Debaran jantung Alexant semakin menggila, Crystal hanya berjarak kurang dari satu meter darinya. Hanya batang pohon dengan diameter kurang lebih lima puluh sentimeter saja yang menjadi penghalang mereka. Ia bahkan bisa mencium aroma tubuhnya yang bercampur dengan wangi beraneka bunga yang berada di dalam keranjangnya. Kedua tangan Alexant mengepal, punggungnya melekat pada batang pohon, mata terpejam, dan kepala mendongak. Napasnya memburu seperti seseorang yang baru saja berlari jauh. Alexant tertawa tanpa suara, reaksi tubuhnya sangat aneh dan menggelikan. Tak pernah ia merasakan seperti ini sebelumnya, hanya kepada Crystal saja. Alexant menegakkan punggung, mencoba mengintip apa yang dilakukan Crystal dan temannya. Senyum manis terbit di bibirnya, Crystal sedang merangkai bunga-bunga liar itu, membentuknya melingkar menjadi mahkota bunga. Namun, sedetik kemudian dia melemparkan mahkota bunga tersebut jauh darinya. Pipinya yang kemerahan menggembung dan bibir mengerucut, Crystal t
Crystal menegakkan tubuh mengusap air di sudut matanya. Orang-orang dewasa itu tidak ada yang mengerti dirinya. Bagaimana takutnya dia saat membayangkan Alexant melupakannya. Bagaimana sakitnya kala membayangkan seandainya mereka tak bisa lagi bertemu. Dia sangat ingin bertemu Alexant, sekali saja juga tidak apa-apa. Dia ingin melihatnya, ingin mendengar suaranya lagi. "Apa kau masih mengingatku, Alexant?"Iya! Tentu saja! Alexant yang berada di balik pohon menjawabnya dengan berteriak di dalam hati. "Jangan lupakan aku karena aku tidak pernah melupakanmu."Suara itu kembali terdengar serak. Alexant yakin Crystal-nya menangis sekarang. Kedua tangan Alexant yang masih mengepal kembali menguat, dadanya kembali terasa sesak. Crystal sudah sendirian sekarang, jika ia ingin memunculkan diri, inilah saatnya. Tidak akan ada yang melihat kehadirannya. Alexant melakukannya setelah kembali berpikir beberapa detik. Langkahnya tegap keluar dari persembunyiannya. "Maaf, Nona, permisi."Crystal
Tak ada gerakan, tak ada suara. Selama beberapa saat kebisuan menyelimuti mereka, hanya suara embusan angin yang menjadi musik pengiring pertemuan yang seakan mimpi bagi keduanya. Crystal masih tidak percaya jika pemuda berambut abu-abu yang sekarang masih memunggunginya di depan sana adalah pemuda yang selama ini selalu hadir di mimpi setiap malamnya. Bagaimana dia bisa lupa pada sosok Alexant? Meskipun sudah bertambah besar, ada satu hal yang tidak akan berubah darinya, rambutnya yang berwarna abu-abu. Seharusnya dia menyadari, tidak ada seorang pun di Namira yang berambut abu-abu seperti Alexant selain keluarga kerajaan. Crystal merasa lemas, sepasang kakinya terasa kehilangan tenaga, perutnya mual karena asam lambungnya meningkat, padahal dia tidak memiliki penyakit asam lambung, pelipisnya dibasahi keringat dingin. "A ... Alexant, apakah kau benar Alexant?" Suara pertama yang terdengar sejak sepuluh menit yang lalu. Alexant perlahan memutar tubuh, menatap Crystal-nya yang sed
"Kau sudah menciumku tadi," sahut Crystal polos. Benar, 'kan? Tadi Alexant memang menciuminya. Dia berkata yang sebenarnya. Alexant berdecak. Bukan ciuman seperti itu yang dimaksudkannya. Crystal masih polos, masih belum tahu ciuman yang sebenarnya, sepertinya. "Bukan ciuman seperti itu!" Sepasang alis pirang itu terangkat. "Apakah ada ciuman lainnya?" tanya Crystal. Matanya menatap Alexant penuh tanda tanya. "Mama dan Papa juga menciumku seperti kau menciumku tadi."Crystal benar-benar menggemaskan, terlalu polos. Jika gadis-gadis bangsawan seusianya sudah tahu berbagai jenis ciuman, dia malah belum paham. Alexant berteriak dalam hati. Setengah mati berusaha menahan diri agar tidak menerkam bibir mungil yang kembali mengerucut. Ia menarik napas dalam, mengembuskannya melalui mulut dengan kuat. "Alexant, kau kenapa? Apa kau baik-baik saja?"Pertanyaan bernada khawatir itu membuat Alexant tak dapat menahan senyum. Tentu saja ia tidak kenapa-kenapa, hanya terlalu banyak menahan dirin
Selesai makan malam, Crystal langsung masuk ke kamarnya. Dia ingin cepat-cepat memeriksa mahkota bunga yang diberikan Alexant padanya tadi sore. Tidak ada yang mencurigainya, dia sudah terbiasa langsung masuk ke kamar tidurnya setelah makan malam selesai. Jam malam berlaku setelah makan malam, papanya menerapkan hal yang demikian. Jika melanggar, akan ada hukuman sebagai konsekuensinya. Crystal mengunci pintu kamar tidurnya sebelum naik ke atas tempat tidur. Memang hal yang tidak biasa dia lakukan, tetapi Mama pasti akan mengerti. Terkadang ada hal yang tidak ingin kita bagi kepada orang lain. Sebagai sesama perempuan, Mama lebih mengerti dirinya ketimbang Papa. Malam ini ada sesuatu yang tidak ingin dibaginya kepada siapa pun. Senyum manis Crystal mengembang sempurna manakala kotak kayu sudah berada di pangkuannya. Kotak itu berisi mahkota bunga pemberian Alexant. Dia menyimpan mahkota bunga yang baru diberikan Alexant padanya tadi sore, bersama dengan mahkota bunga tujuh tahun yan
"Aku percaya padamu, George!" George mengangguk. Sebagai seorang sahabat dan bawahan, ia merasa ikut bahagia. Ia tahu bagaimana setiap harinya Alexant selalu membuat sebuah mahkota bunga yang akan diberikan pada Crystal saat mereka bertemu. Setiap hari Alexant selalu mengingatnya, tak pernah lupa meskipun saat mereka bermain bersama Beatrice, ataupun saat dia menerima kunjungan Lady Elsa Baige. "Besok kami akan bertemu lagi." Alexant bercerita tanpa diminta. Ia sudah terbiasa berbagi segala hal pada George. Nyaris tak ada yang disembunyikan darinya. "Kami sudah berjanji untuk bertemu di bukit seperti tadi sore. Setiap hari selama aku di sini." "Apakah bukit tempat Anda berdua bertemu sangat indah, Yang Mulia?" tanya George. Jujur saja, ia penasaran, ingin tahu bagaimana bukit yang kata prajurit sangat indah. Seandainya saja boleh, ia juga ingin ikut ke sana besok bersama Alexant, mendampinginya yang memang sudah merupakan tugasnya sebagai pengawal pribadi. "Para prajurit berkata de
Sudah beberapa hari Beatrice tidak keluar kamar, dia tidak enak badan, dan diharuskan untuk beristirahat di dalam kamar tidur saja. Tidak boleh ke mana-mana, bahkan untuk belajar bersama Alexant. Mereka tidak mau mengambil risiko Alexant akan tertular, padahal dia hanya kurang enak badan saja, bukan sakit yang parah. Orang-orang di sekeliling Alexant terlalu melebih-lebihkan seolah dirinya penyebar penyakit saja. Hari ini dia sudah bisa keluar lagi, Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Beatrice langsung menuju taman tempat di mana Alexant biasa menghabiskan waktunya. Entah itu menunggu gurunya datang ataupun melepaskan lelah setelah belajar. Dari dulu sampai sekarang tetap saja pelajaran yang paling sulit menurutnya adalah etika dan tata krama, padahal Bibi Fasha juga sudah mengajarinya setelah makan malam sebelum tidur, tetapi tetap saja dia tidak pernah menyukainya. Terlalu sukar baginya yang terbiasa melakukan sesuatu dengan cepat dan bebas. Kepala pirang Beatrice menoleh ke kanan
"Aku juga mencintaimu." Pipi gadisnya memerah mendengarnya mengatakan itu. Alexant menatapnya lekat. Tak akan ia bosan, pemandangan yang tersaji di depannya adalah yang tercantik yang pernah dilihatnya. "Seharusnya kau membalas perkataanku dengan kalimat itu."Crystal semakin merasakan pipinya memanas. Kata-kata Alexant membakar, mengalahkan sinar matahari yang terik di atas kepala mereka. Crystal bersyukur tidak ada Chloe dan Neil. Kedua sahabatnya itu jari ini tidak ke sini, mereka ada urusan dengan keluarganya. Jika dia tidak salah dengar, Neil pergi ke desa sebelah untuk membantu persiapan sepupunya yang akan menikah. Lalu Chloe, membantu mamanya mempersiapkan ulang tahun sederhana adiknya yang jatuh pada hari ini. Kata Chloe, keluarganya akan makan malam bersama dengan menu berbeda dari biasanya. Kedengarannya sangat menyenangkan, seandainya diperbolehkan dia ingin hadir karena Chloe sudah mengundangnya. Namun, tidak bisa. Papa tidak akan membiarkannya keluar rumah pada malam