Pertengahan malam di hari terakhir tahun 2020, tidak ada yang tidur. Pantai menjadi tempat berkumpulnya orang merayakan pergantian tahun. Menunggu sampai jarum pada jam gadang di daerah wisata itu berdenting tepat di angka 12.
Selalu menjadi waktu yang paling ditunggu – tunggu. Hari terakhir, lembaran terakhir, dan harapannya akan menjadi kemalangan terakhir. Harap demi harap kerumunan orang itu sepertinya sama. Berharap tahun depan menyingkirkan keburukan tahun ini. Berharap tahun depan adalah lembaran baru yang membawa perubahan yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.
Semua orang menahan napas ketika denting menunjukkan kurang dari 30 detik. Di detik – detik itu, semua orang menyatukan tangan dan memejamkan mata. Menyatukan harap yang sama.
Kemudian pada detik – detik terakhir. Saat jam besar itu berdentang nyaring, ratusan kembang api diletuskan ke langit. Menghiasi cakrawala gelap dengan kerlip bintang dan gemerlap cahaya warna warni. Seolah menyampaikan harap orang – orang itu kepada Yang Maha Kuasa.
Ucapan selamat tahun baru terdengar merambat dari satu orang ke orang lain.
Kecuali seseorang yang hanya memeluk lutut di atas batu karang, memandang indah langit dengan seulas senyum penuh arti, meski pikirannya kosong. Kiara Margareth, gadis yang membiarkan hembusan liar angin menerbangkan helai halusnya, membiarkan Sang bayu membelai lembut pipinya yang tembam, membiarkan dingin malam itu menusuk sampai ke tulang.
“Kenapa ....”
Sampai rintihan yang disertai isakan kecil itu mengalihkan atensinya. Apalagi waktu baru saja melewati tengah malam, membuat Kiara merinding sendiri. Kepalanya bergerak menjelajah sekeliling, hingga jatuh pada sosok laki – laki yang berdiri di atas karang tak jauh darinya, menerjang hembusan kasar angin pantai. Kiara menyipitkan mata agar bisa melihat lebih jelas, mengamati dari kejauhan.
Bahu laki – laki remaja berkaos hitam polos itu bergetar saat menundukkan kepala. Sesekali juga terlihat menyeka tetes embun yang memberat di kedua matanya. Entah apa yang dilami tapi Kiara merasa iba.
Kiara masih terus memperhatikannya sampai letupan kembang api di angkasa berhenti.
Bersamaan dengan si laki – laki yang melangkah ke arah laut dengan pandangan kosong, sempat mengecek kedalaman laut, lalu mengambil posisi yang Kiara pikir akan menjatuhkan tubuhnya.
“Jangan!” Kiara memekik sekeras yang dia mampu. Langsung beranjak bergegas lari menghampiri laki – laki itu. Tak peduli jika karang kasar membuat telapak kakinya terasa sakit.
Namun, laki – laki itu tidak sadar kalau Kiara memaksudkan larangan itu untuknya. Detik berikutnya, tubuhnya langsung dihempas ke laut lepas. Sebelum Kiara sempat menggapainya.
60 detik adalah waktu maksimum seseorang yang bukan profesional menahan napas ketika tenggelam. Sebelum oksigen tidak lagi memenuhi paru – paru. Sebelum otak memerintahkan jantung untuk berdetak. Sebelum hening dan pandangan hitam mengambil alih kehidupan. Kiara tak mau melewatkan 60 detik itu. Mendasari keputusan nekat untuk ikut terjun ke laut lepas.
Sejak kecil, gadis itu dilahirkan sebagai anak petualang yang suka menjelajah alam, dan menaklukan lautan bukan permasalahan besar. Kiara merenangi lautan pesisir, mencari – cari sosok berkaos hitam, mengabaikan dingin yang bisa saja membekukannya.
Matanya mulai perih saat menemukan laki – laki berkaos hitam itu terus tenggelam. Kiara mendekati. Meraih pergelangan tangan laki – laki itu sebelum mencapai dasar. Lalu segera membawanya ke bibir pantai sekiranya napas dirasa sebentar lagi habis.
Ombak masih menyapu ketika Kiara menidurkan laki – laki di bibir pantai. Mengantar pasir ke sela – sela kuku kaki. Gadis itu terus mempompa dada laki – laki yang sekarang terpejam sepenuhnya. Berharap air keluar dari rongga paru – paru.
“Hei, bangun.” Kiara menepuk rahang tegas yang mulai pucat itu. “Bilang siapa nama lo, jangan diem kaya gini.”
Merasa hal itu belum cukup berhasil, Kiara mendekatkan pipinya ke hidung si laki – laki. Merasakan hembusan napas yang sangat lemah. Selanjutnya ia memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan.
Hingga Kiara menelan ludah ketika memikirkan cara terakhir bila tidak ada alat bantu apapun. CPR atau pernapasan buatan. Oke, Kiara akan melakukannya demi menyelamatkan nyawa seseorang —yang bahkan tidak dia kenal.
Ia mengambil pernapasan dalam, mencuping hidung si cowok, dan menempelkan bibirnya dengan bibir pucat cowok itu. Kiara melakukannya berulang. Sampai cowok itu mulai terbatuk, menyemburkan air dari mulut dan hidungnya.
Seketika Kiara menegakkan tubuh. Menyeka wajahnya yang terkena semburan dengan punggung tangan. Sesaat ia merasa pipinya memanas.
Sementara laki – laki itu mencoba bangun, iris gelapnya menemukan gadis yang memalingkan wajah, enggan melihat kearahnya. “Lo siapa?” ucapnya setengah terbatuk.
Kiara menoleh. Menunjukkan wajah yang bersemu merah. Ditemukannya seorang remaja laki – laki dengan tatapan mata yang tajam namun memiliki bulu mata lentik. Garis rahang tegas menghiasi bibir tipis yang pucat karena dinginnya samudra. Kulit putih bersih memberlihatkan urat di lengan saat laki – laki itu mengusap jejak di bibirnya.“Lo bisu?”“N-nggak.”Tatapannya semakin tajam. “Kenapa lo nolongin gue?”“Heh?” Kiara menaikkan kedua alisnya tinggi – tinggi. “Lo pikir siapa yang bakal tinggal diam waktu lihat orang mau berhenti hidup?”“Kenapa lo peduli?”“Karena gue masih punya kemanusiaan!”Laki – laki itu berdecih, menundukkan kepala, membawa air menetes dari ujung rambutnya. “Sial!”“Sekarang gue tanya. Kenapa lo
“Jadi ... namanya Aska?” Pertama kali seumur hidupnya, Kiara merasa otaknya bekerja sangat lambat. Seluruh tubuhnya kaku. Nyaris tak bergerak kecuali kelopak matanya yang mengerjap. Sebuah anggukan kecil dari Acha lantas membuat Kiara meluruhkan bahu serendah – rendahnya.Oh Tuhan, bagaimana Kiara harus menjalani harinya setelah ini?“Kamu boleh duduk.” Kemudian Pak Yustin mempersilahkan Aska duduk.Sedetik kemudian, mata tajam cowok itu menyisir seluruh kelas, menemukan bangku kosong yang dia pikir adalah tempatnya. Aska mematri langkah panjang, bahu tegap dan dagunya terangkat. Seolah menunjukkan bahwa seluruh hidupnya tidak pernah ada kata ragu.Kiara hanya berani melirik melalui sudut matanya. Pergerakan santai dan aroma parfum wood yang bercampur dengan nikotin. Sejurus kemudian tubuhnya tegang sempurna oleh derit kursi yang ditarik terdengar per
“Jadi ini orang yang ngatain gue berhasil masuk Laude Class karena campur tangan bokap? Main kotor, ya?” “Yoi, Bos!” Lokasinya terletak di gedung timur Caldera High School, kelas XII/C.4, kelas murid biasa, kelas yang dihuni murid – murid peringkat bawah. Seharusnya tidak menjadi tempat kakinya berpijak, apalagi sekedar mengurusi sampah yang dengan bodoh mencampuri urusannya. Lagipula, siapa yang tidak tersinggung difitnah demikian? Aska mengambil duduk di meja Davin. Almamaternya ditinggalkan di kelas, menyisakan kemeja putih tanpa atribut yang kedua lengannya digulung dua kali. “Ngomong depan gue langsung kalau berani.” Siapapun pasti akan terintimidasi dengan tatapan tajam Aska. Termasuk Davin, yang hanya bergeming di tempatnya. Mengalihkan pandang ke tangannya yang mengepal di bawah meja. “Mental banci!” Aska menjejak kasar tubuh b
****Prak!Dari kursi yang biasa diduduki perawat, Kiara tersentak dengan suara buku tebal yang dibanting ke atas meja di hadapannya. Wajahnya segera terangkat menghadap si tersangka. “Gue nggak berterimakasih.”Kalimat itu membawa dialog malam tahun baru.Aska hanya mengawasi pergerakan Kiara dengan wajah datar. “Sekarang tugas lo.”“Iya iyaaa,” sahut Kiara malas. Jemarinya bergerak menarik kotak P3K dan membawanya ke bangsal UKS. Sementara Aska mengekor di belakangnya. “Lo habis ngapain, sih, bisa babak belur kaya gitu?”Sebelum cowok itu berniat menjawab, Kiara buru – buru menyela, “Oh iya, lo nggak bahas masalah pribadi ke orang asing, ‘kan? Maaf maaf.”Sekali lagi Aska melayangkan death glare-nya pada cewek cerewet yang gemar sekali mencampuri urusa
“Lo nggak seharusnya ngomong kaya gitu ke Davin,” tegur Darren. Setelah Davin menjauh dalam radius kisaran 10 meter.Aska mengedikkan bahu tidak peduli. “Emang harusnya gue ngomong apa?”Darren membuang muka mendengar pertanyaan bdoh dengan nada sangat menyebalkan itu. “Lebih baik nggak ngomong apapun daripada dia sakit hati sama ucapan lo.”“Lo pikir gue peduli?”Si cowok berkacamata itu mendesis pelan sembari maju selangkah mendekati Aska. “Gue nggak habis pikir sama kelakuan lo. Sebenarnya apa, sih, yang lo mau dari kita?”Butuh tiga detik bagi Aska untuk berpikir, kemudian menjawab, “Jangan terlihat di hadapan gue lagi.”“Lo yang punya masalah, harusnya lo yang menghindar.”“Gue nggak ngerasa punya masalah sama siapapun,” ucap Aska dengan n
Awan putih membentang luas di cakrawala. Menurunkan rintik lembut gerimis disela petang tanpa matahari. Mendasari Darren membelokkan motornya ke salah satu warteg yang dia lewati. Warteg sederhana dekat lampu merah di persimpangan. Indomie kuah yang ditaburi potogan cabai rawit merah dan telur mungkin bakal jadi menu yang sempurna sore ini. Huh! Membayangkan saja Darren sudah ngiler. Cowok itu pun melepas helm full face di kepalanya. Gegas mengambil langkah panjang masuk ke dalam warung. “Indomie kuah plus telur, cabe rawitnya yang banyak ya, Bu,” pesannya pada si penjual dengan senyum termanis. “Oke, Mas! Ditunggu, ya!” “Siap, Bu.” Pandangan Darren beredar mencari bangku kosong ditengah ramainya pengunjung yang mayoritas adalah bapak – bapak. Kemudian menyipitkan mata, terasa tak asing saat melihat gadis di sudut ruang yang sedang belajar. Darren mengham
-flashback- Malam tahun baru, ketika Aska mulai pesimis dengan dirinya sendiri. Di tepian tebing karang, ia berdiri dengan putus asa. Melalui hembusan napasnya, ia mengeluh. Mengumpati semesta, menyalahkan Sang papa, mengutuk seisi bumi. Apapun itu. Asalkan itu bisa membuatnya merasa lepas. Lepas dari seluruh beban di dunia ini. Sekali lagi Aska melirik riak air dibawahnya. Tampak dingin, gelap, dan dalam. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa yang terjadi kemudian setelah ia menjatuhkan diri. Namun bila dibayangkan, sepertinya mengerikan. “Kenapa ... Caldera mengincarku?” Desahan lirih mungkin hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Sepersekian detik selanjutnya, ia memejamkan mata. Menghirup dalam-dalam amis lautan hingga memenuhi paru-parunya, hingga dadanya terasa sangat sesak. Lalu dengan ragu, perlahan menjatuhkan tubuh. Menjeblak permukaan air, memperdengarkan kecipak menakutkan. Dingin dan
Seminggu sebelumnya ...“Tes hari ini kita akhiri dengan kuis tentang konsentrasi larutan.”Akhir semester II tidak selesai hanya dengan raport yang disampaikan ke seluruh wali murid. Tapi juga ujian penempatan, yang akan memutuskan di kelas mana murid – murid Caldera High School ditempatkan. Hal itu dikarenakan sekolah itu menerapkan sistem beasiswa, dimana setiap kelas diurutkan berdasarkan total akhir akumulasi nilai.Tidak ada yang mengeluh di kelas itu. Tiga puluh enam muridnya duduk tegak dan siap dengan alat tulis masing – masing.“Presentasi 45 gram garam yang dicampurkan dengan 155 air adalah ... “Hanya tiga detik, sampai seoran