Section : 0 ㅡ Prolog

Seminggu sebelumnya ...

“Tes hari ini kita akhiri dengan kuis tentang konsentrasi larutan.”

Akhir semester II tidak selesai hanya dengan raport yang disampaikan ke seluruh wali murid. Tapi juga ujian penempatan, yang akan memutuskan di kelas mana murid – murid Caldera High School ditempatkan. Hal itu dikarenakan sekolah itu menerapkan sistem beasiswa, dimana setiap kelas diurutkan berdasarkan total akhir akumulasi nilai.

Tidak ada yang mengeluh di kelas itu. Tiga puluh enam muridnya duduk tegak dan siap dengan alat tulis masing – masing. 

“Presentasi 45 gram garam yang dicampurkan dengan 155 air adalah ... “

Hanya tiga detik, sampai seorang siswa berkacamata dari deretan bangku paling depan mengangkat tangannya tinggi. “22,50%”

“Benar.” Pak Yustin selaku guru pengawas ujian itu tersenyum memamerkan kedua lesung pipinya. “Pertanyaan kedua, bila bobot molekul fruktosa 180, maka molalitas fruktosa 10% adalah?”

Hey, itu pertanyaan mudah. Bahkan Rachel tidak perlu menghitung untuk menemukan jawabannya. “0,62 m, kan, Pak?”

“Tepat sekali, Rachel.” 

Dengusan – dengusan terdengar dari murid yang tidak sempat unjuk kemampuan.

“Pertanyaan terakhir. Massa jenis suatu larutan CH3COOH 5,2 M adalah 1,04 g/mL. Jika Mr CH3COOH = 60, konsenstrasi larutan ini dinyatakan dalam %, maka berapakah berat asam asetat?”

Suara kertas yang bergesekan dengan pensil langsung memenuhi ruang. Bersamaan dengan peserta ujian yang menggoreskan pensil untuk menemukan jawaban atas pertanyaan lisan Pak Yustin.

Guru itu melirik jam tangannya begitu merasa 30 detik sudah lewat. “Waktu habis! Jadi, berapakah jawabannya?”

Tidak ada yang tidak merutuk waktu itu, semuanya putus asa dengan hasil perhitungan yang baru mencapai tiga perempat. Mereka juga tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti menerawang jawaban.

“30%”

Seisi kelas seketika senyap dengan jawaban murid bersuara berat yang duduk di deretan bangku paling belakang itu. Semuanya menahan napas. Menunggu respon Pak Yustin.

Dari bangkunya, Kiara menengok belakang, kemudian terperangah. Dilihatnya cowok itu sama sekali tidak menghitung jawaban di kertas. Melainkan hanya mengetuk – ketukkan telunjuknya ke meja dengan ritme tertentu.

Akan tetapi, guru itu malah mengernyit. “Saya tidak melihat kamu mencoret – coret kertas, apa kamu asal menebak?”

Murid laki – laki itu berdecak. “Bukan tebakan, Pak, tapi penalaran.Perhitungannya adalah % massa = M . Mr = 5,2 . 60 per 10 . p 10 . 1,04, jadi hasil akhirnya 30%.”

Wow!

“Tepuk tangan untuk teman – teman kalian.” Pak Yustin memimpin, mengafirmasi bahwa jawaban Aska Regantara adalah benar.

Si pemilik nama lantas menyandarkan punggung ke kursi saat tepuk tangan lambat terdengar riuh. Mendesah sepelan mungking seolah hal seperti itu memanglah sudah biasa. 

Pak Yustin mengangkat lembar ujian kelas yang telah selesai 15 menit lalu. Membereskan bersama sebuah pena yang diselipkan ke saku kemeja. “Saya ucapkan terimakasih atas partisipasi kalian dalam mengikuti ujian kali ini ....

—

Kiara Margareth, langsung menggelengkan kepala, membuyarkan ingatan yang dialaminya minggu lalu. Irisnya beralih fokus pada sebuah amplop undangan berwarna merah gelap dan logo kebesaran Caldera High School. Sebenarnya ia sudah berkali – kali membaca isinya. Tetapi, rasanya tetap sama mendebarkan.

Gadis itu menarik ujung kertas yang terselip di dalamnya. Kertas yang mengubah seluruh hidupnya mulai sekarang. Selembar kertas dengan pengumuman yang menyatakan ....

Kepada 

Yth. Kiara Margareth

Di tempat

Dengan hormat,

Setelah melewati proses seleksi ujian penempatan, kami dengan bangga mengumumkan bahwa Anda akan ditempatkan di kelas kehormatan (Laude Class). Adapun perlengkapan yang dipersiapkan untuk semester ganjil adalah sebagai berikut ....

Maka bersama itulah kisahnya dimulai.

—THE CLASSMATE—