“Jadi ... namanya Aska?” Pertama kali seumur hidupnya, Kiara merasa otaknya bekerja sangat lambat. Seluruh tubuhnya kaku. Nyaris tak bergerak kecuali kelopak matanya yang mengerjap. Sebuah anggukan kecil dari Acha lantas membuat Kiara meluruhkan bahu serendah – rendahnya.
Oh Tuhan, bagaimana Kiara harus menjalani harinya setelah ini?
“Kamu boleh duduk.” Kemudian Pak Yustin mempersilahkan Aska duduk.
Sedetik kemudian, mata tajam cowok itu menyisir seluruh kelas, menemukan bangku kosong yang dia pikir adalah tempatnya. Aska mematri langkah panjang, bahu tegap dan dagunya terangkat. Seolah menunjukkan bahwa seluruh hidupnya tidak pernah ada kata ragu.
Kiara hanya berani melirik melalui sudut matanya. Pergerakan santai dan aroma parfum wood yang bercampur dengan nikotin. Sejurus kemudian tubuhnya tegang sempurna oleh derit kursi yang ditarik terdengar persis di belakangnya.
“Baik, saya akan menjelaskan beberapa hal tentang kelas ini.” Pak Yustin menumpukan kedua tangannya ke mimbar berpelitur. “Seperti yang kalian ketahui, Caldera High School adalah sekolah swasta dengan akreditasi terbaik se-Asia. Untuk mempertahankan reputasinya, kami mengadakan sistem beasiswa dengan menciptakan Laude Class sebagai tempatnya murid – murid terpilih. Dan saya yakin, kalian adalah murid – murid genius yang telah siap membawa evolusi besar bagi Caldera.”
“Sebelumnya, saya akan menyampaikan beberapa hal penting sebelum mulai pembelajaran.” Pak Yustin menyalakan file powerpoint di layar dengan pointer.
“Integrity?” celetuk Kiara membaca tulisan yangterpampang di layar.
“Ya, integrity. Menurut KBBI V berarti mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan.” Pak Yustin memperhatikan murid – murid di kelas itu. “Jadi, diharapkan kalian adalah potensi yang mampu mempertahankan reputasi Caldera High School.”
Guru berseragam rapi itu menggeser slide berikutnya. “Selama setahun kedepan, kelas ini menerapkan peraturan yang pantang dilanggar oleh siapapun. Apa itu Aska?”
Sekali itu, Kiara memutar tubuh. Disusul murid lain yang melakukan hal sama. Semuanya memusatkan fokus pada Si putra tunggal direktur.
“Whatever you’re going through here, don’t tell anyone else.” Tidak ada ekspresi dalam kalimat bernada datar itu. Namun, sekali lagi mampu membuat seisi kelas tercenung seketika.
Kiara juga tidak membantah bahwa aura dominan yang dipancarkan Aska tidak ada tandingan. Setiap kata yang terdengar dari bibirnya, selalu terdapat nada yang mampu membuat siapapun bungkam. Pada tatapan mata penuh intimidasi, seolah tak mengijinkan siapapun mengalihkan pandang darinya.
Grasah – grusuh terdengar merambat dari satu murid ke murid lain. Membicarakan peraturan tidak biasa yang barusan disampaikan Pak Yustin.
“Ya, apapun yang terjadi disini, jangan ceritakan kepada siapapun. Kami akan menjatuhi hukuman Drop Out bagi siapapun yang melanggarnya. Jadi, percayalah pada sistem kami, percayalah pada kurikulum kami, dan percayalah pada diri kalian sendiri.”
****
Auditorium klub paduan suara sepenuhnya kosong sewaktu dirinya memutuskan untuk tidak pulang. Mungkin orang dengan pikiran runyam akan mengira Rachel adalah hantu yang mendiami ruangan itu. yang benar saja, seorang gadis cantik dengan seragam hitam merah khas bernyanyi seorang diri.
Dibawah pendar lampu corong yang menjadi satu – satunya penerangan disana, ia membawakan lagu The Magic Flute tanpa celah dengan kualitas suara yang hampir menyamai diva Celine Dion. Ruangan penuh peredam suara itu hanya merambatkan suara Rachel. Memantul ke dinding – dinding. Mengantarkan irama indah dalam setiap nada tinggi yang dicapai.
⫯27 Desember 2021, sehari sebelum pengumuman.
“Kamu berada di peringkat empat,” tkas Anna. Meratakan selembar hasil ujian penempatan di meja makan.
Rachel tercekat. Makanan yang ditelannya mendadak terasa pahit. Diraihnya segelas air putih di dekat piring, menyesap sedikit sekedar untuk membasahi kerongkongannya yang kering.
“Kiara Margareth. Kamu kalah dari anak rendahan sepertinya.” Anna melanjutkan. Telunjuk lentik yang kukunya di cat merah darah itu menunjuk sebuah nama di deretan paling atas. “Bahkan nilainya hampir sempurna.”
Rachel menatap rangkaian nama itu dalam diam.
“Tidak bisakah kamu meningkatkan performa kamu? Paling tidak, masuk tiga besar, itu lebih baik untuk mempertahankan reputasi Mama.” Anna memandang putrinya sambil menggeleng pelan. “Mama, kan, sudah bilang. Kalau kamu kesulitan, Mama bisa bantu kamu.”
“Bantuan apa, Ma? Bantu kasih bocoran soal atau kunci jawaban?” Suaranya terdengar putus asa. Rachel mati – matian belajar hanya untuk mempertahankan reputasi Anna sebagai kepala sekolah Caldera.
“Kalau memang itu yang bisa—“
“Rachel nggak butuh itu, Ma. Rachel bisa tanpa kunci jawaban.” gadis berambut legam yang di ombre ungu lilac itu mengharap pengertian Sang mama.
“Apa buktinya? Tidak masuk peringkat tiga besar, begitu maksud kamu?” Garis rahang tegas itu mengetat. Anna menatap putrinya dengan alis menukik tajam. “Mama nggak mau dengar kamu nyanyi, Rachel, Mama mau dengar kamu jadi peringkat satu.”
Kalimat itu seolah melempar Rachel ke bara api yang menyala – nyala. Menyekat tenggorokan atas kalimat semu yang diucapkan. Mematahkan mimpi, menghancurkan harapan, dan membuyarkan ekspektasi.
“Tolong, jangan jadi beban di keluarga ini.”
———
Suaranya pecah diujung. Samar disusul isakan kecil. Kaki Rachel melemas. Membuatnya bersimpuh d lantai marmer yang dingin. Rambut panjang dengan ujung berwarna keunguan miliknya menjuntai menutupi wajah.
Dasi pita yang mencekik lehernya ia tarik kasar. Rachel vukan vokalis paduan suara yang baru memenangkan penghargaan kelas dunia, bukan princess yang diidam – idamkan karena hidupnya yang sempurna, bukan pula gadis cantik yang selalu anggun di setiap tindakannya.
Rachel hanya anak yang gagal menyembuhkan hatinya yang telah remuk.
****
Hawa panas langsung menyeruak begitu sepatu Converse miliknya melewati pintu utama gimnasium. Kali ini, tubuh bagian atasnya tertutup hoodie mustard yang nyaris menutupi sebagian wajah, hanya memperlihatkan bagian hidung dan bibir tipis.
Namun, siapa juga yang tidak mengenal postur tubuh tinggi itu? Meski tertutup kain kafan pun, seantero Caldera High School pasti mengenalnya sebagai Darren Adiputra. Ia mengayun langkah ke kursi atlet dekat tribune, melepas hoodie yang dipakainya sehingga jersey basket terlihat.
Lantas membuat seisi gimnasium langsung heboh. Suara cewek mendominasi. Riuh. Seolah hanya Darren pusat dunia saat ini.
“Wuih, insecure gue! Saingannya anak Laude, bos!” celetuk laki – laki dengan nomor punggung 17 bertuliskan nama Davin.
“Lo yang jump ball ya, Dav,” ucap Darren lesu. Tanpa menghiraukan perkataan Davin sebelumnya.
“Oke.”
Permainan sore itu dimulai dengan jump ball dari Davin. Mengawali pertandingan sengit club 1 dan club 2. Darren tidak bersemangat kali ini, ada masalah yang membuat pikirannya runyam, gagal fokus dengan gerakan bola yang melambung di udara.
Kegagalan dalam meraih peringkat pertama di ujian penempatan adalah masalah besar baginya. Apa lagi di Laude Class, saingannya yang lebih ambisius semakin banyak.
Bola merah bata itu melambung ke arahnya. Darren memang berhasil menangkapnya, mendribble untuk mengelabui musuh, menggiring bola itu sampai ke ring lawan. Ia melakukan underhand lay up shoot, akan tetapi bola itu menabrak papan ring, berderak kemudian jatuh memantul di lantai.
Darren mendecih. Mengumpulkan fokus pada kedua mata indahnya, mengawasi setiap pergerakan bola, dan segera mengejar ketertinggalan. Darren egois. Ia ingin menguasai bola itu dan mencetak three point.
Meski seluruhnya gagal. Sampai babak pertama pertandingan itu akhirnya dimenangkan oleh tim lawan.
“Lo kenapa, sih, Ren?” tanya Davin. Menghampiri Darren yang menunduk memegangi kedua lututnya sambil mengatur napas.
“I’m fine.”
“Kita ganti pemain cadangan—“
“Nggak. Gue bisa kalahin mereka.”
“Jangan dipaksa kalau—“
“Lo ragu sama gue?!”
Davin mengerutkan kening mendengar seruan yang disertai kilat mengerikan itu. “L-lo siapa?”
Kegagalan demi kegagalan itu, mempengaruhi sesuatu dalam kepribadian Darren. Ia berdecih. Bersamaan dengan air muka yang seketika berubah datar. Pandangan mata menyorot benci pada siapapun, juga kepercayaan diri yang bertambah.
“Ambil formasi. Kita atur ulang strategi yang udah gue sampein kemarin.”
Davin kembali tercengang meski tetap mengangguk. “Jawab gue, lo siapa?”
“Gue Darren. Amnesia lo?”
“Oh, kirain.” Tekadang, merepotkan juga memiliki teman yang memiliki Dissociative Indentity Disorder seperti Darren. Setiap saat ia harus memastikan bahwa yang dihadapinya adalah Darren Adiputra, bukan diri Darren yang lain.
Davin menghela lega. Berarti yang tadi bukan Darren. Karena Darren yang sebenarnya selalu memiliki solusi untuk setiap masalah, karena Darren yang sebenarnya bukan cowok egois yang mau menguasai lapangan, karena Darren yang biasanya bukan cowok yang fokusnya mudah buyar.
“Istirahat dulu, bro!” Davin menepuk pundak kapten basket itu. Mengajaknya menepi sekedar menyeka keringat di leher dengan handuk kecil dan membasahi kerongkongan dengan beberapa teguk air mineral.
“Gimana hari pertama di Laude Class?” pertanyaan itu terlontar begitu saja.
“Belum ada kesan.” Darren menjawab sesuai perasaannya.
“Ah, lo mah. Lain kali bisa kali lo share pengalaman selama di Laude Class.”
“Nggak bisa, Dav.” Vokal Darren merendah satu oktaf. “Peraturannya gila. Murid – muridnya gila. Semuanya gila.”
“Gila gimana maksud lo?”
“Masa iya gue sekelas sama Rachel dan cewek peringkat pertama itu? Sekelas sama Aska aja udah bikin gue stress.” Andaikan saja Darren tidak memiliki orangtua yang prestisius, mungkin berada di Laude Class akan menjadi kebanggaan tersendiri untuknya.
Davin terkekeh ringan, menepuk punggung temannya dua kali, memberi semangat. “Sabar. Orang sabar gampang digampar.”
“Sialan lo!”
“Tapi, Ren, gue pikir, disini Aska punya power besar buat masuk kelas kehormatan. Secara, kan, bokapnya direktur disini, pasti ada campur tangan.”
Darren terdiam. Sedetik kemudian kepalanya celingukan, melihat keadaan, antisipasi kalau – kalau Aska atau orang lain mendengarnya. “Maksud lo, dia main kotor?” bisiknya dengan kedua alis terangkat tinggi.
Davin mengangguk. “Gue, sih, realistis aja.”
****
“Jadi ini orang yang ngatain gue berhasil masuk Laude Class karena campur tangan bokap? Main kotor, ya?” “Yoi, Bos!” Lokasinya terletak di gedung timur Caldera High School, kelas XII/C.4, kelas murid biasa, kelas yang dihuni murid – murid peringkat bawah. Seharusnya tidak menjadi tempat kakinya berpijak, apalagi sekedar mengurusi sampah yang dengan bodoh mencampuri urusannya. Lagipula, siapa yang tidak tersinggung difitnah demikian? Aska mengambil duduk di meja Davin. Almamaternya ditinggalkan di kelas, menyisakan kemeja putih tanpa atribut yang kedua lengannya digulung dua kali. “Ngomong depan gue langsung kalau berani.” Siapapun pasti akan terintimidasi dengan tatapan tajam Aska. Termasuk Davin, yang hanya bergeming di tempatnya. Mengalihkan pandang ke tangannya yang mengepal di bawah meja. “Mental banci!” Aska menjejak kasar tubuh b
****Prak!Dari kursi yang biasa diduduki perawat, Kiara tersentak dengan suara buku tebal yang dibanting ke atas meja di hadapannya. Wajahnya segera terangkat menghadap si tersangka. “Gue nggak berterimakasih.”Kalimat itu membawa dialog malam tahun baru.Aska hanya mengawasi pergerakan Kiara dengan wajah datar. “Sekarang tugas lo.”“Iya iyaaa,” sahut Kiara malas. Jemarinya bergerak menarik kotak P3K dan membawanya ke bangsal UKS. Sementara Aska mengekor di belakangnya. “Lo habis ngapain, sih, bisa babak belur kaya gitu?”Sebelum cowok itu berniat menjawab, Kiara buru – buru menyela, “Oh iya, lo nggak bahas masalah pribadi ke orang asing, ‘kan? Maaf maaf.”Sekali lagi Aska melayangkan death glare-nya pada cewek cerewet yang gemar sekali mencampuri urusa
“Lo nggak seharusnya ngomong kaya gitu ke Davin,” tegur Darren. Setelah Davin menjauh dalam radius kisaran 10 meter.Aska mengedikkan bahu tidak peduli. “Emang harusnya gue ngomong apa?”Darren membuang muka mendengar pertanyaan bdoh dengan nada sangat menyebalkan itu. “Lebih baik nggak ngomong apapun daripada dia sakit hati sama ucapan lo.”“Lo pikir gue peduli?”Si cowok berkacamata itu mendesis pelan sembari maju selangkah mendekati Aska. “Gue nggak habis pikir sama kelakuan lo. Sebenarnya apa, sih, yang lo mau dari kita?”Butuh tiga detik bagi Aska untuk berpikir, kemudian menjawab, “Jangan terlihat di hadapan gue lagi.”“Lo yang punya masalah, harusnya lo yang menghindar.”“Gue nggak ngerasa punya masalah sama siapapun,” ucap Aska dengan n
Awan putih membentang luas di cakrawala. Menurunkan rintik lembut gerimis disela petang tanpa matahari. Mendasari Darren membelokkan motornya ke salah satu warteg yang dia lewati. Warteg sederhana dekat lampu merah di persimpangan. Indomie kuah yang ditaburi potogan cabai rawit merah dan telur mungkin bakal jadi menu yang sempurna sore ini. Huh! Membayangkan saja Darren sudah ngiler. Cowok itu pun melepas helm full face di kepalanya. Gegas mengambil langkah panjang masuk ke dalam warung. “Indomie kuah plus telur, cabe rawitnya yang banyak ya, Bu,” pesannya pada si penjual dengan senyum termanis. “Oke, Mas! Ditunggu, ya!” “Siap, Bu.” Pandangan Darren beredar mencari bangku kosong ditengah ramainya pengunjung yang mayoritas adalah bapak – bapak. Kemudian menyipitkan mata, terasa tak asing saat melihat gadis di sudut ruang yang sedang belajar. Darren mengham
-flashback- Malam tahun baru, ketika Aska mulai pesimis dengan dirinya sendiri. Di tepian tebing karang, ia berdiri dengan putus asa. Melalui hembusan napasnya, ia mengeluh. Mengumpati semesta, menyalahkan Sang papa, mengutuk seisi bumi. Apapun itu. Asalkan itu bisa membuatnya merasa lepas. Lepas dari seluruh beban di dunia ini. Sekali lagi Aska melirik riak air dibawahnya. Tampak dingin, gelap, dan dalam. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa yang terjadi kemudian setelah ia menjatuhkan diri. Namun bila dibayangkan, sepertinya mengerikan. “Kenapa ... Caldera mengincarku?” Desahan lirih mungkin hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Sepersekian detik selanjutnya, ia memejamkan mata. Menghirup dalam-dalam amis lautan hingga memenuhi paru-parunya, hingga dadanya terasa sangat sesak. Lalu dengan ragu, perlahan menjatuhkan tubuh. Menjeblak permukaan air, memperdengarkan kecipak menakutkan. Dingin dan
Seminggu sebelumnya ...“Tes hari ini kita akhiri dengan kuis tentang konsentrasi larutan.”Akhir semester II tidak selesai hanya dengan raport yang disampaikan ke seluruh wali murid. Tapi juga ujian penempatan, yang akan memutuskan di kelas mana murid – murid Caldera High School ditempatkan. Hal itu dikarenakan sekolah itu menerapkan sistem beasiswa, dimana setiap kelas diurutkan berdasarkan total akhir akumulasi nilai.Tidak ada yang mengeluh di kelas itu. Tiga puluh enam muridnya duduk tegak dan siap dengan alat tulis masing – masing.“Presentasi 45 gram garam yang dicampurkan dengan 155 air adalah ... “Hanya tiga detik, sampai seoran
Pertengahan malam di hari terakhir tahun 2020, tidak ada yang tidur. Pantai menjadi tempat berkumpulnya orang merayakan pergantian tahun. Menunggu sampai jarum pada jam gadang di daerah wisata itu berdenting tepat di angka 12.Selalu menjadi waktu yang paling ditunggu – tunggu. Hari terakhir, lembaran terakhir, dan harapannya akan menjadi kemalangan terakhir. Harap demi harap kerumunan orang itu sepertinya sama. Berharap tahun depan menyingkirkan keburukan tahun ini. Berharap tahun depan adalah lembaran baru yang membawa perubahan yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.Semua orang menahan napas ketika denting menunjukkan kurang dari 30 detik. Di detik – detik itu, semua orang menyatukan tangan dan memejamkan mata. Menyatukan harap yang sama.Kemudian pada detik – detik terakhir. Saat jam besar itu berdentang nyaring, ratusan kembang api diletuskan ke langit. Menghiasi cakrawala gelap dengan kerlip bintang dan gemerlap cahaya warna
Kiara menoleh. Menunjukkan wajah yang bersemu merah. Ditemukannya seorang remaja laki – laki dengan tatapan mata yang tajam namun memiliki bulu mata lentik. Garis rahang tegas menghiasi bibir tipis yang pucat karena dinginnya samudra. Kulit putih bersih memberlihatkan urat di lengan saat laki – laki itu mengusap jejak di bibirnya.“Lo bisu?”“N-nggak.”Tatapannya semakin tajam. “Kenapa lo nolongin gue?”“Heh?” Kiara menaikkan kedua alisnya tinggi – tinggi. “Lo pikir siapa yang bakal tinggal diam waktu lihat orang mau berhenti hidup?”“Kenapa lo peduli?”“Karena gue masih punya kemanusiaan!”Laki – laki itu berdecih, menundukkan kepala, membawa air menetes dari ujung rambutnya. “Sial!”“Sekarang gue tanya. Kenapa lo