Tak ada gerakan, tak ada suara. Selama beberapa saat kebisuan menyelimuti mereka, hanya suara embusan angin yang menjadi musik pengiring pertemuan yang seakan mimpi bagi keduanya. Crystal masih tidak percaya jika pemuda berambut abu-abu yang sekarang masih memunggunginya di depan sana adalah pemuda yang selama ini selalu hadir di mimpi setiap malamnya. Bagaimana dia bisa lupa pada sosok Alexant? Meskipun sudah bertambah besar, ada satu hal yang tidak akan berubah darinya, rambutnya yang berwarna abu-abu. Seharusnya dia menyadari, tidak ada seorang pun di Namira yang berambut abu-abu seperti Alexant selain keluarga kerajaan. Crystal merasa lemas, sepasang kakinya terasa kehilangan tenaga, perutnya mual karena asam lambungnya meningkat, padahal dia tidak memiliki penyakit asam lambung, pelipisnya dibasahi keringat dingin. "A ... Alexant, apakah kau benar Alexant?" Suara pertama yang terdengar sejak sepuluh menit yang lalu. Alexant perlahan memutar tubuh, menatap Crystal-nya yang sed
"Kau sudah menciumku tadi," sahut Crystal polos. Benar, 'kan? Tadi Alexant memang menciuminya. Dia berkata yang sebenarnya. Alexant berdecak. Bukan ciuman seperti itu yang dimaksudkannya. Crystal masih polos, masih belum tahu ciuman yang sebenarnya, sepertinya. "Bukan ciuman seperti itu!" Sepasang alis pirang itu terangkat. "Apakah ada ciuman lainnya?" tanya Crystal. Matanya menatap Alexant penuh tanda tanya. "Mama dan Papa juga menciumku seperti kau menciumku tadi."Crystal benar-benar menggemaskan, terlalu polos. Jika gadis-gadis bangsawan seusianya sudah tahu berbagai jenis ciuman, dia malah belum paham. Alexant berteriak dalam hati. Setengah mati berusaha menahan diri agar tidak menerkam bibir mungil yang kembali mengerucut. Ia menarik napas dalam, mengembuskannya melalui mulut dengan kuat. "Alexant, kau kenapa? Apa kau baik-baik saja?"Pertanyaan bernada khawatir itu membuat Alexant tak dapat menahan senyum. Tentu saja ia tidak kenapa-kenapa, hanya terlalu banyak menahan dirin
Selesai makan malam, Crystal langsung masuk ke kamarnya. Dia ingin cepat-cepat memeriksa mahkota bunga yang diberikan Alexant padanya tadi sore. Tidak ada yang mencurigainya, dia sudah terbiasa langsung masuk ke kamar tidurnya setelah makan malam selesai. Jam malam berlaku setelah makan malam, papanya menerapkan hal yang demikian. Jika melanggar, akan ada hukuman sebagai konsekuensinya. Crystal mengunci pintu kamar tidurnya sebelum naik ke atas tempat tidur. Memang hal yang tidak biasa dia lakukan, tetapi Mama pasti akan mengerti. Terkadang ada hal yang tidak ingin kita bagi kepada orang lain. Sebagai sesama perempuan, Mama lebih mengerti dirinya ketimbang Papa. Malam ini ada sesuatu yang tidak ingin dibaginya kepada siapa pun. Senyum manis Crystal mengembang sempurna manakala kotak kayu sudah berada di pangkuannya. Kotak itu berisi mahkota bunga pemberian Alexant. Dia menyimpan mahkota bunga yang baru diberikan Alexant padanya tadi sore, bersama dengan mahkota bunga tujuh tahun yan
"Aku percaya padamu, George!" George mengangguk. Sebagai seorang sahabat dan bawahan, ia merasa ikut bahagia. Ia tahu bagaimana setiap harinya Alexant selalu membuat sebuah mahkota bunga yang akan diberikan pada Crystal saat mereka bertemu. Setiap hari Alexant selalu mengingatnya, tak pernah lupa meskipun saat mereka bermain bersama Beatrice, ataupun saat dia menerima kunjungan Lady Elsa Baige. "Besok kami akan bertemu lagi." Alexant bercerita tanpa diminta. Ia sudah terbiasa berbagi segala hal pada George. Nyaris tak ada yang disembunyikan darinya. "Kami sudah berjanji untuk bertemu di bukit seperti tadi sore. Setiap hari selama aku di sini." "Apakah bukit tempat Anda berdua bertemu sangat indah, Yang Mulia?" tanya George. Jujur saja, ia penasaran, ingin tahu bagaimana bukit yang kata prajurit sangat indah. Seandainya saja boleh, ia juga ingin ikut ke sana besok bersama Alexant, mendampinginya yang memang sudah merupakan tugasnya sebagai pengawal pribadi. "Para prajurit berkata de
Sudah beberapa hari Beatrice tidak keluar kamar, dia tidak enak badan, dan diharuskan untuk beristirahat di dalam kamar tidur saja. Tidak boleh ke mana-mana, bahkan untuk belajar bersama Alexant. Mereka tidak mau mengambil risiko Alexant akan tertular, padahal dia hanya kurang enak badan saja, bukan sakit yang parah. Orang-orang di sekeliling Alexant terlalu melebih-lebihkan seolah dirinya penyebar penyakit saja. Hari ini dia sudah bisa keluar lagi, Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Beatrice langsung menuju taman tempat di mana Alexant biasa menghabiskan waktunya. Entah itu menunggu gurunya datang ataupun melepaskan lelah setelah belajar. Dari dulu sampai sekarang tetap saja pelajaran yang paling sulit menurutnya adalah etika dan tata krama, padahal Bibi Fasha juga sudah mengajarinya setelah makan malam sebelum tidur, tetapi tetap saja dia tidak pernah menyukainya. Terlalu sukar baginya yang terbiasa melakukan sesuatu dengan cepat dan bebas. Kepala pirang Beatrice menoleh ke kanan
"Aku juga mencintaimu." Pipi gadisnya memerah mendengarnya mengatakan itu. Alexant menatapnya lekat. Tak akan ia bosan, pemandangan yang tersaji di depannya adalah yang tercantik yang pernah dilihatnya. "Seharusnya kau membalas perkataanku dengan kalimat itu."Crystal semakin merasakan pipinya memanas. Kata-kata Alexant membakar, mengalahkan sinar matahari yang terik di atas kepala mereka. Crystal bersyukur tidak ada Chloe dan Neil. Kedua sahabatnya itu jari ini tidak ke sini, mereka ada urusan dengan keluarganya. Jika dia tidak salah dengar, Neil pergi ke desa sebelah untuk membantu persiapan sepupunya yang akan menikah. Lalu Chloe, membantu mamanya mempersiapkan ulang tahun sederhana adiknya yang jatuh pada hari ini. Kata Chloe, keluarganya akan makan malam bersama dengan menu berbeda dari biasanya. Kedengarannya sangat menyenangkan, seandainya diperbolehkan dia ingin hadir karena Chloe sudah mengundangnya. Namun, tidak bisa. Papa tidak akan membiarkannya keluar rumah pada malam
Elsa Madeline Baige turun dengan anggun dari kereta kudanya. Dia dibantu oleh seorang pelayan perempuan berusia lima tahun lebih tua darinya. Langkahnya terarah memasuki istana, hari ini merupakan hari kunjungannya. Entah sejak kapan, yang pasti ada satu hari setiap minggunya dia harus mengunjungi istana. Wajib! Dia tidak tahu apakah gadis-gadis bangsawan lainnya juga diwajibkan seperti dirinya karena dia tidak melihat ada gadis bangsawan yang lainnya di istana hari ini selain dirinya. Mungkin saja mereka memiliki hari kunjungan wajib yang berbeda. Dia tidak peduli. Sebenarnya dia sangat malas mengunjungi istana setiap minggunya. Meskipun tidak setiap hari, kegiatan ini tetap saja mengganggu aktivitas rutin yang biasa dilakukannya setiap hari. Memang bukan sesuatu yang penting, Elsa bahkan merasa aktivitasnya monoton, selalu sama setiap harinya, tetapi satu hal yang pasti dia tidak akan bertemu dengan gadis putri pelayan yang sombong itu. Beatrice Llyod tidak menyadari siapa diriny
Jangan bertanya kenapa Elsa selalu membandingkan dirinya sendiri dengan gadis jelata itu karena jawabannya sangat mudah dan sederhana. Elsa tidak suka pada Beatrice yang selalu merasa dirinya lebih tinggi dari siapa pun. Kepercayaan diri yang sesat dari seorang gadis yang sangat terlihat menyukai Pangeran Alexant. Beatrice sepertinya tidak tahu tentang peraturan istana dan kerajaan yang tidak bisa diubah sejak dulu. Tidak ada satu pun anak pelayan –anak pengasuh– yang menjadi ratu. Lagi pula, Alexant tidak akan memilihnya, dia sudah memiliki calon istri. Gadis bangsawan yang tinggal di desa yang katanya jauh dari istana. Tidak ada yang dapat mengubah pendirian dan perasaan Alexant, tidak juga dengan kehadiran seorang Beatrice Llyod. Dia tahu semuanya, tentu saja karena George yang memberitahunya. Entah kenapa George memberitahukan hal tidak berguna itu kepadanya. Jika George berpikir dengan semua informasi itu akan membuatnya mengurungkan niat untuk menjadi ratu Namira, seratus per
Tak ada seorang pun yang ingin berpisah dari orang yang dicintai. Apalagi, jika baru saja bertemu setelah berpisah selama tujuh tahun. Alexant memeluk Cristal erat, rasanya tak ingin melepaskannya. Seandainya saja bisa, pasti dia akan membawanya ke istana sekatang juga. Persetan dengan peraturan bodoh kerajasn yang tidak memperbolehkan seorang putra mahkota menikah sebelum naik takhta. Ia tidak memerlukan takhta, tidak juga menginginkannya. Ia hanya menginginkan Crystal dan menghabiskan waktu hingga tua bersamanya. "Kenapa kau harus pulang dengan cepat? Apakah perburuan prajuritmu sudah selesai?" Crystal mendongak menatap Alexant saat bertanya. Meskipun saat ini dia duduk di pangkuannya, Alexant tetap lebih tinggi darinya. Ia memang sudah membohongi Crystal tentang perburuan itu, dan itu bukanlah sesuatu yang baik, Alexant menyadarinya. Hanya saja, saat itu ia tidak memiliki alasan lain lagi yang bisa digunakan untuk bisa berada di sampingnya. Alexant tak ingin berbohong, tetapi j
Pagi datang lebih cepat saat kita berada di tempat yang lebih tinggi, Beatrice merasakannya. Sudah dua hari ini dia menyaksikan matahari terbit lebih awal dari biasanya saat dia masih di istana. Hari jadi terasa lebih panjang dan semakin membosankan. Tak ada gadis seusianya di sini, yang ada hanya Nenek dan Bibi Fasha. Prajurit yang waktu itu pergi bersama mereka juga sudah tidak terlihat lagi, sepertinya dia hanya mengantarkan saja, tidak menetap di sini bersama mereka. Tidak apa-apa, dia justru mensyukurinya. Daripada prajurit itu juga ikut tinggal di sini bersama mereka akan membuat dia ketakutan saja. Selama ini hanya Alexant, laki-laki yang dekat dengannya. Dia tidak memercayai yang lainnya. Pengalaman buruk saat ayahnya masih hidup membekas sampai sekarang. Meskipun ayahnya tidak pernah berbuat kasar, tetapi Ayah selalu mabuk. Bahkan Ayah tewas karena mabuknya itu. Ayah yang sudah sakit keras terlalu banyak meminum alkohol sampai nyawanya tak tertolong. Kejadian itu membuatnya
"Bisakah kita tetap berada di sini beberapa hari lagi?" George dan Jerome Walker, prajurit yang memimpin tugas di Rainbow Hill, sudah menduga jika Alexant akan bertanya seperti itu. Cepat atau lambat dia pasti akan menanyakannya, seolah waktu satu minggu bersama Crystal masih kurang saja baginya. George memutar bola mata jengah. "Kupikir tidak bisa." Ia memalingkan muka hanya untuk menyembunyikan senyumnya. "Kita harus segera kembali ke istana, Yang Mulia. Sepuluh hari merupakan waktu yang lama bagi seorang pangeran meninggalkan istana." Alexant mendengkus kesal. "Aku baru beberapa hari di sini, George!" erangnya kesal. "Baru satu minggu, belum sepuluh hari seperti yang kau katakan.""Ditambah tiga hari selama perjalanan kita menuju ke sini, Yang Mulia.""Astaga!" Alexant memotong perkataan George tiba-tiba. Kepalanya langsung terasa berdenyut nyeri, dadanya panas seakan terbakar. "Lama di perjalanan tidak dihitung!" Ia mengibaskan kedua tangannya. "Lagi pula, George, kenapa kita h
Sejak dia tinggal di istana, Nenek juga tidak lagi bekerja. Mama secara rutin mengirimkan uang untuknya, juga untuk membayar pekerjaan gadis pelayan yang menemani Nenek. Sebab, tidak lagi bekerja di perkebunan tomat, Nenek tidak lagi memasak sup tomat. Sekarang makanan di rumahnya sudah berbeda, berbagai hidangan selalu tersedia di meja saat tiba waktu makan. Kehidupan Nenek lebih terjamin. Beatrice mensyukurinya, dia merasa sangat senang karena Nenek bahagia. "Kita ada di mana, Nek?" tanya Beatrice dengan alis berkerut tajam. Matanya menatap liar sekeliling kamar. Dugaannya jika dia tidak sedang berada di rumah Nenek, semakin kuat. Keadaan kamar ini berbeda, lebih sederhana dibandingkan dengan kamar tidurnya di rumah nenek. Tidak ada perabotan apa-apa selain sebuah meja dan kursi yang kelihatannya sudah tua. "Apakah kita di rumah Nenek?" Imelda tersenyum melihat kepanikan di wajah cucu tersayangnya. Dia sendiri juga awalnya kaget ketika bangun tidur menemukan dirinya di tempat yang
Kicauan burung yang terdengar tajam di telinga membangunkan Beatrice dari tidurnya. Dia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk membiasakan penglihatannya pada cahaya yang masuk. Alam tampak terang benderang di tangkap indra penglihatannya.Beatrice mengucek mata untuk memastikan. Dia menggerakkan kepala ke arah kanan, segera memejamkan mata dan menaikkan tangan untuk melindungi wajahnya dari paparan sinar matahari. Hangat terasa, tetapi juga sangat menyilaukan. Keadaan yang berbeda setiap dia bangun pagi pada biasanya. Beatrice menjauhkan tangan, duduk perlahan. Sepasang alisnya berkerut merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Mulutnya tanpa sadar mengeluarkan ringisan. Dia baru bangun tidur, bahkan nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Apa yang terjadi tadi malam masih belum diingat semuanya, masih samar-samar. Pagi ini dia merasa ada yang aneh. Entah keadaan kamarnya yang terasa jauh lebih terang dari biasanya –sinar matahari langsung masuk tanpa halangan apa pun– juga s
Beatrice mencoba untuk tidur lagi, dan berharap saat terbangun nanti semuanya hanya mimpi. Dia akan tetap berada di istana, berbaring di ranjang empuknya, di kamarnya bersama Bibi Fasha. Sayangnya, Beatrice tidak dapat tidur lagi. Meskipun sudah memejamkan mata, tetapi pikirannya tetap melayang ke mana-mana. Dia berusaha keras mengosongkan pikiran, tetap saja tidak bisa. Alexant memenuhi pikirannya. Dadanya bergemuruh, keringat membasahi sekujur tubuhnya yang terikat. Belum lagi dia berada di atas kereta kuda yang melaju kencang. Siapa yang dapat tidur dalam keadaan seperti dirinya saat ini? Air mata terus mengalir membasahi pipi Beatrice. Dalam hati dia terus berdoa semoga dia bisa keluar dari kereta ini dan bertemu dengan Alexant. Dia yakin Bibi Fasha berbohing saat mengatakan padanya tentang Alexant. Tidak mungkin Alexant memiliki gadis lain selain dirinya, hubungan mereka sangat dekat. Alexant selalu jujur padanya, jika ada seorang gadis yang mendekatinya, dia pasti akan berceri
Fasha tidak percaya jika seorang Ibu bisa melakukan hal yang kejam terhadap anaknya. Namun, setelah mendengar rencana Selena, sekarang dia memercayainya. Rencana Selena untuk menyingkirkan Beatrice dari istana tergolong rencana yang gila. Bahkan Selena langsung bergerak setelah mendapatkan rencana itu. Dia meminta seorang prajurit yang dapat dipercayainya untuk membawa ibunya yang tinggal di sebuah desa, memindahkannya ke sebuah tempat terpencil yang sangat sulit untuk dijangkau. Setelah itu, barulah mereka akan membawa Beatrice ke sana, tempat yang sama dengan neneknya. Yang lebih gila lagi, Selena juga meminta Fasha untuk mendampingi mereka. Tidak mempunyai pilihan, dia mengangguk menyetujuinya. Tak mungkin dia membiarkan gadis semuda Beatrice hanya tinggal berdua bersama neneknya di tempat yang penuh bahaya. Mengendap mereka mendekati kamar tidur Fasha yang ditempatinya bersama Beatrice. Fasha sudah memastikan Beatrice tertidur lelap, gadis itu kelelahan setelah seharian menangi
Alexant menoleh ke belakangnya, menatap sekilas Crystal yang berada satu meter di belakangnya. "Kau benar!" katanya tersenyum. "Astaga, George! Aku tidak percaya jika sudah bertindak bodoh seperti itu. Ini sangat memalukan!" Ia menggeram kesal. George tertawa tanpa suara. "Jangan khawatir, ini akan menjadi rahasia kita," sahutnya, menepuk bahu Alexant akrab. Alexant mengusap wajah kasar, kemudian memutar tubuh, melangkah ke arah Crystal, dan memeluknya. Mereka harus berpisah untuk hari ini sekarang. Sudah semakin sore, senja sebentar lagi akan datang. Bayangan pohon-pohon dan ilalang semakin memanjang ke arah timur. Alexant meraih jemari Crystal, meremasnya hangat. "Kau harus pulang sekarang," katanya lirih, tak rela mengucapkan kata-kata itu. "Aku tak ingin Duke Mars melarangnu untuk ke sini lagi besok.""Kita masih bisa bertemu lagi besok, Alexant?" Pertanyaan Crystal penuh semangat. Mata birunya tersenyum. Alexant mengangguk. "Tentu saja, aku tidak akan bersedia untuk pulang sec
Waktu selalu terasa cepat berlalu saat kita berada dalam perasaan bahagia, gembira, dan perasaan positif lainnya. Namun, akan terasa sangat lambat, bahkan lebih lambat dari lari seekor kura-kura, jika kita berada dalam fase tidak bahagia. Itulah yang dirasakan Alexant sekarang. Ia merasa matahari cepat sekali tergelincir di ufuk barat, padahal rasanya baru beberapa menit ia bersama Crystal matahari sudah hampir terbenam saja. Sebagian bukit sudah terlihat gelap karena terlindung bayangan pohon-pohon yang tumbuh dengan tinggi menjulang dari hutan di sebelah sana. Padang bunga juga sedikit tertutup bayangan ilalang yang lebih tinggi dari mereka. "Bisakah aku menghentikan laju perputaran matahari?" Alexant bertanya entah kepada siapa. Hanya ada dirinya, Crystal, dan George di atas bukit ini. Crystal mengerutkan alis, sementara George tertawa mendengarnya. Keluhan Alexant terdengar lucu di telinganya, seperti mimpi seorang anak kecil. Alexant mendelik tajam, melemparkan ranting kayu k