Leona baru saja selesai mengemasi barangnya. Fasilitas kamar yang ia tempati ini sangat lengkap. Bahkan ada lemari besar yang lebih dari cukup untuk menyimpan pakaiannya.
Leona menyisir rambutnya di depan meja rias. Ia baru saja bangun dari tidur siang beberapa saat lalu, kemudian ia langsung menata barang-barangnya di kamar yang akan ia tempati untuk beberapa waktu ke depan ini. Setelah rambutnya kembali rapi, Leona memutuskan untuk keluar dari kamar.
Suasana apartemen sangat sepi. Seakan hanya ada Leona yang tinggal di sini. Di mana William?
Leona menghela napas panjang kemudian duduk di salah satu kursi ruang makan. Ia membuka kantong berisi makanan yang tadi dikatakan Ethan.
Masih ada dua porsi makanan. Itu artinya William belum makan siang. Rasanya sangat malas bagi Leona untuk mengajak laki-laki itu makan bersama. Tapi, di sini ia adalah tamu. Tidak mungkin ia makan sebelum pemilik tempat ini mempersilakan.
Leona menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. Bibitnya menyunggingkan senyum tipis. Akhirnya, ia bisa segera menikmati makan siangnya.
Leona menoleh ke arah William sembari tersenyum. Namun, laki-laki itu masih menampakkan wajah dingin.
"Kau mau makan siang sekarang? Ayo kita makan!" ajak Leona.
William melanjutkan langkahnya seolah tak mendengar ucapan Leona. Ia berhenti di depan pintu lemari pendingin lalu mengambil sebotol minuman soda dari dalamnya.
"Hmm, Tuan, bagaimana kalau kita-"
"Apa kau tinggal di sini untuk menjadi pelayanku?" potong William.
Leona menggeleng cepat. Enak saja. Ia kan calon aktris terkenal. Bisa-bisanya William mengatakan hal itu padanya. Terlebih, pria itu sendiri yang mengajaknya tinggal di sini.
"Ck, intinya ayo kita makan sekarang! Aku sangat lapar," kesal Leona.
William membuka kaleng sodanya dengan santai sembari ia berjalan ke arah meja makan.
Dengan telaten, Leona menata makanan yang telah Ethan siapkan untuk William. Ia bahkan juga mengambilkan peralatan makan untuk laki-laki itu.
"Kamu sangat cocok bekerja sebagai pelayan, daripada menjadi seorang aktris," ujar William.
Leona berdecak. Namun ia enggan menanggapi ucapan laki-laki itu. Ia sedang tidak ingin berdebat. Perutnya terlalu lapar untuk menunggunya mendebat laki-laki di hadapannya itu.
"Itu milikku." Leona menatap William kebingungan. Terlebih, saat laki-laki itu menukar makanan mereka.
"Kamu tidak suka sayur? Padahal aku berniat mengalah karena aku kira penjualnya lupa memasukkan sayuran ke porsi yang itu," ujar Leona.
William tak menanggapinya. Laki-laki itu tampak fokus menikmati hidangan di depannya.
Leona mengangkat kedua bahunya, memilih tak memikirkan secara berlebihan tentang sikap dingin William. Ia pun mulai menyantap hidangan lezat di hadapannya dengan lahap.
Setelah makan siang, William merapikan bekas makanannya. Namun, Leona menyentuh tangan laki-laki itu.
"Nanti biar aku saja," ujar Leona.
"Kamu benar-benar berniat menjadi pelayan di apartemen ini?" tanya William.
Leona menyerit. Memang apa salahnya ia merapikan bekas makanan William? Bukankah niatnya baik?
"Aku hanya ingin merapikannya saja. Oh iya, apa kamu punya bahan makanan? Bagaimana kalau nanti aku masak makan malam untuk kita? Jadi tidak perlu memesan makanan di luar," tawar Leona.
"Aku lebih suka mengurus makananku sendiri," tolak William kemudian berlalu ke kamarnya.
Leona menghela napas panjang. Padahal ia punya niatan baik untuk lebih dekat dengan William. Tapi tampaknya laki-laki itu benar-benar sulit ditaklukan.
"Kenapa produser memilih orang seperti dia untuk bermain di film romansa seperti ini? Menyusahkan saja," keluh Leona.
Selesai makan, Leona segera membereskan meja makan. Sebelum kembali ke kamar, ia juga mengecek isi lemari pendingin William. Ternyata laki-laki itu memiliki cukup banyak bahan makanan. Meski tak ada sedikit pun sayur di sana.
"Dia benar-benar tidak bisa makan sayur? Keterlaluan," gumam Leona.
Ia kembali ke kamar kemudian menganti pakaian dengan pakaian serba tertutup. Ia berniat pergi ke supermarket untuk membeli beberapa macam sayuran. William mungkin memang tidak suka sayur. Tapi Leona butuh.
Leona juga melihat supermarket di dekat apartemen William saat Ethan mengantarnya tadi. Cukup dekat, dan Leona rasa ia bisa ke sana hanya dengan berjalan kaki.
Satu jam kemudian....
Leona kembali ke apartemen William. Semua berjalan sesuai rencana. Supermarket itu bahkan terasa lebih dekat setelah Leona datang sendiri ke sana.
Ting
Dentingan lift berbunyi. Leona berjalan sembari menenteng tas-tas belanjaannya menuju unit William.
Sampainya di depan pintu, Leona ingat akan sesuatu.
"Bagaimana cara aku membuka pintunya? Ethan belum memberitahuku password apartemen ini," pikir Leona.
Leona meletakkan tas-tas belanjaannya di atas lantai. Ia mengobrak-abrik tasnya, mencari kartu nama yang Ethan berikan tadi. Tapi ia tak menemukannya.
"Ah... sepertinya tertinggal di atas meja rias. Lalu bagaimana caraku masuk?" gumam Leona.
Ia menggigiti kuku ibu jarinya sembari berpikir.
Hanya ada satu pilihan. Menekan bel. Tapi itu artinya, William yang akan datang dan membukakannya pintu. Leona yakin laki-laki itu pasti akan kesal padanya. Tapi ia tak punya cara lain.
Leona menggigit bibir bawahnya sembari menekan bel satu kali secara ragu.
Hampir satu menit. Tapi sama sekali tak ada tanggapan dari dalam.
'Haruskah aku menekan bel lagi?' batin Leona.
Ragu, Leona kembali menekan bel. Tak lama kemudian, sosok William datang dengan wajah bantalnya. Leona merasa tidak enak karena sudah mengganggu istirahat laki-laki itu.
Cepat-cepat, Leona mengambil kembali tas-tas belanjaannya kemudian berjalan masuk ke unit William.
"Kau menggangguku," ujar William dengan suara serak.
"Maaf. Aku janji tidak akan melakukannya lagi," balas Leona cepat.
Setelah pintu tertutup, William menghampiri Leona. Berdiri tepat di hadapan gadis itu. Ia menyodorkan sesuatu ke Leona, membuat gadis itu menyerit bingung.
"Tulis nomor ponselmu! Aku akan mengirim password apartemen ini padamu," perintah William.
Cepat-cepat Leona meletakkan kembali belanjaannya, dan meraih benda pipih yang disodorkan William. Ia menulis nomornya di ponsel laki-laki itu.
"Ini," ujar Leona sembari mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.
William menerimanya, lalu pergi begitu saja ke kamarnya.
Leona menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku laki-laki itu. Bisa-bisanya dulu ia sempat ngefans dengan sosok seperti itu.
Tersadar dari lamunannya, Leona bergegas merapikan belanjaannya. Ia memasukkan bahan-bahan makanan yang ia beli ke dalan lemari pendingin William.
Bibirnya menyunggingkan senyum ketika melihat keadaan kulkas yang lebih berwarna daripada beberapa saat yang lalu.
"Lebih baik aku memasak menu makan malam sekarang. Baru setelah itu aku akan mandi," gumam Leona sembari mengambil kembali beberapa jenis bahan makanan yang akan ia olah.
Leona adalah gadis yang terbiasa melakukan pekerjaan rumah sejak kecil. Bahkan memasak bukan kegiatan yang baru baginya. Terlebih, ketika ia harus kuliah di luar kota dan menyewa satu unit kecil tempat untuk ia tinggali. Ia semakin terbiasa melakukan apapun sendirian.
Tak perlu waktu lama, masakan Leona pun matang. Gadis itu segera menatanya di meja makan. Setelah itu, ia masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri. Sepertinya ia mulai menyukai tinggal di tempat ini. Meski ia harus menghadapi laki-laki sedingin William, tapi setidaknya ia merasa nyaman dan aman tinggal di sini.
'Hanya perlu bersabar sebentar lagi, Leona. Dan kamu akan mendapatkan semua yang berhak kamu dapatkan,' batin Leona sembari menikmati siraman air dari atas kepalanya.
***
Bersambung....
Menurut kalian, siapa nanti yang akan bucin duluan ke satu yang lainnya?
Kalau dibagi menjadi dua tim, kalian akan menjadi tim Leona atau William?
Leona sifatnya manusiawi, masih ada ramah-ramahnya. Sementara William ngeselin, tapi ganteng dan kaya sih ðŸ¤
Terima kasih sudah mampir :)
Leona baru saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa, keadaan apartemen sangat sepi. Tak ada suara apapun yang dapat ia dengar, selain gesekan sendalnya dengan lantai.Leona melihat ke arah televisi yang selalu berada dalam keadaan mati sejak pertama ia lihat. Ia pun mulai menyalakannya. Setidaknya lumayan untuk mengurangi aura mencekam di apartemen semewah ini."Kau mau menonton TV?" tanya William yang baru saja datang.Leona menolehkan kepalanya dengan cepat. Ia mengangguk sembari tersenyum."Suaranya menggangguku," ujar William dengan wajah datar."Apa kamu tidak pernah menonton TV?" Kini giliran Leona yang melemparkan pertanyaan. William menjawabnya dengan gelengan kepala.Leona bergedik ngeri. Bisa-bisanya di dunia ini ada manusia seperti William."Kamu bahkan punya TV berukuran sangat besar di sini. Apa kamu sesibuk itu hingga tidak sempat menontonnya?" berondong Leona sembari bangkit mendekati William."Aku hanya tidak suka," bal
Malam semakin larut. Namun, Leona masih juga tidak berhasil terjun ke alam bawah sadarnya. Ia masih berguling ke kanan, dan kadang ke kiri. Salah satu tangannya sudah memegangi perutnya yang sedari tadi berbunyi akibat menahan lapar.Ia melirik jam di atas nakas. Hampir pukul sepuluh malam. Harusnya Leona segera tidur, karena ia tidak terlalu terbiasa tidur di atas jam sembilan. Tapi, ia benar-benar tidak bisa tidur dalam keadaan lapar seperti itu."Dia sudah tidur belum, ya? Malas sekali kalau aku keluar lalu bertemu dengannya," gumam gadis itu.Tak tahan lagi, Leona akhirnya keluar. Ia berjalan seperti orang mengendap-endap agar lagkahnya tak terdengar oleh pemilik apartemen ini.Ia melihat ke atas meja. Kosong. Mungkinkah makanannya sudah William masukkan ke dalam lemari pendingin?Leona menuju ke lemari pendingin, kemudian membukanya. Ternyata benar. Ada satu porsi masakannya yang belum tersentuh sama sekali di dalamnya. Itu pasti miliknya. Tap
Leona terkejut saat merasakan sinar matahari yang sudah memasuki kamarnya. Seingatnya, ia sudah memasang alarm pukul lima lagi. Tidak mungkin kan, ia bangun kesiangan?Perlahan, mata Leona terbuka. Ia memperhatikan lamat-lamat ruangan tempatnya berada kini.Benar. Matahari sudah bersinar. Itu artinya, Leona bangun lebih siang dibanding biasanya.Leona meraih jam wekernya. Dan matanya langsung membulat melihat jarum paling pendek jam itu sudah menunjuk ke angka delapan."Whattt???" Ia memekik kaget bukan main. Dengan sempoyongan, karena nyawa yang belum benar-benar terkumpul, ia pun segera menuju ke lemari untuk mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi.Dan dalam kamar mandi, Leona terus merutuki kebodohannya. Ia belum pernah bangun sesiang ini. Sebelumnya, alarmnya selalu berfungsi dengan baik. Apa yang salah hingga jam yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu tidak membangunkannya?Selesai mandi dan berganti pakaian,
Leona baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Ethan. Ia masih terpengangah dengan gedung megah di hadapannya. Selain memiliki apartemen yang sangat mewah, ternyata William juga bekerja di kantor sebesar ini.R Corp. Terdengar cukup familiyar bagi Leona. Ia berusaha mengingatnya, namun belum sempat hal itu terjadi, suara Ethan sudah lebih dulu mengintrupsinya."Kamu sedang apa? Ayo!" ajak Ethan.Leona mengangguk kemudian berlari kecil untuk menyusul satu-satunya manusia yang ia kenal itu."Ethan, tunggu!" pinta Leona.Ethan memperlambat langkahnya untuk menunggu Leona. Ia baru ingat, jika yang sedang bersamanya kini adalah gadis berperawakan cukup mungil yang memiliki kaki jauh lebih pendek darinya."Ada apa, Leona?" tanya Ethan."Apa tidak akan jadi masalah kalau aku datang ke sini?" tanya Leona.Ethan menyert. Ia tidak mengerti, memang apa yang bisa terjadi hanya karena kedatangan Leona?"Maksud kamu masalah seperti
'Warna matanya, kenapa-' pikiran William seketika kosong. Ia hanya terus menatap mata emerald Leona dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang menarik dari mata itu. Warna yang tergolong jarang William temui di dalam hidupnya. Tak sekadar warna hijaunya saja, tapi seperti ada hal lain yang membuat William tertarik untuk terus menatap mata indah itu.'Klek'William segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Di sana, ada tiga orang laki-laki yang mematung sembari menatap ke arah William dengan tatapan terkejut.William tidak mengerti kenapa mereka menatapnya seperti itu. Sebelum akhirnya ia teringat dengan gadis yang kini berada di hadapannya.'Mereka pasti berpikir yang aneh-aneh tentang aku dan Leona,' monolog William dalam hati.Perlahan, William membantu Leona untuk bersandar di sofa."Kalian mau masuk atau terus terdiam di situ?" tanya William dengan nada dingin, seperti biasanya.Tiga pria it
Terhitung sudah satu minggu Leona tinggal di apartemen William. Dan semua keadaan di dalam apartemen itu masih sama. Dengan William yang selalu bersikap dingin, dan Leona yang terus berusaha dekat dengan laki-laki itu."Sebenarnya apa sih maumu?" tanya William malas, ketika Leona terus saja mengikutinya sembari menawarkan berbagai jenis minuman."Aku hanya ingin membuatkan kamu minum. Hari ini kamu habis lembur, kan? Kamu pasti capek. Jadi aku-""Aku cuma butuh mandi. Dan kamu, diamlah!" ketus William kemudian beranjak menuju kamarnya.Leona menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa diperlakukan demikian oleh William. Tapi ia tidak boleh menyerah. Terlebih ketika naskah skenario film yang akan mereka bintangi datang sejak tiga hari lalu.Leona baru sadar, akan ada banyak adegan romantis yang harus ia lakoni bersama William. Dan Leona ragu bisa melakukannya dengan baik jika sikap William padanya saja masih sedingin ini.Leona memilih beralih
Leona membuka matanya ketika alarmnya berbunyi. Dan ia langsung terpenjat saat melihat sosok laki-laki berada di kamarnya. Ia hampir saja menjerit, sebelum akhirnya ia sadar kalau laki-laki itu adalah pemilik apartemen yang ia tempati."Apa yang kamu lakukan dengan jam wekerku?" bingung Leona. Bahkan suaranya masih terdengar serak, khas orang bangun tidur."Mematikan semua yang aku anggap mengganggu," jawab William santai.Leona baru menyadari sesuatu. Beberapa kali alarmnya sering tidak berbunyi meski ia ingat betul sudah memasangnya dengan benar. Jadi, inikah alasannya?William sering datang ke kamarnya dan mematikan alarmnya ketika ia merasa terganggu hingga Leona terlambat bangun?"Ini bukan pertama kalinya, kan?" selidik Leona.William mengambil posisi duduk di pinggir kasur Leona, hingga membuat gadis itu refleks bergeser menjauh.Diamnya laki-laki itu Leona artikan sebagai jawaban "YA". Jadi laki-laki itu memang sering menerobo
Dua laki-laki berpakaian rapi itu sedang sibuk membahas masalah pekerjaan. Ethan, salah seorang laki-laki itu, kembali menjelaskan detail berkas yang ia bawa."Ini adalah peluang emas kalau kamu mau maju, William. Kapan lagi produser film nomor satu di dunia menawarimu kerja sama seperti ini? Apa kamu tidak tergiur dengan bayarannya yang mencapai jutaan dolar? Selain itu, film ini merupakan adaptasi novel best seller dunia yang sudah dinantikan banyak orang," ujarnya.William, sang lawan bicara hanya mendesah ringan."Sudah aku tegaskan berkali-kali, aku tidak berminat bermain di genre romance. Aku tidak bisa memerankan sosok Peter dengan baik." William kembali menolaknya.William Redorge. Seorang aktor yang amat terkenal, khususnya dalam film action. Sejak berkecimpung dengan dunia perfilman tujuh tahun lalu, William memang selalu menolak project film roman.Ia merasa, imejnya sangat tidak sesuai jika memerankan karakter pria idaman dalam film romansa.
Leona membuka matanya ketika alarmnya berbunyi. Dan ia langsung terpenjat saat melihat sosok laki-laki berada di kamarnya. Ia hampir saja menjerit, sebelum akhirnya ia sadar kalau laki-laki itu adalah pemilik apartemen yang ia tempati."Apa yang kamu lakukan dengan jam wekerku?" bingung Leona. Bahkan suaranya masih terdengar serak, khas orang bangun tidur."Mematikan semua yang aku anggap mengganggu," jawab William santai.Leona baru menyadari sesuatu. Beberapa kali alarmnya sering tidak berbunyi meski ia ingat betul sudah memasangnya dengan benar. Jadi, inikah alasannya?William sering datang ke kamarnya dan mematikan alarmnya ketika ia merasa terganggu hingga Leona terlambat bangun?"Ini bukan pertama kalinya, kan?" selidik Leona.William mengambil posisi duduk di pinggir kasur Leona, hingga membuat gadis itu refleks bergeser menjauh.Diamnya laki-laki itu Leona artikan sebagai jawaban "YA". Jadi laki-laki itu memang sering menerobo
Terhitung sudah satu minggu Leona tinggal di apartemen William. Dan semua keadaan di dalam apartemen itu masih sama. Dengan William yang selalu bersikap dingin, dan Leona yang terus berusaha dekat dengan laki-laki itu."Sebenarnya apa sih maumu?" tanya William malas, ketika Leona terus saja mengikutinya sembari menawarkan berbagai jenis minuman."Aku hanya ingin membuatkan kamu minum. Hari ini kamu habis lembur, kan? Kamu pasti capek. Jadi aku-""Aku cuma butuh mandi. Dan kamu, diamlah!" ketus William kemudian beranjak menuju kamarnya.Leona menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa diperlakukan demikian oleh William. Tapi ia tidak boleh menyerah. Terlebih ketika naskah skenario film yang akan mereka bintangi datang sejak tiga hari lalu.Leona baru sadar, akan ada banyak adegan romantis yang harus ia lakoni bersama William. Dan Leona ragu bisa melakukannya dengan baik jika sikap William padanya saja masih sedingin ini.Leona memilih beralih
'Warna matanya, kenapa-' pikiran William seketika kosong. Ia hanya terus menatap mata emerald Leona dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang menarik dari mata itu. Warna yang tergolong jarang William temui di dalam hidupnya. Tak sekadar warna hijaunya saja, tapi seperti ada hal lain yang membuat William tertarik untuk terus menatap mata indah itu.'Klek'William segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Di sana, ada tiga orang laki-laki yang mematung sembari menatap ke arah William dengan tatapan terkejut.William tidak mengerti kenapa mereka menatapnya seperti itu. Sebelum akhirnya ia teringat dengan gadis yang kini berada di hadapannya.'Mereka pasti berpikir yang aneh-aneh tentang aku dan Leona,' monolog William dalam hati.Perlahan, William membantu Leona untuk bersandar di sofa."Kalian mau masuk atau terus terdiam di situ?" tanya William dengan nada dingin, seperti biasanya.Tiga pria it
Leona baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Ethan. Ia masih terpengangah dengan gedung megah di hadapannya. Selain memiliki apartemen yang sangat mewah, ternyata William juga bekerja di kantor sebesar ini.R Corp. Terdengar cukup familiyar bagi Leona. Ia berusaha mengingatnya, namun belum sempat hal itu terjadi, suara Ethan sudah lebih dulu mengintrupsinya."Kamu sedang apa? Ayo!" ajak Ethan.Leona mengangguk kemudian berlari kecil untuk menyusul satu-satunya manusia yang ia kenal itu."Ethan, tunggu!" pinta Leona.Ethan memperlambat langkahnya untuk menunggu Leona. Ia baru ingat, jika yang sedang bersamanya kini adalah gadis berperawakan cukup mungil yang memiliki kaki jauh lebih pendek darinya."Ada apa, Leona?" tanya Ethan."Apa tidak akan jadi masalah kalau aku datang ke sini?" tanya Leona.Ethan menyert. Ia tidak mengerti, memang apa yang bisa terjadi hanya karena kedatangan Leona?"Maksud kamu masalah seperti
Leona terkejut saat merasakan sinar matahari yang sudah memasuki kamarnya. Seingatnya, ia sudah memasang alarm pukul lima lagi. Tidak mungkin kan, ia bangun kesiangan?Perlahan, mata Leona terbuka. Ia memperhatikan lamat-lamat ruangan tempatnya berada kini.Benar. Matahari sudah bersinar. Itu artinya, Leona bangun lebih siang dibanding biasanya.Leona meraih jam wekernya. Dan matanya langsung membulat melihat jarum paling pendek jam itu sudah menunjuk ke angka delapan."Whattt???" Ia memekik kaget bukan main. Dengan sempoyongan, karena nyawa yang belum benar-benar terkumpul, ia pun segera menuju ke lemari untuk mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi.Dan dalam kamar mandi, Leona terus merutuki kebodohannya. Ia belum pernah bangun sesiang ini. Sebelumnya, alarmnya selalu berfungsi dengan baik. Apa yang salah hingga jam yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu tidak membangunkannya?Selesai mandi dan berganti pakaian,
Malam semakin larut. Namun, Leona masih juga tidak berhasil terjun ke alam bawah sadarnya. Ia masih berguling ke kanan, dan kadang ke kiri. Salah satu tangannya sudah memegangi perutnya yang sedari tadi berbunyi akibat menahan lapar.Ia melirik jam di atas nakas. Hampir pukul sepuluh malam. Harusnya Leona segera tidur, karena ia tidak terlalu terbiasa tidur di atas jam sembilan. Tapi, ia benar-benar tidak bisa tidur dalam keadaan lapar seperti itu."Dia sudah tidur belum, ya? Malas sekali kalau aku keluar lalu bertemu dengannya," gumam gadis itu.Tak tahan lagi, Leona akhirnya keluar. Ia berjalan seperti orang mengendap-endap agar lagkahnya tak terdengar oleh pemilik apartemen ini.Ia melihat ke atas meja. Kosong. Mungkinkah makanannya sudah William masukkan ke dalam lemari pendingin?Leona menuju ke lemari pendingin, kemudian membukanya. Ternyata benar. Ada satu porsi masakannya yang belum tersentuh sama sekali di dalamnya. Itu pasti miliknya. Tap
Leona baru saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa, keadaan apartemen sangat sepi. Tak ada suara apapun yang dapat ia dengar, selain gesekan sendalnya dengan lantai.Leona melihat ke arah televisi yang selalu berada dalam keadaan mati sejak pertama ia lihat. Ia pun mulai menyalakannya. Setidaknya lumayan untuk mengurangi aura mencekam di apartemen semewah ini."Kau mau menonton TV?" tanya William yang baru saja datang.Leona menolehkan kepalanya dengan cepat. Ia mengangguk sembari tersenyum."Suaranya menggangguku," ujar William dengan wajah datar."Apa kamu tidak pernah menonton TV?" Kini giliran Leona yang melemparkan pertanyaan. William menjawabnya dengan gelengan kepala.Leona bergedik ngeri. Bisa-bisanya di dunia ini ada manusia seperti William."Kamu bahkan punya TV berukuran sangat besar di sini. Apa kamu sesibuk itu hingga tidak sempat menontonnya?" berondong Leona sembari bangkit mendekati William."Aku hanya tidak suka," bal
Leona baru saja selesai mengemasi barangnya. Fasilitas kamar yang ia tempati ini sangat lengkap. Bahkan ada lemari besar yang lebih dari cukup untuk menyimpan pakaiannya.Leona menyisir rambutnya di depan meja rias. Ia baru saja bangun dari tidur siang beberapa saat lalu, kemudian ia langsung menata barang-barangnya di kamar yang akan ia tempati untuk beberapa waktu ke depan ini. Setelah rambutnya kembali rapi, Leona memutuskan untuk keluar dari kamar.Suasana apartemen sangat sepi. Seakan hanya ada Leona yang tinggal di sini. Di mana William?Leona menghela napas panjang kemudian duduk di salah satu kursi ruang makan. Ia membuka kantong berisi makanan yang tadi dikatakan Ethan.Masih ada dua porsi makanan. Itu artinya William belum makan siang. Rasanya sangat malas bagi Leona untuk mengajak laki-laki itu makan bersama. Tapi, di sini ia adalah tamu. Tidak mungkin ia makan sebelum pemilik tempat ini mempersilakan.Leona menoleh saat mendengar suara pintu
Leona berdiri di depan cafe dengan pakaian yang serba tertutup. Kopernya pun sudah siap sedia di sampingnya. Sudah jam sepuluh lebih, namun sosok Ethan belum juga tiba.Leona menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan jika tidak ada penjahat atau apapun yang mengincarnya. Bagaimanapun juga, Leona tidak memiliki siapapun lagi untuknya mengadu. Jadi lebih baik ia memang harus selalu siaga agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.Leona menghela napas kesal. Kakinya terasa pegal jika ia terus-terusan berdiri seperti ini."Selamat pagi, Leona," sapa seseorang.Leona menoleh cepat. Ia tersenyum tipis ketika melihat sosok yang ia tunggu-tunggu sudah datang."Pagi, Pak Ethan," balas Leona.Ethan menyerit, "Kamu bisa bicara lebih santai denganku, Leona. Tidak perlu kaku seperti itu," ujarnya.Leona menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ternyata Ethan tidak seangkuh yang ia kira."Mau pergi sekarang? Semuanya sudah disiapkan," ajak Ethan.