Angin bertiup sedikit lebih kencang di atas dini, menggoyangkan rumput-rumput liar setinggi lutut anak kecil. Beberapa batang pohon pun ikut menggoyangkan dahannya. Pohon-pohon besar itu menaungi beberapa bagian padang bunga di atas bukit ini. Berbagai warna bunga menghiasi padang, jenisnya beraneka ragam. Di bagian barat bukit, hutan kecil menutupi bayangan matahari, membuat bagian bukit yang berada di sekitarnya tampak lebih gelap. Satu kata untuk pemandangan ini, menakjubkan. Sepertinya inilah alasan kenapa tempat ini dinamakan Rainbow Hill. Bunga yang berwarna-warni di atas bukit tampak seperti pelangi. Dua orang gadis dengan warna rambut berbeda tengah membungkukkan badannya di padang bunga. Punggung mereka bergerak-gerak seiring dengan gerakan tangan mereka yang memetik bunga. Salah seorang gadis itu berambut pirang, Alexant tidak dapat memastikan apakah gadis itu adalah Crystal atau bukan karena dia memunggunginya, wajahnya tak terlihat. Meskipun jarak mereka cukup jauh, ia m
Debaran jantung Alexant semakin menggila, Crystal hanya berjarak kurang dari satu meter darinya. Hanya batang pohon dengan diameter kurang lebih lima puluh sentimeter saja yang menjadi penghalang mereka. Ia bahkan bisa mencium aroma tubuhnya yang bercampur dengan wangi beraneka bunga yang berada di dalam keranjangnya. Kedua tangan Alexant mengepal, punggungnya melekat pada batang pohon, mata terpejam, dan kepala mendongak. Napasnya memburu seperti seseorang yang baru saja berlari jauh. Alexant tertawa tanpa suara, reaksi tubuhnya sangat aneh dan menggelikan. Tak pernah ia merasakan seperti ini sebelumnya, hanya kepada Crystal saja. Alexant menegakkan punggung, mencoba mengintip apa yang dilakukan Crystal dan temannya. Senyum manis terbit di bibirnya, Crystal sedang merangkai bunga-bunga liar itu, membentuknya melingkar menjadi mahkota bunga. Namun, sedetik kemudian dia melemparkan mahkota bunga tersebut jauh darinya. Pipinya yang kemerahan menggembung dan bibir mengerucut, Crystal t
Crystal menegakkan tubuh mengusap air di sudut matanya. Orang-orang dewasa itu tidak ada yang mengerti dirinya. Bagaimana takutnya dia saat membayangkan Alexant melupakannya. Bagaimana sakitnya kala membayangkan seandainya mereka tak bisa lagi bertemu. Dia sangat ingin bertemu Alexant, sekali saja juga tidak apa-apa. Dia ingin melihatnya, ingin mendengar suaranya lagi. "Apa kau masih mengingatku, Alexant?"Iya! Tentu saja! Alexant yang berada di balik pohon menjawabnya dengan berteriak di dalam hati. "Jangan lupakan aku karena aku tidak pernah melupakanmu."Suara itu kembali terdengar serak. Alexant yakin Crystal-nya menangis sekarang. Kedua tangan Alexant yang masih mengepal kembali menguat, dadanya kembali terasa sesak. Crystal sudah sendirian sekarang, jika ia ingin memunculkan diri, inilah saatnya. Tidak akan ada yang melihat kehadirannya. Alexant melakukannya setelah kembali berpikir beberapa detik. Langkahnya tegap keluar dari persembunyiannya. "Maaf, Nona, permisi."Crystal
Tak ada gerakan, tak ada suara. Selama beberapa saat kebisuan menyelimuti mereka, hanya suara embusan angin yang menjadi musik pengiring pertemuan yang seakan mimpi bagi keduanya. Crystal masih tidak percaya jika pemuda berambut abu-abu yang sekarang masih memunggunginya di depan sana adalah pemuda yang selama ini selalu hadir di mimpi setiap malamnya. Bagaimana dia bisa lupa pada sosok Alexant? Meskipun sudah bertambah besar, ada satu hal yang tidak akan berubah darinya, rambutnya yang berwarna abu-abu. Seharusnya dia menyadari, tidak ada seorang pun di Namira yang berambut abu-abu seperti Alexant selain keluarga kerajaan. Crystal merasa lemas, sepasang kakinya terasa kehilangan tenaga, perutnya mual karena asam lambungnya meningkat, padahal dia tidak memiliki penyakit asam lambung, pelipisnya dibasahi keringat dingin. "A ... Alexant, apakah kau benar Alexant?" Suara pertama yang terdengar sejak sepuluh menit yang lalu. Alexant perlahan memutar tubuh, menatap Crystal-nya yang sed
"Kau sudah menciumku tadi," sahut Crystal polos. Benar, 'kan? Tadi Alexant memang menciuminya. Dia berkata yang sebenarnya. Alexant berdecak. Bukan ciuman seperti itu yang dimaksudkannya. Crystal masih polos, masih belum tahu ciuman yang sebenarnya, sepertinya. "Bukan ciuman seperti itu!" Sepasang alis pirang itu terangkat. "Apakah ada ciuman lainnya?" tanya Crystal. Matanya menatap Alexant penuh tanda tanya. "Mama dan Papa juga menciumku seperti kau menciumku tadi."Crystal benar-benar menggemaskan, terlalu polos. Jika gadis-gadis bangsawan seusianya sudah tahu berbagai jenis ciuman, dia malah belum paham. Alexant berteriak dalam hati. Setengah mati berusaha menahan diri agar tidak menerkam bibir mungil yang kembali mengerucut. Ia menarik napas dalam, mengembuskannya melalui mulut dengan kuat. "Alexant, kau kenapa? Apa kau baik-baik saja?"Pertanyaan bernada khawatir itu membuat Alexant tak dapat menahan senyum. Tentu saja ia tidak kenapa-kenapa, hanya terlalu banyak menahan dirin
Selesai makan malam, Crystal langsung masuk ke kamarnya. Dia ingin cepat-cepat memeriksa mahkota bunga yang diberikan Alexant padanya tadi sore. Tidak ada yang mencurigainya, dia sudah terbiasa langsung masuk ke kamar tidurnya setelah makan malam selesai. Jam malam berlaku setelah makan malam, papanya menerapkan hal yang demikian. Jika melanggar, akan ada hukuman sebagai konsekuensinya. Crystal mengunci pintu kamar tidurnya sebelum naik ke atas tempat tidur. Memang hal yang tidak biasa dia lakukan, tetapi Mama pasti akan mengerti. Terkadang ada hal yang tidak ingin kita bagi kepada orang lain. Sebagai sesama perempuan, Mama lebih mengerti dirinya ketimbang Papa. Malam ini ada sesuatu yang tidak ingin dibaginya kepada siapa pun. Senyum manis Crystal mengembang sempurna manakala kotak kayu sudah berada di pangkuannya. Kotak itu berisi mahkota bunga pemberian Alexant. Dia menyimpan mahkota bunga yang baru diberikan Alexant padanya tadi sore, bersama dengan mahkota bunga tujuh tahun yan
"Aku percaya padamu, George!" George mengangguk. Sebagai seorang sahabat dan bawahan, ia merasa ikut bahagia. Ia tahu bagaimana setiap harinya Alexant selalu membuat sebuah mahkota bunga yang akan diberikan pada Crystal saat mereka bertemu. Setiap hari Alexant selalu mengingatnya, tak pernah lupa meskipun saat mereka bermain bersama Beatrice, ataupun saat dia menerima kunjungan Lady Elsa Baige. "Besok kami akan bertemu lagi." Alexant bercerita tanpa diminta. Ia sudah terbiasa berbagi segala hal pada George. Nyaris tak ada yang disembunyikan darinya. "Kami sudah berjanji untuk bertemu di bukit seperti tadi sore. Setiap hari selama aku di sini." "Apakah bukit tempat Anda berdua bertemu sangat indah, Yang Mulia?" tanya George. Jujur saja, ia penasaran, ingin tahu bagaimana bukit yang kata prajurit sangat indah. Seandainya saja boleh, ia juga ingin ikut ke sana besok bersama Alexant, mendampinginya yang memang sudah merupakan tugasnya sebagai pengawal pribadi. "Para prajurit berkata de
Sudah beberapa hari Beatrice tidak keluar kamar, dia tidak enak badan, dan diharuskan untuk beristirahat di dalam kamar tidur saja. Tidak boleh ke mana-mana, bahkan untuk belajar bersama Alexant. Mereka tidak mau mengambil risiko Alexant akan tertular, padahal dia hanya kurang enak badan saja, bukan sakit yang parah. Orang-orang di sekeliling Alexant terlalu melebih-lebihkan seolah dirinya penyebar penyakit saja. Hari ini dia sudah bisa keluar lagi, Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Beatrice langsung menuju taman tempat di mana Alexant biasa menghabiskan waktunya. Entah itu menunggu gurunya datang ataupun melepaskan lelah setelah belajar. Dari dulu sampai sekarang tetap saja pelajaran yang paling sulit menurutnya adalah etika dan tata krama, padahal Bibi Fasha juga sudah mengajarinya setelah makan malam sebelum tidur, tetapi tetap saja dia tidak pernah menyukainya. Terlalu sukar baginya yang terbiasa melakukan sesuatu dengan cepat dan bebas. Kepala pirang Beatrice menoleh ke kanan
Pagi datang lebih cepat saat kita berada di tempat yang lebih tinggi, Beatrice merasakannya. Sudah dua hari ini dia menyaksikan matahari terbit lebih awal dari biasanya saat dia masih di istana. Hari jadi terasa lebih panjang dan semakin membosankan. Tak ada gadis seusianya di sini, yang ada hanya Nenek dan Bibi Fasha. Prajurit yang waktu itu pergi bersama mereka juga sudah tidak terlihat lagi, sepertinya dia hanya mengantarkan saja, tidak menetap di sini bersama mereka. Tidak apa-apa, dia justru mensyukurinya. Daripada prajurit itu juga ikut tinggal di sini bersama mereka akan membuat dia ketakutan saja. Selama ini hanya Alexant, laki-laki yang dekat dengannya. Dia tidak memercayai yang lainnya. Pengalaman buruk saat ayahnya masih hidup membekas sampai sekarang. Meskipun ayahnya tidak pernah berbuat kasar, tetapi Ayah selalu mabuk. Bahkan Ayah tewas karena mabuknya itu. Ayah yang sudah sakit keras terlalu banyak meminum alkohol sampai nyawanya tak tertolong. Kejadian itu membuatnya
"Bisakah kita tetap berada di sini beberapa hari lagi?" George dan Jerome Walker, prajurit yang memimpin tugas di Rainbow Hill, sudah menduga jika Alexant akan bertanya seperti itu. Cepat atau lambat dia pasti akan menanyakannya, seolah waktu satu minggu bersama Crystal masih kurang saja baginya. George memutar bola mata jengah. "Kupikir tidak bisa." Ia memalingkan muka hanya untuk menyembunyikan senyumnya. "Kita harus segera kembali ke istana, Yang Mulia. Sepuluh hari merupakan waktu yang lama bagi seorang pangeran meninggalkan istana." Alexant mendengkus kesal. "Aku baru beberapa hari di sini, George!" erangnya kesal. "Baru satu minggu, belum sepuluh hari seperti yang kau katakan.""Ditambah tiga hari selama perjalanan kita menuju ke sini, Yang Mulia.""Astaga!" Alexant memotong perkataan George tiba-tiba. Kepalanya langsung terasa berdenyut nyeri, dadanya panas seakan terbakar. "Lama di perjalanan tidak dihitung!" Ia mengibaskan kedua tangannya. "Lagi pula, George, kenapa kita h
Sejak dia tinggal di istana, Nenek juga tidak lagi bekerja. Mama secara rutin mengirimkan uang untuknya, juga untuk membayar pekerjaan gadis pelayan yang menemani Nenek. Sebab, tidak lagi bekerja di perkebunan tomat, Nenek tidak lagi memasak sup tomat. Sekarang makanan di rumahnya sudah berbeda, berbagai hidangan selalu tersedia di meja saat tiba waktu makan. Kehidupan Nenek lebih terjamin. Beatrice mensyukurinya, dia merasa sangat senang karena Nenek bahagia. "Kita ada di mana, Nek?" tanya Beatrice dengan alis berkerut tajam. Matanya menatap liar sekeliling kamar. Dugaannya jika dia tidak sedang berada di rumah Nenek, semakin kuat. Keadaan kamar ini berbeda, lebih sederhana dibandingkan dengan kamar tidurnya di rumah nenek. Tidak ada perabotan apa-apa selain sebuah meja dan kursi yang kelihatannya sudah tua. "Apakah kita di rumah Nenek?" Imelda tersenyum melihat kepanikan di wajah cucu tersayangnya. Dia sendiri juga awalnya kaget ketika bangun tidur menemukan dirinya di tempat yang
Kicauan burung yang terdengar tajam di telinga membangunkan Beatrice dari tidurnya. Dia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk membiasakan penglihatannya pada cahaya yang masuk. Alam tampak terang benderang di tangkap indra penglihatannya.Beatrice mengucek mata untuk memastikan. Dia menggerakkan kepala ke arah kanan, segera memejamkan mata dan menaikkan tangan untuk melindungi wajahnya dari paparan sinar matahari. Hangat terasa, tetapi juga sangat menyilaukan. Keadaan yang berbeda setiap dia bangun pagi pada biasanya. Beatrice menjauhkan tangan, duduk perlahan. Sepasang alisnya berkerut merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Mulutnya tanpa sadar mengeluarkan ringisan. Dia baru bangun tidur, bahkan nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Apa yang terjadi tadi malam masih belum diingat semuanya, masih samar-samar. Pagi ini dia merasa ada yang aneh. Entah keadaan kamarnya yang terasa jauh lebih terang dari biasanya –sinar matahari langsung masuk tanpa halangan apa pun– juga s
Beatrice mencoba untuk tidur lagi, dan berharap saat terbangun nanti semuanya hanya mimpi. Dia akan tetap berada di istana, berbaring di ranjang empuknya, di kamarnya bersama Bibi Fasha. Sayangnya, Beatrice tidak dapat tidur lagi. Meskipun sudah memejamkan mata, tetapi pikirannya tetap melayang ke mana-mana. Dia berusaha keras mengosongkan pikiran, tetap saja tidak bisa. Alexant memenuhi pikirannya. Dadanya bergemuruh, keringat membasahi sekujur tubuhnya yang terikat. Belum lagi dia berada di atas kereta kuda yang melaju kencang. Siapa yang dapat tidur dalam keadaan seperti dirinya saat ini? Air mata terus mengalir membasahi pipi Beatrice. Dalam hati dia terus berdoa semoga dia bisa keluar dari kereta ini dan bertemu dengan Alexant. Dia yakin Bibi Fasha berbohing saat mengatakan padanya tentang Alexant. Tidak mungkin Alexant memiliki gadis lain selain dirinya, hubungan mereka sangat dekat. Alexant selalu jujur padanya, jika ada seorang gadis yang mendekatinya, dia pasti akan berceri
Fasha tidak percaya jika seorang Ibu bisa melakukan hal yang kejam terhadap anaknya. Namun, setelah mendengar rencana Selena, sekarang dia memercayainya. Rencana Selena untuk menyingkirkan Beatrice dari istana tergolong rencana yang gila. Bahkan Selena langsung bergerak setelah mendapatkan rencana itu. Dia meminta seorang prajurit yang dapat dipercayainya untuk membawa ibunya yang tinggal di sebuah desa, memindahkannya ke sebuah tempat terpencil yang sangat sulit untuk dijangkau. Setelah itu, barulah mereka akan membawa Beatrice ke sana, tempat yang sama dengan neneknya. Yang lebih gila lagi, Selena juga meminta Fasha untuk mendampingi mereka. Tidak mempunyai pilihan, dia mengangguk menyetujuinya. Tak mungkin dia membiarkan gadis semuda Beatrice hanya tinggal berdua bersama neneknya di tempat yang penuh bahaya. Mengendap mereka mendekati kamar tidur Fasha yang ditempatinya bersama Beatrice. Fasha sudah memastikan Beatrice tertidur lelap, gadis itu kelelahan setelah seharian menangi
Alexant menoleh ke belakangnya, menatap sekilas Crystal yang berada satu meter di belakangnya. "Kau benar!" katanya tersenyum. "Astaga, George! Aku tidak percaya jika sudah bertindak bodoh seperti itu. Ini sangat memalukan!" Ia menggeram kesal. George tertawa tanpa suara. "Jangan khawatir, ini akan menjadi rahasia kita," sahutnya, menepuk bahu Alexant akrab. Alexant mengusap wajah kasar, kemudian memutar tubuh, melangkah ke arah Crystal, dan memeluknya. Mereka harus berpisah untuk hari ini sekarang. Sudah semakin sore, senja sebentar lagi akan datang. Bayangan pohon-pohon dan ilalang semakin memanjang ke arah timur. Alexant meraih jemari Crystal, meremasnya hangat. "Kau harus pulang sekarang," katanya lirih, tak rela mengucapkan kata-kata itu. "Aku tak ingin Duke Mars melarangnu untuk ke sini lagi besok.""Kita masih bisa bertemu lagi besok, Alexant?" Pertanyaan Crystal penuh semangat. Mata birunya tersenyum. Alexant mengangguk. "Tentu saja, aku tidak akan bersedia untuk pulang sec
Waktu selalu terasa cepat berlalu saat kita berada dalam perasaan bahagia, gembira, dan perasaan positif lainnya. Namun, akan terasa sangat lambat, bahkan lebih lambat dari lari seekor kura-kura, jika kita berada dalam fase tidak bahagia. Itulah yang dirasakan Alexant sekarang. Ia merasa matahari cepat sekali tergelincir di ufuk barat, padahal rasanya baru beberapa menit ia bersama Crystal matahari sudah hampir terbenam saja. Sebagian bukit sudah terlihat gelap karena terlindung bayangan pohon-pohon yang tumbuh dengan tinggi menjulang dari hutan di sebelah sana. Padang bunga juga sedikit tertutup bayangan ilalang yang lebih tinggi dari mereka. "Bisakah aku menghentikan laju perputaran matahari?" Alexant bertanya entah kepada siapa. Hanya ada dirinya, Crystal, dan George di atas bukit ini. Crystal mengerutkan alis, sementara George tertawa mendengarnya. Keluhan Alexant terdengar lucu di telinganya, seperti mimpi seorang anak kecil. Alexant mendelik tajam, melemparkan ranting kayu k
"Bibi tidak tahu ke mana perginya Pangeran Alexant, Beatrice." Fasha menggelengkan kepala. "Tidak ada yang tahu kecuali Raja Henry dan Jenderal Wallace, dan mereka tentu tidak akan memberi tahu ke mana tujuan Pangeran Alexant. Pelayan seperti kita tidak penting, tidak ada gunanya memberitahukan apa pun pada kita. Tugas kita hanya melayani mereka, bukan untuk ikut campur urusan mereka." Sengaja Fasha mengatakan seperti ini. Dia hanya ingin Beatrice sadar kedudukannya di istana ini. Dia ingin Beatrice melupakan mimpinya untuk bisa berdampingan dengan Alexant sebagai suami istri. Mereka hanyalah pelayan, para bangsawan itu mengingat nama mereka saja sudah merupakan sebuah keberuntungan yang sangat langka bagi mereka. Beatrice menggigit bibir. Air matanya jatuh lagi mendengar jawaban Fasha. Kali ini dia tidak mengusapnya, Dibiarkannya air matanya jatuh melewati dagu dan menetes ke lutut, kemudian diserap oleh gaun yang menutupi lututnya. Kata-kata panjang lebar Fasha menamparnya, mencub