidak bisa tidur dalam keadaan lapar seperti itu."Dia sudah tidur belum, ya? Malas sekali kalau aku keluar lalu bertemu dengannya," gumam gadis itu.Tak tahan lagi, Leona akhirnya keluar. Ia berjalan seperti orang mengendap-endap agar lagkahnya tak terdengar oleh pemilik apartemen ini.Ia melihat ke atas meja. Kosong. Mungkinkah makanannya sudah William masukkan ke dalam lemari pendingin?Leona menuju ke lemari pendingin, kemudian membukanya. Ternyata benar. Ada satu porsi masakannya yang belum tersentuh sama sekali di dalamnya. Itu pasti miliknya. Tap
Leona terkejut saat merasakan sinar matahari yang sudah memasuki kamarnya. Seingatnya, ia sudah memasang alarm pukul lima lagi. Tidak mungkin kan, ia bangun kesiangan?Perlahan, mata Leona terbuka. Ia memperhatikan lamat-lamat ruangan tempatnya berada kini.Benar. Matahari sudah bersinar. Itu artinya, Leona bangun lebih siang dibanding biasanya.Leona meraih jam wekernya. Dan matanya langsung membulat melihat jarum paling pendek jam itu sudah menunjuk ke angka delapan."Whattt???" Ia memekik kaget bukan main. Dengan sempoyongan, karena nyawa yang belum benar-benar terkumpul, ia pun segera menuju ke lemari untuk mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi.Dan dalam kamar mandi, Leona terus merutuki kebodohannya. Ia belum pernah bangun sesiang ini. Sebelumnya, alarmnya selalu berfungsi dengan baik. Apa yang salah hingga jam yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu tidak membangunkannya?Selesai mandi dan berganti pakaian,
Leona baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Ethan. Ia masih terpengangah dengan gedung megah di hadapannya. Selain memiliki apartemen yang sangat mewah, ternyata William juga bekerja di kantor sebesar ini.R Corp. Terdengar cukup familiyar bagi Leona. Ia berusaha mengingatnya, namun belum sempat hal itu terjadi, suara Ethan sudah lebih dulu mengintrupsinya."Kamu sedang apa? Ayo!" ajak Ethan.Leona mengangguk kemudian berlari kecil untuk menyusul satu-satunya manusia yang ia kenal itu."Ethan, tunggu!" pinta Leona.Ethan memperlambat langkahnya untuk menunggu Leona. Ia baru ingat, jika yang sedang bersamanya kini adalah gadis berperawakan cukup mungil yang memiliki kaki jauh lebih pendek darinya."Ada apa, Leona?" tanya Ethan."Apa tidak akan jadi masalah kalau aku datang ke sini?" tanya Leona.Ethan menyert. Ia tidak mengerti, memang apa yang bisa terjadi hanya karena kedatangan Leona?"Maksud kamu masalah seperti
'Warna matanya, kenapa-' pikiran William seketika kosong. Ia hanya terus menatap mata emerald Leona dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang menarik dari mata itu. Warna yang tergolong jarang William temui di dalam hidupnya. Tak sekadar warna hijaunya saja, tapi seperti ada hal lain yang membuat William tertarik untuk terus menatap mata indah itu.'Klek'William segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Di sana, ada tiga orang laki-laki yang mematung sembari menatap ke arah William dengan tatapan terkejut.William tidak mengerti kenapa mereka menatapnya seperti itu. Sebelum akhirnya ia teringat dengan gadis yang kini berada di hadapannya.'Mereka pasti berpikir yang aneh-aneh tentang aku dan Leona,' monolog William dalam hati.Perlahan, William membantu Leona untuk bersandar di sofa."Kalian mau masuk atau terus terdiam di situ?" tanya William dengan nada dingin, seperti biasanya.Tiga pria it
Terhitung sudah satu minggu Leona tinggal di apartemen William. Dan semua keadaan di dalam apartemen itu masih sama. Dengan William yang selalu bersikap dingin, dan Leona yang terus berusaha dekat dengan laki-laki itu."Sebenarnya apa sih maumu?" tanya William malas, ketika Leona terus saja mengikutinya sembari menawarkan berbagai jenis minuman."Aku hanya ingin membuatkan kamu minum. Hari ini kamu habis lembur, kan? Kamu pasti capek. Jadi aku-""Aku cuma butuh mandi. Dan kamu, diamlah!" ketus William kemudian beranjak menuju kamarnya.Leona menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa diperlakukan demikian oleh William. Tapi ia tidak boleh menyerah. Terlebih ketika naskah skenario film yang akan mereka bintangi datang sejak tiga hari lalu.Leona baru sadar, akan ada banyak adegan romantis yang harus ia lakoni bersama William. Dan Leona ragu bisa melakukannya dengan baik jika sikap William padanya saja masih sedingin ini.Leona memilih beralih
Leona membuka matanya ketika alarmnya berbunyi. Dan ia langsung terpenjat saat melihat sosok laki-laki berada di kamarnya. Ia hampir saja menjerit, sebelum akhirnya ia sadar kalau laki-laki itu adalah pemilik apartemen yang ia tempati."Apa yang kamu lakukan dengan jam wekerku?" bingung Leona. Bahkan suaranya masih terdengar serak, khas orang bangun tidur."Mematikan semua yang aku anggap mengganggu," jawab William santai.Leona baru menyadari sesuatu. Beberapa kali alarmnya sering tidak berbunyi meski ia ingat betul sudah memasangnya dengan benar. Jadi, inikah alasannya?William sering datang ke kamarnya dan mematikan alarmnya ketika ia merasa terganggu hingga Leona terlambat bangun?"Ini bukan pertama kalinya, kan?" selidik Leona.William mengambil posisi duduk di pinggir kasur Leona, hingga membuat gadis itu refleks bergeser menjauh.Diamnya laki-laki itu Leona artikan sebagai jawaban "YA". Jadi laki-laki itu memang sering menerobo
Terhitung sudah satu minggu Leona tinggal di apartemen William. Dan semua keadaan di dalam apartemen itu masih sama. Dengan William yang selalu bersikap dingin, dan Leona yang terus berusaha dekat dengan laki-laki itu."Sebenarnya apa sih maumu?" tanya William malas, ketika Leona terus saja mengikutinya sembari menawarkan berbagai jenis minuman."Aku hanya ingin membuatkan kamu minum. Hari ini kamu habis lembur, kan? Kamu pasti capek. Jadi aku-""Aku cuma butuh mandi. Dan kamu, diamlah!" ketus William kemudian beranjak menuju kamarnya.Leona menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa diperlakukan demikian oleh William. Tapi ia tidak boleh menyerah. Terlebih ketika naskah skenario film yang akan mereka bintangi datang sejak tiga hari lalu.Leona baru sadar, akan ada banyak adegan romantis yang harus ia lakoni bersama William. Dan Leona ragu bisa melakukannya dengan baik jika sikap William padanya saja masih sedingin ini.Leona memilih beralih
'Warna matanya, kenapa-' pikiran William seketika kosong. Ia hanya terus menatap mata emerald Leona dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang menarik dari mata itu. Warna yang tergolong jarang William temui di dalam hidupnya. Tak sekadar warna hijaunya saja, tapi seperti ada hal lain yang membuat William tertarik untuk terus menatap mata indah itu.'Klek'William segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Di sana, ada tiga orang laki-laki yang mematung sembari menatap ke arah William dengan tatapan terkejut.William tidak mengerti kenapa mereka menatapnya seperti itu. Sebelum akhirnya ia teringat dengan gadis yang kini berada di hadapannya.'Mereka pasti berpikir yang aneh-aneh tentang aku dan Leona,' monolog William dalam hati.Perlahan, William membantu Leona untuk bersandar di sofa."Kalian mau masuk atau terus terdiam di situ?" tanya William dengan nada dingin, seperti biasanya.Tiga pria it
Leona baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Ethan. Ia masih terpengangah dengan gedung megah di hadapannya. Selain memiliki apartemen yang sangat mewah, ternyata William juga bekerja di kantor sebesar ini.R Corp. Terdengar cukup familiyar bagi Leona. Ia berusaha mengingatnya, namun belum sempat hal itu terjadi, suara Ethan sudah lebih dulu mengintrupsinya."Kamu sedang apa? Ayo!" ajak Ethan.Leona mengangguk kemudian berlari kecil untuk menyusul satu-satunya manusia yang ia kenal itu."Ethan, tunggu!" pinta Leona.Ethan memperlambat langkahnya untuk menunggu Leona. Ia baru ingat, jika yang sedang bersamanya kini adalah gadis berperawakan cukup mungil yang memiliki kaki jauh lebih pendek darinya."Ada apa, Leona?" tanya Ethan."Apa tidak akan jadi masalah kalau aku datang ke sini?" tanya Leona.Ethan menyert. Ia tidak mengerti, memang apa yang bisa terjadi hanya karena kedatangan Leona?"Maksud kamu masalah seperti
Leona terkejut saat merasakan sinar matahari yang sudah memasuki kamarnya. Seingatnya, ia sudah memasang alarm pukul lima lagi. Tidak mungkin kan, ia bangun kesiangan?Perlahan, mata Leona terbuka. Ia memperhatikan lamat-lamat ruangan tempatnya berada kini.Benar. Matahari sudah bersinar. Itu artinya, Leona bangun lebih siang dibanding biasanya.Leona meraih jam wekernya. Dan matanya langsung membulat melihat jarum paling pendek jam itu sudah menunjuk ke angka delapan."Whattt???" Ia memekik kaget bukan main. Dengan sempoyongan, karena nyawa yang belum benar-benar terkumpul, ia pun segera menuju ke lemari untuk mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi.Dan dalam kamar mandi, Leona terus merutuki kebodohannya. Ia belum pernah bangun sesiang ini. Sebelumnya, alarmnya selalu berfungsi dengan baik. Apa yang salah hingga jam yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu tidak membangunkannya?Selesai mandi dan berganti pakaian,
Malam semakin larut. Namun, Leona masih juga tidak berhasil terjun ke alam bawah sadarnya. Ia masih berguling ke kanan, dan kadang ke kiri. Salah satu tangannya sudah memegangi perutnya yang sedari tadi berbunyi akibat menahan lapar.Ia melirik jam di atas nakas. Hampir pukul sepuluh malam. Harusnya Leona segera tidur, karena ia tidak terlalu terbiasa tidur di atas jam sembilan. Tapi, ia benar-benar tidak bisa tidur dalam keadaan lapar seperti itu."Dia sudah tidur belum, ya? Malas sekali kalau aku keluar lalu bertemu dengannya," gumam gadis itu.Tak tahan lagi, Leona akhirnya keluar. Ia berjalan seperti orang mengendap-endap agar lagkahnya tak terdengar oleh pemilik apartemen ini.Ia melihat ke atas meja. Kosong. Mungkinkah makanannya sudah William masukkan ke dalam lemari pendingin?Leona menuju ke lemari pendingin, kemudian membukanya. Ternyata benar. Ada satu porsi masakannya yang belum tersentuh sama sekali di dalamnya. Itu pasti miliknya. Tap
Leona baru saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa, keadaan apartemen sangat sepi. Tak ada suara apapun yang dapat ia dengar, selain gesekan sendalnya dengan lantai.Leona melihat ke arah televisi yang selalu berada dalam keadaan mati sejak pertama ia lihat. Ia pun mulai menyalakannya. Setidaknya lumayan untuk mengurangi aura mencekam di apartemen semewah ini."Kau mau menonton TV?" tanya William yang baru saja datang.Leona menolehkan kepalanya dengan cepat. Ia mengangguk sembari tersenyum."Suaranya menggangguku," ujar William dengan wajah datar."Apa kamu tidak pernah menonton TV?" Kini giliran Leona yang melemparkan pertanyaan. William menjawabnya dengan gelengan kepala.Leona bergedik ngeri. Bisa-bisanya di dunia ini ada manusia seperti William."Kamu bahkan punya TV berukuran sangat besar di sini. Apa kamu sesibuk itu hingga tidak sempat menontonnya?" berondong Leona sembari bangkit mendekati William."Aku hanya tidak suka," bal
Leona baru saja selesai mengemasi barangnya. Fasilitas kamar yang ia tempati ini sangat lengkap. Bahkan ada lemari besar yang lebih dari cukup untuk menyimpan pakaiannya.Leona menyisir rambutnya di depan meja rias. Ia baru saja bangun dari tidur siang beberapa saat lalu, kemudian ia langsung menata barang-barangnya di kamar yang akan ia tempati untuk beberapa waktu ke depan ini. Setelah rambutnya kembali rapi, Leona memutuskan untuk keluar dari kamar.Suasana apartemen sangat sepi. Seakan hanya ada Leona yang tinggal di sini. Di mana William?Leona menghela napas panjang kemudian duduk di salah satu kursi ruang makan. Ia membuka kantong berisi makanan yang tadi dikatakan Ethan.Masih ada dua porsi makanan. Itu artinya William belum makan siang. Rasanya sangat malas bagi Leona untuk mengajak laki-laki itu makan bersama. Tapi, di sini ia adalah tamu. Tidak mungkin ia makan sebelum pemilik tempat ini mempersilakan.Leona menoleh saat mendengar suara pintu
Leona berdiri di depan cafe dengan pakaian yang serba tertutup. Kopernya pun sudah siap sedia di sampingnya. Sudah jam sepuluh lebih, namun sosok Ethan belum juga tiba.Leona menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan jika tidak ada penjahat atau apapun yang mengincarnya. Bagaimanapun juga, Leona tidak memiliki siapapun lagi untuknya mengadu. Jadi lebih baik ia memang harus selalu siaga agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.Leona menghela napas kesal. Kakinya terasa pegal jika ia terus-terusan berdiri seperti ini."Selamat pagi, Leona," sapa seseorang.Leona menoleh cepat. Ia tersenyum tipis ketika melihat sosok yang ia tunggu-tunggu sudah datang."Pagi, Pak Ethan," balas Leona.Ethan menyerit, "Kamu bisa bicara lebih santai denganku, Leona. Tidak perlu kaku seperti itu," ujarnya.Leona menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ternyata Ethan tidak seangkuh yang ia kira."Mau pergi sekarang? Semuanya sudah disiapkan," ajak Ethan.