“Jadi ini orang yang ngatain gue berhasil masuk Laude Class karena campur tangan bokap? Main kotor, ya?”
“Yoi, Bos!”
Lokasinya terletak di gedung timur Caldera High School, kelas XII/C.4, kelas murid biasa, kelas yang dihuni murid – murid peringkat bawah. Seharusnya tidak menjadi tempat kakinya berpijak, apalagi sekedar mengurusi sampah yang dengan bodoh mencampuri urusannya. Lagipula, siapa yang tidak tersinggung difitnah demikian?
Aska mengambil duduk di meja Davin. Almamaternya ditinggalkan di kelas, menyisakan kemeja putih tanpa atribut yang kedua lengannya digulung dua kali. “Ngomong depan gue langsung kalau berani.”
Siapapun pasti akan terintimidasi dengan tatapan tajam Aska. Termasuk Davin, yang hanya bergeming di tempatnya. Mengalihkan pandang ke tangannya yang mengepal di bawah meja.
“Mental banci!”
Aska menjejak kasar tubuh bagian atas Davin. Decit meja dan kursi yang bergeser sontak membuat murid perempuan memekik. Disusul derak tubuh Davin yang jatuh ke lantai. Aska turun dari meja, menarik kerah kemeja Davin, memaksanya berdiri.
“Bangun lo!”
Satu bogeman mentah dilayangkan Aska. Mendarat sempurna di rahang kiri Davin sampai sudut bibirnya terlihat robek, tak lama kemudian mengeluarkan darah segar.
Tapi sekali ini, Davin malah menyeringai, mengabaikan perih dan denyut di rahangnya. “Gue pikir, setelah jadi murid kehormatan, lo bakal berubah jadi lebih baik.” Ia menggeleng pelan. “Ternyata makin parah.”
Bugh!
Aska melayangkan kepalan tangan untuk kedua kalinya. Bedanya sekarang mendarat di rahang kanan Davin, juga jauh lebih keras. Hingga Davin terpelanting, tubuhnya menabrak meja, dan terdorong beberapa centimeter.
“Gue pikir, setelah turun ke kelas C, lo bakal tahu diri. Ternyata makin belagu,” sindir Aska mengulang gaya bicara Davin sebelumnya.
Dada Davin bergemuruh mendengar itu. Tangannya yang mengepal dipukulkan ke meja tempatnya mendarat, lalu bangkit dengan kilat amarah yang kentara di kedua matanya.
“Lo bukan penguasa, Ka, sekalipun sekolah ini punya lo. Cara lo kotor!”
Davin mengumpulkan keberanian di kepalan tangannya, balik menghajar Aska. Melayangkan pukulan sampai lawannya jatuh dari meja.
“Lo bukan orang paling jenius disini!”
Davin tidak melepaskan Aska dari cengkramannya. Balas memberi pukulan bertubi – tubi, membabi buta, tak peduli dengan perlawanan yang dilakukan Aska.
“Lo memanipulasi seluruh murid kelas A!”
Tidak ada yang berani melerai mereka. Seluruhnya menepi ke tembok kelas, sebagian menonton dari kaca jendela, paling bodoh ada yang malah merekam kejadian itu. Kelas XII/C.4 menjadi sangat kacau.
“Lo cuma pecundang yang berlindung di balik nama Caldera!”
Diantara napas yang tersenggal karena Davin mencengkram kerah leher sampai terasa mencekik, disela tenaga yang masih ada sebelum sepenuhnya lemah, Aska berusaha melepaskan tangan Davin dari lehernya. “Harusnya lo tahu kalau pecundang ini lebih terhormat dari lo!”
Cengkraman tangan Davin mengendur.
Aska menyeringai tipis. “Sampah sampah kaya lo sebenarnya nggak pantes dipertahanin! Bersyukur lo masih bisa sekolah disini! Berterima kasih karena Caldera masih nampung lo! Anggap aja bentuk belas kasihan kami karena kalian udah mau diperas!”
“Brengsek!”
“Davin!” Seruan Darren mencegah pergerakan tangan Davin yang belum puas membalas Aska.
Disusul ketukan teratur dari pantofel yang sangat dia hafali siapa pemiliknya. Davin akhirnya menurunkan tangan, urung memukuli si putra Direktur, pun menyingkir dari tubuh Aska.
“Ke ruang BK sekarang!”
****
Terhitung ini kali pertama Kiara menapakkan kaki di gedung sayap timur setelah dirinya ditempatkan di Laude Class. Jika bukan karena buku catatan yang tertinggal di kelas sebelumnya, ia juga tidak mau mengunjungi tempat yang digadang – gadang berubah suram setelah ujian penempatan.
Kaki jenjang yang dibalut kaos kaki putih selutut itu melangkah cepat menuruni tangga. Berpegangan pada palang besi, melewati belokan demi belokan, sampai—
“Astaga!”
—Kiara dikejutkan dengan seorang lain yang datang dari bawah.
Gadis yang rambutnya diikat menyerupai ekor kuda itu mengatur napasnya sejenak dari keterkejutan. Beruntung karena kakinya punya rem yang pakem sehingga tidak perlu ada adegan bertabrakan yang klise seperti di sinetron.
Sesudah napasnya teratur, Kiara mengangkat wajah. Menatap cowok yang juga mematung melihatnya. Wajah yang dipenuhi luka lebam keunguan dan bercak darah itu membuat Kiara bergidik ngilu. Sekilas mengingat, bahwa cowok ini cukup familiar di matanya.
Sebaiknya Kiara menghindar. “M-maaf, gue buru – buru.”
Gadis itu ingin berlari secepat mungkin jika saja tangan besar itu tidak mencegahnya pergi.
“Gue berhutang sama lo, Kiara.”
Kiara tersentak sedikit. Kakinya melangkah mundur, kembali bersitatap dengan si penguasa sekolah, Aska Regantara. “Lo tahu nama gue?”
“Bukannya kita pernah ketemu?” Aska menaikkan satu alisnya.
Si gadis menelan ludah kasar. “Dikelas, ‘kan? Nah iya! Lo yang bangkunya di belakang gue.”
“Gue rasa ditempat lain.”
“Nggak tuh.” Kiara beralibi. “Mungkin lo lihat gue waktu MOS atau—“
“Tahun baru di pantai.” Aska menegaskan. “Nggak usah sok lupa. Gue bisa hafal wajah siapapun dalam sekali pandang. Dan gue nggak mungkin salah ngenalin lo sebagai Kiara yang nolongin gue waktu itu.”
Sial sial!
Kiara menarik tangannya. Kemudian menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. “Ya, lo berhutang sama gue. Jadi, gue harus—“
“Lo harus bantuin gue lagi,” potong Aska. “Gue udah berhutang sama lo, jadi kenapa nggak berhutang lagi?”
“Gue harus pergi.”
“Obatin luka gue.”
Kedua kalimat itu jelas berlawanan.
“Gue nggak punya waktu buat—“
“Gue nggak nanya.”
“Bisa nggak jangan potong ucapan gue dulu?!”
“Nggak.”
Kiara mencelos tak percaya. “Dengerin gue—“ Gadis itu tidak bisa melanjutkan ucapannya sendiri karena tatapan tajam Aska. Semuanya sangat mendominasi. Dimulai dari caranya menatap lawan bicara, vokalnya yang datar dan selalu akurat, dan sikap menyebalkan yang membuat siapapun jengkel. Semuanya memiliki poin sendiri.
“Oke. Gue bakal obatin luka lo, tapi setelah gue ambil buku gue.”
Ganti Aska yang mengerutkan kening. “Buku lo, dimana?”
“Kelas D. Kelas gue yang dulu.”
“Gue ambilin, tunggu gue di UKS.”
Kalimat itu justru terdengar aneh di telinga Kiara. “Nggak mau. Ntar sekelas pada takut sama lo.”
“Peduli apa lo sama mereka?”
“Mereka temen – temen gue. Jelas gue peduli lah! Gue nggak suka lihat mereka diusik sama berandal biang onar kaya lo!”
Aska tersinggung. Ia maju selangkah, mendesak Kiara untuk mundur sampai punggungnya menabrak palang besi pagar tangga. “Udah kenal berapa tahun sampai lo bisa menilai gue kaya gitu?”
Kiara mengerjap. Menahan napas saat aroma nikotin menyeruak dari tubuh cowok itu. Jangankan setahun, seharipun Kiara tak mau terlibat dengan Aska. “Bukan cuma gue yang bilang gitu.”
“Terus lo ngikut mereka?”
“Gue cuma ngikutin apa yang mau gue denger.”
“Meskipun itu salah?”
Kiara diam tak berkutik.
“Itu berarti lo nggak punya pendirian. Harusnya lo ngikut apa yang menurut lo bener, bukan apa yang mereka bilang. Kalau persepsi mereka salah, seenggaknya lo punya pendirian yang nunjukin kalau yang lo lakuin itu benar.”
Entah kenapa, Kiara pikir kalimatnya tidak sesederhana itu.
“Jangan jadi pengikut, disini lo dilatih jadi pemimpin.”
Satu kalimat itu terakhir Aska ucapkan sebelum akhirnya pergi kembali ke lantai bawah untuk mengambilkan buku catatan milik Kiara. Sementara si gadis masih mematung di tempat. Tidak tahu. Antara telak, kagum dengan mindset Aska, atau debaran jantung yang menggila saat sepasang netra gelap itu menatapnya.
****
Pertengkaran murid selalu berakhir di ruang BK. Begitupun Darren dan Davin. Sementara Aska sudah diminta mengobati lukanya –padahal Davin juga terluka.
Namanya Bu Anneth. Guru BK berwajah judes itu menyilangkan tangan di depan dada, mengetuk – ngetuk telunjuknya, menatap kedua murid paling aktif di ekstrakurikuler basket yang duduk di hadapannya ini dengan alis menukik. Siap menghakimi atas kejadian tadi.
“Bu, semua orang tahu kalau Aska yang memulai!” bela Davin. Kepalanya menoleh menatap Darren di sebelahnya. “Lo sendiri lihat, kan, Ren?”
Darren rasa menjawab pertanyaan mudah ini bakal jauh lebih sulit ketimbang menggarap puluhan soal kimia jika Bu Anneth berada disana. Butuh beberapa detik baginya untuk berpikir, sampai akhirnya menjawab, “Gue baru dateng waktu lo mukulin Aska.”
Deg.
“Tidak perlu membela, Davin, tetap kamu yang akan disalahkan,” ucap Bu Anneth kelewat santai.
Davin mencelos.
“Hukumanmu menjadi dua kali lipat karena kamu harus menanggung hukuman Aska. Yaitu, skors dua minggu dan selama masa skors kamu harus membuat proposal yang membuat kami yakin untuk mempertahankanmu di sekolah ini.”
“Bu, ini nggak adil. Aska yang mukul saya duluan. Dia menjatuhkan harga diri saya.” Davin bersikeras membela.
“Tidak perlu membela diri, Davin. Itu hanya akan memberatkan hukumanmu,” tegas Bu Anneth. “Kami tidak bisa menyalahkan murid kelas kehormatan karena potensi mereka sangat menguntungkan bagi Caldera.”
Kini giliran Darren yang angkat bicara. “Tapi ini menyalahi asas pancasila dan hak asasi, Bu. Kami berhak mendapat perlakuan yang sama tanpa dibeda-bedakan kualitas diri atau pangkat sosial.”
Bu Anneth tersenyum tipis. “Siswa kehormatan mengingatkan keadilan dan hak asasi?”
Kalimat itu jelas menyinggung.
“Jangan bersikap defensif, Bu. Disini kami sama – sama belajar buat masa depan yang lebih baik. Potensi setiap orang berbeda – beda, nggak bisa disamaratakan apalagi ditekankan untuk—“
“Bukankah itu tujuan sistem beasiswa? Kami menyamaratakan kemampuan setiap murid agar punya masa depan yang jelas dan terarah. Diharapkan alumni Caldera High School mampu menempuh perguruan tinggi terbaik di negara ini.”
What the actually fuck up.
“Bu, kami—“
“Udahlah, Ren. Lo nggak perlu belain gue,” ucap Davin pasrah. “Karena lo sama pecundangnya kaya Aska.”
“Apa?” Darren berdiri.
“Kita kenal nggak cuma setahun dua tahun, tapi bertahun – tahun, gue hafal sifat lo. Gue tahu lo cuma cari muka biar track record lo sempurna! Gue tahu lo cuma pecundang yang nyari aman! Lo nggak bisa belain gue sekalipun lo tahu kalau gue nggak salah!”
“Gue nggak ngerti satupun kalimat lo, Dav.”
“Karena murid kehormatan nggak akan ngotorin catatan nilainya sendiri, ‘kan? Semuanya harus terlihat sempurna! Supaya kesempurnaan itu bisa jatuhin murid biasa kaya gue dengan mudah!”
“Dav!” Belum sempat Darren menyangkal, Darren lebih dahulu pergi setelah sengaja menabrakkan bahu dengannya. Otomatis dirinya menyusul, meninggalkan Bu Anneth di ruangan itu sendirian.
****Prak!Dari kursi yang biasa diduduki perawat, Kiara tersentak dengan suara buku tebal yang dibanting ke atas meja di hadapannya. Wajahnya segera terangkat menghadap si tersangka. “Gue nggak berterimakasih.”Kalimat itu membawa dialog malam tahun baru.Aska hanya mengawasi pergerakan Kiara dengan wajah datar. “Sekarang tugas lo.”“Iya iyaaa,” sahut Kiara malas. Jemarinya bergerak menarik kotak P3K dan membawanya ke bangsal UKS. Sementara Aska mengekor di belakangnya. “Lo habis ngapain, sih, bisa babak belur kaya gitu?”Sebelum cowok itu berniat menjawab, Kiara buru – buru menyela, “Oh iya, lo nggak bahas masalah pribadi ke orang asing, ‘kan? Maaf maaf.”Sekali lagi Aska melayangkan death glare-nya pada cewek cerewet yang gemar sekali mencampuri urusa
“Lo nggak seharusnya ngomong kaya gitu ke Davin,” tegur Darren. Setelah Davin menjauh dalam radius kisaran 10 meter.Aska mengedikkan bahu tidak peduli. “Emang harusnya gue ngomong apa?”Darren membuang muka mendengar pertanyaan bdoh dengan nada sangat menyebalkan itu. “Lebih baik nggak ngomong apapun daripada dia sakit hati sama ucapan lo.”“Lo pikir gue peduli?”Si cowok berkacamata itu mendesis pelan sembari maju selangkah mendekati Aska. “Gue nggak habis pikir sama kelakuan lo. Sebenarnya apa, sih, yang lo mau dari kita?”Butuh tiga detik bagi Aska untuk berpikir, kemudian menjawab, “Jangan terlihat di hadapan gue lagi.”“Lo yang punya masalah, harusnya lo yang menghindar.”“Gue nggak ngerasa punya masalah sama siapapun,” ucap Aska dengan n
Awan putih membentang luas di cakrawala. Menurunkan rintik lembut gerimis disela petang tanpa matahari. Mendasari Darren membelokkan motornya ke salah satu warteg yang dia lewati. Warteg sederhana dekat lampu merah di persimpangan. Indomie kuah yang ditaburi potogan cabai rawit merah dan telur mungkin bakal jadi menu yang sempurna sore ini. Huh! Membayangkan saja Darren sudah ngiler. Cowok itu pun melepas helm full face di kepalanya. Gegas mengambil langkah panjang masuk ke dalam warung. “Indomie kuah plus telur, cabe rawitnya yang banyak ya, Bu,” pesannya pada si penjual dengan senyum termanis. “Oke, Mas! Ditunggu, ya!” “Siap, Bu.” Pandangan Darren beredar mencari bangku kosong ditengah ramainya pengunjung yang mayoritas adalah bapak – bapak. Kemudian menyipitkan mata, terasa tak asing saat melihat gadis di sudut ruang yang sedang belajar. Darren mengham
-flashback- Malam tahun baru, ketika Aska mulai pesimis dengan dirinya sendiri. Di tepian tebing karang, ia berdiri dengan putus asa. Melalui hembusan napasnya, ia mengeluh. Mengumpati semesta, menyalahkan Sang papa, mengutuk seisi bumi. Apapun itu. Asalkan itu bisa membuatnya merasa lepas. Lepas dari seluruh beban di dunia ini. Sekali lagi Aska melirik riak air dibawahnya. Tampak dingin, gelap, dan dalam. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa yang terjadi kemudian setelah ia menjatuhkan diri. Namun bila dibayangkan, sepertinya mengerikan. “Kenapa ... Caldera mengincarku?” Desahan lirih mungkin hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Sepersekian detik selanjutnya, ia memejamkan mata. Menghirup dalam-dalam amis lautan hingga memenuhi paru-parunya, hingga dadanya terasa sangat sesak. Lalu dengan ragu, perlahan menjatuhkan tubuh. Menjeblak permukaan air, memperdengarkan kecipak menakutkan. Dingin dan
Seminggu sebelumnya ...“Tes hari ini kita akhiri dengan kuis tentang konsentrasi larutan.”Akhir semester II tidak selesai hanya dengan raport yang disampaikan ke seluruh wali murid. Tapi juga ujian penempatan, yang akan memutuskan di kelas mana murid – murid Caldera High School ditempatkan. Hal itu dikarenakan sekolah itu menerapkan sistem beasiswa, dimana setiap kelas diurutkan berdasarkan total akhir akumulasi nilai.Tidak ada yang mengeluh di kelas itu. Tiga puluh enam muridnya duduk tegak dan siap dengan alat tulis masing – masing.“Presentasi 45 gram garam yang dicampurkan dengan 155 air adalah ... “Hanya tiga detik, sampai seoran
Pertengahan malam di hari terakhir tahun 2020, tidak ada yang tidur. Pantai menjadi tempat berkumpulnya orang merayakan pergantian tahun. Menunggu sampai jarum pada jam gadang di daerah wisata itu berdenting tepat di angka 12.Selalu menjadi waktu yang paling ditunggu – tunggu. Hari terakhir, lembaran terakhir, dan harapannya akan menjadi kemalangan terakhir. Harap demi harap kerumunan orang itu sepertinya sama. Berharap tahun depan menyingkirkan keburukan tahun ini. Berharap tahun depan adalah lembaran baru yang membawa perubahan yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.Semua orang menahan napas ketika denting menunjukkan kurang dari 30 detik. Di detik – detik itu, semua orang menyatukan tangan dan memejamkan mata. Menyatukan harap yang sama.Kemudian pada detik – detik terakhir. Saat jam besar itu berdentang nyaring, ratusan kembang api diletuskan ke langit. Menghiasi cakrawala gelap dengan kerlip bintang dan gemerlap cahaya warna
Kiara menoleh. Menunjukkan wajah yang bersemu merah. Ditemukannya seorang remaja laki – laki dengan tatapan mata yang tajam namun memiliki bulu mata lentik. Garis rahang tegas menghiasi bibir tipis yang pucat karena dinginnya samudra. Kulit putih bersih memberlihatkan urat di lengan saat laki – laki itu mengusap jejak di bibirnya.“Lo bisu?”“N-nggak.”Tatapannya semakin tajam. “Kenapa lo nolongin gue?”“Heh?” Kiara menaikkan kedua alisnya tinggi – tinggi. “Lo pikir siapa yang bakal tinggal diam waktu lihat orang mau berhenti hidup?”“Kenapa lo peduli?”“Karena gue masih punya kemanusiaan!”Laki – laki itu berdecih, menundukkan kepala, membawa air menetes dari ujung rambutnya. “Sial!”“Sekarang gue tanya. Kenapa lo
“Jadi ... namanya Aska?” Pertama kali seumur hidupnya, Kiara merasa otaknya bekerja sangat lambat. Seluruh tubuhnya kaku. Nyaris tak bergerak kecuali kelopak matanya yang mengerjap. Sebuah anggukan kecil dari Acha lantas membuat Kiara meluruhkan bahu serendah – rendahnya.Oh Tuhan, bagaimana Kiara harus menjalani harinya setelah ini?“Kamu boleh duduk.” Kemudian Pak Yustin mempersilahkan Aska duduk.Sedetik kemudian, mata tajam cowok itu menyisir seluruh kelas, menemukan bangku kosong yang dia pikir adalah tempatnya. Aska mematri langkah panjang, bahu tegap dan dagunya terangkat. Seolah menunjukkan bahwa seluruh hidupnya tidak pernah ada kata ragu.Kiara hanya berani melirik melalui sudut matanya. Pergerakan santai dan aroma parfum wood yang bercampur dengan nikotin. Sejurus kemudian tubuhnya tegang sempurna oleh derit kursi yang ditarik terdengar per