Kiara menoleh. Menunjukkan wajah yang bersemu merah. Ditemukannya seorang remaja laki – laki dengan tatapan mata yang tajam namun memiliki bulu mata lentik. Garis rahang tegas menghiasi bibir tipis yang pucat karena dinginnya samudra. Kulit putih bersih memberlihatkan urat di lengan saat laki – laki itu mengusap jejak di bibirnya.
“Lo bisu?”
“N-nggak.”
Tatapannya semakin tajam. “Kenapa lo nolongin gue?”
“Heh?” Kiara menaikkan kedua alisnya tinggi – tinggi. “Lo pikir siapa yang bakal tinggal diam waktu lihat orang mau berhenti hidup?”
“Kenapa lo peduli?”
“Karena gue masih punya kemanusiaan!”
Laki – laki itu berdecih, menundukkan kepala, membawa air menetes dari ujung rambutnya. “Sial!”
“Sekarang gue tanya. Kenapa lo mau mati?” Kiara menyeka rambutnya yang basah.
“Sorry. Gue nggak bahas masalah pribadi sama orang asing.” Lalu cowok itu berdiri. Membersihkan sisa pasir yang menempel di pakaian. Kemudian menyugar rambut ke belakang, cukup agar helai basah itu tidak menghalangi penglihatannya.
Disini Kiara menahan napas. Memandang sempurna pada tubuh bidang si cowok. Katakan saja dia sudah hilang akal, tapi bukankah wajar?
“Siapa nama lo?”
Kiara disadarkan oleh suara berat sedikit serak basah itu. “Kiara.”
“Oke, Kiara. Gue nggak berterimakasih karena lo bikin gue kembali pada dunia menyedihkan ini. Dan karena itu, gue bakal pastiin,” tunjuknya di depan wajah Kiara, “di sekolah hidup lo nggak akan tenang.”
Karena laki – laki itu sempat melihat wajah Kiara terpampang nyata di lembar pengumuman pemeringkatan yang diberikan Ayahnya. Kiara yang mendapat peringkat pertama di ujian penempatan. Kiara yang akumulasi nilai rata – ratanya hampir sempurna. Kiara yang berhasil merusak formasi yang sebelumnya pernah ada.
Kiara Margareth, gadis yang diyakini sebagai pembawa revolusi untuk Caldera High School.
****
Terlepas dari ceritanya selama libur tahun baru, dengan seragam kebanggaan yang melekat di tubuhnya, Kiara kembali bersekolah. Bedanya sekarang, dari koridor gedung utama, langkahnya berbelok ke kanan. Gedung sayap barat. Tempat berkumpulnya murid – murid pandai dan ambisius.
“Pemegang SCL bukan Aska?”
“Bukan, cewek itu, tuh.”
“Siapa namanya?”
“Kiara.”
“Kiara yang peringkat satu itu?”
Gadis itu tidak biasa saat orang – orang menatapnya di sepanjang jalan. Ah, dia lupa kalau sekarang dia memiliki lencana di almamater. Lencana yang membedakannya dengan murid biasa, lencana dengan inisial SCL atau Summa Cum Laude, lencana yang dikhususkan untuk murid di kelas kehormatan. Kelas yang berisi 20 murid dengan nilai rata – rata tertinggi sewaktu ujian penempatan.
Kiara tak pernah tahu bagaimana kelas itu sebelum – sebelumnya. Tidak ada senior yang pernah sekalipun mengatakan tentang kelas kehormatan. Yang dilakukannya sekarang hanya membelokkan langkah ke pintu geser dengan logo khusus.
Kelas sudah ramai saat Kiara menginjakkan kaki disana.
“Kiara!”
Sungguh senang hati Kiara mendengar panggilan dari satu – satunya teman yang dikenal disini. Namanya Acha. Teman yang Kiara kenal saat MOS, bersyukur hubungannya masih baik hingga sekarang.
****
Beberapa detik lalu, setelah ia turun dari Ducati Superleggera V4 dan menanggalkan helm full face di jok depan, sebuah bola basket menggelinding dan berhenti tepat di dekat kakinya. Dia memungut bola itu.
Terdapat coretan abstrak dan tulisan: Let see who’s better, me or you.
Seorang lain datang, badge nama di dada almamater kanannya bertuliskan Darren Adiputra. Laki – laki berkacamata oval yang punya senyuman manis itu perlahan melangkah menghampiri. “Pertama kali dalam sejarah, Aska Regantara, jadi peringkat dua.”
Pegangannya pada bola merah bata itu mengerat. Kalimat yang diberikan padanya terdengar mengejek.
Aska menyunggingkan senyum miring pada rivalnya. “Dan lo merasa menang?”
“Nggak. Sebelum gue sendiri yang ngalahin lo.”
“In your dream!
****
“Gila! Kita bakal sekelas sama formasi segitiga?” Acha memekik tertahan setelah membaca ulang form pengumuman peringkat ujian penempatan di ponselnya.
“Formasi segitiga?” ulang Kiara dengan kening berkerut.
“Iya!” Kedua alis Acha dinaikkan tinggi-tinggi, antusias.
“Apa itu?”
“Masa lo nggak tau?”
Kiara menggeleng polos.
“Ck. Kebetahan di kelas, sih, lo!” selorohnya. “Kelompok superior yang ambisiusnya nggak ketolong.” Acha lanjut menjelaskan karena Kiara tak juga mengerti. “Katanya, setiap ada ujian semester, mereka bakal belajar 24 jam nonstop buat ngejar nilai sempurna. Bayangin aja kalau UASnya 7 hari, berarti mereka nggak tidur seminggu.”
Kiara mencondongkan tubuh, tertarik mengetahuinya lebih jauh. “Mereka ... siapa aja?”
Acha mematikan ponselnya, membenarkan posisi duduk, lalu menunjuk seorang gadis yang menonton video choir luar negeri. “Dia urutan ketiga, namanya Rachel Adelaide kelas XI-B. Putri tunggal kepala sekolah.”
“Anaknya Bu Anna?” Bahkan Kiara baru mengetahuinya. Mungkin benar kata Acha, dia terlalu betah di kelas sampai tidak mau tahu dengan orang – orang segila formasi segitiga.
“Iya. Vokalis kebanggan Batavia Madrigal Singer yang kemarin dapet penghargaan di 51st Tolosa Choral Contest, salah satu lomba padus tersulit yang tergabung dalam European Grand Prix for Choral Singing.”
Kiara terperangah.
Selanjutnya terdengar derak dari bola basket yang dipantulkan dari arah pintu. Tak lama kemudian terlihat sosok laki – laki berkacamata berbalut hoodie mustard dan Converse hitam basic muncul dengan senyum termanisnya. Sebelum ini Kiara rasa pernah melihatnya.
“Nggak mungkin lo nggak tahu dia. Urutan kedua dari kelas XI-A, Darren Adiputra, si kapten basket yang paling seneng bikin anak cewek jejeritan tiap turun ke lapangan. Senyumnya itu lho ... ” Acha menangkup pipinya sendiri. “ ... bikin meleleh.”
Kiara tak menampik argumen Acha karena pesona yang Darren pancarkan memang luar biasa. Gadis itu bahkan tidak sadar jika sedari tadi irisnya mengikuti pergerakan Darren.
“Udah jangan diliatin gitu, ntar lo sendiri yang salah tingkah.” Acha meraup wajah Kiara pelan. “Tapi orang bilang—“
“Selamat pagi, semuanya.”
Belum sempat meneruskan ceritanya, seorang guru datang, memaksa Acha mengambil sikap siap di mejanya. Kiara menghela pelan. Entah karena belum cukup mendengar keseluruhan cerita Acha, atau karena atmosfir ruangan ini terasa sangat berbeda dari kelas biasa.
Guru dengan itu melangkah sampai ke mimbar yang ada di depan kelas. Otomatis membuat kelas itu sepenuhnya senyap. “Perkenalkan nama saya Yustin Pradiantara. Kalian bisa memanggil saya Pak Yustin. Selama di Laude Class, saya akan menjadi pembimbing kalian.”
“Sebelumnya saya ucapkan selamat kepada kalian murid-murid terpilih yang menjadi bagian dari kelas kehormatan. Kalian kelompok yang luar biasa.” Di hidungnya bertengger kacamata dengan bingkai kotak, rambutnya disisir rapi ke samping, dan masih ada lipatan setrika di seragamnya. Menunjukkan kalau beliau memanglah guru yang disiplin.
Pak Yustin menghubungkan pointer dengan proyektor sehingga layar yang menjadi papan tulis di kelas itu langsung menyala. Disitulah perbincangan ringan mulai terdengar dari mulut ke mulut.
“Acha,” panggil Kiara sepenuhnya berbisik. “Lo baru ceritain dua, terus siapa urutan pertamanya?”
Brak!
Suara pintu yang dibuka dengan kasar mengalihkan atensi dari ke-20 murid kelas kehormatan. Termasuk Kiara.
“Regantara! Jam berapa ini?” seru Pak Yustin dari mimbarnya.
Yang dimaksud hanya melirik malas Rolex yang melingkar di pergelangan kirinya. “Jam delapan lebih sepuluh, Pak.”
“Tahu apa kesalahan kamu?”
“Saya terlambat sepuluh menit.” Dia melengos. Mengayun langkah menuju bangkunya.
“Siapa yang menyuruh kamu duduk?”
Laki – laki itu mendengus seraya membenarkan ransel yang dicangklong di satu bahu.
Pak Yustin mendengus. “Jawab pertanyaan saya sebelum masuk.”
“Baik.” Cowok itu menjawab tanpa pikir panjang.
“Jelaskan sejarah penemuan listrik.”
Kiara sedikit tercengang. Tidak biasanya sekolah mengajukan kuis pelajaran sekedar untuk mengijinkan muridnya masuk kelas.
“Tahun 640 – 546 SM Thales menggosok amber dengan bulu kucing, dan benda – benda ringan di sekitarnya mendekat menempel pada bulu kucing. Sederhananya disebut listrik statis. Tahun 1773 William Gilbert menyebutnya elektrik. Kemudian tahun 1739, Charles du Fay mengetahui elektrik yang dimaksud terdiri dari kutub positif dan negatif.” Dia menarik napas. “Dilanjutkan lagi oleh Benyamin Franklin, yang telah membuktikan bahwa petir adalah bentuk alami listrik. Selanjutnya tahun 1800 oleh Alessandro Volta, dia membuat batu baterai dari tumpukan volta yang terbuat dari lempengan tipis tembaga dan seng, lalu dipisahkan dengan karton lembab.”
“Sudah?” tanya Pak Yustin lagi.
Cowok itu menggeleng. “Michael Faraday. Ia memulai penelitian yang bertujuan untuk membuat alat yang dapat menghasilkan rotasi elektromagnetik. Salah satu alat yang ia ciptakan adalah, ...” kalimatnya menggantung, ia menerawang mencoba mengingat hafalannya, “homopolar motor. Penemuan itu jadi dasar dari teknologi elektromagnetik dan generator listrik saat ini.”
Tanpa celah.
Acha mencondongkan tubuhnya ke Kiara. “Dia Aska Regantara, berandal biang onar dan pecandu rokok. Tapi jangan remehin Aska, dia punya IQ 141, urutan pertama dari kelas XI-A, dan putra tunggal direktur Caldera High School. Kalau kata gue, lebih baik lo jangan cari masalah sama dia.”
Namun, sepertinya Kiara telah membuat masalah. Ribuan neuron di otaknya menjurus pada kejadian tempo lalu. Tatapan mata yang tajam, alis tebal, garis rahang tegas, bibir dan suara berat serak basah itu ...
... mengingatkannya pada seorang laki – laki yang nekat mengakhiri hidupnya di pantai.
“Jadi ... namanya Aska?” Pertama kali seumur hidupnya, Kiara merasa otaknya bekerja sangat lambat. Seluruh tubuhnya kaku. Nyaris tak bergerak kecuali kelopak matanya yang mengerjap. Sebuah anggukan kecil dari Acha lantas membuat Kiara meluruhkan bahu serendah – rendahnya.Oh Tuhan, bagaimana Kiara harus menjalani harinya setelah ini?“Kamu boleh duduk.” Kemudian Pak Yustin mempersilahkan Aska duduk.Sedetik kemudian, mata tajam cowok itu menyisir seluruh kelas, menemukan bangku kosong yang dia pikir adalah tempatnya. Aska mematri langkah panjang, bahu tegap dan dagunya terangkat. Seolah menunjukkan bahwa seluruh hidupnya tidak pernah ada kata ragu.Kiara hanya berani melirik melalui sudut matanya. Pergerakan santai dan aroma parfum wood yang bercampur dengan nikotin. Sejurus kemudian tubuhnya tegang sempurna oleh derit kursi yang ditarik terdengar per
“Jadi ini orang yang ngatain gue berhasil masuk Laude Class karena campur tangan bokap? Main kotor, ya?” “Yoi, Bos!” Lokasinya terletak di gedung timur Caldera High School, kelas XII/C.4, kelas murid biasa, kelas yang dihuni murid – murid peringkat bawah. Seharusnya tidak menjadi tempat kakinya berpijak, apalagi sekedar mengurusi sampah yang dengan bodoh mencampuri urusannya. Lagipula, siapa yang tidak tersinggung difitnah demikian? Aska mengambil duduk di meja Davin. Almamaternya ditinggalkan di kelas, menyisakan kemeja putih tanpa atribut yang kedua lengannya digulung dua kali. “Ngomong depan gue langsung kalau berani.” Siapapun pasti akan terintimidasi dengan tatapan tajam Aska. Termasuk Davin, yang hanya bergeming di tempatnya. Mengalihkan pandang ke tangannya yang mengepal di bawah meja. “Mental banci!” Aska menjejak kasar tubuh b
****Prak!Dari kursi yang biasa diduduki perawat, Kiara tersentak dengan suara buku tebal yang dibanting ke atas meja di hadapannya. Wajahnya segera terangkat menghadap si tersangka. “Gue nggak berterimakasih.”Kalimat itu membawa dialog malam tahun baru.Aska hanya mengawasi pergerakan Kiara dengan wajah datar. “Sekarang tugas lo.”“Iya iyaaa,” sahut Kiara malas. Jemarinya bergerak menarik kotak P3K dan membawanya ke bangsal UKS. Sementara Aska mengekor di belakangnya. “Lo habis ngapain, sih, bisa babak belur kaya gitu?”Sebelum cowok itu berniat menjawab, Kiara buru – buru menyela, “Oh iya, lo nggak bahas masalah pribadi ke orang asing, ‘kan? Maaf maaf.”Sekali lagi Aska melayangkan death glare-nya pada cewek cerewet yang gemar sekali mencampuri urusa
“Lo nggak seharusnya ngomong kaya gitu ke Davin,” tegur Darren. Setelah Davin menjauh dalam radius kisaran 10 meter.Aska mengedikkan bahu tidak peduli. “Emang harusnya gue ngomong apa?”Darren membuang muka mendengar pertanyaan bdoh dengan nada sangat menyebalkan itu. “Lebih baik nggak ngomong apapun daripada dia sakit hati sama ucapan lo.”“Lo pikir gue peduli?”Si cowok berkacamata itu mendesis pelan sembari maju selangkah mendekati Aska. “Gue nggak habis pikir sama kelakuan lo. Sebenarnya apa, sih, yang lo mau dari kita?”Butuh tiga detik bagi Aska untuk berpikir, kemudian menjawab, “Jangan terlihat di hadapan gue lagi.”“Lo yang punya masalah, harusnya lo yang menghindar.”“Gue nggak ngerasa punya masalah sama siapapun,” ucap Aska dengan n
Awan putih membentang luas di cakrawala. Menurunkan rintik lembut gerimis disela petang tanpa matahari. Mendasari Darren membelokkan motornya ke salah satu warteg yang dia lewati. Warteg sederhana dekat lampu merah di persimpangan. Indomie kuah yang ditaburi potogan cabai rawit merah dan telur mungkin bakal jadi menu yang sempurna sore ini. Huh! Membayangkan saja Darren sudah ngiler. Cowok itu pun melepas helm full face di kepalanya. Gegas mengambil langkah panjang masuk ke dalam warung. “Indomie kuah plus telur, cabe rawitnya yang banyak ya, Bu,” pesannya pada si penjual dengan senyum termanis. “Oke, Mas! Ditunggu, ya!” “Siap, Bu.” Pandangan Darren beredar mencari bangku kosong ditengah ramainya pengunjung yang mayoritas adalah bapak – bapak. Kemudian menyipitkan mata, terasa tak asing saat melihat gadis di sudut ruang yang sedang belajar. Darren mengham
-flashback- Malam tahun baru, ketika Aska mulai pesimis dengan dirinya sendiri. Di tepian tebing karang, ia berdiri dengan putus asa. Melalui hembusan napasnya, ia mengeluh. Mengumpati semesta, menyalahkan Sang papa, mengutuk seisi bumi. Apapun itu. Asalkan itu bisa membuatnya merasa lepas. Lepas dari seluruh beban di dunia ini. Sekali lagi Aska melirik riak air dibawahnya. Tampak dingin, gelap, dan dalam. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa yang terjadi kemudian setelah ia menjatuhkan diri. Namun bila dibayangkan, sepertinya mengerikan. “Kenapa ... Caldera mengincarku?” Desahan lirih mungkin hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Sepersekian detik selanjutnya, ia memejamkan mata. Menghirup dalam-dalam amis lautan hingga memenuhi paru-parunya, hingga dadanya terasa sangat sesak. Lalu dengan ragu, perlahan menjatuhkan tubuh. Menjeblak permukaan air, memperdengarkan kecipak menakutkan. Dingin dan
Seminggu sebelumnya ...“Tes hari ini kita akhiri dengan kuis tentang konsentrasi larutan.”Akhir semester II tidak selesai hanya dengan raport yang disampaikan ke seluruh wali murid. Tapi juga ujian penempatan, yang akan memutuskan di kelas mana murid – murid Caldera High School ditempatkan. Hal itu dikarenakan sekolah itu menerapkan sistem beasiswa, dimana setiap kelas diurutkan berdasarkan total akhir akumulasi nilai.Tidak ada yang mengeluh di kelas itu. Tiga puluh enam muridnya duduk tegak dan siap dengan alat tulis masing – masing.“Presentasi 45 gram garam yang dicampurkan dengan 155 air adalah ... “Hanya tiga detik, sampai seoran
Pertengahan malam di hari terakhir tahun 2020, tidak ada yang tidur. Pantai menjadi tempat berkumpulnya orang merayakan pergantian tahun. Menunggu sampai jarum pada jam gadang di daerah wisata itu berdenting tepat di angka 12.Selalu menjadi waktu yang paling ditunggu – tunggu. Hari terakhir, lembaran terakhir, dan harapannya akan menjadi kemalangan terakhir. Harap demi harap kerumunan orang itu sepertinya sama. Berharap tahun depan menyingkirkan keburukan tahun ini. Berharap tahun depan adalah lembaran baru yang membawa perubahan yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.Semua orang menahan napas ketika denting menunjukkan kurang dari 30 detik. Di detik – detik itu, semua orang menyatukan tangan dan memejamkan mata. Menyatukan harap yang sama.Kemudian pada detik – detik terakhir. Saat jam besar itu berdentang nyaring, ratusan kembang api diletuskan ke langit. Menghiasi cakrawala gelap dengan kerlip bintang dan gemerlap cahaya warna