“Lo nggak seharusnya ngomong kaya gitu ke Davin,” tegur Darren. Setelah Davin menjauh dalam radius kisaran 10 meter.
Aska mengedikkan bahu tidak peduli. “Emang harusnya gue ngomong apa?”
Darren membuang muka mendengar pertanyaan bdoh dengan nada sangat menyebalkan itu. “Lebih baik nggak ngomong apapun daripada dia sakit hati sama ucapan lo.”
“Lo pikir gue peduli?”
Si cowok berkacamata itu mendesis pelan sembari maju selangkah mendekati Aska. “Gue nggak habis pikir sama kelakuan lo. Sebenarnya apa, sih, yang lo mau dari kita?”
Butuh tiga detik bagi Aska untuk berpikir, kemudian menjawab, “Jangan terlihat di hadapan gue lagi.”
“Lo yang punya masalah, harusnya lo yang menghindar.”
“Gue nggak ngerasa punya masalah sama siapapun,” ucap Aska dengan nada datar.
“Nggak punya hati nurani.” Darren berdecih kemudian menarik satu sudut bibirnya. “Oke, itu emang lo.”
“Bukan gue yang bikin Elgara bunuh diri.” Jemari Aska mengepal kuat di samping jahitan celananya. Mengetatkan rahang tanpa peduli rasa perih yang masih memenuhi wajahnya.
“Lo tahu apa yang dia bilang sebelum mati?” Darren memberi jeda sejenak dalam ucapannya, menyiapkan diri untuk mengulang memori kelam yang sudah lama mereka coba tenggelamkan. “Dia bilang lo bakal percaya sama dia.”
Kepalan Aska semakin erat.
“Dia percaya karena lo satu – satunya temen yang punya power buat bantu dia keluar dari sistem Caldera. Dia yakin lo bakal bantuin dia. Karena dia anggep lo sahabatnya, Ka.”
Aska tidak melepaskan tatapan tajamnya dari Darren.
“Tanpa tahu kalau lo sebenarnya egois, nggak pernah mau peduli sama yang dia rasain, nggak pernah peduli kalau sistem Caldera secara nggak langsung bunuh Elgara. Karena itu, lo nggak pantes sebut nama dia lagi.”
Kepalan Aska mengendur. Wajah yang tadinya tampak menahan emosi kini berubah lebih santai. Saking santainya sampai cowok itu bisa kembali menerbitkan seringai menjengkelkannya. “Nggak ada yang salah sama sistem. Harusnya dia bertahan, bukan menyerah.”
Aska segera mengatupkan bibir begitu ingat bahwa dirinya juga pernah hampir menyerah. Tanpa orang lain tahu –kecuali seseorang—tanpa berniat memberitahu siapapun.
“Lo bener – bener egois ya, Ka.”
“Kenapa cuma gue yang kalian salahin? Bukankah sebagai temennya lo sama Davin juga bisa bantu dia? Kenapa harus gue?”
“Karena lo—“
“Gue bukan tersangka.”
****
Kiara memundurkan langkah dengan sangat pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Percakapan itu, Kiara sama sekali tak mengerti. Tapi dia yakin, itu adalah masalah besar yang memicu pertengkaran Aska dan Davin siang ini.
“Kiara?”
Gadis itu nyaris berteriak karena terkejut kalau Acha tidak segera membekap mulutnya. Sementara Acha bergegas menarik pergelangan tangan Kiara, mengajaknya bersembunyi sebelum ketahuan menguping.
“Ngagetin aja, sih?”
“Lo ngapain disini?” tanya Acha masih berbisik.
“Mau kasih ini ke Aska tapi gue lihat dia ngomong serius sama Darren.” Kiara menunjukkan plester di tangannya.
“Lo gila?!” Acha memekik tertahan. “Ra, lo sadar apa omongin, ‘kan?”
“Karena dia udah ambilin buku gue di kelas D, ganti gue yang bantu dia obatin lukanya.”
“Lo nggak nyari masalah sama dia, ‘kan?”
Kiara menggigit bibir bawahnya. “N-nggak.”
Acha menghela pelan. “Bagus, deh.”
“Tapi, Cha. Sebenarnya Aska punya masalah apa, sih, sama anak basket?”
Acha melongokkan kepala untuk mengecek keadaan. Dimana kedua oknum yang akan mereka bicarakan sudah pergi. “Bukan sama anak basket, tapi sama Darren, Davin, dan Elgara.”
“Kok bisa? Padahal gue lihat Darren sama Davin bukan tipe cowok yang suka nyari masalah, deh.”
“Ya, dulu mereka temenan.”
Kiara menahan napas. “Apa?”
“Mereka pernah temenan,” tegas Acha. “Sebelum ada satu kejadian yang bikin Elgara meninggal, dan bikin mereka saling musuhan. Sekolah merahasiakan penyebab Elgara bunuh diri. Berita kematiannya langsung lenyap dan nggak ada yang mau mengungkit lagi.”
“Dirahasiakan?”
****
Pembahasan sebelumnya tentang rahasia sekolah berhasil membuat fokus Kiara terpecah. Gadis itu bertopang dagu menatap dengan malas buku modul di meja. Membuatnya kurang memperhatikan penjelasan guru di mimbar depan.
Gadis berambut ekor kuda itu mendengus pelan. Memikirkan siapa Elgara dan mengapa cowok itu memutuskan untuk mengakhiri hidup di usia remaja. Menurut Kiara, itu pemikiran paling bodoh untuk manusia. Karena mati jelas bukan solusi.
Tapi tunggu, Kiara baru teringat dengan seseorang lain yang memiliki niatan sama di malam tahun baru. Gadis itu pun memutuskan untuk menoleh ke belakang. Bangku kosong milik Aska. Cowok yang sejak lima belas menit lalu ijin ke toilet tapi belum juga kembali, perkiraannya, paling Aska juga sedang merokok di belakang sekolah.
Kiara menggigit bibir bawahnya. Berpikir apakah kemungkinan yang membuat dua laki – laki itu nekat ingin mengakhiri hidup. Mungkinkah Elgara memiliki masalah dengan Aska yang membuat orang – orang itu saling bermusuhan? Atau mungkin ...
“Ra!” Acha berbisik keras.
“Ada masalah, Kiara? Kali ini suara Pak Deni yang terdengar.
“Tidak, Pak,” jawab Kiara.
“Kalau begitu jawab soal nomor 18.”
Kiara langsung kelabakan membalik halaman buku modulnya sambil mengeratkan gigitan pada bibir bawahnya ketika seluruh pasang mata di kelas itu memusatkan perhatian padanya.
Soal itu berbunyi: Jari – jari 12Mg lebih kecil dari 11Na. Hal ini karena jumlah ...
Ah, untung saja Kiara pernah mengulang materi tentang ini. “Jawabannya D, Pak.”
Pak Deni mengangguk, membenarkan jawaban Kiara. “Bisa kamu jelaskan?”
Kiara menggeser kursi menyamankan tempat duduknya. Kemudian menjelaskan, “Jari – jari atom dalam satu periode dari kiri ke kanan semakin kecil, karena proton semakin banyak untuk menarik elektron sehingga jari – jarinya semakin kecil. Jadi, proton dalam inti dari Mg lebih banyak dari Na.”
“Bagus sekali Kiara. Kamu bisa menjadi saingan formasi segitiga setelah ini,” kekeh Pak Deni. Bangga dengan murid yang akhirnya bisa mengalahkan formasi legendaris itu.
Akan tetapi, candaan itu malah membuat seseorang di meja depan mengepalkan tangan. Mengumpulkan dendam di antara lima jemarinya.
****
Seperti sekolah pada umumnya, dering panjang bel sekolah menjadi penanda berakhirnya pembelajaran di Caldera High School. Sorot kekuningan dari matahari sore menembus kelas melalui celah jendela saat Kiara mengemasi buku – bukunya.
“Hai.”
Kiara mengangkat wajah. Menatap gadis dengan postur sempurna yang menyilangkan tangan sembari menyandarkan tubuh ke meja di depannya. Gadis yang baru dia kenali sebagai putri tunggal kepala sekolah.
“Gue Rachel, lo Kiara, ‘kan?”
Sial! Kiara sampai melongo dengan kesempurnaan gadis itu dari jarak dekat. Tampak seperti princess Disney yang keluar dari negeri dongeng. Rambut bergelombang yang di-ombre ungu lilac itu terlihat sangat cocok dengan kulit putih bersih khas asia timur. “I-iya.”
“Murid beasiswa, ya?”
Retoris.
“Rencana mau ranking berapa di ujian selanjutnya?”
“Kenapa?” Kiara menutup resleting ranselnya.
“Gue cuma mau ngasih penawaran.” Rachel menatap kuku jemarinya yang baru di cat warna nude. Kemudian melirik Kiara dengan senyuman tidak tulus. “Lo berminat ke Stanford University, ‘kan?”
“Darimana lo tau?”
“Oh soal itu, gue minta maaf karena tahu dari form peminatan yang lo kumpulin ke Bu Anna.” Rachel menjeda ucapannya sejenak. “Gue punya undangan khusus ke Stanford, tapi sayangnya gue nggak berminat kesana. Kalau lo mau, gue bisa kasih gratis.”
Kiara menahan diri untuk tidak berbinar atas penawaran yang ia duga akan bersifat manipulative.
“Dengan syarat, lo nggak ambisius di ujian – ujian selanjutnya. Gimana?”
Great. Intuisi Kiara cukup kuat untuk menebak kemana arah bicara Rachel. “Emang apa yang lebih berharga dari itu?”
“Lo tenang aja, selama perjanjian, gue bakal tanggung semua biaya lo disini. Termasuk—“
“Apa yang lebih berharga dibanding jadi ranking satu?”
Rachel telak.
“Gue nggak tau kenapa lo mau lepasin undangan Stanford dan keluar banyak uang buat singkirin gue. Padahal gue cuma satu dari sekian banyak kemungkinan murid di kelas kehormatan yang bakal ambil alih ranking satu.” Kiara berdiri, memakai ranselnya di kedua bahu. “Saran gue, lebih baik sekarang lo fokus sama apa yang lo kejar, Chel. Bukan fokus jatuhin orang yang halangi jalan lo.”
Awan putih membentang luas di cakrawala. Menurunkan rintik lembut gerimis disela petang tanpa matahari. Mendasari Darren membelokkan motornya ke salah satu warteg yang dia lewati. Warteg sederhana dekat lampu merah di persimpangan. Indomie kuah yang ditaburi potogan cabai rawit merah dan telur mungkin bakal jadi menu yang sempurna sore ini. Huh! Membayangkan saja Darren sudah ngiler. Cowok itu pun melepas helm full face di kepalanya. Gegas mengambil langkah panjang masuk ke dalam warung. “Indomie kuah plus telur, cabe rawitnya yang banyak ya, Bu,” pesannya pada si penjual dengan senyum termanis. “Oke, Mas! Ditunggu, ya!” “Siap, Bu.” Pandangan Darren beredar mencari bangku kosong ditengah ramainya pengunjung yang mayoritas adalah bapak – bapak. Kemudian menyipitkan mata, terasa tak asing saat melihat gadis di sudut ruang yang sedang belajar. Darren mengham
-flashback- Malam tahun baru, ketika Aska mulai pesimis dengan dirinya sendiri. Di tepian tebing karang, ia berdiri dengan putus asa. Melalui hembusan napasnya, ia mengeluh. Mengumpati semesta, menyalahkan Sang papa, mengutuk seisi bumi. Apapun itu. Asalkan itu bisa membuatnya merasa lepas. Lepas dari seluruh beban di dunia ini. Sekali lagi Aska melirik riak air dibawahnya. Tampak dingin, gelap, dan dalam. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa yang terjadi kemudian setelah ia menjatuhkan diri. Namun bila dibayangkan, sepertinya mengerikan. “Kenapa ... Caldera mengincarku?” Desahan lirih mungkin hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Sepersekian detik selanjutnya, ia memejamkan mata. Menghirup dalam-dalam amis lautan hingga memenuhi paru-parunya, hingga dadanya terasa sangat sesak. Lalu dengan ragu, perlahan menjatuhkan tubuh. Menjeblak permukaan air, memperdengarkan kecipak menakutkan. Dingin dan
Seminggu sebelumnya ...“Tes hari ini kita akhiri dengan kuis tentang konsentrasi larutan.”Akhir semester II tidak selesai hanya dengan raport yang disampaikan ke seluruh wali murid. Tapi juga ujian penempatan, yang akan memutuskan di kelas mana murid – murid Caldera High School ditempatkan. Hal itu dikarenakan sekolah itu menerapkan sistem beasiswa, dimana setiap kelas diurutkan berdasarkan total akhir akumulasi nilai.Tidak ada yang mengeluh di kelas itu. Tiga puluh enam muridnya duduk tegak dan siap dengan alat tulis masing – masing.“Presentasi 45 gram garam yang dicampurkan dengan 155 air adalah ... “Hanya tiga detik, sampai seoran
Pertengahan malam di hari terakhir tahun 2020, tidak ada yang tidur. Pantai menjadi tempat berkumpulnya orang merayakan pergantian tahun. Menunggu sampai jarum pada jam gadang di daerah wisata itu berdenting tepat di angka 12.Selalu menjadi waktu yang paling ditunggu – tunggu. Hari terakhir, lembaran terakhir, dan harapannya akan menjadi kemalangan terakhir. Harap demi harap kerumunan orang itu sepertinya sama. Berharap tahun depan menyingkirkan keburukan tahun ini. Berharap tahun depan adalah lembaran baru yang membawa perubahan yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.Semua orang menahan napas ketika denting menunjukkan kurang dari 30 detik. Di detik – detik itu, semua orang menyatukan tangan dan memejamkan mata. Menyatukan harap yang sama.Kemudian pada detik – detik terakhir. Saat jam besar itu berdentang nyaring, ratusan kembang api diletuskan ke langit. Menghiasi cakrawala gelap dengan kerlip bintang dan gemerlap cahaya warna
Kiara menoleh. Menunjukkan wajah yang bersemu merah. Ditemukannya seorang remaja laki – laki dengan tatapan mata yang tajam namun memiliki bulu mata lentik. Garis rahang tegas menghiasi bibir tipis yang pucat karena dinginnya samudra. Kulit putih bersih memberlihatkan urat di lengan saat laki – laki itu mengusap jejak di bibirnya.“Lo bisu?”“N-nggak.”Tatapannya semakin tajam. “Kenapa lo nolongin gue?”“Heh?” Kiara menaikkan kedua alisnya tinggi – tinggi. “Lo pikir siapa yang bakal tinggal diam waktu lihat orang mau berhenti hidup?”“Kenapa lo peduli?”“Karena gue masih punya kemanusiaan!”Laki – laki itu berdecih, menundukkan kepala, membawa air menetes dari ujung rambutnya. “Sial!”“Sekarang gue tanya. Kenapa lo
“Jadi ... namanya Aska?” Pertama kali seumur hidupnya, Kiara merasa otaknya bekerja sangat lambat. Seluruh tubuhnya kaku. Nyaris tak bergerak kecuali kelopak matanya yang mengerjap. Sebuah anggukan kecil dari Acha lantas membuat Kiara meluruhkan bahu serendah – rendahnya.Oh Tuhan, bagaimana Kiara harus menjalani harinya setelah ini?“Kamu boleh duduk.” Kemudian Pak Yustin mempersilahkan Aska duduk.Sedetik kemudian, mata tajam cowok itu menyisir seluruh kelas, menemukan bangku kosong yang dia pikir adalah tempatnya. Aska mematri langkah panjang, bahu tegap dan dagunya terangkat. Seolah menunjukkan bahwa seluruh hidupnya tidak pernah ada kata ragu.Kiara hanya berani melirik melalui sudut matanya. Pergerakan santai dan aroma parfum wood yang bercampur dengan nikotin. Sejurus kemudian tubuhnya tegang sempurna oleh derit kursi yang ditarik terdengar per
“Jadi ini orang yang ngatain gue berhasil masuk Laude Class karena campur tangan bokap? Main kotor, ya?” “Yoi, Bos!” Lokasinya terletak di gedung timur Caldera High School, kelas XII/C.4, kelas murid biasa, kelas yang dihuni murid – murid peringkat bawah. Seharusnya tidak menjadi tempat kakinya berpijak, apalagi sekedar mengurusi sampah yang dengan bodoh mencampuri urusannya. Lagipula, siapa yang tidak tersinggung difitnah demikian? Aska mengambil duduk di meja Davin. Almamaternya ditinggalkan di kelas, menyisakan kemeja putih tanpa atribut yang kedua lengannya digulung dua kali. “Ngomong depan gue langsung kalau berani.” Siapapun pasti akan terintimidasi dengan tatapan tajam Aska. Termasuk Davin, yang hanya bergeming di tempatnya. Mengalihkan pandang ke tangannya yang mengepal di bawah meja. “Mental banci!” Aska menjejak kasar tubuh b
****Prak!Dari kursi yang biasa diduduki perawat, Kiara tersentak dengan suara buku tebal yang dibanting ke atas meja di hadapannya. Wajahnya segera terangkat menghadap si tersangka. “Gue nggak berterimakasih.”Kalimat itu membawa dialog malam tahun baru.Aska hanya mengawasi pergerakan Kiara dengan wajah datar. “Sekarang tugas lo.”“Iya iyaaa,” sahut Kiara malas. Jemarinya bergerak menarik kotak P3K dan membawanya ke bangsal UKS. Sementara Aska mengekor di belakangnya. “Lo habis ngapain, sih, bisa babak belur kaya gitu?”Sebelum cowok itu berniat menjawab, Kiara buru – buru menyela, “Oh iya, lo nggak bahas masalah pribadi ke orang asing, ‘kan? Maaf maaf.”Sekali lagi Aska melayangkan death glare-nya pada cewek cerewet yang gemar sekali mencampuri urusa