Beranda / Fiksi Remaja / The CLASSMATE / Section : 6 - Manipulative

Share

Section : 6 - Manipulative

“Lo nggak seharusnya ngomong kaya gitu ke Davin,” tegur Darren. Setelah Davin menjauh dalam radius kisaran 10 meter.

Aska mengedikkan bahu tidak peduli. “Emang harusnya gue ngomong apa?”

Darren membuang muka mendengar pertanyaan bdoh dengan nada sangat menyebalkan itu. “Lebih baik nggak ngomong apapun daripada dia sakit hati sama ucapan lo.”

“Lo pikir gue peduli?”

Si cowok berkacamata itu mendesis pelan sembari maju selangkah mendekati Aska. “Gue nggak habis pikir sama kelakuan lo. Sebenarnya apa, sih, yang lo mau dari kita?”

Butuh tiga detik bagi Aska untuk berpikir, kemudian menjawab, “Jangan terlihat di hadapan gue lagi.”

“Lo yang punya masalah, harusnya lo yang menghindar.”

“Gue nggak ngerasa punya masalah sama siapapun,” ucap Aska dengan nada datar.

“Nggak punya hati nurani.” Darren berdecih kemudian menarik satu sudut bibirnya. “Oke, itu emang lo.”

“Bukan gue yang bikin Elgara bunuh diri.” Jemari Aska mengepal kuat di samping jahitan celananya. Mengetatkan rahang tanpa peduli rasa perih yang masih memenuhi wajahnya.

“Lo tahu apa yang dia bilang sebelum mati?” Darren memberi jeda sejenak dalam ucapannya, menyiapkan diri untuk mengulang memori kelam yang sudah lama mereka coba tenggelamkan. “Dia bilang lo bakal percaya sama dia.”

Kepalan Aska semakin erat.

“Dia percaya karena lo satu – satunya temen yang punya power buat bantu dia keluar dari sistem Caldera. Dia yakin lo bakal bantuin dia. Karena dia anggep lo sahabatnya, Ka.”

Aska tidak melepaskan tatapan tajamnya dari Darren.

“Tanpa tahu kalau lo sebenarnya egois, nggak pernah mau peduli sama yang dia rasain, nggak pernah peduli kalau sistem Caldera secara nggak langsung bunuh Elgara. Karena itu, lo nggak pantes sebut nama dia lagi.”

Kepalan Aska mengendur. Wajah yang tadinya tampak menahan emosi kini berubah lebih santai. Saking santainya sampai cowok itu bisa kembali menerbitkan seringai menjengkelkannya. “Nggak ada yang salah sama sistem. Harusnya dia bertahan, bukan menyerah.”

Aska segera mengatupkan bibir begitu ingat bahwa dirinya juga pernah hampir menyerah. Tanpa orang lain tahu –kecuali seseorang—tanpa berniat memberitahu siapapun.

“Lo bener – bener egois ya, Ka.”

“Kenapa cuma gue yang kalian salahin? Bukankah sebagai temennya lo sama Davin juga bisa bantu dia? Kenapa harus gue?”

“Karena lo—“

“Gue bukan tersangka.”

****

Kiara memundurkan langkah dengan sangat pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Percakapan itu, Kiara sama sekali tak mengerti. Tapi dia yakin, itu adalah masalah besar yang memicu pertengkaran Aska dan Davin siang ini.

“Kiara?”

Gadis itu nyaris berteriak karena terkejut kalau Acha tidak segera membekap mulutnya. Sementara Acha bergegas menarik pergelangan tangan Kiara, mengajaknya bersembunyi sebelum ketahuan menguping.

“Ngagetin aja, sih?”

“Lo ngapain disini?” tanya Acha masih berbisik.

“Mau kasih ini ke Aska tapi gue lihat dia ngomong serius sama Darren.” Kiara menunjukkan plester di tangannya.

“Lo gila?!” Acha memekik tertahan. “Ra, lo sadar apa omongin, ‘kan?”

“Karena dia udah ambilin buku gue di kelas D, ganti gue yang bantu dia obatin lukanya.”

“Lo nggak nyari masalah sama dia, ‘kan?”

Kiara menggigit bibir bawahnya. “N-nggak.”

Acha menghela pelan. “Bagus, deh.”

“Tapi, Cha. Sebenarnya Aska punya masalah apa, sih, sama anak basket?”

Acha melongokkan kepala untuk mengecek keadaan. Dimana kedua oknum yang akan mereka bicarakan sudah pergi. “Bukan sama anak basket, tapi sama Darren, Davin, dan Elgara.”

“Kok bisa? Padahal gue lihat Darren sama Davin bukan tipe cowok yang suka nyari masalah, deh.”

“Ya, dulu mereka temenan.”

Kiara menahan napas. “Apa?”

“Mereka pernah temenan,” tegas Acha. “Sebelum ada satu kejadian yang bikin Elgara meninggal, dan bikin mereka saling musuhan. Sekolah merahasiakan penyebab Elgara bunuh diri. Berita kematiannya langsung lenyap dan nggak ada yang mau mengungkit lagi.”

“Dirahasiakan?”

****

Pembahasan sebelumnya tentang rahasia sekolah berhasil membuat fokus Kiara terpecah. Gadis itu bertopang dagu menatap dengan malas buku modul di meja. Membuatnya kurang memperhatikan penjelasan guru di mimbar depan.

Gadis berambut ekor kuda itu mendengus pelan. Memikirkan siapa Elgara dan mengapa cowok itu memutuskan untuk mengakhiri hidup di usia remaja. Menurut Kiara, itu pemikiran paling bodoh untuk manusia. Karena mati jelas bukan solusi.

Tapi tunggu, Kiara baru teringat dengan seseorang lain yang memiliki niatan sama di malam tahun baru. Gadis itu pun memutuskan untuk menoleh ke belakang. Bangku kosong milik Aska. Cowok yang sejak lima belas menit lalu ijin ke toilet tapi belum juga kembali, perkiraannya, paling Aska juga sedang merokok di belakang sekolah.

Kiara menggigit bibir bawahnya. Berpikir apakah kemungkinan yang membuat dua laki – laki itu nekat ingin mengakhiri hidup. Mungkinkah Elgara memiliki masalah dengan Aska yang membuat orang – orang itu saling bermusuhan? Atau mungkin ...

“Ra!” Acha berbisik keras.

“Ada masalah, Kiara? Kali ini suara Pak Deni yang terdengar.

“Tidak, Pak,” jawab Kiara.

“Kalau begitu jawab soal nomor 18.”

Kiara langsung kelabakan membalik halaman buku modulnya sambil mengeratkan gigitan pada bibir bawahnya ketika seluruh pasang mata di kelas itu memusatkan perhatian padanya.

Soal itu berbunyi: Jari – jari 12Mg lebih kecil dari 11Na. Hal ini karena jumlah ...

Ah, untung saja Kiara pernah mengulang materi tentang ini. “Jawabannya D, Pak.”

Pak Deni mengangguk, membenarkan jawaban Kiara. “Bisa kamu jelaskan?”

Kiara menggeser kursi menyamankan tempat duduknya. Kemudian menjelaskan, “Jari – jari atom dalam satu periode dari kiri ke kanan semakin kecil, karena proton semakin banyak untuk menarik elektron sehingga jari – jarinya semakin kecil. Jadi, proton dalam inti dari Mg lebih banyak dari Na.”

“Bagus sekali Kiara. Kamu bisa menjadi saingan formasi segitiga setelah ini,” kekeh Pak Deni. Bangga dengan murid yang akhirnya bisa mengalahkan formasi legendaris itu.

Akan tetapi, candaan itu malah membuat seseorang di meja depan mengepalkan tangan. Mengumpulkan dendam di antara lima jemarinya.

****

Seperti sekolah pada umumnya, dering panjang bel sekolah menjadi penanda berakhirnya pembelajaran di Caldera High School. Sorot kekuningan dari matahari sore menembus kelas melalui celah jendela saat Kiara mengemasi buku – bukunya.

“Hai.”

Kiara mengangkat wajah. Menatap gadis dengan postur sempurna yang menyilangkan tangan sembari menyandarkan tubuh ke meja di depannya. Gadis yang baru dia kenali sebagai putri tunggal kepala sekolah.

“Gue Rachel, lo Kiara, ‘kan?”

Sial! Kiara sampai melongo dengan kesempurnaan gadis itu dari jarak dekat. Tampak seperti princess Disney yang keluar dari negeri dongeng. Rambut bergelombang yang di-ombre ungu lilac itu terlihat sangat cocok dengan kulit putih bersih khas asia timur. “I-iya.”

“Murid beasiswa, ya?”

Retoris.

“Rencana mau ranking berapa di ujian selanjutnya?”

“Kenapa?” Kiara menutup resleting ranselnya.

“Gue cuma mau ngasih penawaran.” Rachel menatap kuku jemarinya yang baru di cat warna nude. Kemudian melirik Kiara dengan senyuman tidak tulus. “Lo berminat ke Stanford University, ‘kan?”

“Darimana lo tau?”

“Oh soal itu, gue minta maaf karena tahu dari form peminatan yang lo kumpulin ke Bu Anna.” Rachel menjeda ucapannya sejenak. “Gue punya undangan khusus ke Stanford, tapi sayangnya gue nggak berminat kesana. Kalau lo mau, gue bisa kasih gratis.”

Kiara menahan diri untuk tidak berbinar atas penawaran yang ia duga akan bersifat manipulative.

“Dengan syarat, lo nggak ambisius di ujian – ujian selanjutnya. Gimana?”

Great. Intuisi Kiara cukup kuat untuk menebak kemana arah bicara Rachel. “Emang apa yang lebih berharga dari itu?”

“Lo tenang aja, selama perjanjian, gue bakal tanggung semua biaya lo disini. Termasuk—“

“Apa yang lebih berharga dibanding jadi ranking satu?”

Rachel telak.

“Gue nggak tau kenapa lo mau lepasin undangan Stanford dan keluar banyak uang buat singkirin gue. Padahal gue cuma satu dari sekian banyak kemungkinan murid di kelas kehormatan yang bakal ambil alih ranking satu.” Kiara berdiri, memakai ranselnya di kedua bahu. “Saran gue, lebih baik sekarang lo fokus sama apa yang lo kejar, Chel. Bukan fokus jatuhin orang yang halangi jalan lo.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status